• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Yuridis Terhadap Perjanjian Rehabilitasi Anak Cacat Tubuh Oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat (Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang Terletak d

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisa Yuridis Terhadap Perjanjian Rehabilitasi Anak Cacat Tubuh Oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat (Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang Terletak d"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang

Terletak di Medan)

TESIS

OLEH

RINI MIRZA

087011100/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISA YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN REHABILITASI

ANAK CACAT TUBUH OLEH KEMENTERIAN SOSIAL

REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT

(Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang

Terletak di Medan)

TESIS

Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan

OLEH

RINI MIRZA

087011100/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : ANALISA YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN REHABILITASI ANAK CACAT TUBUH OLEH KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT (Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang Terletak di Medan)

Nama Mahasiswa : RINI MIRZA

Nomor Pokok : 087011100

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

(Chairani Bustami, SH, SpN, MKn)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 10 Mei 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Hasballah Thaib, MA, PhD

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

(5)

ABSTRAK

Anak merupakan salah satu amanah sekaligus karunia Tuhan yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesetaraan dalam kehidupan. Khususnya anak penyandang cacat tubuh, berpedoman kepada Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Pemerintah membentuk Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara sebagai salah satu unit pelaksana teknis yang menyelenggarakan program rehabilitasi terhadap para penyandang cacat tubuh potensial. Dalam pelaksanakan perekrutan peserta program rehabilitasi, panti membuat suatu perjanjian dalam bentuk formulir perjanjian baku berupa pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali kepada panti yang berisikan klausula “Tidak akan menuntut apapun jika anak kami mendapatkan halangan (melarikan diri, sakit yang keras, kecelakaan dan atau meninggal dunia) selama mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara”. Dengan adanya klausula eksonerasi ini bagaimana perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu penelitian yang berbasis pada hukum peraturan perundangan, kemudian mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika peraturan perundangan itu bekerja di dalam masyarakat.

Rehabilitasi diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dengan memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang cacat tubuh agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya sesuai dengan bakat, kemampuan dan pengalaman untuk berintegrasi melalui komunikasi dan interaksi dalam hidup bermasyarakat secara wajar. Pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dilakukan dengan sebuah format perjanjian baku dibawah tangan yang dibuat oleh Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dalam bentuk formulir pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali kepada Panti yang di dalamnya terdapat klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi ini membatasi atau membebaskan tanggung jawab panti terhadap anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi. Sehingga berlawanan antara program pemerintah yang ingin memberikan perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh dengan melaksanakan program rehabilitasi namun tanggung jawab terhadap perlindungan anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi penyandang cacat tubuh tidaklah jelas. Perlindungan terhadap anak penyandang cacat tubuh sebaiknya tidak hanya melalui program rehabilitasi sosial saja, namun perlindungan di segala hal. Hendaknya Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara membuat format perjanjian dalam perekrutan peserta rehabilitasi sosial yang isinya lebih spesifik, seimbang, terperinci dan jelas. Perjanjian harus jelas mengenai hak dan tanggung jawab para pihak dan sebaiknya dibuat berupa perjanjian secara notariel.

(6)

ABSTRACT

Child is one of the trusteeships as well as blessing from God that we must take care of because the child has a dignity, value and the rights to get legal protectionand is equal life with others. Especially for the children with physical defect, the government, based on law No.4/1997 on Handicapped Persons, established Panti Soaial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara as one of the technical implementation units that runs a rehabilitation program for the potential handicapeed persons. In the implementation of recruitment of the participants for the rehabilitation program, the Panti makes a standart written agreement in the form of statement of the parents/guardians of the handicapped children stating in clause that they will not claim for anything if something happens to their children stating in a clause that they will not claim for anything if something happens to their children (escaping from the Panti, developing serious illness, getting accident and/or passing away) during their period of participation in the rehabilitation program in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. With this exoneration clause, the research question is “how legal protection is given to the handicapped children during their participation in the rehabilitation program in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara”

This is analytical descriptive study with empirical juridical approach. Based on the regulations of legislation, this study was employed to observe the existing action and reaction related to the application of this regulation of legislation in the society.

Rehabilitation is done by government and/or community members by reactivating and developing either the physical, mental or social capatabilities of the handicapped persons in order to be able to implement their social function in line with their talent, ability and experience to intergrate through communication and interaction and proper ife in their community. The implementation of rehabilitation agreement for handicapped children in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara was done through a standart agreement format made underhanded by Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatra Utara in the form of a form stating the readiness of parents/guardians of the children to accept what they have written in the exoneration clause. This exoneration clause limits or exonerates the Panti’s responbility for the handicapped children participating in the rehabilitation program. This is against the program of government which wants to provide legal protection to the handicapped children by implementing the rehabilitation program, but the responsibility to protect the handicapped children during their participating in the rehabilitation program is not clear. Legal protection for the handicapped children should not only through the social rehabilitation program but also in any problem the handicapped children may have. The management of Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara is suggested to make the format of agreement which is more specific, balanced, detailed and clear in recruiting the participants for the social rehabilitation program. The agreement must clearly state the rights and responsibilities of the parties involved and it would be much better if the agreement is madebefore and with a notary.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil alamin Penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, yang

senantiasa telah memberikan nikmat dan petunjuknya kepada penulis, hingga

akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ANALISA YURIDIS

TERHADAP PERJANJIAN REHABILITASI ANAK CACAT TUBUH OLEH

KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG

CACAT (Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang

Terletak Di Medan)”

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk

memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn), pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara. Penulisan tesis ini tidak akan mungkin selesai tanpa adanya arahan,

bimbingan, bantuan maupun dukungan dari berbagai pihak, sehingga akhirnya tesis

ini dapat diselesaikan.

Untuk itu pada kesempatan ini penulis sampaikan penghargaan dan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: Bapak Prof. Hasballah Thaib,

MA, Phd, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Chairani

Bustami, SH, SpN, MKn, atas kesediaan Bapak dan Ibu dalam memberikan

bimbingan, arahan sampai selesainya penulisan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Dr. T. Keizerina

Devi Azwar, SH, CN, M.Hum dan Ibu Dr. Idha Aprilliana, SH, M.Hum selaku dosen

penguji yang telah sangat banyak memberikan masukan, petunjuk dan arahan yang

sangat berguna dalam menyempurnakan tesis ini, sejak tahap seminar proposal

sampai selesainya penulisan tesis ini.

(8)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K)., selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara, atas fasilitas yang diberikan kepada kami

untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua, Sekretaris dan Staf Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, yaitu kepada:

a. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

b. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris

Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

c. Seluruh Staf Biro Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

4. Bapak dan Ibu Guru besar serta Staf Pengajar pada Program Studi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis.

5. Seluruh teman-teman di MKn khususnya Kelas B angkatan 2008 atas bantuan

dan perhatiaannya.

6. Seluruh staff, kelayan dan orang tua kelayan yang telah memberikan keterangan

dan informasi selama penulis melakukan penelitian di Panti Sosial Bina Daksa

(9)

Dalam kesempatan ini khusus penulis mengungkapkan rasa kasih sayang dan

kasih tulus kepada orang tua tercinta Ayahanda Drs. H. Mukhtaruddin Zam-Zam

M.Kes dan Ibunda Hj. Farida Hanum Tanjung yang penuh kasih sayang telah

memberi motivasi serta doa dan juga kepada kakanda Rina Mirza, S.Pdi, S.Psi beserta

Suami Rudi Hadiansyah Putra, S.Si dan juga Keponakan tersayang Malika Fayanna

Maiza Hadiansyah.

Terakhir kepada suamiku tercinta Rifai Damanik, SH dan juga anandaku

tercinta Syifa Azkassya Faizi Damanik yang telah memberikan banyak semangat,

kesempatan dan kasih sayang selama menyelesaikan pendidikan.

Akhirnya atas segala bantuan semua pihak, semoga mendapat balasan dari

Allah SWT. Besar harapan penulis, tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita

semua. Amin.

Medan, Mei 2011 Penulis

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Rini Mirza

Tempat/tanggal lahir : Medan, 23 Oktober 1985

Alamat : Jl. Balam Nomor 57 B, Medan

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

II. Nama Orang tua

Ayah : Drs. H. Mukhtaruddin Zam Zam M.kes

Ibu : Hj. Farida Hanum Tanjung

III. Keluarga

Suami : Rifai Damanik, SH

Anak : Syifa Azkassya Faizi Damanik

IV. Pendidikan

SD : SD IKAL (Ikatan Keluarga Logistik) Medan.

SLTP : SLTP Sultan Iskandar Muda Medan.

SLTA : SMU Negeri 15 Medan.

Strata I : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(11)

DAFTAR ISI

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP REHABILITASI ANAK PENYANDANG CACAT TUBUH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT ... 29

A. Pengaturan Hukum Terhadap Anak dan Penyandang Cacat Tubuh 29 1. Pengertian Anak dan Penyandang Cacat Tubuh ... 29

a. Pengertian Anak ... 29

b. Pengertian Penyandang Cacat Tubuh... 30

2. Hak Anak dan Penyandang Cacat ... 40

a. Hak Anak ... 40

b. Hak Penyandang Cacat ... 43

B. Pengertian Umum Rehabilitasi Anak Penyandang Cacat ... 51

1. Defenisi Rehabilitasi ... 51

2. Jenis Rehabilitasi ... 53

a. Rehabilitasi Medik ... 53

(12)

c. Rehabilitasi Pelatihan ... 56

d. Rehabilitasi Sosial ... 57

3. Tujuan Rehabilitasi ... 59

4. Prinsip Dasar Kegiatan Rehabilitasi ... 60

BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN REHABILITASI ANAK PENYANDANG CACAT TUBUH DI PANTI SOSIAL BINA DAKSA “BAHAGIA” SUMATERA UTARA ... 69

A. Tinjauan Umum Lokasi Penelitian ... 69

B. Ketentuan Umum Perjanjian ... 80

1. Pengertian Perjanjian ... 80

2. Bentuk Bentuk Perjanjian ……..……….... 82

3. Syarat Sahnya Perjanjian ... 90

4. Asas-Asas Perjanjian ... 101

5. Unsur-Unsur Dari Perjanjian ... 109

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP REHABILITASI ANAK PENYANDANG CACAT TUBUH DI PANTI SOSIAL BINA DAKSA “BAHAGIA” SUMATERA DIKAITKAN DENGAN ADANYA PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN ... 113

A. Landasan Hukum Perlindungan Anak Penyandang Cacat ...113

B. Perjanjian di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara .122 1. Klausula Baku Dalam Perjanjian ... 122

2. Pencantuman Klausula Eksonerasi didalam Perjanjian...127

C. Hambatan dan Upaya Perlindungan Hukum Anak Penyandang Cacat Tubuh Dalam Kaitannya Dengan Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian ... 139

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 141

A. Kesimpulan ... 141

B. Saran ... 143

DAFTAR PUSTAKA ... 145

(13)

ABSTRAK

Anak merupakan salah satu amanah sekaligus karunia Tuhan yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesetaraan dalam kehidupan. Khususnya anak penyandang cacat tubuh, berpedoman kepada Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Pemerintah membentuk Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara sebagai salah satu unit pelaksana teknis yang menyelenggarakan program rehabilitasi terhadap para penyandang cacat tubuh potensial. Dalam pelaksanakan perekrutan peserta program rehabilitasi, panti membuat suatu perjanjian dalam bentuk formulir perjanjian baku berupa pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali kepada panti yang berisikan klausula “Tidak akan menuntut apapun jika anak kami mendapatkan halangan (melarikan diri, sakit yang keras, kecelakaan dan atau meninggal dunia) selama mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara”. Dengan adanya klausula eksonerasi ini bagaimana perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu penelitian yang berbasis pada hukum peraturan perundangan, kemudian mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika peraturan perundangan itu bekerja di dalam masyarakat.

Rehabilitasi diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dengan memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang cacat tubuh agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya sesuai dengan bakat, kemampuan dan pengalaman untuk berintegrasi melalui komunikasi dan interaksi dalam hidup bermasyarakat secara wajar. Pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dilakukan dengan sebuah format perjanjian baku dibawah tangan yang dibuat oleh Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dalam bentuk formulir pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali kepada Panti yang di dalamnya terdapat klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi ini membatasi atau membebaskan tanggung jawab panti terhadap anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi. Sehingga berlawanan antara program pemerintah yang ingin memberikan perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh dengan melaksanakan program rehabilitasi namun tanggung jawab terhadap perlindungan anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi penyandang cacat tubuh tidaklah jelas. Perlindungan terhadap anak penyandang cacat tubuh sebaiknya tidak hanya melalui program rehabilitasi sosial saja, namun perlindungan di segala hal. Hendaknya Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara membuat format perjanjian dalam perekrutan peserta rehabilitasi sosial yang isinya lebih spesifik, seimbang, terperinci dan jelas. Perjanjian harus jelas mengenai hak dan tanggung jawab para pihak dan sebaiknya dibuat berupa perjanjian secara notariel.

(14)

ABSTRACT

Child is one of the trusteeships as well as blessing from God that we must take care of because the child has a dignity, value and the rights to get legal protectionand is equal life with others. Especially for the children with physical defect, the government, based on law No.4/1997 on Handicapped Persons, established Panti Soaial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara as one of the technical implementation units that runs a rehabilitation program for the potential handicapeed persons. In the implementation of recruitment of the participants for the rehabilitation program, the Panti makes a standart written agreement in the form of statement of the parents/guardians of the handicapped children stating in clause that they will not claim for anything if something happens to their children stating in a clause that they will not claim for anything if something happens to their children (escaping from the Panti, developing serious illness, getting accident and/or passing away) during their period of participation in the rehabilitation program in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. With this exoneration clause, the research question is “how legal protection is given to the handicapped children during their participation in the rehabilitation program in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara”

This is analytical descriptive study with empirical juridical approach. Based on the regulations of legislation, this study was employed to observe the existing action and reaction related to the application of this regulation of legislation in the society.

Rehabilitation is done by government and/or community members by reactivating and developing either the physical, mental or social capatabilities of the handicapped persons in order to be able to implement their social function in line with their talent, ability and experience to intergrate through communication and interaction and proper ife in their community. The implementation of rehabilitation agreement for handicapped children in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara was done through a standart agreement format made underhanded by Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatra Utara in the form of a form stating the readiness of parents/guardians of the children to accept what they have written in the exoneration clause. This exoneration clause limits or exonerates the Panti’s responbility for the handicapped children participating in the rehabilitation program. This is against the program of government which wants to provide legal protection to the handicapped children by implementing the rehabilitation program, but the responsibility to protect the handicapped children during their participating in the rehabilitation program is not clear. Legal protection for the handicapped children should not only through the social rehabilitation program but also in any problem the handicapped children may have. The management of Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara is suggested to make the format of agreement which is more specific, balanced, detailed and clear in recruiting the participants for the social rehabilitation program. The agreement must clearly state the rights and responsibilities of the parties involved and it would be much better if the agreement is madebefore and with a notary.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah amanah sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa sehingga

harus senantiasa kita jaga, karena dalam diri anak melekat harkat, martabat dan

hak-hak dasar sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak merupakan cikal bakal

sumber daya manusia dari suatu bangsa dan merupakan unsur utama dalam proses

pembangunan.1 Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan dalam

upaya mencapai sasaran pembangunan, dimana hal tersebut berkaitan erat dengan

potensi anak sebagai generasi penerus cita-cita bangsa. Setiap anak memiliki hak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi serta hak untuk

memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.

Kedudukan anak diatur dalam UUD 1945 pada Pasal 34 ayat (1), yang

menyatakan sebagai berikut: ”Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh

Negara.” Irma Setyowati Soemitro menjelaskan pengertian anak menurut UUD 1945

adalah sebagai berikut:

“Ketentuan UUD 1945 ditegaskan pengaturannya dengan dikeluarkan UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang berarti makna anak yaitu seorang anak harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara lahiriah, jasmaniah, maupun sosial. Atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial.”2

1

Penjelasan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

2

(16)

Hak anak juga merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak, yaitu termuat di dalam

Deklarasi Hak Asasi Anak (Declaration on the Rights of the Child 1989) yang telah

diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Hak-Hak

Anak. Peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaan

perlindungan terhadap hak-hak anak dan dukungan kepada kelembagaan merupakan

suatu hal yang sangat di perlukan dalam mendukung pelaksanaan perlindungan hak

anak, seperti yang tertuang di dalam Pasal 1 butir (2) Undang Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan: “Perlindungan anak adalah

segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat

hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat

dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari tindakan kekerasan dan

diskriminasi.”

Arif Gosita juga memberikan pengertian perlindungan anak sebagai berikut:

1. Suatu usaha individu atau kelompok untuk melindungi anak dalam melaksanakan haknya dan kewajibannya secara manusiawi positif;

2. Suatu hasil interaksi pihak-pihak tertentu, akibat adanya suatu interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi untuk memahami dan menghayati hakikat perlindungan anak maka harus dipelajari pihak-pihak yang terlibat pada adanya (eksistensi) perlindungan anak tersebut;

3. Suatu tindakan individu yang dipengaruhi oleh unsur-unsur struktur sosial tertentu masyarakat tertentu, seperti: kepentingan (yang dapat menjadi motivasi individu bertindak), lembaga-lembaga sosial, nilai-nilai sosial, norma, status, peran dan sebagainya;

(17)

5. Perlindungan anak adalah suatu usaha bersama setiap anggota masyarakat. Setiap anggota masyarakat adalah partisipan dalam mengusahakan perlindungan anak sesuai dengan kemampuan masing-masing. Selain itu dalam pelaksanaannya harus didasarkan pada musyawarah antar yang bersangkutan, yaitu: objek dan subjek perlindungan. Harus diutamakan perspektif kepentingan yang diatur daripada perspektif kepentingan mengatur;

6. Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti mengabaikan pemantapan pembangunan nasional akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan nasional yang dapat menganggu pembangunan dan kesejahteraan sosial rakyat;

7. Perlindungan anak merupakan suatu tolak ukur peradapan masyarakat tertentu yang bersangkutan;

8. Perlindungan anak adalah suatu usaha memberdayakan anak dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan dan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkaitan dengan hukum publik maupun privat.3

Barda Nawawi Arief seperti yang dikutip oleh Aminah Aziz memberikan

istilah perlindungan hukum anak kepada perlindungan anak yang diartikannya

sebagai upaya (fundamental rights and freedom of children) serta berbagai

kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.4

Anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial

dan ekonomi merupakan kenyataan yang masih banyak terjadi di masyarakat

Indonesia, sehingga diperlukan pelayanan secara khusus, seperti yang tercantum

dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yakni:

1. Anak-anak yang tidak mampu adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya baik secara rohani, jasmani maupun sosial dengan wajar;

2. Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial;

3

Arif Gosita, dkk, Persyaratan Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Perlindungan Anak yang Baik, Lembaga Advokasi Anak Indonesia, Medan, 2001, hal. 69.

4

(18)

3. Anak-anak yang mengalami masalah kelakuan adalah anak yang menunjukkan tingkah laku menyimpang dari norma-norma masyarakat;

4. Anak-anak yang cacat rohani dan/atau jasmani adalah anak yang mengalami hambatan rohani dan/atau jasmani sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

Anak penyandang cacat jasmani merupakan anak yang memiliki kelainan fisik

di dalam tubuhnya sehingga dapat mengganggu tumbuh kembangnya secara optimal

serta memberikan rintangan dan hambatan bagi dirinya sendiri untuk melakukan

kegiatan secara layak seperti anak pada umumnya. Kelainan fisik tersebut pada

hakikatnya bukan berarti membuat anak penyandang cacat tubuh tersebut kehilangan

hak dan peluang untuk hidup sejajar dengan orang lain, sebab mereka juga memiliki

potensi yang dapat dikembangkan secara maksimal. Pelayanan khusus dari

pemerintah sangat dibutuhkan anak penyandang cacat tubuh seperti program

rehabilitasi, yaitu suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk

memungkinkan anak penyandang cacat tubuh mampu melaksanakan fungsi sosialnya

secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat.5 Dengan demikian anak penyandang

cacat tubuh harus mendapatkan perlindungan hukum dan kesetaraan kehidupan

seperti yang tertuang dalam Pasal 51 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak yang menyatakan sebagai berikut: “Anak yang menyandang cacat

fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk

memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.” Anak penyandang cacat

tubuh juga merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai

5

(19)

kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat Indonesia

lainnya. Kesamaan kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang cacat dapat

dengan mudah terwujud jika ada sarana, prasarana dan upaya yang memadai, terpadu

dan berkesinambungan sehingga pada akhirnya akan menciptakan kemandirian dan

kesejahteraan penyandang cacat tubuh itu sendiri.6

Penyelenggaraan pelayanan dan rehabilitasi sosial serta perlindungan secara

khusus kepada anak penyandang cacat tubuh merupakan tanggung jawab bersama

antara pemerintah dan juga masyarakat.7 Kementerian Sosial selaku pemerintah yang

terkait untuk mengemban amanat dalam memberikan perlindungan khusus kepada

anak penyandang cacat tubuh, harus menjamin hak anak penyandang cacat tersebut

untuk menerima pendidikan, pelatihan, pelayanan kesehatan, pelayanan pemulihan

fisik dan mental maupun persiapan untuk lapangan pekerjaan yang layak nantinya

dengan memberikan keterampilan dan kemampuan lain yang menunjang serta

membantu anak dalam mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan

pengembangan individu, termasuk pengembangan budaya dan rohaninya sesuai yang

di amanatkan dalam konvensi hak anak.8

Kementerian Sosial secara berkelanjutan juga melakukan pembangunan

dibidang kesejahteraan sosial, termasuk didalamnya upaya untuk memberikan

pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak penyandang cacat tubuh yang merupakan

6

Kementerian Sosial, Standarisasi Pelayanan Minimal Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Dalam Panti, Direktorat Bina Pelayanan dan Rehabilitas Sosial Penyandang Cacat, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI, Jakarta, 2004, hal. 1.

7Ibid. 8

(20)

bagian integral dari pembangunan nasional agar seluruh lapisan masyarakat dapat

terjangkau oleh pembangunan. Program pembangunan kesejahteraan sosial bagi

pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan sosial bagi anak penyandang cacat

dilaksanakan berpedoman kepada Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang

Penyandang Cacat.9 Perundang-undangan tersebut menjelaskan bahwa setiap anak

penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan untuk mendapatkan pemeliharaan

kesejahteraan sosial melalui sistem jaminan sosial nasional dengan menerima

pemberian bantuan/stimulant agar terpenuhi segala aspek kehidupan dan

penghidupannya.

Pasal 7 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat juga

menyebutkan bahwa: “Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta setiap penyandang

cacat juga mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan pada

satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan derajat kecacatan dan

kemampuannya.” Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa selain memiliki hak atas

persamaan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan, penyandang cacat juga

memiliki kewajiban yang sama baik di kehidupan bermasyarakat, bangsa dan

bernegara.

Pelayanan rehabilitasi melalui sistem panti adalah merupakan suatu jenis

pelayanan yang dinilai cukup efektif agar terbinanya anak penyandang cacat tubuh

9

(21)

sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam tatanan penghidupan di

masyarakat. Panti yang berada di bawah struktural Kementerian Sosial salah satunya

adalah Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, selanjutnya panti tersebut

akan menjadi tempat dilakukannya penelitian. Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia”

Sumatera Utara merupakan unit pelayanan terpadu bagi penyandang cacat tubuh

melalui program rehabilitasi yang dilaksanakan dengan bentuk pengasramaan selama

1 (satu) tahun dan seluruh biaya dibebankan kepada anggaran APBN, kecuali biaya

uang saku/uang harian adalah tanggung jawab orang tua/wali.10 Panti Sosial Bina

Daksa “Bahagia” Sumatera Utara tersebut dibentuk oleh Kementerian Sosial

Republik Indonesia dengan tujuan untuk membantu pemulihan kondisi fisik, psikis,

mental dan sosial, serta pemberian keterampilan praktis kepada penyandang cacat

tubuh, sehingga mereka bisa dan berkemampuan untuk melaksanakan fungsi

sosialnya secara wajar dan baik di masyarakat, juga diharapkan agar penyandang

cacat tubuh tersebut memiliki kualitas hidup yang baik, sejahtera dan juga mandiri.

Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dalam melaksanakan

tugas dan fungsinya untuk merekrut peserta program rehabilitasi terlebih dahulu

memberikan format pengisian keterangan anak penyandang cacat dalam bentuk

formulir yang diisi dan ditandatangani oleh orang tua/wali serta anak penyandang

cacat tubuh itu sendiri. Formulir ini berisi kondisi sosial, catatan lengkap mengenai

kondisi kecacataan, pemeriksaan kesehatan untuk rehabilitasi dan lain sebagainya,

10

(22)

termasuk di dalamnya formulir surat pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali

yang berisikan pernyataan tidak akan menuntut apa pun kepada pihak panti dalam hal

ini Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara jika peserta program

rehabilitasi mendapatkan halangan seperti sakit yang serius karena kelalaian sendiri,

melarikan diri, kecelakaan ataupun meninggal dunia ketika anak tersebut sedang

mengikuti proses program rehabilitasi, yang juga di tandatangani oleh lurah/Kepala

Desa tempat anak bermukim sebagai pihak yang mengetahui atau saksi (terdapat

dalam Form 4, LIHAT LAMPIRAN). Formulir ini tertuang dalam bentuk perjanjian

baku yang di buat secara sepihak oleh Kementerian Sosial dan pihak panti.

Berdasarkan hasil wawancara terjadi kedubiusan mengenai siapa yang menerbitkan

format formulir ini, ada pihak yang mengatakan formulir ini di buat oleh pusat dalam

hal ini Kementerian Sosial Republik Indonesia11. Kemudian pada tahap wawancara

selanjutnya ada pihak panti yang lainnya mengatakan formulir ini di buat oleh panti

dalam hal ini Sub Bagian Program dan Advokasi.12

Formulir pernyataan merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum

mengikuti program rehabilitasi yang terdapat didalam Form 4 tersebut merupakan

salah satu bentuk perjanjian baku. Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir

seluruh klausul-klasulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada

11

Wawancara dengan H.B, Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 10 Januari 2011.

12

(23)

dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.

Jadi yang dibakukan adalah klausul-klausulnya dan bukan formulir perjanjiannya.13

Ketentuan yang terkesan memberatkan pihak orang tua/wali dalam perjanjian

baku tersebut adalah adanya pencantuman klausula berupa syarat yang membatasi

atau bahkan meniadakan tanggung jawab sepihak, yaitu pihak pembuat perjanjian

(dalam hal ini Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara). Pencantuman

klausula demikian yang membatasi, mengecualikan atau bahkan meniadakan

tanggung jawab pihak panti tersebut menyebabkan perjanjian baku terkesan sebagai

perjanjian yang tidak adil dan tidak seimbang antara para pihak. Pemakaian klausula

pada sebuah perjanjian yang memberatkan salah satu pihak merupakan hal yang

sering terjadi. Klausula ini disebut klausula eksonerasi atau istilah lainnya yaitu

klausula eksemsi, klausula ini biasa dibuat oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat

terhadap pihak yang kedudukannya lebih lemah dalam sebuah perjanjian. Klausula ini

dapat terjadi atas kehendak salah satu pihak yang dituangkan dalam perjanjian secara

individual atau secara massal.14 Klausula eksonerasi umumnya dibuat dengan tujuan

agar satu pihak dapat melepaskan tanggung jawabnya terhadap pihak lainnya, dengan

kata lain agar ia dapat menghindari kewajiban yang mungkin timbul dikemudian hari.

Perjanjian pada dasarnya dibuat atas kesepakatan bebas antara dua belah pihak

yang cakap untuk bertindak demi hukum agar melaksanakan suatu prestasi yang tidak

13

Sutan Reny Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Bank Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 66.

14

(24)

bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat luas, namun

adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak

seimbang sehingga pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu

menguntungkan” bagi salah satu pihak.15

Perjanjian yang dibuat Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara

dalam bentuk sebuah formulir pernyataan kesanggupan orang tua, yang

ditandatangani pada saat pihak panti akan merehabilitasi anaknya untuk tidak

menuntut apa pun kepada pihak panti tentunya bertentangan dengan asas

keseimbangan dalam perjanjian berkontrak, sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.

Perjanjian ini memberikan pembatasan salah satu pihak dari tanggung jawab hukum

jika terjadi hal-hal diluar kehendak, sehingga terkesan menguntungkan pihak panti

dalam hal ini Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dan dapat

menimbulkan kerugian kepada pihak orang tua/wali. Pihak orang tua/wali tentunya

akan merasa dirugikan, apabila terjadi masalah yang timbul diluar kemampuan dan

kekuasaan dari pihaknya dan sangat merugikan, karena ternyata anaknya memiliki

kedudukan dan perlindungan hukum yang sangat lemah selama mengikuti program

rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.

Orang tua/wali pada satu sisi juga memerlukan fasilitas rehabilitasi untuk

anaknya selaku penyandang cacat tubuh, kebutuhan inilah yang akhirnya membuat

orang tua/wali menyetujui dan selanjutnya menandatangani surat perjanjian/formulir

15

(25)

P4 tersebut. Orang tua/wali dan terutama sekali anak penyandang cacat tubuh yang

berada di dalam panti seharusnya mendapatkan perlindungan, keadilan dan kepastian

hukum dari pemerintah bukan sebaliknya. Sangatlah kontradiktif ketika melihat pada

penjabaran sebelumnya, jika di kaitkan dengan peraturan yang ada, karena terkesan

pemerintah tidak memiliki tanggung jawab secara hukum dalam bentuk perjanjian

yang tertulis akan keamanan dan keselamatan diri anak penyandang cacat tubuh

selama mengikuti program rehabilitasi. Oleh sebab itu maka perlu dicari kepastian

dan perlindungan hukumnya ketika di kaitkan dengan adanya perjanjian baku yang

mencantumkan syarat eksonerasi tersebut karena pada prinsipnya anak penyandang

cacat tubuh sangat memerlukan suatu upaya perlindungan dengan memperlakukannya

secara manusiawi sesuai dengan harkat, martabat dan hak anak yang diberikan untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus yang dimiliki serta memperoleh perlakuan

yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin

dalam pengembangan individu.16

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, rumusan masalah

yang menjadi dasar pembahasan dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap rehabilitasi anak penyandang cacat

tubuh ditinjau dari Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang

Cacat?

16

(26)

2. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh

di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara?

3. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh di

Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dikaitkan dengan adanya

pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan atau mengetahui jawaban dari

rumusan masalah yang telah diajukan, sehingga penjelasan terhadap rumusan

masalah tersebut dapat diberikan. Mengacu pada judul dan rumusan masalah yang

telah diuraikan, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari

penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang rehabilitasi anak penyandang cacat

tubuh ditinjau dari Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang

Cacat.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat

tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh di

Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dikaitkan dengan adanya

pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian.

D. Manfaat Penelitian

(27)

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah referensi atau khasanah kepustakaan di bidang

ilmu pengetahuan dan pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perjanjian

dan hukum perlindungan anak penyandang cacat tubuh serta hasil penelitian ini

juga dapat digunakan sebagai referensi tambahan bagi penelitian yang akan

datang apabila sama bidang penelitiannya.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran mengenai

perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh di lingkungan Kementerian

Sosial Republik Indonesia khususnya di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia”

Sumatera Utara dan diharapkan memberi masukan bagi penyempurnaan dalam

pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh yang

berdampak terhadap perlindungan hukumnya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas

Sumatera Utara, penelitian dengan judul: “ANALISA YURIDIS TERHADAP

PERJANJIAN REHABILITASI ANAK CACAT TUBUH OLEH

KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI

UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG

CACAT (Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang

(28)

dinyatakan asli. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan

kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama.

Bahwa tercatat pernah diteliti yang hampir sama dengan judul penelitian tesis

ini ada satu, yakni penelitian dengan judul “PERWALIAN ANAK PANTI

ASUHAN SETELAH DIUNDANGKANNYA UNDANG UNDANG NOMOR 23

TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus Di Panti

Asuhan Islam), diteliti oleh Yunita Hasibuan/MKn Universitas Sumatera Utara.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi dasar

perbandingan, pegangan teoritis.17 Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin

yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa

Yunani, secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dalam banyak

literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir

yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), juga simbolis.18

Menurut Shorte Oxford Dictionary, teori mempunyai beberapa definisi yang

salah satunya lebih tepat ditujukan sebagai disiplin akademik, yaitu “Suatu skema

atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan atau

keterangan dari sekelompok fakta atau fenomena” dan “Suatu pernyataan tentang

17

M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

18

(29)

sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang

diketahui atau diamati.”19

Menurut Neuman: “Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai

abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan

dan mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia dan bagaimana dunia itu

bekerja.”20

Teori berfungsi sebagai landasan berfikir dengan mengukur sesuatu

berdasarkan variabel yang tersedia. Teori merupakan generalisasi yang dicapai

setelah mengadakan pengujian yang hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta

yang luas.21

Teori digunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala

spesifik atau proses tertentu terjadi.22 Suatu teori harus diuji dengan menghadapkan

pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.23 Fungsi teori dalam

penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta

menjelaskan gejala yang diamati.24 Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan

19

Malcom Waltres, Modern Sociological Theory, sage publications, 1994, hal. 2, dalam H. R Otje Salman dan Anton F. Susanto.

20

W. L. Neuman, Social Research Methods, Allyn dan Bacon, London, 1991, hal. 20 dalam H. R Otje Salman dan Anton F. Susanto.

21

Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 126.

22

J. J. J. M. Wuisman, Asas-Asas Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal.203.

23Ibid

, hal. 16.

24

(30)

cara-cara bagaimana mengorganisasikan dan mengimplementasikan hasil-hasil

penelitian dan menghubungkannya dengan hasil terdahulu.25

Menurut Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustafa Adidjoyo teori diartikan

sebagai ungkapan mengenai hubungan klausula yang logis di antara perubahan

(variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka berpikir

(frame of thingking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul di

dalam bidang tersebut.26

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan untuk

memberikan arahan atau petunjuk gejala yang diamati dan teori keseimbangan untuk

pemecahan permasalahan penelitian sisi substansi setiap sistem hukumnya.

Teori keadilan ini dipelopori oleh Aristoteles, pandangan-pandangannya

tentang keadilan bisa di dapat dalam karyanya yaitu : nicomachean ethics, politics

dan rethoric. Lebih khususnya dalam nicomachean ethics yang sepenuhnya ditujukan

bagi keadilan. Berdasarkan filsafat umum aristoteles mesti dianggap sebagai inti dari

filsafat hukum, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan

keadilan.” Yang sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan

mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun aristoteles membuat pembedaan

penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik

mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa

dipahami tentang kesamaan dan yang dimaksudkan ketika akan mengatakan bahwa

25

Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke II, Rineka, Jakarta, 2003, hal. 23.

26

(31)

semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberikan

setiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan, prestasi dan

sebagainya yang di miliki. Tetapi dari pembedaan ini aristoteles menghadirkan

banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.27

Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” mengatakan bahwa tujuan dari

hukum adalah menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari pada hukum

ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang

dikatakan tidak adil. Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci dan luhur yaitu

dengan memberikan keadilan kepada setiap orang yang berhak menerima serta

memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus, sesuai dengan permasalahan di

sini yaitu keadilan bagi anak dengan kondisi tubuh yang cacat, karena pada dasarnya

anak cacat juga manusia biasa yang berhak mendapatkan perlakuan yang

sebaik-baiknya. Untuk terlaksananya hal tersebut maka teori hukum ini harus membuat apa

yang dinamakan “Algemeene Regel” (peraturan/ketentuan umum) yang mempunyai

sifat sebagai berikut:

a. Adanya paksaan luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan

membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat-alatnya;

b. Sifat Undang-Undang yang berlaku bagi siapa saja.28

Apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan maka akan kerap tidak

sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan pada satu sisi tidak jarang

27

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusa Media, Bandung, 2004, hal. 24.

28

(32)

keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Kemudian apabila dalam

prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan maka keadilan

pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum

lahir dari sesuatu yang konkrit.29

Roscoe Pound menyatakan hukum yang baik adalah hukum yang sesuai

dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.30 Dengan kata lain bahwa hukum

merupakan pencerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pandangan Pound

ini dapat disimpulkan bahwa unsur normatif (ratio) dan empirik (pengalaman) dalam

suatu peraturan hukum harus ada. Kedua hal tersebut adalah sama perlunya, artinya

hukum yang ada pada dasarnya berasal dari gejala-gejala atau nilai-nilai dalam

masyarakat sebagai suatu pengalaman, kemudian dikonkretisasi menjadi

norma-norma hukum melalui tangan-tangan para ahli hukum sebagai hasil kerjanya ratio,

yang seterusnya dilegalisasi atau diberlakukan sebagai hukum oleh Negara.31

Selanjutnya hukum tersebut berfungsi sebagai tatanan yang melindungi kepentingan

bersama sekaligus kepentingan pribadi. Kehidupan dalam tertib hukum akan

membawa manusia pada keadilan dan kesusilaan. Dalam keadilan dan kesusilaan

tersebut, kebebasan masih tetap ada, hanya saja bukan tanpa batas, melainkan dibatasi

oleh kemauan umum. Pound juga menempatkan hukum sebagai inti dari semua

29

Ibid. hal. 25.

30

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, bandung, 2007, hal. 66.

31

(33)

kehidupan sosial yang adil dan bermoral.32 Keadilan disini dikonsepsikan sebagai

hasil-hasil konkrit yang bisa diberikan kepada masyarakat. Dimana hasil yang

diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia tersebut, maka akan

semakin efektif menghidari pembenturan antara manusia.33

Teori yang digunakan selanjutnya adalah teori keseimbangan. Kata

“seimbang” (evenwicht) menunjukkan pada pengertian suatu “keadaan” pembagian

beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. Suatu pengakuan akan

kesetaraan kedudukan individu dengan komunitas dalam kehidupan bersama.34

Herlien Budiono memberikan pengertian tentang tujuan suatu kontrak, yang

diturunkan dari asas laras (harmonis) dalam hukum adat, yakni: “Tujuan dari kontrak

ialah mencapai keseimbangan antara kepentingan sendiri dan kepentingan terkait dari

pihak lawan.”35 Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya menyatakan bahwa

kedudukan satu pihak yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk

memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kedua belah pihak seimbang.36

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah

dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang harus dilaksanakan secara terus

32

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta, 2010,hal. 86-87.

33 Keadilan Dan Kepastian Hukum,

http;//yahya zein.blogspot.com/2008/07/keadilan-dan-kepastian-hukum.html diakses pada tanggal 10 Februari 2011.

34

(34)

menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Khususnya perlindungan terhadap anak

dengan kecacatan tubuh. Dengan segala keterbatasan kemampuan fisiknya, anak

dengan kecacatan tubuh merupakan kelompok masyarakat kurang beruntung dan

membutuhkan perhatian khusus baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat luas.

Anak dengan kecacatan mempunyai hak yang sama dengan anak lainnya, yakni

hak untuk hidup, hak tumbuh kembang, hak untuk mendapatkan perlindungan dan

hak untuk berpartisipasi. Pasal 1 butir (7) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak menyebutkan anak cacat sebagai anak yang mengalami

hambatan fisik dan atau mental sehingga menggangu pertumbuhannya secara wajar.

Dalam pasal yang sama butir (15) juga dijelaskan bahwa anak cacat merupakan

kelompok anak yang memerlukan perlindungan dan perhatian yang khusus, termasuk

pemenuhan kebutuhannya melalui rehabilitasi.

Perjanjian pada hakekatnya adalah dua orang pihak atau lebih berjanji dan

sepakat untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal. Janji ini dalam hukum pada

hakikatnya ditujukan dari satu pihak kepada pihak lainnya. Berhubungan dengan hal

tersebut, dapat dikatakan bahwa sifat pokok dari hukum perjanjian adalah bahwa

hukum ini semula mengatur hubungan hukum antara orang-orang, jadi semula tidak

antara orang dan suatu benda.37

Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yakni:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

37

(35)

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Orang memiliki status sebagai subjek hukum sejak saat ia dilahirkan dalam

keadaan hidup (tidak terlahir dalam keadaan meninggal) dan ada kepentingan yang

mengkehendakinya.38 Adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang

mengadakan perjanjian sehingga telah terjadi persesuaian antara kehendak dan

pernyataan oleh para pihak yang bersangkutan.39 Perjanjian maupun kontrak

mempunyai hubungan dengan perikatan dan perjanjian. Mengenai hubungan

perikatan yaitu perjanjian itu menerbitkan perikatan.40

Asas-asas fundamental yang melingkupi hukum kontrak ialah:

a. Asas konsensualisme;

Bahwa perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka. b. Asas kekuatan mengikat perjanjian (verbindende kracht der overeenkomst);

Bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka buat.

c. Asas kebebasan berkontrak (contractsvrijheid);

Bahwa para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Pihak-pihak juga dapat bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketertiban umum ataupun kesusilaan.41

38

Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarief dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), Gitama Jaya, Jakarta, 2005, hal. 21.

39

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Buku Kesatu), Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 10.

40

Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1980, hal. 10.

41

(36)

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam

penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi

dan realitas.42 Konsep ini diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak dan

digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi

operasional.43 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan

perbedaan, pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang

dipakai.

Konsepsi merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk membuat

karya ilmiah. Konsepsi adalah suatu pengertian mengenai suatu fakta atau dapat

berbentuk batasan atau definisi tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Teori

berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, sedangkan konsepsi masih

merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan

dapat menjadikan suatu teori.44

Penelitian ini dirumuskan dengan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi

sebagai berikut:

1. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Menurut Soedikno Mertokusumo perjanjian merupakan hubungan hukum antara

42

Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survei,LP3ES, Jakarta, 1989, hal. 34.

43

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian,Raja Grafindo, Jakarta, 1998, hal. 3.

44

(37)

dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat

hukum.45

2. Rehabilitasi sosial anak cacat diartikan sebagai proses pemberian pelayanan dan

bantuan, perlindungan, pemeliharaan taraf kesejahteraan dan pemenuhan

kebutuhan khusus anak cacat yang dilakukan dalam bentuk penanganan secara

cepat, tepat dan benar untuk mencapai tingkatan perkembangan yang optimal,

sebagai wujud perlindungan anak untuk memperoleh kehidupan yang layak baik

fisik, mental dan sosial.46

3. Anak penyandang cacat tubuh yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah

anak dengan kecacatan tubuh (tuna daksa) berusia di bawah 18 tahun yang

mengalami hambatan fisik yang mengganggu tumbuh kembangnya secara wajar

sehingga memerlukan pemenuhan kebutuhan, pengembangan dan penanganan

khusus sesuai dengan kondisi dan derajat kecacatannya yang berada di Panti

Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.

4. Cacat tubuh atau tuna daksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai

akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam

fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan

atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.47

45

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1991, hal. 97.

46

Kementerian Sosial RI, Pedoman Deteksi Dini Kecacatan Anak, Departemen Sosial RI Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak, Jakarta, 2006, hal. 3.

47

(38)

5. Anak yang dimaksud dalam penelitian ini menurut Pasal 1 butir 1

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni: ”Anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan.”

6. Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara adalah salah satu unit

pelaksana teknis Kementerian Sosial Republik Indonesia di bawah Direktorat

Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial yang merehabilitasi anak tuna daksa

dengan wilayah pelayanan regional terbatas, meliputi Provinsi Sumatera Utara,

Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat.

G. Metodelogi Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian adalah pencarian atas sesuatu secara sistematis dengan penekanan

bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan.48

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Soerjono Soekamto mengemukakan bahwa

penelitian deskriptif analisis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat

gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,

sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.49

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris, yaitu

suatu metode pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan objek penelitian

48

Mohammad Nazir, Metode Penelitan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 13.

49

(39)

dengan meneliti data sekunder (bahan pustaka) terhadap data primer dilapangan

karena hukum yang pada kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang

hidup dalam masyarakat artinya keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari

keadaan sosial masyarakat serta prilaku masyarakat yang terkait dengan lembaga

hukum tersebut.50

Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan perundangan),

kemudian mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem

norma itu bekerja di dalam masyarakat.51

Melakukan pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji berbagai

aspek hukum baik dari segi ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku. Meneliti atau

menelaahnya dari segi pelaksanaannya, sehingga dapat mengimplementasikan dalam

praktek dilapangan.52

Studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan

yang tertulis atau bahan hukum yang lain.53 Dengan metode pendekatan analitis

(analytical approach) yaitu menganalisa bahan hukum untuk mengetahui makna yang

50

Ibid.

51

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 47.

52

Soerjono Soekamto, Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2006, hal. 14.

53

(40)

terkandung dalam istilah-istilah yang digunakan oleh peraturan perundang-undangan

secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktek.54

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara

yang berlokasi di Jalan Williem Iskandar Nomor 377 Medan.

4. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi

dokumentasi yaitu dengan mempelajari serta menganalisa yang berkaitan dengan

objek penelitian dan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat menjawab

permasalahan penelitian yang kemudian mengambil kesimpulan.

Penelitian yang dilakukan berupa penelitian lapangan (field research) guna

akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan, yang dapat berupa wawancara

langsung dengan anak penyandang cacat tubuh yang mengikuti program rehabilitasi

di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dan juga orang tua/wali anak

penyandang cacat tubuh serta pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera

Utara, yang dalam penelitian ini dipilih sebagai informan dan narasumber.

5. Sumber Data

Pengelompokan data kepustakaan berdasarkan kekuatan mengikat dari isinya,

yakni antara lain:

54

(41)

1. Bahan hukum primer: bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh

pemerintah, contohnya berbagai peraturan perundang-undangan, putusan

pengadilan dan traktat.

2. Bahan hukum sekunder: bahan-bahan yang isinya membahas bahan primer,

contohnya: buku, artikel, laporan penelitian dan berbagai karya tulis ilmiah

lainnya.

3. Bahan hukum tertier: bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan primer dan

sekunder, contohnya: kamus, buku pegangan, almanak dan sebagainya.55

6. Alat Pengumpulan Data

Adapun alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa:

a. Studi dokumen, yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen tentang perjanjian

rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh. Dokumen ini merupakan sumber

informasi penting yang merupakan dasar dilakukannya penelitian baik dari

ketentuan norma dan perundang-undangan maupun perjanjian yang dibuat oleh

para pihak.

b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide).

Wawancara dilakukan untuk mengokohkan analisis data normatif yang

digunakan.

7. Analisa Data

Semua data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisa secara kualitatif, yaitu

data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan

55

(42)

kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban penelitian.56 Setelah data

diperoleh maka dikelompokkan sesuai dengan kategorinya.

Penelusuran analisa bahan dimulai dari pengaturan hukum terhadap

rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh menurut Undang Undang Penyandang

Cacat, pelaksanaan perjanjian rehabilitasi pada Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia”

Sumatera Utara, serta perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh

yang dikaitkan dengan perjanjian yang dibuat, kemudian dianalisis dengan teori

hukum yang ada serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah itu

ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah dianalisis dan merupakan hasil dari

penelitian.

56

Referensi

Dokumen terkait

Pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik negara/daerah yang berupa rusunawa untuk dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah,

Telkom telah mengalami begitu banyak kemajuan terutama apabila dilihat dari teknologi yang digunakan, yang mana salah satunya adalah MDF. Dimana MDF ini adalah salah satu

(1) Walikota berwenang memberikan izin gangguan kepada setiap orang atau badan yang mendirikan dan/atau memperluas/merubah tempat usaha/kegiatan/jenis usaha di lokasi

Dengan batasan yang telah ditentukan, Alat uji ini akan bekerja sebagai mana mestinya dengan menghasilkan output nilai secara acak/random yang akan ditunjukan dengan beberapa

Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi

Dalam penulisan ilmiah ini,penulis juga menggunakan sumber energi listrik sebagai media utamanya.Prinsip rangkaian ini cukup sederhana.Rangkaian ini akan mengakhiri perlunya

[r]

Pengaruh Pemberdayaan dan kebutuhan untuk berprestasi terhadap Organizational Citizenship Behavior dengan Kebutuhan untuk berprestasi sebagai Variabel Pemoderasi.