• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM

Dalam dokumen PENGAWASAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SE (Halaman 76-83)

Nurussakinah Daulay

INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM

Penggunaan istilah integrasi dimaksudkan untuk mempertemukan ide-ide dasar psikologi dengan Islam. Pertemuan ide itu diupayakan agar terjalin suatu tatanan baru yang lebih tinggi. Dalam hal ini titik temu terutama terjadi pada masalah konsep manusia dan upaya pengembangan diri manusia. Sesuatu disebut terintegrasi bila unsur- unsur yang ada di dalamnya terpadu dan saling menopang sehingga membentuk sinergi baru.

Upaya-upaya mengintegrasikan Psikologi dan Islam yang dilakukan Hanna Djumhana pada dasarnya merupakan upaya untuk membangun sinergi baru. Manakala mengintegrasikan dua kekuatan dilakukan, maka yang terjadi adalah kekuatan baru yang lebih sekedar penjumlahan dari dua kekuatan itu. Kreativitas dan keberanian Hanna Djumhana untuk melakukan integrasi semacam itu layak diberi penghargaan, terlepas dari apakah kita setuju atau tidak dengan upayanya itu. Apa yang dilakukan

Hanna adalah langkah penting guna merangsang kita untuk menggali kajian Psikologi Islam ini lebih dalam lagi.

Salah satu pandangan yang sangat menonjol adalah pengakuannya atas konsep antroposentris yang banyak diperkenalkan oleh Psikologi Humanistik. Psikologi Humanistik adalah aliran yang mencoba melihat keunggulan-keunggulan potensial manusia dan berupaya mengaktualisasikannya. Karena pandangannya yang sangat positif terhadap manusia, maka dianggapnya manusia adalah penentu kehidupannya sendiri. Hanna Djumhana melihat bahwa pandangan ini dapat menyesatkan manusia, karena manusia menganggap dirinya dapat berperan sebagai Tuhan (play-God) bagi diri mereka sendiri. Bagaimanapun, menurut Hanna Djumhana (2001) Tuhan adalah pusat kehidupan ini. Akhirnya Hanna Djumhana mengintroduksikan istilah baru, yaitu Antropo-religiousus-sentris.

Hanna Djumhana (2001) juga membangun struktur kepribadian manusia versi Psikologi Islam. Beliau mencoba mengakomodasikan dan membangun struktur kepribadian manusia baru dengan memanfaatkan cara pandang Psikoanalisis (alam sadar, alam prasadar, dan alam tak sadar). Psikoanalisa memandang manusia sebagai sosok makhluk yang hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan (id) sangat ditentukan oleh masa lalunya. Konsep ini dipandang terlalu menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang ada dalam diri manusia, sehingga terkesan pesimistis dalam pengembangan diri manusia.

Aliran Behavioristik (dimensi kognisi, dimensi afeksi, dimensi konasi, dan dimensi psikomotor), memandang manusia sebagai sosok makhluk yang sangat mekanistik karena kelahirannya tidak membawa apapun, sehingga kehidupannya sangat ditentukan oleh lingkungan atau hasil pengkondisian lingkungan. Sedangkan Psikologi Humanistik (dimensi somatik, dimensi psikis, dan dimensi noetik), memandang manusia sebagai sosok yang mempunyai potensi baik dan tidak terbatas, sehingga dipandang sebagai penentu tunggal yang mampu memainkan peran Tuhan.

Psikologi Islam hadir dengan menawarkan pembahasan tentang konsep manusia yang lebih utuh (komprehensif). Manusia tidak hanya dikendalikan oleh masa lalu tetapi juga mampu merancang masa depan. Manusia tidak hanya dikendalikan lingkungan

tetapi juga mampu mengendalikan lingkungan. Manusia memiliki potensi baik tetapi juga potensi buruk (terbatas). Konsep manusia dalam Psikologi Islam adalah bio-sosio- psikis-spiritual, artinya Islam mengakui keterbatasan aspek biologis (fisiologis), mengakui peran serta lingkungan (sosiokultural), mengakui keunggulan potensi dan juga memerankan aspek spiritual (Tuhan) dalam kehidupan manusia. Psikologi Islam juga mengintegrasikan tiga pandangan aliran psikologi di atas ,dan mencoba menempatkan ruh sebagai dimensi yang menaungi dimensi-dimensi di atas.

Menghadirkan wacana baru, yang kemudian diabadikan dalam nama Psikologi Islam merupakan suatu keniscayaan. Paling tidak ada dua sisi yang dapat dilihat dalam menelaah fenomena ini. Dari sisi pengembangan ilmu, upaya ini sebagai pembanding atau bahkan counterdiscourse terhadap teori-teori Psikologi yang dibangun dari paradigma sekuler. Masyarakat religious, khususnya masyarakat muslim Indonesia, tidak mungkin menggunakan teori-teori psikologi sekuler. Selain bias budaya, teori- teori tersebut bebas nilai yang menafikan unsur-unsur metafisik dan spiritual- transedental.

Masyarakat muslim lebih tepat menggunakan teori Psikologi berbasis keIslaman, karena teori itu dapat merangkul seluruh perilakunya dan menunjukkan self image maupun self esteem sebagai seorang muslim yang sesungguhnya. Sedang dari sisi praktisnya, pengembangan Psikologi Islam merupakan fase baru bagi praktisi Psikologi, konseling dan psikoterapi dalam menjalankan tugas dan fungsinya, untuk menciptakan suasana batin yang sejahtera dan bahagia hakiki.

Dalam usianya yang relatif belia, Psikologi Islam yang dikumandangkan oleh komunitas terbatas baru menghadirkan sajian (Bastaman, 2001):

1. Kajian dalam bentuk diskusi, seminar dan temu ilmiah nasiopnal

2. Pembentukan organisasi yang pada tingkat nasional terwadahi dalam Asosiasi Psikologi Islam (API) dan Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi Indonesia (Imamupsi).

3. Penerbitan buku dan jurnal ilmiah yang bertemakan Psikologi Islam

4. Memasukkan Psikologi sebagai bagian dari mata kuliah wajib atau pilihan di beberapa perguruan tinggi.

Terdapat beberapa alasan mengapa pengembangan Psikologi Islam masih berputar pada kalangan terbatas. Pertama, sulit ditemukan sumber daya insani yang memiliki pengetahuan integratif antara Psikologi dan Islam. Mereka saling menunggu siapa yang duluan memulai, apakah sarjana Psikologi ataukah sarjana agama. Kedua, sulit menggabungkan metodologi pengembangan ilmu, antara empiris versus meta- empiris, induktif versus deduktif, apa adanya versus bagaimana seharusnya, bebas etik versus sarat etik, kuantitatif versus kualitatif, positivistik empiris versus doktriner normatif, dan antroposentris versus teosentris. Ketiga, Psikologi Islam sebagai bagian dari studi Islam memiliki batasan-batasan yang tidak semuanya dapat dijangkau oleh metodologi ilmu empiris, sebab tidak semua fenomena keagamaan dapat diukur melalui tes-tes psikologi, seperti masalah kecerdasan spiritual, masalah keimanan dan ketakwaan.

Menurut Bastaman (2001) menyatakan dalam pergumulan menghasilkan pemikiran baru dalam diskursus Psikologi Islam, tampaknya ada beberapa hal yang patut dicatat, yaitu:

1. Selalu dibutuhkan keberanian untuk melakukan terobosan-terobosan baru. Kita telah mengenali keberanian Galileo untuk memperkenalkan kayakinannya bahwa matahari adalah pusat peredaran; bahwa bumi lah yang mengitari matahari dan bukan matahari mengitari bumi. Keberanian,, yang tentu saja harus didukung oleh argumentasi dan keyakinan yang kuat, adalah modal bagi para penerobos kemapanan.

2. Selalu dibutuhkan organisasi atau jamaah untuk mengintroduksi pendekatan- pendekatan baru. Sebagaimana diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib, maka keberhasilan mewujudkan cita-cita sangat ditentukan oleh keterpaduan gerak dari orang-orang yang hendah mewujudkannya. Bahkan, shabat terdekat Rasulullah SAW itu mengungkapkan bahwa kejahatan yang terorganisasi dapat saja mengalahkan kebaikan yang penuh kesemrawutan. Upaya mengintroduksi, mempermatang bahkan memenangkan Psikologi Islam haruslah ditopang oleh organisasi yang kuat. Salah satunya adalah Yayasan Insan Kamil di Yogyakarta,

sebuah lembaga yang dimaksudkan sebagai organisasi untuk mendorong dan menggodok pematangan Psikologi Islam.

3. Selalu dibutuhkan pemikiran yang matang dengan diimbangi keunggulan penerapan di lapangan. Pikiran-pikiran baik yang ada di ’langit’ tanpa dapat dimanfaatkan di bumi adalah pikiran yang tidak berguna. Begitu pula dengan Psikologi Islam, kalau ia hanya menjadi arena pergulatan pemikiran tanpa bukti akan ketangguhannya di dalam kehidupan nyata, maka tampaknya ia tak banyak gunanya. Suatu pendekatan akan terbukti keampuhannya bia ia benar-benar bermanfaat bagi kehidupan orang banyak. Dengan demikian, upaya pemikiran harus diimbangi dengan upaya penerapan. Demikian pula halnya dengan Psikologi Islam.

4. Selalu dibutuhkan keterbukaan bagi pengembangan pendekatan-pendekatan baru. Salah satu sikap yang perlu dikembangkan oleh pemikir dan peminat Psikologi Islam adalah sikap terbuka terhadap kritik dan pandangan-pandangan baru. Suatu pendekatan akan terbukti keunggulannya, bila ia setidaknya mempunyai keunggulan pada sisi tertentu.

Hanna Djumhana (2001) juga mengungkapkan bahwa tujuan dikembangkannya Psikologi Islam adalah untuk mempertahankan kesehatan mental dan keimanan dalam diri individu. Kajian ini menggunakan lebih menitik beratkan pada dimensi spiritual dikarenakan dimensi ini merupakan sumber dari potensi, bakat, sifat dan kualitas diri manusia. Bahkan, dimensi ini merupakan satu dimensi yang tidak pernah tergoncang walaupun pemiliknya sedang sakit secara fisik maupun psikis.

Psikologi Islam memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti sosiologi Islam, ekonomi Islam, dan sebagainya. Penggunaan lata “Islam” di sini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir, paradigm, atau aliran- aliran tersendiri yang berbeda dengan psikologi kontemporer pada umumnya. Psikologi Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melainkan juga hakikat jiwa sesungguhnya. Psikologi Islam mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusia untuk berkreasi, berpikir, berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun kebebasan

itu tetap dalam koridor perintah Allah SWT. Psikologi Islam mempunyai tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Jangkauan Psikologi Islam lebih luas, antara lain dalam fungsi dan tujuan serta ruang lingkupnya. Jikalau fungsi psikologi umumnya sejauh ini hanya berkisar sekitar pemahaman, pengendalian, dan peramalan, maka Psikologi Islam menambahnya dengan fungsi pengembangan (ilmu) dan pendidikan. Selain itu tujuan psikologi untuk mengembangkan mental yangs sehat pada diri pribadi dan masyarakat, dilengkapi Psikologi Islam dengan inti kesehatan mental yaitu iman dan takwa kepada Tuhan. Demikian pula pengalaman manusia sebagai sarana telaah psikologi kontemporer diperluas dengan pengalaman keruhanian, sehingga ruang lingkup Psikologi Islam tidak saja mencakup dimensi-dimensi psiko-biologi, psiko-eksistensial, psiko-sosial, tetapi juga psiko-spiritual (Ancok, 1994).

Kemunculan Psikologi Islam banyak mengundang pro dan kontra. Bukan suatu hal yang aneh dalam dunia ilmu, bahkan Islam memandang perbedaan di antara kaum muslim itu sebagai rahmat, sejauh pro dan kontra itu tidak menimbulkan sengketa yang meregangkan silaturrahmi. Hal yang terpenting adalah niat baik, artinya sekelompok orang-orang yang berniat baik berkumpul untuk bermusyawarah bagaimana mengisi Islamisasi Sains dan teknologi sebagai salah satu tema sentral Kebangkitan Islam pada Kurun XV Hijrah dengan mengembangkan disiplin ilmu Psikologi Islam (Mujib, 2002).

DAFTAR PUSTAKA

1. Azizi, Qadry. 2003. Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman. Jakarta: Dipertais 2. Ancok, Djamaluddin. 1994. Psikologi Islam & Solusi Islam atas Problem-

problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

3. Bastaman, Hanna. 2001. Integrasi Psikologi dengan Islam. Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil.

4. Hartati, Neti, dkk. 2005. Islam dan Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 5. Jalaluddin. 1996. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

6. Mujib, Abdul. 2006. Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: PT Rajawali Grafindo Persada.

7. Mujib, Abdul, dkk. 2002. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Rja Grafindo Persada.

8. Rahman shaleh, Abdul. 2008. Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam. Jakarta: Kencana.

9. Rakhmad, Jalaluddin. 2005. Psikologi Agama Suatu Pengantar. Bandung: Mizan.

10. Suprayetno. 2009. Psikologi Agama. Bandung: Citapustaka Media Perintis. 11. Sapuri, Rafy. 2009. Psikologi Islam: Tuntutan Jiwa Manusia Modern. Jakarta:

GURU PEMBIMBING DAN KENAKALAN REMAJA

Dalam dokumen PENGAWASAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SE (Halaman 76-83)