• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN REHABILITAS

B. Ketentuan Umum Perjanjian

4. Asas-Asas Perjanjian

Di dalam suatu hukum perjanjian terdapat beberapa asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Pada Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata dikenal asas-asas dalam perjanjian berupa :

1. Asas Kebebasan Berkontrak;

Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata menganalisis adanya asas kebebasan berkontrak yang bunyinya “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.

Asas kebebasan berkontrak, berdasarkan pendapat beberapa ahli adalah sebagai berikut :

Menurut Salim H.S :

Kebebasan berkontrak merupakan asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian; b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya; d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.151 Menurut DR. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. :

151

Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut :

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya;

d. Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian; e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang- Undang yang bersifat opsional.152

Menurut Sutan Remy Sjahdeini bahwa kebebasan berkontrak atau freedom of

contract harus dibatasi bekerjanya agar perjanjian yang dibuat berlandaskan asas

itu tidakmenjadi perjanjian yang berat sebelah.153 Kebebasan berkontrak tersebut sepanjang yang menyangkut objek perjanjian yaitu tidak bebas untuk memperjanjikan setiap barang apapun, hanya barang-barang yang bernilai ekonomis (dapat diperdagangkan) saja yang dapat dijadikan obyek perjanjian (Pasal 1332 Kitab Undang Undang Hukum Perdata).154

Kebebasan berkontrak oleh para pihak dalam membuat suatu perjanjian dibolehkan, asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1335 jo Pasal 1337 Kitab Undang Undang Hukum Perdata). Dalam perihal perjanjian yang terdapat di panti, pihak orang tua/wali tidak memiliki kebebasan untuk menyatakan kehendaknya. Orang tua/wali hanya

152

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Banker Indonesia, 1993), hal. 47.

153Ibid,

hal. 48.

154

dapat menandatangani perjanjian atau tidak, yang berarti anaknya tidak jadi masuk untuk direhabilitasi. Tetapi sampai dengan dilakukannya penelitian, tidak ada seorang pun orang tua/wali yang merasa keberatan atau sampai tidak jadi mengikutsertakan anaknya dalam program rehabilitasi.155 Orang tua/wali menganggap tidak menjadi suatu persoalan yang krusial suatu pernyataan yang di buatnya, bahkan ada juga beberapa orang tua/wali yang tidak mengetahui akan maksud dari pernyataan itu hal tersebut dikarenakan formulir pernyataan tersebut, posisinya menyatu dengan formulir lainnya yang berisi perihal kecacatan anak.156

2. Asas Konsensualisme;

Asas konsensualisme terkandung dalam Pasal 1320 ayat (1) jo Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyebut dengan tegas yaitu “kata sepakat”, sedangkan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya”.

Ketika orang tua/wali dari penyandang cacat tubuh yang mengikuti program rehabilitasi sosial tersebut menandatangani formulir yang diberikan oleh pihak Panti, maka didapatlah kata sepakat dari kedua belah pihak sehingga menjadi sah perjanjian itu dan persyaratan yang di telah disepakati tersebut menjadi mengikat

155

Wawancara dengan R.S.N.,Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011

156

Wawancara dengan salah satu orang tua dari anak penyandang cacat, Nyonya W. Pada tanggal 10 Januari 2011

kedua belah pihak dan harus di patuhi. Asas konsensualisme ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian itu sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, tentunya selama syarat-syarat sahnya perjanjian sudah dipenuhi. Kesepakatan itu sendiri dapat terjadi secara lisan atau tulisan.157

3. Asas Pacta Sunt Servanda;

Asas Pacta Sunt Servanda (janji itu mengikat) atau disebut juga dengan asas kepastian hukum terdapat didalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya”. Pasal ini menetapkan kepastian hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian bahwa mereka harus mematuhi perjanjian yang mereka buat sebagai undang undang yang dibuat oleh mereka sendiri, sehingga mempunyai ikatan penuh.158

Sedangkan pihak ketiga maupun hakim harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang undang, dengan kata lain pihak ketiga atau hakim tidak boleh mengintervensi terhadap substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak.159

Jadi pada prinsipnya perjanjian yang menyatakan kesanggupan dari pihak orang tua/wali telah menjadi suatu Undang Undang bagi para pihak baik itu Panti Sosial

157

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Cet. 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 30.

158

Badrulzaman, Op. Cit, hal. 44.

159

Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara maupun Pihak Orang Tua/Wali anak Penyandang Cacat itu sendiri.

4. Asas Itikad Baik;

Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Itikad baik sampai saat ini tidak mempunyai makna tunggal dalam suatu perjanjian atau kontrak.160 Akan tetapi untuk memberikan pengertian kepada itikad baik, maka itikad baik itu mempunyai 2 (dua) komponen. Komponen pertama adalah mengacu kepada para pihak untuk melaksanakan substansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan yang baik dari para pihak. Sedangkan komponen kedua adalah mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sebab itikad baik merupakan standar keadilan atau kepatutan masyarakat. Dengan makna yang merujuk kepada kedua komponen tersebut diatas, menjadikan itikad baik sebagai suatu universal

sosial force yang mengatur hubungan antara sosial mereka, yakni setiap warga

negara harus memiliki kewajiban untuk bertindak dengan itikad baik terhadap semua warga negara.161

Dilihat dari azas itikad baik, maka para pihak wajib memiliki itikad baik utuk melakukan seluruh prestasi yang ada di perjanjian, namun di formulir perjanjian pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali kepada Panti Sosial Bina Daksa

160

Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Cet. 1, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Pasca Sarjana, Jakarta., 2003, hal. 129.

161

“Bahagia” Sumatera Utara hanya berisi kewajiban dari orang tua tanpa adanya klausula tentang hak dari orang tua/wali maupun anak penyandang cacat tubuh. Walaupun demikian sesuai pada prinsipnya pihak panti menjalankan itikad baiknya untuk melaksanakan program rehabilitasi. Hanya pada persoalan perjanjian yang tertulis, pihak panti tidak menuangkan kewajiban yang juga harus dipenuhinya tetapi dalam hal pelaksanaannya panti memberikan itikad baik untuk melakukan fungsinya dengan baik dan semaksimal mungkin. Dapat di ambil contoh meskipun kecil dari perihal ini yang menunjukkan itikad baik secara person, ketika anak penyandang cacat tubuh hendak melaksanakan sholat jum’at yang notabenenya panti tidak memiliki fasilitas mesjid untuk melakukan sholat jum’at, maka ada seorang karyawan panti yang bersedia mengantar dan menjaga keselamatan anak penyandang cacat selama sholat berada di luar lingkungan panti. Jadi dapat dikatakan, walaupun panti tidak bertanggung jawab akan kecelakaan pada diri anak, tetapi pihak panti tetap beritikad baik dalam memberikan usaha untuk tetap melindungi diri anak penyandang cacat tubuh tersebut.162

5. Asas Kepercayaan;

Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan diantara keduanya bahwa diantara mereka akan

162

Wawancara dengan R.S.N., Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011

saling memenuhi prestasinya dikemudian hari.163 Dengan saling percaya, para pihak akan saling mengikatkan dirinya ke dalam suatu perjanjian yang mengikat sebagai Undang-Undang.164 Dapat terlihat disini kalau orang tua/wali memiliki kepercayaan kepada pihak panti selaku pemerintah yang berwenang dan di nilai tidak mungkin untuk melakukan hal-hal yang diluar batas kewajaran, sehingga dengan tanpa keraguan membuat perjanjian yang demikian (pernyataan kesanggupan dalam formulir F4).165

6. Asas Kekuatan Mengikat;

Perjanjian itu mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian. Keterikatan itu mengenai apa yang diperjanjikan dalam perjanjian dan tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan maupun Undang-Undang (Pasal 1339 Kitab Undang Undang Hukum Perdata). Dengan di buatnya Perjanjian (pernyataan kesanggupan) dari orang tua/wali kepada panti maka perjanjian itu menjadi mengikat kedua pihak sepanjang apa yang diperjanjikan dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.

7. Asas Persamaan Hak;

Asas ini menempatkan para pihak dalam kedudukan yang sederajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain sesuai dengan kedudukannya yang sama dihadapan Tuhan

163

Badrulzaman, Loc. Cit, hal. 42.

164Ibid. 165

Wawancara dengan salah satu orang tua dari anak penyandang cacat, Nyonya W. Pada tanggal 10 Januari 2011

sebagai makhluk ciptaan-Nya. Dalam perjanjan ini dapat dilihat kurang adanya persamaan hak yang di buat secara tertulis antara pihak orang tua/wali dengan pihak panti. Klausula yang terdapat dalam perjanjian hanyalah berisi kewajiban dari pihak orang tua/wali untuk tidak akan menuntut pihak Panti ketika terjadi halangan yang di luar kehendak siapa pun juga.

8. Asas Keseimbangan;

Asas keseimbangan merupakan kelanjutan dari asas persamaan hak. Asas ini memberikan posisi yang sama antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, sehingga kedua belah pihak sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.166 Keseimbangan ini dimaksudkan keseimbangan antara hak dan tanggung jawab para pihak dalam perjanjian. Pada perjanjian yang di buat Orang Tua/wali dan Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Suamtera Utara terlihat tidak diterapkannya azas keseimbangan. Artinya kewajiban para pihak harus seimbang dengan hak para pihak itu juga baik itu pihak panti maupun pihak orang tua/wali. 9. Asas Moral;

Pada asas ini terkandung faktor yang memberikan motivasi pada para pihak yang mengadakan perjanjian untuk melakukan perjanjian tersebut berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan dari hati nuraninya.167 Asas ini terdapat dalam Pasal 1339 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

9. Asas Kepatutan;

166

Badrulzaman, Loc. Cit., hal. 88.

167

Asas kepatutan dituangkan dalam Pasal 1339 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yaitu “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan menurut kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Menurut Mariam Darus Badrulzaman tentang asas kepatutan adalah “Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan oleh rasa keadilan dalam masyarakat”.168

10.Asas Kebiasaan.

Asas ini terdapat dalam Pasal 1339 jo Pasal 1347 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang intinya menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang menjadi keadaan dan kebiasaan yang diikuti.169

Dokumen terkait