• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendapat Schacht Tentang Sanad

Dalam dokumen PENGAWASAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SE (Halaman 47-52)

Askolan Lubis

2. Pendapat Schacht Tentang Sanad

Dalam mengkaji hadis Nabi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad daripada aspek Matn. Menurut dia, ketika Nabi Muhammad SAW di Madinah, beliau menjadi seorang Nabi sekaligus pembuat hukum (propeth-Lawgiver). Padahal kekuasaannya tidak mencakup segi-segi penetapan hukum. Bagi orang yang beriman, kekuasaan Nabi hanya berhubungan dengan masalah agama saja, sedang bagi orang munafik, kekuasaan Nabi hanya dalam masalah politik. Para Khulafa’ al-Rasyidin (632 – 661) setelah wafatnya Rasul merupakan pemimpin politik masyarakat Islam,

namun mereka tidak mengambil hukum dari sumber yang lebih tinggi, yaitu Rasul. Mereka hanya mengambilnya dari Khalifah sendiri secara luas sebagai pembuat hukum masayarakat (Schacht, 1964: 11).

Menurut Schacht, para Khalifah awal tidak pernah mengangkat Qadhi/hakim. Pengangkatan Qadhi, baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah (Schacht, 1959: 16). Kira-kira pada akhir abad pertama Hijriyah (715– 720 M), pengangkatan Qadhi itu ditujukan kepada “orang-orang spesialis” yang berasal dari kalangan yang taat beragama. Karena jumlah orang-orang ini bertambah banyak, maka akhirnya mereka berkembang menjadi kelompok aliran Fiqh klasik (the ancient shool law).

Aliran Fiqih klasik ini mempunyai persamaan dalam teori hukum yang esensial. Dan titik pusat ide dari teori tersebut adalah masalah yang sudah memasyarakat yang dipraktekkan oleh wakil-wakil resmi yang merupakan teori hukum yang tetap, yang disebut Schacht dengan istilah “The living tradition of the school”. Inilah yang pada akhirnya melahirkan praktek ideal atau sunnah (Schacht, 1964: 16).

Ide kontinuitas yang diwariskan dari konsep Sunnah atau praktek ideal dan perlunya diciptakan alasan-alasan teoritis sebagai pembenarannya, memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Karenanya, mereka tidak menisbahkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan menisbahkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya. Misalnya, orang Irak menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada Ibrahim al-Nakha’i.

Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat para hakim (qadhi) itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih terdahulu, misalnya Masruq. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, maka pendapat-pendapat itu dinisbahkan lagi kepada tokoh yang memiliki otoritas yang lebih tinggi, misalnya Sahabat Abdullah bin Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbabahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Dengan cara inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadis, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh dibelakang (Projecting Back ). Menurut dia, gerakan ahli hadis muncul sebagai oposisi terhadap aliran Fiqh

klasik, dan mereka membuat-buat hadis-hadis yang mereka katakan sebagai laporan yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dan mereka juga membuat sanad yang bersambung untuk hadis-hadis tersebut, sebagaimana penegasan Schacht berikut ini:

The movement of the traditionists ... in the second century of the hijrah, was the natural outcome and continuation of a movement of religiously and ethically inspired opposition to the ancient school of law ... The main thesis of the traditionists was the formal “Traditions” ... deriving from the prophet superseded the living tradition of the school ... the traditionists produced detailed statements or traditions which claimed to be the reports of ear or eye witnesses on the words or acts of the prophet, handed down orally by uninterrupted chain (isnad) of trustworthy persons. Hardly any of these traditions, as far as matters of religious law are concerned, can be considered authentic ...(Schacht, 1964 : 34–35).

Gerakan ahli-ahli hadis ... pada abad ke dua hijrah merupakan hasil alami dan kesinambungan dari sebuah gerakan oposisi yang diilhami secara agamis terhadap aliran Fiqh klasik ... Tesis pokok ahli-ahli hadis adalah bahwa hadis-hadis formal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW harus mengalahkan aturan-aturan aliran Fiqh ... Oleh karenanya, ahli-ahli hadis membuat pernyataan-pernyataan terinci atau hadis- hadis yang di klaim sebagai riwayat dari saksi yang melihat atau mendengar perkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan Nabi, diterima secara lisan dengan sanad Muttasil dari periwayat-periwayat yang terpercaya. Kerenanya, sulit sekali untuk mengatakan bahwa hadis-hadis ini, sejauh berkenaan dengan masalah-masalah hukum keagamaan, dapat dipertimbangkan sebagai hadis sahih ...

Demikianlah, Schacht memberi illustrasi tentang pertentangan antara ahli-ahli hadis sebagai gerakan oposisi dengan aliran Fiqh klasik yang mempertahankan adanya masalah yang sudah memasyarakat (Living traditions of the school). Pertentangan inilah yang membuat satu kelompok ingin mengalahkan otoritas kelompok yang lain. Dan untuk mencari legitimasi terhadap pemikiran dan gagasan, keduanya membuat hadis-hadis yang mereka katakan berasal dari Nabi. Mereka juga merekayasa sanad- sanadnya dan mengatakan bahwa hadis-hadis itu diterima secara lisan dari saksi-saksi dan periwayat-periwayat yang adil dan dhabit. Situasi semacam inilah yang melahirkan hadis-hadis Nabi, yang akhirnya, menurut Schacht, bahwa hadis-hadis yang berkenaan dengan hukum sulit dipertimbangkan sebagai Hadis Sahih. Bahkan

dia mengatakan :”We shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authentic” (Schaht, 1959:149)

Menurut Schacht, sanad hadis belum tumbuh pada masa Nabi Muhammad SAW. Bahkan sebenarnya sanad-sanad hadis itu adalah palsu, dan dibuat-buat oleh ahli-ahli hadis untuk mengimbangi aturan-aturan aliran Fiqh klasik. Perkembangan sanad, kata dia, dimulai dari bentuk sederhana yang kemudian diperbaiki sedemikian rupa sehingga menjadi sanad yang Muttasil. Perkembangan sanad tersebut diiringi dengan perkembangan matan-matannya. Sehingga semakin akhir periode, periwayatan suatu hadis semakin sempurna pula sanad hadis yang diriwayatkannya, sebagaimana yang dinyatakan Schacht berikut ini:

“ ... Sanad menunjukkan bagian yang sangat sewenang-wenang terhadap hadis Nabi, ... adalah pengetahuan umum bahwa sanad berawal dari bagian sederhana dan mencapai titik kesempurnaan dalam koleksi hadis-hadis klasik pada paruh ke dua abad ke tiga hijrah, ... sanad seringkali diambil bersama-sama secara sembarangan (1959: 163).

Demikianlah Schacht menjelaskan proses terjadinya sanad hadis. Secara tegas dia mengatakan bahwa sanad tersebut pada awalnya tidak ada. Kemudian, setelah timbul pertentangan antara ahli hadis sebagai golongan oposisi dengan aliran Fiqh klasik, maka ahli-ahli hadis membuat hadis-hadis yang dianggap dari Nabi.

Menurut dia, bagian bawah dari sanad adalah otentik, tetapi bagian atas dari sanad hanayalah buatan orang-orang belakangan dan tidak dapat dipertimbangkan sama sekali sebagai sanad yang sahih. Namun para periwayat hadis pada masa belakangan menganggap bahwa hal tersebut benar-benar berasal dari Nabi.

Untuk membuktikan teorinya ini, Schacht memberikan contoh hadis yang terdapat dalam kitab Ikhtilaf al-Hadis karya Imam Syafi’i, yaitu tentang makanan seorang Muhrim dari binatang buruan (1986 : 177). Berikut Skema sanadnya :

Jabir Jabir Jabir

Seorang dari suku Muttalib Muttalib Bani Salamah

‘Amar bin Abu ‘Amar (Sahaya yang dimerdekakan oleh

Muttalib)

Abd Azis bin Ibrahim bin Muhammad Sulaiman bin Bilal

Muhammad

al-Syafi’i al-Syafi’i Seorang tak dikenal

al-Syafi’i

Menurut Schacht, hadis yang diriwayatkan oleh Syafi’i tersebut menggambarkan sebuah fenomena tentang seorang periwayat yang menjadi titik temu bersama untuk semua sanad yang disebut oleh Schacht dengan istilah common transmitter atau common link. Dalam skema sanad tersebut, yang menjadi common link adalah ‘Amar bin Abu ‘Amar, sehingga hadis dimaksud bersambung kepada seorang sahabat yang bernama Jabir atau kepada Nabi SAW. Bagian bawah dari sanad adalah bagian yang otentik. Sedangkan bagian atas hanyalah sanad palsu yang dibuat seseorang ahli hadis yang bernama ‘Amar bin Abu ‘Amar (Schacht: 172).

Contoh lain, Schacht merujuk kepada kitab al-Muwatta’karya Imam Malik bin Anas. Dalam kitab tersebut ada riwayat dari Malik dari Hisyam bin ‘Uwah dari ayahnya, bahwa ‘Umar bin Khattab ketika berada di mimbar pada waktu khutbah Jum’at, beliau membaca ayat sajdah (ayat dimana pembaca atau pendengarnya

disunnahkan sujud). Maka beliau lalu turun dari mimbar dan sujud, kemudian orang- orang ikut sujud juga. Pada hari Jum’at yang lain, beliau juga membaca ayat seperti itu, sehingga orang-orang pun bersiap-siap untuk sujud. Namun ketika melihat hal itu, beliau berkata:”Tenanglah, karena Allah tidak mewajibkan bersujud dalam ayat Sajdah, kecuali apabila kita mau”. Dan beliau pun mencegah mereka bersujud (M.Azami,1992: 435)

Mengomentari sanad hadis tersebut, Schacht berpendapat bahwa sanad hadis tersebut terputus, sebab ‘Urwah lahir pada masa khalifah Usman. Namun, kata Schacht lagi, dalam kitab sahih Bukhari, sanad hadis ini Muttasil atau bersambung. Dan dalam kitab naskah kuno kitab al-Muwatto’ terdapat kata-kata “dan kami bersujud bersama ‘Umar”, yang tentunya bukan ucapan ‘Urwah, tetapi dianggap begitu saja sebagai ucapannya. Dan kenyataannya, inilah teks asli kitab al-Muwatta’. Maka hal ini merupakan bukti yang menunjukkan bahwa “pembuatan” teks hadis itu sudah ada lebih dahulu, kemudian baru dibuatkan sanadnya bersama teks tersebut secara palsu. Kemudian Sanad itu dikembangkan dan direvisi sedemikian rupa, sehingga hadis itu disebut sebagai berasal dari masa silam (Schacht, 1959: 164).

Dua contoh yang kita kutip di atas, sudah cukup mewakili tentang tuduhannya bahwa ia tidak mengakui sama sekali adanya hadis-hadis hukum yang sahih. Bahkan lebih jauh lagi, Schacht menggeneralisasikan hasil penelitiannya dan menerapkannya untuk seluruh hadis-hadis Nabi.

Dalam dokumen PENGAWASAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SE (Halaman 47-52)