(Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang
Terletak di Medan)
TESIS
OLEH
RINI MIRZA
087011100/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISA YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN REHABILITASI
ANAK CACAT TUBUH OLEH KEMENTERIAN SOSIAL
REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG
NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT
(Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang
Terletak di Medan)
TESIS
Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
OLEH
RINI MIRZA
087011100/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : ANALISA YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN REHABILITASI ANAK CACAT TUBUH OLEH KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT (Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang Terletak di Medan)
Nama Mahasiswa : RINI MIRZA
Nomor Pokok : 087011100
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Hasballah Thaib, MA, PhD)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
(Chairani Bustami, SH, SpN, MKn)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Telah diuji
Pada Tanggal : 10 Mei 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Hasballah Thaib, MA, PhD
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn
3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
ABSTRAK
Anak merupakan salah satu amanah sekaligus karunia Tuhan yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesetaraan dalam kehidupan. Khususnya anak penyandang cacat tubuh, berpedoman kepada Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Pemerintah membentuk Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara sebagai salah satu unit pelaksana teknis yang menyelenggarakan program rehabilitasi terhadap para penyandang cacat tubuh potensial. Dalam pelaksanakan perekrutan peserta program rehabilitasi, panti membuat suatu perjanjian dalam bentuk formulir perjanjian baku berupa pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali kepada panti yang berisikan klausula “Tidak akan menuntut apapun jika anak kami mendapatkan halangan (melarikan diri, sakit yang keras, kecelakaan dan atau meninggal dunia) selama mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara”. Dengan adanya klausula eksonerasi ini bagaimana perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu penelitian yang berbasis pada hukum peraturan perundangan, kemudian mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika peraturan perundangan itu bekerja di dalam masyarakat.
Rehabilitasi diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dengan memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang cacat tubuh agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya sesuai dengan bakat, kemampuan dan pengalaman untuk berintegrasi melalui komunikasi dan interaksi dalam hidup bermasyarakat secara wajar. Pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dilakukan dengan sebuah format perjanjian baku dibawah tangan yang dibuat oleh Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dalam bentuk formulir pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali kepada Panti yang di dalamnya terdapat klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi ini membatasi atau membebaskan tanggung jawab panti terhadap anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi. Sehingga berlawanan antara program pemerintah yang ingin memberikan perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh dengan melaksanakan program rehabilitasi namun tanggung jawab terhadap perlindungan anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi penyandang cacat tubuh tidaklah jelas. Perlindungan terhadap anak penyandang cacat tubuh sebaiknya tidak hanya melalui program rehabilitasi sosial saja, namun perlindungan di segala hal. Hendaknya Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara membuat format perjanjian dalam perekrutan peserta rehabilitasi sosial yang isinya lebih spesifik, seimbang, terperinci dan jelas. Perjanjian harus jelas mengenai hak dan tanggung jawab para pihak dan sebaiknya dibuat berupa perjanjian secara notariel.
ABSTRACT
Child is one of the trusteeships as well as blessing from God that we must take care of because the child has a dignity, value and the rights to get legal protectionand is equal life with others. Especially for the children with physical defect, the government, based on law No.4/1997 on Handicapped Persons, established Panti Soaial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara as one of the technical implementation units that runs a rehabilitation program for the potential handicapeed persons. In the implementation of recruitment of the participants for the rehabilitation program, the Panti makes a standart written agreement in the form of statement of the parents/guardians of the handicapped children stating in clause that they will not claim for anything if something happens to their children stating in a clause that they will not claim for anything if something happens to their children (escaping from the Panti, developing serious illness, getting accident and/or passing away) during their period of participation in the rehabilitation program in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. With this exoneration clause, the research question is “how legal protection is given to the handicapped children during their participation in the rehabilitation program in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara”
This is analytical descriptive study with empirical juridical approach. Based on the regulations of legislation, this study was employed to observe the existing action and reaction related to the application of this regulation of legislation in the society.
Rehabilitation is done by government and/or community members by reactivating and developing either the physical, mental or social capatabilities of the handicapped persons in order to be able to implement their social function in line with their talent, ability and experience to intergrate through communication and interaction and proper ife in their community. The implementation of rehabilitation agreement for handicapped children in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara was done through a standart agreement format made underhanded by Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatra Utara in the form of a form stating the readiness of parents/guardians of the children to accept what they have written in the exoneration clause. This exoneration clause limits or exonerates the Panti’s responbility for the handicapped children participating in the rehabilitation program. This is against the program of government which wants to provide legal protection to the handicapped children by implementing the rehabilitation program, but the responsibility to protect the handicapped children during their participating in the rehabilitation program is not clear. Legal protection for the handicapped children should not only through the social rehabilitation program but also in any problem the handicapped children may have. The management of Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara is suggested to make the format of agreement which is more specific, balanced, detailed and clear in recruiting the participants for the social rehabilitation program. The agreement must clearly state the rights and responsibilities of the parties involved and it would be much better if the agreement is madebefore and with a notary.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil alamin Penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, yang
senantiasa telah memberikan nikmat dan petunjuknya kepada penulis, hingga
akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ANALISA YURIDIS
TERHADAP PERJANJIAN REHABILITASI ANAK CACAT TUBUH OLEH
KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG
CACAT (Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang
Terletak Di Medan)”
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk
memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn), pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara. Penulisan tesis ini tidak akan mungkin selesai tanpa adanya arahan,
bimbingan, bantuan maupun dukungan dari berbagai pihak, sehingga akhirnya tesis
ini dapat diselesaikan.
Untuk itu pada kesempatan ini penulis sampaikan penghargaan dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: Bapak Prof. Hasballah Thaib,
MA, Phd, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Chairani
Bustami, SH, SpN, MKn, atas kesediaan Bapak dan Ibu dalam memberikan
bimbingan, arahan sampai selesainya penulisan tesis ini.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Dr. T. Keizerina
Devi Azwar, SH, CN, M.Hum dan Ibu Dr. Idha Aprilliana, SH, M.Hum selaku dosen
penguji yang telah sangat banyak memberikan masukan, petunjuk dan arahan yang
sangat berguna dalam menyempurnakan tesis ini, sejak tahap seminar proposal
sampai selesainya penulisan tesis ini.
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K)., selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara, atas fasilitas yang diberikan kepada kami
untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua, Sekretaris dan Staf Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, yaitu kepada:
a. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
b. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris
Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
c. Seluruh Staf Biro Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
4. Bapak dan Ibu Guru besar serta Staf Pengajar pada Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis.
5. Seluruh teman-teman di MKn khususnya Kelas B angkatan 2008 atas bantuan
dan perhatiaannya.
6. Seluruh staff, kelayan dan orang tua kelayan yang telah memberikan keterangan
dan informasi selama penulis melakukan penelitian di Panti Sosial Bina Daksa
Dalam kesempatan ini khusus penulis mengungkapkan rasa kasih sayang dan
kasih tulus kepada orang tua tercinta Ayahanda Drs. H. Mukhtaruddin Zam-Zam
M.Kes dan Ibunda Hj. Farida Hanum Tanjung yang penuh kasih sayang telah
memberi motivasi serta doa dan juga kepada kakanda Rina Mirza, S.Pdi, S.Psi beserta
Suami Rudi Hadiansyah Putra, S.Si dan juga Keponakan tersayang Malika Fayanna
Maiza Hadiansyah.
Terakhir kepada suamiku tercinta Rifai Damanik, SH dan juga anandaku
tercinta Syifa Azkassya Faizi Damanik yang telah memberikan banyak semangat,
kesempatan dan kasih sayang selama menyelesaikan pendidikan.
Akhirnya atas segala bantuan semua pihak, semoga mendapat balasan dari
Allah SWT. Besar harapan penulis, tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua. Amin.
Medan, Mei 2011 Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
Nama : Rini Mirza
Tempat/tanggal lahir : Medan, 23 Oktober 1985
Alamat : Jl. Balam Nomor 57 B, Medan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
II. Nama Orang tua
Ayah : Drs. H. Mukhtaruddin Zam Zam M.kes
Ibu : Hj. Farida Hanum Tanjung
III. Keluarga
Suami : Rifai Damanik, SH
Anak : Syifa Azkassya Faizi Damanik
IV. Pendidikan
SD : SD IKAL (Ikatan Keluarga Logistik) Medan.
SLTP : SLTP Sultan Iskandar Muda Medan.
SLTA : SMU Negeri 15 Medan.
Strata I : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
DAFTAR ISI
BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP REHABILITASI ANAK PENYANDANG CACAT TUBUH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT ... 29
A. Pengaturan Hukum Terhadap Anak dan Penyandang Cacat Tubuh 29 1. Pengertian Anak dan Penyandang Cacat Tubuh ... 29
a. Pengertian Anak ... 29
b. Pengertian Penyandang Cacat Tubuh... 30
2. Hak Anak dan Penyandang Cacat ... 40
a. Hak Anak ... 40
b. Hak Penyandang Cacat ... 43
B. Pengertian Umum Rehabilitasi Anak Penyandang Cacat ... 51
1. Defenisi Rehabilitasi ... 51
2. Jenis Rehabilitasi ... 53
a. Rehabilitasi Medik ... 53
c. Rehabilitasi Pelatihan ... 56
d. Rehabilitasi Sosial ... 57
3. Tujuan Rehabilitasi ... 59
4. Prinsip Dasar Kegiatan Rehabilitasi ... 60
BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN REHABILITASI ANAK PENYANDANG CACAT TUBUH DI PANTI SOSIAL BINA DAKSA “BAHAGIA” SUMATERA UTARA ... 69
A. Tinjauan Umum Lokasi Penelitian ... 69
B. Ketentuan Umum Perjanjian ... 80
1. Pengertian Perjanjian ... 80
2. Bentuk Bentuk Perjanjian ……..……….... 82
3. Syarat Sahnya Perjanjian ... 90
4. Asas-Asas Perjanjian ... 101
5. Unsur-Unsur Dari Perjanjian ... 109
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP REHABILITASI ANAK PENYANDANG CACAT TUBUH DI PANTI SOSIAL BINA DAKSA “BAHAGIA” SUMATERA DIKAITKAN DENGAN ADANYA PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN ... 113
A. Landasan Hukum Perlindungan Anak Penyandang Cacat ...113
B. Perjanjian di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara .122 1. Klausula Baku Dalam Perjanjian ... 122
2. Pencantuman Klausula Eksonerasi didalam Perjanjian...127
C. Hambatan dan Upaya Perlindungan Hukum Anak Penyandang Cacat Tubuh Dalam Kaitannya Dengan Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian ... 139
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 141
A. Kesimpulan ... 141
B. Saran ... 143
DAFTAR PUSTAKA ... 145
ABSTRAK
Anak merupakan salah satu amanah sekaligus karunia Tuhan yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesetaraan dalam kehidupan. Khususnya anak penyandang cacat tubuh, berpedoman kepada Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Pemerintah membentuk Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara sebagai salah satu unit pelaksana teknis yang menyelenggarakan program rehabilitasi terhadap para penyandang cacat tubuh potensial. Dalam pelaksanakan perekrutan peserta program rehabilitasi, panti membuat suatu perjanjian dalam bentuk formulir perjanjian baku berupa pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali kepada panti yang berisikan klausula “Tidak akan menuntut apapun jika anak kami mendapatkan halangan (melarikan diri, sakit yang keras, kecelakaan dan atau meninggal dunia) selama mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara”. Dengan adanya klausula eksonerasi ini bagaimana perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu penelitian yang berbasis pada hukum peraturan perundangan, kemudian mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika peraturan perundangan itu bekerja di dalam masyarakat.
Rehabilitasi diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dengan memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang cacat tubuh agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya sesuai dengan bakat, kemampuan dan pengalaman untuk berintegrasi melalui komunikasi dan interaksi dalam hidup bermasyarakat secara wajar. Pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dilakukan dengan sebuah format perjanjian baku dibawah tangan yang dibuat oleh Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dalam bentuk formulir pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali kepada Panti yang di dalamnya terdapat klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi ini membatasi atau membebaskan tanggung jawab panti terhadap anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi. Sehingga berlawanan antara program pemerintah yang ingin memberikan perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh dengan melaksanakan program rehabilitasi namun tanggung jawab terhadap perlindungan anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi penyandang cacat tubuh tidaklah jelas. Perlindungan terhadap anak penyandang cacat tubuh sebaiknya tidak hanya melalui program rehabilitasi sosial saja, namun perlindungan di segala hal. Hendaknya Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara membuat format perjanjian dalam perekrutan peserta rehabilitasi sosial yang isinya lebih spesifik, seimbang, terperinci dan jelas. Perjanjian harus jelas mengenai hak dan tanggung jawab para pihak dan sebaiknya dibuat berupa perjanjian secara notariel.
ABSTRACT
Child is one of the trusteeships as well as blessing from God that we must take care of because the child has a dignity, value and the rights to get legal protectionand is equal life with others. Especially for the children with physical defect, the government, based on law No.4/1997 on Handicapped Persons, established Panti Soaial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara as one of the technical implementation units that runs a rehabilitation program for the potential handicapeed persons. In the implementation of recruitment of the participants for the rehabilitation program, the Panti makes a standart written agreement in the form of statement of the parents/guardians of the handicapped children stating in clause that they will not claim for anything if something happens to their children stating in a clause that they will not claim for anything if something happens to their children (escaping from the Panti, developing serious illness, getting accident and/or passing away) during their period of participation in the rehabilitation program in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. With this exoneration clause, the research question is “how legal protection is given to the handicapped children during their participation in the rehabilitation program in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara”
This is analytical descriptive study with empirical juridical approach. Based on the regulations of legislation, this study was employed to observe the existing action and reaction related to the application of this regulation of legislation in the society.
Rehabilitation is done by government and/or community members by reactivating and developing either the physical, mental or social capatabilities of the handicapped persons in order to be able to implement their social function in line with their talent, ability and experience to intergrate through communication and interaction and proper ife in their community. The implementation of rehabilitation agreement for handicapped children in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara was done through a standart agreement format made underhanded by Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatra Utara in the form of a form stating the readiness of parents/guardians of the children to accept what they have written in the exoneration clause. This exoneration clause limits or exonerates the Panti’s responbility for the handicapped children participating in the rehabilitation program. This is against the program of government which wants to provide legal protection to the handicapped children by implementing the rehabilitation program, but the responsibility to protect the handicapped children during their participating in the rehabilitation program is not clear. Legal protection for the handicapped children should not only through the social rehabilitation program but also in any problem the handicapped children may have. The management of Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara is suggested to make the format of agreement which is more specific, balanced, detailed and clear in recruiting the participants for the social rehabilitation program. The agreement must clearly state the rights and responsibilities of the parties involved and it would be much better if the agreement is madebefore and with a notary.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah amanah sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa sehingga
harus senantiasa kita jaga, karena dalam diri anak melekat harkat, martabat dan
hak-hak dasar sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak merupakan cikal bakal
sumber daya manusia dari suatu bangsa dan merupakan unsur utama dalam proses
pembangunan.1 Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan dalam
upaya mencapai sasaran pembangunan, dimana hal tersebut berkaitan erat dengan
potensi anak sebagai generasi penerus cita-cita bangsa. Setiap anak memiliki hak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi serta hak untuk
memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.
Kedudukan anak diatur dalam UUD 1945 pada Pasal 34 ayat (1), yang
menyatakan sebagai berikut: ”Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
Negara.” Irma Setyowati Soemitro menjelaskan pengertian anak menurut UUD 1945
adalah sebagai berikut:
“Ketentuan UUD 1945 ditegaskan pengaturannya dengan dikeluarkan UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang berarti makna anak yaitu seorang anak harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara lahiriah, jasmaniah, maupun sosial. Atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial.”2
1
Penjelasan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
2
Hak anak juga merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak, yaitu termuat di dalam
Deklarasi Hak Asasi Anak (Declaration on the Rights of the Child 1989) yang telah
diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Hak-Hak
Anak. Peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaan
perlindungan terhadap hak-hak anak dan dukungan kepada kelembagaan merupakan
suatu hal yang sangat di perlukan dalam mendukung pelaksanaan perlindungan hak
anak, seperti yang tertuang di dalam Pasal 1 butir (2) Undang Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan: “Perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari tindakan kekerasan dan
diskriminasi.”
Arif Gosita juga memberikan pengertian perlindungan anak sebagai berikut:
1. Suatu usaha individu atau kelompok untuk melindungi anak dalam melaksanakan haknya dan kewajibannya secara manusiawi positif;
2. Suatu hasil interaksi pihak-pihak tertentu, akibat adanya suatu interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi untuk memahami dan menghayati hakikat perlindungan anak maka harus dipelajari pihak-pihak yang terlibat pada adanya (eksistensi) perlindungan anak tersebut;
3. Suatu tindakan individu yang dipengaruhi oleh unsur-unsur struktur sosial tertentu masyarakat tertentu, seperti: kepentingan (yang dapat menjadi motivasi individu bertindak), lembaga-lembaga sosial, nilai-nilai sosial, norma, status, peran dan sebagainya;
5. Perlindungan anak adalah suatu usaha bersama setiap anggota masyarakat. Setiap anggota masyarakat adalah partisipan dalam mengusahakan perlindungan anak sesuai dengan kemampuan masing-masing. Selain itu dalam pelaksanaannya harus didasarkan pada musyawarah antar yang bersangkutan, yaitu: objek dan subjek perlindungan. Harus diutamakan perspektif kepentingan yang diatur daripada perspektif kepentingan mengatur;
6. Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti mengabaikan pemantapan pembangunan nasional akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan nasional yang dapat menganggu pembangunan dan kesejahteraan sosial rakyat;
7. Perlindungan anak merupakan suatu tolak ukur peradapan masyarakat tertentu yang bersangkutan;
8. Perlindungan anak adalah suatu usaha memberdayakan anak dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan dan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkaitan dengan hukum publik maupun privat.3
Barda Nawawi Arief seperti yang dikutip oleh Aminah Aziz memberikan
istilah perlindungan hukum anak kepada perlindungan anak yang diartikannya
sebagai upaya (fundamental rights and freedom of children) serta berbagai
kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.4
Anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial
dan ekonomi merupakan kenyataan yang masih banyak terjadi di masyarakat
Indonesia, sehingga diperlukan pelayanan secara khusus, seperti yang tercantum
dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yakni:
1. Anak-anak yang tidak mampu adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya baik secara rohani, jasmani maupun sosial dengan wajar;
2. Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial;
3
Arif Gosita, dkk, Persyaratan Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Perlindungan Anak yang Baik, Lembaga Advokasi Anak Indonesia, Medan, 2001, hal. 69.
4
3. Anak-anak yang mengalami masalah kelakuan adalah anak yang menunjukkan tingkah laku menyimpang dari norma-norma masyarakat;
4. Anak-anak yang cacat rohani dan/atau jasmani adalah anak yang mengalami hambatan rohani dan/atau jasmani sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
Anak penyandang cacat jasmani merupakan anak yang memiliki kelainan fisik
di dalam tubuhnya sehingga dapat mengganggu tumbuh kembangnya secara optimal
serta memberikan rintangan dan hambatan bagi dirinya sendiri untuk melakukan
kegiatan secara layak seperti anak pada umumnya. Kelainan fisik tersebut pada
hakikatnya bukan berarti membuat anak penyandang cacat tubuh tersebut kehilangan
hak dan peluang untuk hidup sejajar dengan orang lain, sebab mereka juga memiliki
potensi yang dapat dikembangkan secara maksimal. Pelayanan khusus dari
pemerintah sangat dibutuhkan anak penyandang cacat tubuh seperti program
rehabilitasi, yaitu suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk
memungkinkan anak penyandang cacat tubuh mampu melaksanakan fungsi sosialnya
secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat.5 Dengan demikian anak penyandang
cacat tubuh harus mendapatkan perlindungan hukum dan kesetaraan kehidupan
seperti yang tertuang dalam Pasal 51 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang menyatakan sebagai berikut: “Anak yang menyandang cacat
fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk
memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.” Anak penyandang cacat
tubuh juga merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai
5
kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat Indonesia
lainnya. Kesamaan kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang cacat dapat
dengan mudah terwujud jika ada sarana, prasarana dan upaya yang memadai, terpadu
dan berkesinambungan sehingga pada akhirnya akan menciptakan kemandirian dan
kesejahteraan penyandang cacat tubuh itu sendiri.6
Penyelenggaraan pelayanan dan rehabilitasi sosial serta perlindungan secara
khusus kepada anak penyandang cacat tubuh merupakan tanggung jawab bersama
antara pemerintah dan juga masyarakat.7 Kementerian Sosial selaku pemerintah yang
terkait untuk mengemban amanat dalam memberikan perlindungan khusus kepada
anak penyandang cacat tubuh, harus menjamin hak anak penyandang cacat tersebut
untuk menerima pendidikan, pelatihan, pelayanan kesehatan, pelayanan pemulihan
fisik dan mental maupun persiapan untuk lapangan pekerjaan yang layak nantinya
dengan memberikan keterampilan dan kemampuan lain yang menunjang serta
membantu anak dalam mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan
pengembangan individu, termasuk pengembangan budaya dan rohaninya sesuai yang
di amanatkan dalam konvensi hak anak.8
Kementerian Sosial secara berkelanjutan juga melakukan pembangunan
dibidang kesejahteraan sosial, termasuk didalamnya upaya untuk memberikan
pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak penyandang cacat tubuh yang merupakan
6
Kementerian Sosial, Standarisasi Pelayanan Minimal Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Dalam Panti, Direktorat Bina Pelayanan dan Rehabilitas Sosial Penyandang Cacat, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI, Jakarta, 2004, hal. 1.
7Ibid. 8
bagian integral dari pembangunan nasional agar seluruh lapisan masyarakat dapat
terjangkau oleh pembangunan. Program pembangunan kesejahteraan sosial bagi
pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan sosial bagi anak penyandang cacat
dilaksanakan berpedoman kepada Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat.9 Perundang-undangan tersebut menjelaskan bahwa setiap anak
penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan untuk mendapatkan pemeliharaan
kesejahteraan sosial melalui sistem jaminan sosial nasional dengan menerima
pemberian bantuan/stimulant agar terpenuhi segala aspek kehidupan dan
penghidupannya.
Pasal 7 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat juga
menyebutkan bahwa: “Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta setiap penyandang
cacat juga mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan pada
satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan derajat kecacatan dan
kemampuannya.” Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa selain memiliki hak atas
persamaan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan, penyandang cacat juga
memiliki kewajiban yang sama baik di kehidupan bermasyarakat, bangsa dan
bernegara.
Pelayanan rehabilitasi melalui sistem panti adalah merupakan suatu jenis
pelayanan yang dinilai cukup efektif agar terbinanya anak penyandang cacat tubuh
9
sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam tatanan penghidupan di
masyarakat. Panti yang berada di bawah struktural Kementerian Sosial salah satunya
adalah Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, selanjutnya panti tersebut
akan menjadi tempat dilakukannya penelitian. Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia”
Sumatera Utara merupakan unit pelayanan terpadu bagi penyandang cacat tubuh
melalui program rehabilitasi yang dilaksanakan dengan bentuk pengasramaan selama
1 (satu) tahun dan seluruh biaya dibebankan kepada anggaran APBN, kecuali biaya
uang saku/uang harian adalah tanggung jawab orang tua/wali.10 Panti Sosial Bina
Daksa “Bahagia” Sumatera Utara tersebut dibentuk oleh Kementerian Sosial
Republik Indonesia dengan tujuan untuk membantu pemulihan kondisi fisik, psikis,
mental dan sosial, serta pemberian keterampilan praktis kepada penyandang cacat
tubuh, sehingga mereka bisa dan berkemampuan untuk melaksanakan fungsi
sosialnya secara wajar dan baik di masyarakat, juga diharapkan agar penyandang
cacat tubuh tersebut memiliki kualitas hidup yang baik, sejahtera dan juga mandiri.
Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya untuk merekrut peserta program rehabilitasi terlebih dahulu
memberikan format pengisian keterangan anak penyandang cacat dalam bentuk
formulir yang diisi dan ditandatangani oleh orang tua/wali serta anak penyandang
cacat tubuh itu sendiri. Formulir ini berisi kondisi sosial, catatan lengkap mengenai
kondisi kecacataan, pemeriksaan kesehatan untuk rehabilitasi dan lain sebagainya,
10
termasuk di dalamnya formulir surat pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali
yang berisikan pernyataan tidak akan menuntut apa pun kepada pihak panti dalam hal
ini Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara jika peserta program
rehabilitasi mendapatkan halangan seperti sakit yang serius karena kelalaian sendiri,
melarikan diri, kecelakaan ataupun meninggal dunia ketika anak tersebut sedang
mengikuti proses program rehabilitasi, yang juga di tandatangani oleh lurah/Kepala
Desa tempat anak bermukim sebagai pihak yang mengetahui atau saksi (terdapat
dalam Form 4, LIHAT LAMPIRAN). Formulir ini tertuang dalam bentuk perjanjian
baku yang di buat secara sepihak oleh Kementerian Sosial dan pihak panti.
Berdasarkan hasil wawancara terjadi kedubiusan mengenai siapa yang menerbitkan
format formulir ini, ada pihak yang mengatakan formulir ini di buat oleh pusat dalam
hal ini Kementerian Sosial Republik Indonesia11. Kemudian pada tahap wawancara
selanjutnya ada pihak panti yang lainnya mengatakan formulir ini di buat oleh panti
dalam hal ini Sub Bagian Program dan Advokasi.12
Formulir pernyataan merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum
mengikuti program rehabilitasi yang terdapat didalam Form 4 tersebut merupakan
salah satu bentuk perjanjian baku. Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir
seluruh klausul-klasulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada
11
Wawancara dengan H.B, Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 10 Januari 2011.
12
dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.
Jadi yang dibakukan adalah klausul-klausulnya dan bukan formulir perjanjiannya.13
Ketentuan yang terkesan memberatkan pihak orang tua/wali dalam perjanjian
baku tersebut adalah adanya pencantuman klausula berupa syarat yang membatasi
atau bahkan meniadakan tanggung jawab sepihak, yaitu pihak pembuat perjanjian
(dalam hal ini Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara). Pencantuman
klausula demikian yang membatasi, mengecualikan atau bahkan meniadakan
tanggung jawab pihak panti tersebut menyebabkan perjanjian baku terkesan sebagai
perjanjian yang tidak adil dan tidak seimbang antara para pihak. Pemakaian klausula
pada sebuah perjanjian yang memberatkan salah satu pihak merupakan hal yang
sering terjadi. Klausula ini disebut klausula eksonerasi atau istilah lainnya yaitu
klausula eksemsi, klausula ini biasa dibuat oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat
terhadap pihak yang kedudukannya lebih lemah dalam sebuah perjanjian. Klausula ini
dapat terjadi atas kehendak salah satu pihak yang dituangkan dalam perjanjian secara
individual atau secara massal.14 Klausula eksonerasi umumnya dibuat dengan tujuan
agar satu pihak dapat melepaskan tanggung jawabnya terhadap pihak lainnya, dengan
kata lain agar ia dapat menghindari kewajiban yang mungkin timbul dikemudian hari.
Perjanjian pada dasarnya dibuat atas kesepakatan bebas antara dua belah pihak
yang cakap untuk bertindak demi hukum agar melaksanakan suatu prestasi yang tidak
13
Sutan Reny Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Bank Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 66.
14
bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat luas, namun
adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak
seimbang sehingga pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu
menguntungkan” bagi salah satu pihak.15
Perjanjian yang dibuat Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara
dalam bentuk sebuah formulir pernyataan kesanggupan orang tua, yang
ditandatangani pada saat pihak panti akan merehabilitasi anaknya untuk tidak
menuntut apa pun kepada pihak panti tentunya bertentangan dengan asas
keseimbangan dalam perjanjian berkontrak, sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.
Perjanjian ini memberikan pembatasan salah satu pihak dari tanggung jawab hukum
jika terjadi hal-hal diluar kehendak, sehingga terkesan menguntungkan pihak panti
dalam hal ini Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dan dapat
menimbulkan kerugian kepada pihak orang tua/wali. Pihak orang tua/wali tentunya
akan merasa dirugikan, apabila terjadi masalah yang timbul diluar kemampuan dan
kekuasaan dari pihaknya dan sangat merugikan, karena ternyata anaknya memiliki
kedudukan dan perlindungan hukum yang sangat lemah selama mengikuti program
rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.
Orang tua/wali pada satu sisi juga memerlukan fasilitas rehabilitasi untuk
anaknya selaku penyandang cacat tubuh, kebutuhan inilah yang akhirnya membuat
orang tua/wali menyetujui dan selanjutnya menandatangani surat perjanjian/formulir
15
P4 tersebut. Orang tua/wali dan terutama sekali anak penyandang cacat tubuh yang
berada di dalam panti seharusnya mendapatkan perlindungan, keadilan dan kepastian
hukum dari pemerintah bukan sebaliknya. Sangatlah kontradiktif ketika melihat pada
penjabaran sebelumnya, jika di kaitkan dengan peraturan yang ada, karena terkesan
pemerintah tidak memiliki tanggung jawab secara hukum dalam bentuk perjanjian
yang tertulis akan keamanan dan keselamatan diri anak penyandang cacat tubuh
selama mengikuti program rehabilitasi. Oleh sebab itu maka perlu dicari kepastian
dan perlindungan hukumnya ketika di kaitkan dengan adanya perjanjian baku yang
mencantumkan syarat eksonerasi tersebut karena pada prinsipnya anak penyandang
cacat tubuh sangat memerlukan suatu upaya perlindungan dengan memperlakukannya
secara manusiawi sesuai dengan harkat, martabat dan hak anak yang diberikan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus yang dimiliki serta memperoleh perlakuan
yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin
dalam pengembangan individu.16
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, rumusan masalah
yang menjadi dasar pembahasan dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap rehabilitasi anak penyandang cacat
tubuh ditinjau dari Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat?
16
2. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh
di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara?
3. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh di
Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dikaitkan dengan adanya
pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan atau mengetahui jawaban dari
rumusan masalah yang telah diajukan, sehingga penjelasan terhadap rumusan
masalah tersebut dapat diberikan. Mengacu pada judul dan rumusan masalah yang
telah diuraikan, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari
penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang rehabilitasi anak penyandang cacat
tubuh ditinjau dari Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat
tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh di
Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dikaitkan dengan adanya
pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat menambah referensi atau khasanah kepustakaan di bidang
ilmu pengetahuan dan pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perjanjian
dan hukum perlindungan anak penyandang cacat tubuh serta hasil penelitian ini
juga dapat digunakan sebagai referensi tambahan bagi penelitian yang akan
datang apabila sama bidang penelitiannya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran mengenai
perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh di lingkungan Kementerian
Sosial Republik Indonesia khususnya di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia”
Sumatera Utara dan diharapkan memberi masukan bagi penyempurnaan dalam
pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh yang
berdampak terhadap perlindungan hukumnya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, penelitian dengan judul: “ANALISA YURIDIS TERHADAP
PERJANJIAN REHABILITASI ANAK CACAT TUBUH OLEH
KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI
UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG
CACAT (Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang
dinyatakan asli. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan
kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama.
Bahwa tercatat pernah diteliti yang hampir sama dengan judul penelitian tesis
ini ada satu, yakni penelitian dengan judul “PERWALIAN ANAK PANTI
ASUHAN SETELAH DIUNDANGKANNYA UNDANG UNDANG NOMOR 23
TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus Di Panti
Asuhan Islam), diteliti oleh Yunita Hasibuan/MKn Universitas Sumatera Utara.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi dasar
perbandingan, pegangan teoritis.17 Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin
yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa
Yunani, secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dalam banyak
literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir
yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), juga simbolis.18
Menurut Shorte Oxford Dictionary, teori mempunyai beberapa definisi yang
salah satunya lebih tepat ditujukan sebagai disiplin akademik, yaitu “Suatu skema
atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan atau
keterangan dari sekelompok fakta atau fenomena” dan “Suatu pernyataan tentang
17
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
18
sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang
diketahui atau diamati.”19
Menurut Neuman: “Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai
abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan
dan mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia dan bagaimana dunia itu
bekerja.”20
Teori berfungsi sebagai landasan berfikir dengan mengukur sesuatu
berdasarkan variabel yang tersedia. Teori merupakan generalisasi yang dicapai
setelah mengadakan pengujian yang hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta
yang luas.21
Teori digunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala
spesifik atau proses tertentu terjadi.22 Suatu teori harus diuji dengan menghadapkan
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.23 Fungsi teori dalam
penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta
menjelaskan gejala yang diamati.24 Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan
19
Malcom Waltres, Modern Sociological Theory, sage publications, 1994, hal. 2, dalam H. R Otje Salman dan Anton F. Susanto.
20
W. L. Neuman, Social Research Methods, Allyn dan Bacon, London, 1991, hal. 20 dalam H. R Otje Salman dan Anton F. Susanto.
21
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 126.
22
J. J. J. M. Wuisman, Asas-Asas Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal.203.
23Ibid
, hal. 16.
24
cara-cara bagaimana mengorganisasikan dan mengimplementasikan hasil-hasil
penelitian dan menghubungkannya dengan hasil terdahulu.25
Menurut Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustafa Adidjoyo teori diartikan
sebagai ungkapan mengenai hubungan klausula yang logis di antara perubahan
(variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka berpikir
(frame of thingking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul di
dalam bidang tersebut.26
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan untuk
memberikan arahan atau petunjuk gejala yang diamati dan teori keseimbangan untuk
pemecahan permasalahan penelitian sisi substansi setiap sistem hukumnya.
Teori keadilan ini dipelopori oleh Aristoteles, pandangan-pandangannya
tentang keadilan bisa di dapat dalam karyanya yaitu : nicomachean ethics, politics
dan rethoric. Lebih khususnya dalam nicomachean ethics yang sepenuhnya ditujukan
bagi keadilan. Berdasarkan filsafat umum aristoteles mesti dianggap sebagai inti dari
filsafat hukum, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan
keadilan.” Yang sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan
mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun aristoteles membuat pembedaan
penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik
mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa
dipahami tentang kesamaan dan yang dimaksudkan ketika akan mengatakan bahwa
25
Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke II, Rineka, Jakarta, 2003, hal. 23.
26
semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberikan
setiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan, prestasi dan
sebagainya yang di miliki. Tetapi dari pembedaan ini aristoteles menghadirkan
banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.27
Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” mengatakan bahwa tujuan dari
hukum adalah menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari pada hukum
ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang
dikatakan tidak adil. Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci dan luhur yaitu
dengan memberikan keadilan kepada setiap orang yang berhak menerima serta
memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus, sesuai dengan permasalahan di
sini yaitu keadilan bagi anak dengan kondisi tubuh yang cacat, karena pada dasarnya
anak cacat juga manusia biasa yang berhak mendapatkan perlakuan yang
sebaik-baiknya. Untuk terlaksananya hal tersebut maka teori hukum ini harus membuat apa
yang dinamakan “Algemeene Regel” (peraturan/ketentuan umum) yang mempunyai
sifat sebagai berikut:
a. Adanya paksaan luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan
membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat-alatnya;
b. Sifat Undang-Undang yang berlaku bagi siapa saja.28
Apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan maka akan kerap tidak
sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan pada satu sisi tidak jarang
27
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusa Media, Bandung, 2004, hal. 24.
28
keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Kemudian apabila dalam
prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan maka keadilan
pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum
lahir dari sesuatu yang konkrit.29
Roscoe Pound menyatakan hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.30 Dengan kata lain bahwa hukum
merupakan pencerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pandangan Pound
ini dapat disimpulkan bahwa unsur normatif (ratio) dan empirik (pengalaman) dalam
suatu peraturan hukum harus ada. Kedua hal tersebut adalah sama perlunya, artinya
hukum yang ada pada dasarnya berasal dari gejala-gejala atau nilai-nilai dalam
masyarakat sebagai suatu pengalaman, kemudian dikonkretisasi menjadi
norma-norma hukum melalui tangan-tangan para ahli hukum sebagai hasil kerjanya ratio,
yang seterusnya dilegalisasi atau diberlakukan sebagai hukum oleh Negara.31
Selanjutnya hukum tersebut berfungsi sebagai tatanan yang melindungi kepentingan
bersama sekaligus kepentingan pribadi. Kehidupan dalam tertib hukum akan
membawa manusia pada keadilan dan kesusilaan. Dalam keadilan dan kesusilaan
tersebut, kebebasan masih tetap ada, hanya saja bukan tanpa batas, melainkan dibatasi
oleh kemauan umum. Pound juga menempatkan hukum sebagai inti dari semua
29
Ibid. hal. 25.
30
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, bandung, 2007, hal. 66.
31
kehidupan sosial yang adil dan bermoral.32 Keadilan disini dikonsepsikan sebagai
hasil-hasil konkrit yang bisa diberikan kepada masyarakat. Dimana hasil yang
diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia tersebut, maka akan
semakin efektif menghidari pembenturan antara manusia.33
Teori yang digunakan selanjutnya adalah teori keseimbangan. Kata
“seimbang” (evenwicht) menunjukkan pada pengertian suatu “keadaan” pembagian
beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. Suatu pengakuan akan
kesetaraan kedudukan individu dengan komunitas dalam kehidupan bersama.34
Herlien Budiono memberikan pengertian tentang tujuan suatu kontrak, yang
diturunkan dari asas laras (harmonis) dalam hukum adat, yakni: “Tujuan dari kontrak
ialah mencapai keseimbangan antara kepentingan sendiri dan kepentingan terkait dari
pihak lawan.”35 Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya menyatakan bahwa
kedudukan satu pihak yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk
memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kedua belah pihak seimbang.36
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah
dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang harus dilaksanakan secara terus
32
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta, 2010,hal. 86-87.
33 Keadilan Dan Kepastian Hukum,
http;//yahya zein.blogspot.com/2008/07/keadilan-dan-kepastian-hukum.html diakses pada tanggal 10 Februari 2011.
34
menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Khususnya perlindungan terhadap anak
dengan kecacatan tubuh. Dengan segala keterbatasan kemampuan fisiknya, anak
dengan kecacatan tubuh merupakan kelompok masyarakat kurang beruntung dan
membutuhkan perhatian khusus baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat luas.
Anak dengan kecacatan mempunyai hak yang sama dengan anak lainnya, yakni
hak untuk hidup, hak tumbuh kembang, hak untuk mendapatkan perlindungan dan
hak untuk berpartisipasi. Pasal 1 butir (7) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak menyebutkan anak cacat sebagai anak yang mengalami
hambatan fisik dan atau mental sehingga menggangu pertumbuhannya secara wajar.
Dalam pasal yang sama butir (15) juga dijelaskan bahwa anak cacat merupakan
kelompok anak yang memerlukan perlindungan dan perhatian yang khusus, termasuk
pemenuhan kebutuhannya melalui rehabilitasi.
Perjanjian pada hakekatnya adalah dua orang pihak atau lebih berjanji dan
sepakat untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal. Janji ini dalam hukum pada
hakikatnya ditujukan dari satu pihak kepada pihak lainnya. Berhubungan dengan hal
tersebut, dapat dikatakan bahwa sifat pokok dari hukum perjanjian adalah bahwa
hukum ini semula mengatur hubungan hukum antara orang-orang, jadi semula tidak
antara orang dan suatu benda.37
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yakni:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
37
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Orang memiliki status sebagai subjek hukum sejak saat ia dilahirkan dalam
keadaan hidup (tidak terlahir dalam keadaan meninggal) dan ada kepentingan yang
mengkehendakinya.38 Adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian sehingga telah terjadi persesuaian antara kehendak dan
pernyataan oleh para pihak yang bersangkutan.39 Perjanjian maupun kontrak
mempunyai hubungan dengan perikatan dan perjanjian. Mengenai hubungan
perikatan yaitu perjanjian itu menerbitkan perikatan.40
Asas-asas fundamental yang melingkupi hukum kontrak ialah:
a. Asas konsensualisme;
Bahwa perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka. b. Asas kekuatan mengikat perjanjian (verbindende kracht der overeenkomst);
Bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka buat.
c. Asas kebebasan berkontrak (contractsvrijheid);
Bahwa para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Pihak-pihak juga dapat bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketertiban umum ataupun kesusilaan.41
38
Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarief dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), Gitama Jaya, Jakarta, 2005, hal. 21.
39
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Buku Kesatu), Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 10.
40
Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1980, hal. 10.
41
2. Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi
dan realitas.42 Konsep ini diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak dan
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi
operasional.43 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan
perbedaan, pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang
dipakai.
Konsepsi merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk membuat
karya ilmiah. Konsepsi adalah suatu pengertian mengenai suatu fakta atau dapat
berbentuk batasan atau definisi tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Teori
berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, sedangkan konsepsi masih
merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan
dapat menjadikan suatu teori.44
Penelitian ini dirumuskan dengan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi
sebagai berikut:
1. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Menurut Soedikno Mertokusumo perjanjian merupakan hubungan hukum antara
42
Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survei,LP3ES, Jakarta, 1989, hal. 34.
43
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian,Raja Grafindo, Jakarta, 1998, hal. 3.
44
dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum.45
2. Rehabilitasi sosial anak cacat diartikan sebagai proses pemberian pelayanan dan
bantuan, perlindungan, pemeliharaan taraf kesejahteraan dan pemenuhan
kebutuhan khusus anak cacat yang dilakukan dalam bentuk penanganan secara
cepat, tepat dan benar untuk mencapai tingkatan perkembangan yang optimal,
sebagai wujud perlindungan anak untuk memperoleh kehidupan yang layak baik
fisik, mental dan sosial.46
3. Anak penyandang cacat tubuh yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
anak dengan kecacatan tubuh (tuna daksa) berusia di bawah 18 tahun yang
mengalami hambatan fisik yang mengganggu tumbuh kembangnya secara wajar
sehingga memerlukan pemenuhan kebutuhan, pengembangan dan penanganan
khusus sesuai dengan kondisi dan derajat kecacatannya yang berada di Panti
Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.
4. Cacat tubuh atau tuna daksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai
akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam
fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan
atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.47
45
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1991, hal. 97.
46
Kementerian Sosial RI, Pedoman Deteksi Dini Kecacatan Anak, Departemen Sosial RI Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak, Jakarta, 2006, hal. 3.
47
5. Anak yang dimaksud dalam penelitian ini menurut Pasal 1 butir 1
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni: ”Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.”
6. Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara adalah salah satu unit
pelaksana teknis Kementerian Sosial Republik Indonesia di bawah Direktorat
Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial yang merehabilitasi anak tuna daksa
dengan wilayah pelayanan regional terbatas, meliputi Provinsi Sumatera Utara,
Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat.
G. Metodelogi Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian adalah pencarian atas sesuatu secara sistematis dengan penekanan
bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan.48
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Soerjono Soekamto mengemukakan bahwa
penelitian deskriptif analisis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat
gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.49
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris, yaitu
suatu metode pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan objek penelitian
48
Mohammad Nazir, Metode Penelitan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 13.
49
dengan meneliti data sekunder (bahan pustaka) terhadap data primer dilapangan
karena hukum yang pada kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang
hidup dalam masyarakat artinya keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari
keadaan sosial masyarakat serta prilaku masyarakat yang terkait dengan lembaga
hukum tersebut.50
Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan perundangan),
kemudian mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem
norma itu bekerja di dalam masyarakat.51
Melakukan pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji berbagai
aspek hukum baik dari segi ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku. Meneliti atau
menelaahnya dari segi pelaksanaannya, sehingga dapat mengimplementasikan dalam
praktek dilapangan.52
Studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan
yang tertulis atau bahan hukum yang lain.53 Dengan metode pendekatan analitis
(analytical approach) yaitu menganalisa bahan hukum untuk mengetahui makna yang
50
Ibid.
51
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 47.
52
Soerjono Soekamto, Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2006, hal. 14.
53
terkandung dalam istilah-istilah yang digunakan oleh peraturan perundang-undangan
secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktek.54
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara
yang berlokasi di Jalan Williem Iskandar Nomor 377 Medan.
4. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi
dokumentasi yaitu dengan mempelajari serta menganalisa yang berkaitan dengan
objek penelitian dan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat menjawab
permasalahan penelitian yang kemudian mengambil kesimpulan.
Penelitian yang dilakukan berupa penelitian lapangan (field research) guna
akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan, yang dapat berupa wawancara
langsung dengan anak penyandang cacat tubuh yang mengikuti program rehabilitasi
di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dan juga orang tua/wali anak
penyandang cacat tubuh serta pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera
Utara, yang dalam penelitian ini dipilih sebagai informan dan narasumber.
5. Sumber Data
Pengelompokan data kepustakaan berdasarkan kekuatan mengikat dari isinya,
yakni antara lain:
54
1. Bahan hukum primer: bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh
pemerintah, contohnya berbagai peraturan perundang-undangan, putusan
pengadilan dan traktat.
2. Bahan hukum sekunder: bahan-bahan yang isinya membahas bahan primer,
contohnya: buku, artikel, laporan penelitian dan berbagai karya tulis ilmiah
lainnya.
3. Bahan hukum tertier: bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan primer dan
sekunder, contohnya: kamus, buku pegangan, almanak dan sebagainya.55
6. Alat Pengumpulan Data
Adapun alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa:
a. Studi dokumen, yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen tentang perjanjian
rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh. Dokumen ini merupakan sumber
informasi penting yang merupakan dasar dilakukannya penelitian baik dari
ketentuan norma dan perundang-undangan maupun perjanjian yang dibuat oleh
para pihak.
b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide).
Wawancara dilakukan untuk mengokohkan analisis data normatif yang
digunakan.
7. Analisa Data
Semua data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisa secara kualitatif, yaitu
data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan
55
kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban penelitian.56 Setelah data
diperoleh maka dikelompokkan sesuai dengan kategorinya.
Penelusuran analisa bahan dimulai dari pengaturan hukum terhadap
rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh menurut Undang Undang Penyandang
Cacat, pelaksanaan perjanjian rehabilitasi pada Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia”
Sumatera Utara, serta perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh
yang dikaitkan dengan perjanjian yang dibuat, kemudian dianalisis dengan teori
hukum yang ada serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah itu
ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah dianalisis dan merupakan hasil dari
penelitian.
56