• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengawasan Kegiatan

Dalam dokumen PENGAWASAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SE (Halaman 118-123)

DIMENSI PENGEMBANGAN DIRI BERNUANSA ISLAMI DALAM KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah)

BENTUK-BENTUK PELAKSANAAN

13. Pengawasan Kegiatan

a. Kegiatan pelayanan konseling di sekolah/madrasah dipantau, dievaluasi, dan dibina melalui kegiatan pengawasan.

b. Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara: 1) Interen, oleh kepala sekolah/madrasah.

2) Eksteren, oleh pengawas sekolah/madrasah bidang konseling.

c. Fokus pengawasan adalah kemampuan profesional konselor dan implementasi kegiatan pelayanan konseling yang menjadi kewajiban dan tugas konselor di sekolah/madrasah.

d. Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara berkala dan berkelanjutan.

e. Hasil pengawasan didokumentasikan, dianalisis, dan ditindak lanjuti untuk peningkatan mutu perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pelayanan konseling di sekolah/madrasah.

PENUTUP

Pengembangan diri di sekolah merupakan salah satu komponen penting dari struktur KTSP yang diarahkan guna terbentuknya keyakinan, sikap, perasaan dan cita- cita para siswa yang realistis, sehingga pada gilirannya dapat mengantarkan mereka untuk memiliki kepribadian yang sehat dan utuh. Kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan secara klasikal pada jam efektif, namun seyogyanya lebih banyak dilakukan di luar jam reguler (jam efektif), baik melalui kegiatan yang dilembagakan maupun secara temporer, bersifat individual maupun kelompok.

Pengembangan diri harus memperhatikan kebutuhan, bakat, dan minat setiap siswa dan bimbingan dan konseling di sekolah memiliki peranan penting untuk

mengidentikasi kebutuhan, bakat, dan minat setiap siswa melalui kegiatan aplikasi instrumentasi dan himpunan data, untuk ditindaklanjuti dalam berbagai kegiatan pengembangan diri.

Kegiatan pengembangan diri akan melibatkan banyak kegiatan sekaligus juga banyak melibatkan orang, oleh karena itu diperlukan pengelolaan dan pengorganisasian disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi nyata di sekolah. Sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita renungkan ungkapan dari R.F. Mackenzie yang banyak mengilhami ribuan guru di Inggris tentang bagaimana seharusnya proses pendidikan berlangsung, dikaitkan dengan kegiatan pengembangan diri di sekolah:

“ …Kami ingin memberikan kepada siswa-siswa kesempatan untuk menceburkan ke dalam cara hidup yang berbeda, dan kenangan yang bertahan lebih lama. Di sana tidak akan ada paksaan atau keharusan, ketekanan, ketergesaan, atau ujian. Apabila mereka ingin memanjat atau berski, kita akan membantu mereka untuk mendapatkan keterampilan itu. Apabila mereka ingin mengidentifikasi tumbuhan gunung tinggi atau burung, kita akan mengusahakan diperolehnya pengetahuan itu. Dan apabila mereka ingin tidak memiliki kedambaan akan adanya kegiatan atau kehausan akan pengetahuan, tetapi maunya hanya duduk diam seperti kaum penghuni dataran tinggi yang dulunya di sini, atau ingin memandangi awan berarak melaju di atas Creag Dhubh, atau mendengarkan suara rintik hujan yang menitik jatuh di antara cecabang pohon setelah hujan berhenti mengucur, itu semua juga merupakan bagian penting dari perkembangan. Pada saat inilah, ketakutan, ide, harapan, dan pertanyaan yang setengah tenggelam mulai muncul kembali ke permukaan…” (dalam Roger Combie White, 1997).

DAFTAR PUSTAKA

An-Nawawi. 1997. Hadis al-Arba`un an-Nawawiyah.Cairo: Dar as-Salam.

Calvin S. Hall & Gardner Lindzey. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis); Psikologi Kepribadian 1. (terj. A. Supratiknya). Yogyakarta: Kanisius.

Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

____. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. ____.2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 tentang

Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah, Jakarta: Depdiknas. Ibnu Katsir.1996. Tafsir Ibnu Katsir. Beirut :Dar al-Jail.

Muhammad al-Ghazali. 1996. Nahwu tafsir Maudhu`i.Cairo: Dar as-Syuruq.

Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Pietrefosa, J.F. 1971. The Authentic Counselor. Chicago: Rand McNally College Pub. Co.

Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Depdiknas. ——, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.

Roger Combie White. 1997. Curriculum Innovation; A Celebration of Classroom Practice (Terj. Aprilia B. Hendrijani). Buckingham: Open University Press. Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual: Teori dan Praktik. Bandung: Alfabeta.

Oleh:

YENTI ARSINI, S.Ag, M.Pd

Dosen Prodi Bimbingan Konseling Islam Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara

Abstract:

This article is to connect counseling process with Islam teaching by diging counseling base based on Al-Qur'an. Where intrinsically man is biological creature, person, social, and religion creature. Intrinsically also man divided to two factions namely faction of healthy person and faction of indisposed person. faction of Healthy person is person capable to arrange x'self in its(the relationship with ownself, others, area, and God. faction of Indisposed person is person which unable to arrange x'self in its(the relationship with ownself, others, area, and God in the end having estuary at assorted of problems.

Keywords: Counseling, Al-Qur’an PENDAHULUAN

Proses konseling yang tidak dihubungkan dengan Sang Pencipta ataupun ajaran agama, maka konseling dianggap sebagai hal yang semata-mata masalah dunia. Sedangkan Islam menganjurkan aktifitas konseling itu merupakan suatau ibadah kepada Allah Swt. suatu bantuan kepada orang lain, temasuk konseling dalam ajaran Islam dihitung sebagai suatu sedekah.

Sesungguhnya ayat-ayat Al Qur’an banyak sekali yang mengandung nilai konseling, namun permasalahannya hal itu belum terungkap dan tersaji secara konseptual dan sistematis. Oleh karena itu kajian ini berusaha menungkan ayat-ayat tersebut khususnya tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat, dan menyajikannya secara konseptual dan sistematis.

Bimbingan Konseling “Barat” yang terus berkembang dengan pesat. Perkembangan itu berawal dari berkembangnya aliran konseling psikodinamika, behaviorisme, humanisme, dan multikultural. Perkembangan konseling spiritual sebagai dimensi kelima selain keempat dimensi terdahulu (Singh, 2001: 204). Salah satu berkembangnya konseling spiritual ini adalah berkembangnya konseling religius. Perkembangan konseling religius ini dapat dilihat dari beberapa hasil laporan jurnal

penelitian sebagai berikut: Stanard, Singh, dan Piantar melaporkan bahwa telah muncul suatu era baru tentang pemahaman yang memprihatinkan tentang bagaimana untuk membuka misteri tentang penyembuhan melalui kepercayaan, keimanan, dan imajinasi selain melalui penjelasan rasional tentang sebab-sebab fisik dan akibatnya sendiri (Singh 2001: 204). Seiring dengan keterangan tersebut hasil penelitian Chalfant dan Heller pada tahun 1990, menyatakan bahwa sekitar 40 persen orang yang mengalami kegelisahan jiwa lebih suka pergi meminta bantuan kepada agamawan. Lovinger dan Worthington menyatakan bahwa klien yang agamis memandang negatif terhadap konselor yang bersikap sekuler, seringkali mereka menolak dan bahkan menghentikan terapi secara dini (dalam Keating dan Fretz, 1990: 293)

Nilai-nilai agama yang dianut klien merupakan satu hal yang perlu dipertimbangkan konselor dalam memberikan layanan konseling, sebab terutama klien yang fanatik dengan ajaran agamanya mungkin sangat yakin dengan pemecahan masalah pribadinya melalui nilai-nilai ajaran agamanya. Seperti dikemukakan oleh Bishop bahwa nilai-nilai agama (religius values) penting untuk dipertimbangkan oleh konselor dalam proses konseling, agar proses konseling terlaksana secara efektif (Bishop 1992:179).

Berkembangnya kecenderungan sebagian masyarakat dalam mengatasi permasalahan kejiwaan mereka untuk meminta bantuan kepada para agamawan itu telah terjadi di dunia barat yang sekuler, namun hal serupa menurut pengamatan penulis lebih-lebih juga terjadi di negara kita Indonesia yang masyarakatnya agamis. Hal ini antara lain dapat kita amati di masyarakat, banyak sekali orang-orang yang datang ketempat para kiai bukan untuk menanyakan masalah hukum agama, tetapi justru mengadukan permasalahan kehidupan pribadinya untuk meminta bantuan jalan keluar baik berupa nasehat, saran, meminta doa-doa dan didoakan untuk kesembuhan penyakit maupun keselamatan dan ketenangan jiwa. Walaupun data ini belum ada dukungan oleh penelitian yang akurat tentang berapa persen jumlah masyarakat yang melakukan hal ini, namun ini merupakan realitas yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.

Gambaran data di atas menunjukkan pentingnya pengembangan landasan konseling yang berwawasan agama, terutama dalam rangka menghadapi klien yang kuat

memegang nilai-nilai ajaran agamanya. Di dunia barat pada kalangan umat Kristiani hal ini berkembang dengan apa yang disebut Konseling Pastoral (konseling berdasarkan nilai-nilai Al Kitab).

PEMBAHASAN

Dalam dokumen PENGAWASAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SE (Halaman 118-123)