• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik penelitian perkembangan secara umum:

PENELITIAN KUALITATIF:

F. Analisa Data Kualitatif

Teknik pengumpulan data kualitatif, dua di antaranya dijelaskan di muka, tentu saja menghasilkan data yang juga bersifat kualitatif dengan wujud yang bisa beraneka macam. Beberapa wujud data kualitatif adalah transkrip interviu, atau diskusi focus group, teks dari berbagai surat khabar, pamplet, atau deskripsi objek studi dari hasil sebuah observasi atau observasi partisipasi, manual kebijakan, teks berbagai macam aturan, foto atau bahkan video. Data-data tersebut bisa sangat banyak bisa pula terbatas, bergantung pada lapangan penelitian,

teknik penelitian, waktu dan yang sangat penting, keahlian peneliti itu sendiri.

Tugas selanjutnya setelah data-data kualitatif, dalam berbagai wujud, itu terkumpul adalah mengolah atau menganalisanya sedemikian rupa sehingga kumpulan informasi itu bisa menjadi suatu rangkaian bermakna dan merepresentasikan realitas yang diwakilinya. Berbeda dengan pendekatan kuantitatif yang menjadikan data sebagai alat untuk menunjukkan kebenaran atau kesalahan teori yang sudah disiapkan saat rancangan penelitian dibuat, pengolahan data pada penelitian kualitatif justru diarahkan untuk membangun suatu ‘teori.’ Kata ‘teori’ dalam hal ini tentu saja tidak harus diartikan sebagai penjelasan pada tingkat abstraksi yang tinggi tentang relasi antar berbagai kategori, seperti halnya Durkheim menjelaskan asal muasal agama misalnya, tetapi juga bisa diartikan dalam artinya yang paling sederhana kerangka logika sederhana yang menjelaskan relasi antar berbagai kategori. Untuk yang terakhir, kita bisa menyebutkan temuan bahwa ‘sentralisasi kebijakan pemerintah tidak selamanya memarjinalkan adat istiadat atau masyarakat adat,’ sebagai suatu rumusan ‘teori.’

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan orang untuk menganalisa data kualitatif, untuk keperluan penyederhanaan, akan disampaikan satu contoh analisa yang sering disebut sebagai analisis grounded theory. Analisis ini memperkenalkan kita pada tiga tahapan pengkodean atau analisis yakni: 1. Pengkodean Terbuka (Open coding), 2. Pengkodean Berporos (Axial Coding) dan 3. Pengkodean Berpilih (Selective Coding). Pengkodean terbuka (Open Coding)

Secara definitive open koding bisa dikatakan sebagai tahap awal analisa data di mana peneliti (1) memberikan label kepada

fenomena-fenomena yang menjadi objek studinya, yang telah direkam dalam data kualitatifnya. Setelah itu peneliti (2) memasukkan fenomena-fenomena yang telah dilabelinya itu ke dalam kategori-kategori tertentu. Untuk keperluan labeling, peneliti membutuhkan istilah tertentu yang disebut sebagai konsep. Jadi, konsep adalah istilah yang merupakan tanda atau mengacu pada suatu fenomena tertentu. Sementara itu, kategori adalah pengelompokan konsep-konsep yang memiliki kesamaan ciri-ciri tertentu.

Contoh untuk analisis pada tahap ini adalah sebagai berikut:

Berikut adalah suatu data kualitatif:

‘Terdapat sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat sekumpulan orang yang duduk secara berderet ke samping dan kebelakang, seorang duduk di depan ruang tersebut menghadapi orang-orang yang berjejer. Di ruang tersebut juga terdapat komputer, layar dan sound system. Orang yang duduk berjejer tersebut terlihat memegang pulpen, sekali-kali menulis sambil mendengarkan paparan yang dikemukakan oleh orang yang berdiri di muka.”

Pengkodean terbuka terhadap data kualitatif tersebut di atas dilakukan dengan:

- Menemukenali atau membuat konsep-konsep yang merepresentasikan realitas seperti digambarkan pada data kualitatif. Dalam hal menemukenali konsep, kita menemukan ‘kata ruang’ yang untuk data ini mungkin bermakna khusus, ‘orang,’ ‘menulis,’ ‘mendengarkan,’ ‘menjelaskan,’ ‘layar,’ komputer,’ ‘sound system’ dan lain-lain.

- Membuat kategori atau pengelompokan dari konsep-konsep itu. Merujuk ke contoh di atas, kita bisa membuat kategori ‘murid’ pada orang-orang yang memiliki ciri yang sama: duduk berderet, menulis, mendengarkan dan

mengkategorikan ‘guru’ pada orang yang berbeda sendiri yakni yang duduk di muka dan berbicara atau menyampaikan pesan. Kita juga mungkin bisa mengkategorikan ‘perlengkapan’ kepada sound system, komputer dan layar karena ke semua alat itu digunakan oleh ‘guru’ pada saat dia melakukan kegiatan di dalam kelas itu.

Contoh itu, mudah-mudahan cukup jelas bagaimana open coding dilakukan. Hal yang bisa ditambahkan adalah bahwa penggunaan konsep-konsep itu dan pengkategorian bisa dilakukan dengan menggunakan konsep atau kategori yang datang dari peneliti sendiri (etic), bisa pula konsep-konsep atau kategori yang berkembang di kalangan informan atau subjek penelitian. Contoh untuk yang kedua, misalnya peneliti memakai konsep-konsep dan kategori kekerabatan yang digunakan pada suatu komunitas.

Pengkodean Berporos (Axial Coding)

Secara definitive, Axial coding mengacu pada seperangkat prosedur penyusunan data ke dalam suatu kerangka yang menjelaskan hubungan antar berbagai konsep dan kategori yang telah ditemukenali atau diciptakan dalam open coding. Dalam analisis grounded theory, kita mengenal kerangka tertentu yang bisa digunakan untuk merangkai hubungan antar berbagai konsep atau kategori yang telah diidentifikasi pada open coding. Kerangka ini merupakan suatu tata urut yang menempatkan konsep-konsep untuk saling menjelaskan keberadaannya dalam konteks persoalan yang menjadi focus kajian. Dalam hal ini, grounded analysis mengenal konsep kondisi kausal, fenomena, konteks, kondisi memengaruhi, strategi aksi/interaksi, konsekuensi. Dalam hal ini, konsep-konsep ini ditempatkan dalam kerangka berikut:

(A) Kondisi Kausal  (B) Fenomena  (C) Konteks  (D) Kondisi Pengaruh  (E) Strategi Aksi/Interaksi  (F) Konsequensi.

Pengertian dari masing-masing konsep tersebut adalah sebagai berikut:11

a. Fenomena mengacu pada gagasan, peristiwa dan kejadian utama ketika sejumlah tindakan/interaksi ditujukan untuk mengelola, menangani, atau mengaitkan hal-hal tersebut. Sebagai contoh, kita bisa menyebutkan kecelakaan lalulintas tertentu sebagai suatu fenomena.

b. Kondisi Kausal mengacu pada peristiwa atau insiden yang menimbulkan terjadinya atau terbentuknya suatu fenomena c. Konteks mengacu pada hal-hal yang melingkari terjadinya

suatu fenomena. Konteks bisa berupa lokasi kejadian, atau insiden-insiden lain di luar fenomena yang menjadi focus kajian tetapi melingkupinya.

d. Kondisi pemengaruh mengacu pada konteks structural yang lebih luas yang dapat mempengaruhi sebuah fenomena atau proses interaksi yang terjadi dalam fenomena yang menjadi focus kajian.

e. Strategi Interaksi mengacu pada wujud tindakan aktor-aktor dalam merespon proses-proses social tertentu pada suatu konteks tertentu.

f. Konsekuensi mengacu pada akibat yang terwujud dari interaksi antara aktor dengan aktor dalam konteks tertentu. Konteks dalam hal ini mengacu pada karakteristik atau sifat dari konsep-konsep yang telah dijelaskan di muka (1-5).

11 Yulia Brannen, Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, terjemahan H. Nuktah Arfawie Kurde (at all), (Yogjakarta: 1997)

Pengkodean Berpilih (Selective Coding)

Selektif coding sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengkodean berporos (Axial Coding) karena pada intinya tahapan ini merupakan usaha untuk merumuskan kompleksitas hubungan antar berbagai kategori/konsep seperti yang telah dilakukan pada axial coding. Namun demikian, rumusan kompleksitas hubungan antar berbagai kategori dalam tahap selective coding dilakukan pada tingkat abstraksi yang lebih tinggi. Oleh karenanya, sebagian orang menyebut tahap ini sebagai teorisasi.

Contoh:

Untuk menjelaskan proses atau tahap-tahap analisa data tersebut di atas, akan dijelaskan sebuah contoh yang diambil dari penelitian kebijakan yang mengevaluasi aplikasi UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisa teks UU No 5 tahun 1979 beserta segala macam aturan turunannya dan penelitian lapangan di Lahat, Sumatera Selatan.

Pada tahap Open coding, ditemukenali konsep-konsep seperti Desa, Kepala Desa, Lurah, Pemilihan Kepala Desa, Sekretaris Desa, juga kategori-kategori seperti Pemerintahan Desa, Penduduk Dewasa dan lain-lain. Konsep-konsep ini ditemukan dari data kualitatif berupa teks UU No. 5 tahun 1979 beserta segala aturan turunannya. Dari penelitian lapangan, ditemukan konsep-konsep seperti Marga yang mengacu pada system pemerintahan tradisional di Lahat, Pasirah (kepala marga), Dusun dan lain-lain. Setelah menganalisa kategorisasi masing-masing konsep itu, dapatlah dirumuskan keterkaitan antar mereka sedemikian rupa sehingga dapat dirumuskan bagaimana system pemerintahan desa seharusnya berjalan dalam tatanan UU N0 5 tahun 1979, dan bagaimana sistem

organisasi tradisional berjalan dalam bentuk pemerintahan Marga di Lahat.

Pada tahap axial coding, penulis mencoba membangun fenomena pemerintahan di Lahat berjalan pada saat UU No. 5 tahun 1979 diaplikasikan (aplikasi UU ini bisa dipandang sebagai kondisi kausal) di atas sistem pemerintahan Marga. Dalam hal ini ditemukenali berbagai konsep yang menggambarkan interaksi kedua sistem itu termasuk interaksi antara pihak-pihak yang terkait dalam aplikasi UU No. 5 Tahun 1979 di Lahat. Dalam interaksi itu bisa dikenali perilaku elit-elit lokal dalam menyiasati aplikasi UU No. 5 tahun 1979. Tampak bahwa elit lokal menyiasati pemberlakuan UU N0. 5 tahun 1979 itu dengan cara memilih aturan dari UU itu atau dari sistem Marga sebagai rujukan dalam berprilakunya. Dalam konteks-konteks tertentu, ia memilih pasal-pasal dalam UU No. 5 tahun1979, tetapi dalam hal lain mereka memilih aturan tradisional dalam sistem marga.

Ditarik lebih ke atas pada tahap selective coding, bisa dikatakan bahwa ‘teori’ yang mengatakan bahwa aplikasi UU No. 5 tahun 1979 telah memarjinalkan adat istiadat dan masyarakat adat, terbukti tidak bisa menjelaskan realitas (artinya kompleksitas hubungan antar konsep dan kategori) yang terjadi di Lahat. Konstruksi yang dibangun dari hasil penelitian di atas, dengan tahap-tahap seperti tersebut, menunjukkan bahwa kedua-dua sistem baik dari pemerintah (UU No. 5 tahun 1979) dan adat dipakai oleh elit-elit lokal sebagai rujukan berperilakunya. Lebih jauh, pada tataran teoritis lebih abstrak, temuan dari penelitian ini mengkritik pendekatan structural fungsional yang mengatakan bahwa perilaku orang ditentukan oleh bangun struktur (misalnya aturan adat atau pemerintah) yang melingkupinya. Penelitian ini yang menunjukkan bahwa perilaku elit lokal tidak ditentukan oleh struktur tetapi mereka melakukan pemilihan terhadap struktur.

BAB IV

RANCANGAN PENELITIAN KUANTITATIF