• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP REHABILITAS

B. Pengertian Umum Rehabilitasi Anak Penyandang Cacat

4. Prinsip Dasar Kegiatan Rehabilitasi

Prinsip dasar kegiatan rehabilitasi ditinjau dari jenis, dilakukan dengan berorientasi pada pengembalian fungsi, individualisasi dan orientasi pada jenis kecacatan serta kasus yang dimiliki. Ditinjau dari kemampuan pelaksana (provider), prinsip dasar kegiatan rehabilitasi meliputi: prinsip kerja tim dan kerja atas dasar profesi. Adapun ditinjau dari tempat, waktu dan sarana rehabilitasi berprinsip pada integritas, keluwesan tempat dan waktu, kesederhanaan serta keterlibatan orang tua dan masyarakat.97

95

Kementerian Sosial RI, Pedoman Umum Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Cacat, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak, Kementerian Sosial RI, Jakarta, 2004, hal. 28.

96

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat Pasal 35.

97

Pelaksana rehabilitasi itu sendiri secara teori yang ada, seharusnya terdiri dari para petugas yang tergabung dalam tim rehabilitasi, yaitu: para dokter spesialis rehabilitasi, syaraf, ortopedi, THT, mata, jiwa dan ahli anak, serta para medis yang terdiri dari: fisioterapist, ahli terapi okupasi, prostetis dan ortotis, terapis wicara, perawat rehabilitasi, ahli optikal, ahli audiologi, psikolog, pekerja sosial dan ahli okupasi terapi.98

Selanjutnya unsur yang juga penting dalam prinsip dasar kegiatan rehabilitasi itu sendiri adalah adanya seorang pendidik yang berkompeten. Tugas utama pendidik dalam perannya di bidang rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh adalah bertujuan untuk melakukan assesment baik yang berhubungan dengan aspek fisik, psikis, sosial dan keterampilan untuk memperoleh data tentang kemampuan dan ketidakmampuan anak pada aspek-aspek tersebut diatas. Selanjutnya mengadakan pencatatan data yang berhubungan dengan kecacatannya termasuk perkembangan kemampuan dan ketidakmampuan anak. Melaksanakan bentuk-bentuk kegiatan rehabilitasi yang dilaksanakan dalam kegiatan proses belajar mengajar dan disesuaikan dengan batas- batas tertentu yang digariskan oleh bagian medik, sosial psikologis dan keterampilan. Melakukan pembinaan kepada orang tua untuk membantu melakukan rehabilitasi dan pengawasan terhadap aktivitas anak sehari-hari di lingkungan keluarga. Akhirnya, melakukan rujukan anak untuk memperoleh pelayanan rehabilitasi sesuai dengan kebutuhan. Antara tenaga rehabilitasi, guru dan orang tua perlu bekerjasama dengan

98

Wawancara dengan R.S.N., Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011

baik dalam rangka kelancaran pelaksanaan kegiatan rehabilitasi, yang pada gilirannya akan mengantarkan anak menjadi mampu mengikuti pendidikan dengan baik di sekolah dan mampu melaksanakan fungsi sosial secara wajar di lingkungan masyarakat.99

Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara memiliki prinsip dasar yang di jadikan pedoman dalam melakukan pendekatan yang sesuai kepada anak penyandang cacat, antara lain:

1. Destigmatisasi;

Pada dasarnya kecacatan yang dialami oleh anak sudah merupakan beban berat bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Oleh karena itu anak cacat jangan lagi diberi cap yang menambah beban baru bahwa ”anak tidak berguna”, ”anak pembawa sial”, ”anak kutukan Tuhan” dan sebagainya. Karena itu rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh harus menghindari tumbuhnya dan menghilangkan (bila sudah ada) sebutan buruk (stigma) demikian pada anak penyandang cacat tubuh. 2. Deisolasi;

Sama seperti manusia lain, anak penyandang cacat tubuh tidak ingin dikucilkan dari lingkungan sosialnya, ia juga ingin mencintai dan dicintai, menerima dan diterima, menemani dan ditemani. Rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh perlu menghindari kegiatan yang akan mengisolasi anak penyandang cacat tubuh sehingga tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungannya.

99 file.upi.edu/ai.php?dir=Direktori/A%20...%20LUAR%20BIASA/... diakses pada tanggal 4

3. Desensitifisasi;

Ada kecenderungan bahwa anak penyandang cacat tubuh memiliki perasaan rendah diri, tidak berguna, membebani orang lain dan lain-lain, yang menyebabkan ia mudah marah dan tersinggung. Untuk itu rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh perlu dirancang agar anak penyandang cacat tubuh tidak terlalu sensitif atas kecacatannya.

4. Di sini dan saat ini (here and now);

Rehabilitasi sosial kepada anak penyandang cacat tubuh harus dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan nyata dimana anak penyandang cacat tubuh itu berada pada saat ini. Artinya rehabilitasi dirancang dengan mempertimbangkan ruang dan waktu dimana dan kapan rehabilitasi dilaksanakan sehingga sesuai dengan kebutuhan anak penyandang cacat tubuh dan lingkungannya.

5. Keanekaragaman pelayanan (diversifikasi);

Rehabilitasi sosial anak penyandang cacat tubuh hendaknya tidak hanya menekankan pada satu aspek, namun memenuhi beragam aspek yang dibutuhkan. Tidak sekedar menekankan pada mobilitas atau aksesibilitas saja, misalnya memberikan kursi roda. Tetapi jauh lebih kaya daripada itu yaitu meningkatkan mentalitas kemandirian anak sehingga ia dapat hidup dan mengembangkan potensi yang dimiliki.

6. Dedramatisasi;

Kecacatan yang dialami oleh anak penyandang cacat tubuh adalah suatu masalah, tetapi kecacatan itu hendaknya juga jangan dibesar-besarkan seolah-olah dengan

kecacatan itu maka dunia akan kiamat baginya. Guna menghindari tumbuhnya kondisi seperti itu maka anak penyandang cacat tubuh harus dibawa kedalam kehidupan nyata sesuai dengan nilai-nilai sosial dimana mereka tinggal.

7. Mengembangkan empati, bukan simpati.

Memperlihatkan simpati yang bernada kasihan atau menyayangi secara berlebihan dapat merusak rehabilitasi yang diperlukan bagi anak penyandang cacat tubuh. Oleh karena itu perasaan simpati mendalam harus dihindari. Kepada anak penyandang cacat tubuh yang diberikan adalah empati, sehingga mereka mampu menemukan suasana rehabilitasi sosial secara wajar seperti yang juga dialami oleh anak-anak lain seusianya.100

Jenis kegiatan rehabilitasi yang digunakan untuk meningkatkan peranan keluarga dalam pengertian kesadaran dan rasa tanggung jawab agar dapat melindungi, merawat/memelihara, mendidik, melatih anggota keluarga yang cacat adalah sebagai berikut:

1. Kampanye sosial

a. Tujuan kegiatan ini untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab sosial berbagai pihak yang menurut perundang-undangan dan secara sosial budaya terkait langsung dan tidak langsung dalam rehabilitasi anak penyandang cacat. b. Sasaran kampanye sosial antara lain: keluarga, lembaga pendidikan, kesehatan, kependudukan, dunia usaha serta lembaga pemerintah paling bawah (Desa/Kelurahan).

c. Materi yang dikampanyekan antara lain: undang-undang yang terkait dengan peningkatan perlindungan dan atau kesejahteraan anak, pengetahuan dan keterampilan pembinaan anak penyandang cacat di rumah tangga, di masyarakat atau ditempat kerja dan sebagainya.

100

Wawancara, R.S.N, Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011

d. Metode kampanye disesuaikan dengan situasi, kondisi, permasalahan serta potensi lokal setiap wilayah. Beberapa metode antara lain: diskusi, dialog, sambung rasa leaflet, booklet, media cetak dan elektronik, seni budaya lokal termasuk juga berbagai lomba yang menarik.

e. Tahapan kegiatan, antara lain: menyusun rencana kegiatan, menentukan lokasi kegiatan, melakukan koordinasi dengan instansi pemerintah lokal (Kabupaten/Kota/Kecamatan/Kelurahan), membentuk tim lintas profesi dan instansi, pelaksanaan kegiatan dan evaluasi.

f. Petugas kampanye adalah Peksos fungsional, Tenaga Medis, Psikolog dan lain-lain.101

2. Deteksi dini kecacatan

a. Kegiatan deteksi dini kecacatan ini dapat menjadi bagian dari kampanye sosial di atas, namun dapat juga berdiri sendiri.

b. Tujuan kegiatan adalah untuk meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab sosial keluarga, khususnya dalam menemu kenali kecacatan pada anak secara dini dan pencegahannya.

c. Sasaran deteksi dini adalah keluarga didalam masyarakat.

d. Tahapan kegiatan sebagai berikut: menyusun rencana kegiatan, menentukan lokasi kegiatan deteksi dini (Posyandu, Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) Anak cacat, Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (KB), Taman Kanak-Kanak (TK), UPSK dll. Melakukan koordinasi dengan instansi pemerintah lokal (Kabupaten/Kota/Kecamatan/Kelurahan/Desa), membentuk tim lintas profesi dan instansi, pelaksanaan kegiatan, evaluasi, rujukan dan tindak lanjut.

e. Metoda penelitian bio psikososial, dialog, sambung rasa, penyebaran leaflet. f. Petugas Peksos Fungsional, Tenaga medis, psikolog, orsos.

g. Kegiatan ini dapat dikoordinasikan dengan kegiatan unit pelayanan sosial keliling (UPSK) untuk penyandang cacat.102

3. Penumbuh-kembangan Forum Keluarga dengan Anak Cacat (FKDAC)

a. Tujuan forum ini untuk menjadi wadah dan forum koordinasi para orang tua yang mempunyai anak penyandang cacat di suatu daerah Forum Keluarga Dengan Anak Cacat (KDAC) merupakan lembaga kerjasama (pertukaran informasi dan keterampilan) antara keluarga yang memiliki anak cacat. Selain dapat menjadi alat motivasi dan advokasi bagi keluarga. Forum juga dapat

101

Kementerian Sosial RI, Pedoman Umum Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Cacat,

Opcit, hal.39.

102

menjadi sarana Dinas Sosial/Instansi terkait dalam upaya perlindungan dan peningkatan hak-hak anak cacat di masyarakat.

b. Sasaran kegiatan ini antara lain: keluarga dengan anak cacat, SLB, SDLB, Dinas Sosial/Instansi terkait lainnya.

c. Metode penumbuhkembangan forum dapat menyesuaikan dengan situasi, kondisi, permasalahan serta potensi lokal setiap wilayah.

d. Tahapan penumbuhkembangan Forum KDAC antara lain: Sosialisasi pentingnya forum, kesepakatan membentuk forum, membentuk pengurus forum, kegiatan pendampingan dan advokasi untuk forum, kegiatan fasilitasi, pengembangan, supervise dan evaluasi, melakukan koordinasi dengan instansi terkait tingkat lokal (propinsi/kabupaten/kota), SLB atau orsos anak cacat dan perguruan tinggi dan lain-lain.

e. Petugas Peksos Fungsional, Petugas Sosial Kabupaten/Kota/Propinsi, Tenaga Medis, Relawan Sosial dan lain-lain sesuai keperluan.103

4. Penguatan jaringan kerja antar lembaga, meliputi antara lain:

a. Bertujuan untuk pertukaran informasi, peningkatan sinergi serta pengembangan pelayanan pada anak cacat.

b. Sasaran: Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, organisasi sosial/LSM, keluarga, masyarakat, dunia usaha dan sebagainya.

c. Tahapan kegiatannya: perencanaan kegiatan, mengundang sasaran anggota jaringan dan pertemuan pembahasan jaringan kerja (penyatuan visi-misi pelayanan, media pertemuan, pola kerja, penyusunan rencana pelayanan, pembagian tugas, evaluasi bersama serta tindak lanjut).

d. Petugas Sosial Propinsi/Kabupaten/Kota, Peksos Fungsional, Pimpinan Lembaga yang bergabung.104

5. Pelayanan pendampingan dan advokasi untuk anak cacat, meliputi antara lain: a. Betujuan untuk meningkatkan pelayanan, pemulihan, pemeliharaan serta

terpenuhinya hak-hak anak cacat berupa hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan partisipasi.

b. Sasarannya: anak cacat dalam keluarga, keluarga langsung/pengganti dan komunitas.

c. Tahapan kegiatan: identifikasi kebutuhan pelayanan pendampingan dan advokasi, merencanakan kegiatan pemenuhan kebutuhan pelayanan pendampingan dan advokasi, melaksanakan supervise dan evaluasi dan terminasi. 103Ibid , hal. 42-43. 104 Ibid, hal. 43.

d. Petugasnya: pekerja sosial fungsional dari instansi sosial setempat, relawan sosial dan petugas lain yang berkompeten.

e. Metode, meliputi: bimbingan sosial individual, bimbingan sosial keluarga, bimbingan sosial kelompok, pendampingan sosial dan pembelaan sosial.105 6. Pengembangan perlindungan sosial bagi anak cacat.

Merupakan upaya perlindungan sosial bagi anak cacat yang tidak mampu di masyarakat perlu dilakukan secepat mungkin, sehingga proses tumbuh kembang mereka tidak terhambat, karena keterlambatan bisa diartikan sebagai diskriminasi terhadap anak-anak yang menyandang cacat. Pengembangan perlindungan tersebut meliputi:

a. Tujuan perlindungan sosial bagi anak cacat untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak cacat yang karena berbagai hal tidak mampu hidup secara layak; seperti tindakan diskriminasi, keluarga tidak mampu (miskin), bencana alam dan sosial lainnya.

b. Sasaran dari perlindungan sosial adalah anak-anak cacat yang berasal dari keluarga tidak mampu, baik untuk sekolah maupun mendapatkan pelayanan medis atau kesehatan.

c. Jenis kegiatan perlindungan sosial antara lain: bantuan makanan, pakaian dan peralatan sekolah, penyediaan pelayanan khusus bagi anak cacat, pemberian bea siswa bagi anak cacat, penyediaan jasa konsultasi dan konseling, gerakan teman asuh dan penyediaan aksesibilitas pelayanan pendidikan lainnya bagi anak cacat, seperti penyediaan fasilitas olah raga, fasilitas belajar, sarana perpustakaan dan sebagainya.

d. Tahapan kegiatan, antara lain: identifikasi masalah yakni menentukan jumlah anak cacat yang berhak mendapatkan bantuan (identitas anak dan identitas keluarga), pengungkapan106

Dari uraian di atas dapat diilihat bahwa peraturan yang ada (Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat) sudah mencerminkan keseriusan pemerintah dalam hal menangani permasalahan bagi para penyandang cacat, termasuk di dalamnya anak penyandang cacat tubuh, namun realisasinya yang tekadang tidak sesuai dengan pengharapan. Bentuk tanggung jawab pemerintah adalah dengan memfasilitasi penyandang cacat untuk direhabilitasi mental dan vokasinya dengan sistem pelayanan berbasis panti sudah cukup baik, karena ternyata

105Ibid

, hal 44.

106

setelah di bangkitkan kepercayaan dirinya dan di berikan keterampilan praktis, sesungguhnya anak penyandang cacat juga cukup terampil. Anak penyandang cacat tersebut hanya butuh di bimbing dan di bangkitkan mentalnya agar optimis memandang hidup dan menerima kenyataan hidup, karena kekurangan penyandang cacat hanya terletak pada keterbatasan fisik dan pada prinsipnya setiap orang tua menginginkan anaknya untuk tumbuh dengan sehat dan normal, karena anak merupakan aset, tumpuan harapan serta kebanggan orang tua.

Dokumen terkait