• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Pustaka/Kerangka Teori

RANCANGAN PENELITIAN KUANTITATIF A. Pendahuluan

G. Tinjauan Pustaka/Kerangka Teori

Tinjauan pustaka pada dasarnya berisi kajian literatur yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan dan kegunaannya untuk menunjang rencana penelitian yang diajukan. Sementara kerangka teori merupakan masalah yang paling pokok dalam sebuah penelitian. Dengan penelitian peneliti dapat menemukan teori baru atau sekedar membuktikan kebenaran teori lama. Dalam penelitian eksplanasi sangat jelas jika sebuah hipotesa itu terbukti dengan cara verifikasi dan/atau falsifikasi yang terus menerus, maka posisinya bisa naik menjadi theory, middle theory, atau mungkin malah menjadi grand theory. Sebaliknya dalam penelitian kualitatif (grounded), posisi teori bukan untuk diuji tetapi sekedar untuk membantu memahami atau menafsirkan realitas sosial yang akan diteliti. Misalnya, mengapa masalah agama dan etnis merupakan ikatan sub-primordial yang paling sensitif dalam provokasi politik dan konflik sosial. Jika tujuan kita melakukan penelitian adalah untuk memahami, maka di sini jelas tidak ada verifikasi teori. Posisi teori hanya dimanfaatkan untuk membantu memahami atau menafsirkan gejala sosial yang ada. Sebaliknya dalam penelitian kuantitatif (survei) yang bersifat eksplanasi atau prediksi maka posisi teori sudah sangat jelas. Dengan demikian cukup jelas bahwa rumusan penelitian merupakan satu-kesatuan dengan tujuan penelitian, sedangkan tujuan penelitian akan sangat menentukan jenis teori yang akan digunakan. Jika tujuan penelitian hanya mendiskripsikan realitas sosial, maka posisi teori hanyalah diposisikan untuk memahami atau menafsirkan temuan-temuan lapangan. Sebaliknya jika

tujuan penelitiannya untuk eksplanasi, maka posisi teori untuk verifikasi (pembuktian teori).

Dalam posisi ini teori didefinisikan; pertama, merupakan serangkaian proposisi antar konsep-konsep yang saling berhubungan. Kedua, menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep dan bagaimana bentuk hubungannya (Effendi, 1989:37). Misalnya, kita akan meneliti gejala bunuh diri yang sangat marak di Gunung Kidul, Propinsi DIY, dengan menggunakan teori bunuh dirinya Emile Durkheim, yang mengatakan adanya hubungan antara kohesi sosial dengan pemahaman keagamaan. Menurut temuan Durkheim orang Protestan atau orang yang sendirian ternyata lebih mudah melakukan bunuh diri dibandingkan orang Katolik dan orang yang sudah berkeluarga. Alasannya hirarki gereja yang ketat dalam agama Katolik dan keterikatan orang yang sudah berkeluarga, membuat kohesi sosial lebih kuat dibandingkan agama Protestan dan orang yang sendirian yang ikatan sosialnya lebih longgar. Namun ternyata orang-orang yang banyak bunuh diri di Wonosari, Gunung Kidul, Yogjakarta, itu malah orang-orang Katolik atau Islam yang sudah berkeluarga, misalnya. Jadi disini uji teori telah dilakukan, termasuk mencari jawab atas tidak berlakunya teori Durkheim dan kemungkinan pengaruh variable lain.

Sementara fungsi teori sebagai prediksi, misalnya, telah ditemukan sebuah hitungan bahwa dalam situasi krisis ekonomi yang sekarang ini setiap pertumbuhan negatif 1 persen akan ada 400.000 orang yang menganggur. Dengan demikian jika sekarang pertumbuhan ekonomi kita terkontraksi 15 %, paling tidak akan ada 6 juta angkatan kerja baru yang menganggur. Di sini posisi teori sebagai peramal realitas sosial sangatlah jelas.

Yang biasanya agak membingungkan bagi peneliti, ketika harus meletakkan posisi teori sebagai alat untuk memahami atau

menafsirkan realitas sosial, yang umumnya dikerjakan dalam penelitian kualitatif. Misalnya, mengapa etnis Minang itu lebih memiliki bakat kewirausahaan dibandingkan etnis lain. Apakah hal ini berkaitan dengan sistem kekerabatan yang matrilineal: dimana laki-laki secara kultural memiliki posisi yang lemah, khususnya dalam hal waris, atau ada faktor lain. Sehingga seorang laik-laki akan dianggap “cacat” secara kebudayaan jika mereka tidak merantau guna mempertegas identitas diri. Dengan kata lain merantau bukanlah sekedar upaya mencari kehidupan yang lebih baik, tetapi juga, merupakan tugas kebudayaan. Namun, mengapa keberhasilan suku ini cenderung ada plafonnya (sulit menjadi pengusaha besar) dibandingkan etnik Cina. Lalu kita menggunakan teori Max Weber tentang afinitas antara kesadaran keagamaan (sekte Calvin) dengan tingkah laku ekonomi, misalnya. Disini jelas posisi teori bukan untuk diverifikasi tetapi sebagai usaha pemahaman (verstehen) atas realitas yang ada.

Dengan demikian dalam bentuk penelitian apapun, dalam tahap tertentu, penggunaan teori tetap diperlukan. Hanya saja biasanya yang masih membingungkan dalam penyusunan

research design, dimanakah teori itu harus diletakkan; apakah

sebagai penjelas dalam arti verifikasi teori atau sekedar untuk membantu memahami gejala sosial yang ada. Dengan demikian posisi teori pada dasarnya sangat ditentukan oleh tujuan penelitiannya. Jika dalam penelitian itu antara lain untuk menguji hipotesa, maka jelas bahwa posisi teori adalah sebagai alat pembuktian. Sebaliknya jika penelitian itu bersifat deskriptif maka posisi teori untuk membantu mengkategorisasikan data atau memahami fenomena sosial yang ada. Yang paling sering ditemui, meskipun teori sudah disusun sedemikian rupa, tetapi teori ternyata tidak dibunyikan dalam analisa. Seolah-olah bab

teori menjadi bagian yang terpisah sama sekali dengan temuan lapangan.

Kembali pada contoh penelitian yang dilakukan UGM, rupanya mereka telah menyatukan antara tinjauan pustaka dengan kerangka teori. Meskipun dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan, dalam pembahasannya dipilah dalam dua bagian. Pertama, yang berkaitan dengan konseptualisasi tentang kekerasan (violence): dan kedua, tentang teori-teori yang mencoba menjelaskan teori tersebut.

Dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kekerasan, misalnya, tim ini, menggunakan definisi Ted Robert Gurr yang memusatkan pada “political violence” dan juga, definisi Johan Galtung, yang memilah kekerasan langsung (violence as

action) dengan kekerasan tidak langsung yang built in dalam

struktur (violence as structure). Dengan pengembangan pikiran Galtung, mengembangkan konseptualisasi tentang kekerasan yang tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga, yang dilakukan penyelenggara negara dan pengendali kapital. Jadi, kekerasan politik bisa berlangsung dalam tiga aras: negara, struktur sosial, dan personal atau komunitas.

Kemudian untuk menerangkan jenis kerusuhan yang memungkinkan melibatkan masalah etnisitas seperti di Kalimantan Barat dan Irian Jaya, tim, menggunakan teori “etho-nationalism”, baik yang beraliran primordialist maupun

instrumentalist. Bagi aliran primordialist beranggapan bahwa

banyak gerakan politik berbasis suku yang menekankan nasionalisme etnik. Dan ini merupakan tradisi kultural yang didasarkan pada identitas etnik primordial. Motivasi utama tindakan politik mereka adalah memelihara identitas kultural. Sebaliknya, menurut etno-nationalism “instrumentalist” menafsirkan isyu etnisitas itu sekedar sebagai “an exercise in

boundary maintenance” (Willian A Douglas (1993) dan berasumsi

bahwa gerakan komunal merupakan respon dari perlakukan diskriminasi (pilih-kasih). Dengan kata lain penggunaan simbol-simbol etnik pada dasarnya didasarkan pada alasan praktis, yaitu sebagai sarana efektif untuk menimbulkan dukungan emosional.

Berikutnya setelah melakukan kritik terhadap teori Gurr tentang “deprivasi relatif” dan “ethno-nasinalis” yang instrumentalist melalui pandangan Charles Tilly (1978), yang mengatakan bahwa “kekerasan politik itu terjadi bukan karena ekspresi emosional masyarakat tetapi merupakan tindakan rasional atau tindakan instrumental untuk mencapai kepentingan politik tertentu. Ringkasnya kekerasan politik adalah hasil kalkulasi politik.”

Seterusnya untuk mencari penjelasan tentang faktor-faktor yang dianggap menentukan intensitas kekecewaan dan potensial dalam melakukan tindakan politik bagi kelompok minoritas, juga menggunakan teori Gurr, sedangkan tentang penguatan identitas dan kohesi kelompok, tim menggunakan konseptualisasi Peter Blau, mengenai struktur pemilahan social (social cleavages) dalam masyarakat.

Yang ingin saya tunjukkan disini adalah setiap variable yang akan dicari jawabannya dalam penelitian telah dicarikan landasan teorinya; guna untuk membantu memahami data yang ditemukan atau membantu hipotesa kerja yang telah dibangun.