• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Terhadap Pendapat Schacht

Dalam dokumen PENGAWASAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SE (Halaman 52-57)

Askolan Lubis

3. Analisa Terhadap Pendapat Schacht

Para orientalis sejak semula telah memberikan perhatian terhadap penelitian hadis. Motivasi mereka dalam penelitian hadis ada beberapa faktor. Salah satu diantaranya adalah usaha untuk memburuk-burukkan Islam melalui penelitian hadis karena melalui penelitian hadis lebih mudah daripada melalui penelitian al-Quran (Abd. Rahman Wahid,2002: 27).

Adanya keinginan untuk mendiskreditkan Islam, mengakibatkan banyak kekeliruan mereka dalam penelitian hadis ini. Gambaran yang sangat negatif dan prasangka yang berlebihan telah menyesatkan hampir semua kaum orientalis, kecuali

beberapa sarjana yang berpikiran jernih dan bersifat objektif dalam melakukan penelitian mereka.

Tampaknya Schacht memiliki tujuan tersendiri, yaitu ingin melecehkan hadis agar hadis tersebut tidak dapat dipakai sebagai rujukan umat Islam. Dia memiliki tesis yang menyatakan bahwa hadis bukan sesuatu yang otentik dari Nabi, melainkan sesuatu yang lahir dari rahim pemikiran para ulama pada abad pertama dan ke dua hijrah.

Sebenarnya, sanad bukanlah rekayasa dan bukan timbul pada masa belakangan. Nabi, dalam menyatakan sabda-sabdanya sering menyebut bahwa sumbernya dari Malaikat Jibril. Bahkan, para sahabat dalam menyampaiakan hadis, selalu menyebut nama sahabat lain yang menjadi sumber ia memperoleh hadis tersebut.

Dengan demikian, tidak terdapat perkembangan sanad dari bentuk yang sederhana menjadi bentuk yang sempurna. Demikian pula, tidak ada yang sanadnya mauquf menjadi marfu’ atau dari yang munqoti’ menjadi muttasil. Suatu sanad yang terputus selamanya akan terputus dan tidak akan menjadi sanad yang bersambung.

Sementara, tentang hadis yang dikritisi oleh Schacht mengenai makanan seorang Muhrim, karya al-Syafi’i seperti contoh di atas, A’zami mengatakan:

Schacht, nampaknya tidak memahami maksud al-Syafi’i terhadap hadis tersebut. Sebenarnya, al-Syafi’i ingin membandingkan antara tiga orang murid ‘Amar bin Abu ‘Amar yang meriwayatkan hadis tersebut. Setelah dibandingkan, ternyata ‘Abdl ‘Azis telah melakukan kekeliruan, karena ia menyebutkan “seseorang dari suku Bani Salamah” adalah guru dari ‘Amar bin Abu ‘Amar, sebagai ganti dari al-Muttalib. Karena Ibrahim lebih kuat periwayatannya dari ‘Abd ‘Azis, dan hal itu diperkuat pula oleh Sulaiman, maka yang betul adalah al-Muttalib, bukan “seseorang dari bani Salamah” (A’zami, 1968: 234).

Dengan demikian, hadis tersebut hanya memiliki satu sanad saja, yaitu jalur sanad ‘Amar bin Abu ‘Amar dari al-Muttalib, dengan Skema:

Nabi SAW

Jabir

Al-Muttalib

‘Amar bin Abu ‘Amar

Abd. Al-‘Azis Ibrahim Sulaiman

Dengan demikian, pernyataan Schacht, terutama tentang adanya periwayat yang menjadi titik temu bersama (common link) yaitu ‘Amar bin Abu ‘Amar, tidaklah benar.

Adapun tentang tuduhan Schacht terhadap kitab Muwatto’ karya Imam Malik yang mengatakan sanad hadis tersebut terputus, dan kemudian baru dibuatkan sanadnya bersama teks tersebut secara palsu, maka A’zami berkomentar: “Kita tidak dapat memastikan bahwa Schacht pernah menemukan kitab al-Muwatta’ yang ditulis sendiri oleh Imam Malik. Apakah mungkin ia memiliki naskah kuno tersebut, sedangkan tokoh-tokoh pensyarah kitab tersebut, seperti Ibn ‘Abd al-Bar dan al-Zurqaniy tidak pernah menyinggung sama sekali tentang adanya naskah kuno asli.

A’zami, lebih jauh menjelaskan bahwa ada kekeliruan dan kelalaian pada penulis naskah, dimana ia tidak menulis huruf “Sin” dalam kalimat. , sehingga kalimat itu akhirnya berbunyi : . Dan seandainya teks kuno yang asli itu berbunyi : seperti tuduhan Schacht, maka berarti ‘Urwah telah merobah susunan kalimat berikutnya, sehingga ia mengatakan:

Selanjutnya, apabila permasalahannya seperti yang dituduhkan Schacht, yaitu adanya pemalsuan teks hadis lebih dahulu kemudian diiringi pemalsuan sanadnya, maka seandainya tuduhan Schacht itu benar, siapakah yang mempunyai andil dalam pemalsuan ini ?. Malik atau Hisyam bin ‘Urwah ? Sedangkan mereka itu menurut penilaian umum adalah termasuk orang-orang yang cerdas. Dan rasanya tidak logis mereka melakukan kesalahan besar seperti itu dalam menyusun sanad hadis. Oleh

karena itu, usaha untuk meragukan otentisitas sanad al-Bukhoriy dengan dalih adanya kekeliruan dalam sejumlah naskah-naskah kitab al-Muwatto’ di mana hal itu mungkin juga dilakukan oleh penulis naskah sesudah al-Bukhoriy, adalah tidak berdasarkan ilmiyah sama sekali, jauh dari kebenaran dan tidak layak untuk diperhatikan.

PENUTUP

Sanad telah dipakai pada masa Nabi SAW masih hidup, dan para sahabat juga memakainay dalam periwayatan hadis. Namun, dalam saat-saat tertentu, para sahabat tidak memakai sanad, karena pada masa itu belum muncul kedustaan terhadap hadis Nabi SAW.

Setelah terjadi fitnah kubro, yakni terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan dilanjutkan pertentangan antara Ali dan Mu’awiyah, para ulama sangat selektif dalam menerima hadis. Mereka tidak mengambilnya, kecuali dari orang-orang yang dikenal. Suatu hadis tanpa sanad tidak dapat diterima oleh para ulama hadis. Akhirnya, untuk menyeleksi sanad-sanad tersebut, ulama hadis menciptakan kaedah otentisitas sanad.

Otentisitas sanad diragukan oleh Schacht. Menurutnya, sanad baru tumbuh pada paruh ke dua abad ke tiga hijrah. Sanad merupakan sewenang-wenang terhadap hadis Nabi, karena merupakan buatan ahli-ahli hadis sebagai kelompok spesialis untuk mengalahkan aturan-aturan aliran Fiqh klasik. Mereka bersekongkol membuat hadis- hadis palsu dengan mengatakan bahwa hal itu mereka terima dari para periwayat yang terpercaya dengan disertai sanad-sanad buatan mereka sendiri hingga bersambung kepada Nabi Muhammad SAW.

Proyeksi ke belakang menuju otoritas orang-orang terdahulu, menurut Schacht, dilakukan oleh pakar hadis, bermula dari kalanganTabi’in, sahabat dan akhirnya kepada Nabi SAW. Hal ini terbukti dengan adanya periwayat yang menjadi titik temu (commom link) dalam hadis-hadis Fiqh. Bagian bawah sanad hadis, memang otentik, tetapi bagian atasnya ternyata palsu. Dalam meneliti sanad, Schacht menggunakan sumber-sumber kitab biografi dan kitab-kitab Fiqh, sedangkan menurut pakar hadis, kedua kitab tersebut tidak dapat dijadikan sebagai objek penelitian sanad hadis. Adalah suatu kesalahan mendasar apabila kita meneliti hadis yang terdapat dalam kitab-kitab Fiqh.

DAFTAR PUSTAKA

A’zami, Muhammad Mustafa,1992. Dirosat fi al-Hadis al-Nabawy, Beirut: Maktab al- Islamy.

A’zami, Muhammad Mustafa. 1968. Studies in Early Hadith Literature, Beirut: Catholic Press.

Al-Bukhariy, Muhammad bin Isma’il,Al-Jami’ al-Sahih, Beirut: Dar al-Fikri, tt. Muslim, bin Hajjaj al-Qusyairiy, Sahih Muslim, Mesir: al-Babiy,tt.

Nur al-Din ‘Itr. 1979. Manhhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, Beirut: Dar Fikri Subhi al-Salih. 1988.‘Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-Ilmi.

Schacht, Yoseph. 1964. The Introduction to Islamic Law, Oxford: The Clarendon Press. Schacht, Yoseph. 1959. The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: The

Clarendon Press.

Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris,1986. Ikhtilaf al-Hadis, Beirut: Dar al-Kutub.

Al-Tahhan, Mahmud. 1978. Al-Takhrij wa Dirosah al-Asanid, Madinah: Dar al-Kutub al-Salafiyah.

Wahid, Abd. Rahaman, et al. 2002. M.M. Azami Pembela Eksistensi Hadis, Jakarata: Pustaka Firdaus.

KEMASUKAN SETAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN DAN

Dalam dokumen PENGAWASAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SE (Halaman 52-57)