• Tidak ada hasil yang ditemukan

 = Simpangan gabungan

4.3.4 Analisis AMMI (1988)

Novianti et al. 2010 menyatakan bahwa analisis AMMI dilakukan untuk mengetahui interaksi antara genotipe dan lingkungan serta kestabilan suatu genotipe. Analisis AMMI sebagai salah satu analisis statistik yang biasa digunakan dalam percobaan lingkungan ganda merupakan gabungan dari analisis ragam pada pengaruh aditif dan analisis komponen utama pada pengaruh interaksi. Menurut Crossa (1990), salah satu tujuan utama penggunaan analisis AMMI adalah menjelaskan interaksi perlakuan dengan lingkungan. Sebelum dilakukan analisis interaksi, terlebih dahulu dilakukan analisis ragam untuk melihat pengaruh aditif genotipe dan lingkungan. Selanjutnya, pengaruh multiplikatif diperoleh dari penguraian interaksi genotipe dengan lingkungan menjadi komponen utama interaksi (IAKU).

Tabel 4.9 Analisis ragam AMMI bobot biji kering (ton.ha-1) dari empat belas genotipe kacang tanah pada empat lingkungan

Sumber keragaman Derajat bebas

Jumlah kuadrat

Kuadrat

tengah F-Hit Prob

Kontribusi terhadap keragaman (%) Lingkungan (L) 3 62.36 20.79 20.76** <0.000 Ulangan/Lingkungan 8 8.01 1.00 4.73** <0.000 Genotipe (G) 13 7.66 0.59 2.79** 0.002 Interaksi G x L 39 18.45 0.47 2.24** 0.001 IAKU1 15 10.46 0.70 3.29** <0.000 56.67 IAKU2 13 6.71 0.52 2.44** 0.006 36.38 IAKU3 11 1.28 0.12 0.55tn 0.864 6.95 Galat 104 22.01 0.21 Total 167 118.49

Keterangan: ** berpengaruh nyata pada α 0.01; tn Tidak nyata.

Penguraian bilinear terhadap matriks pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan diperoleh nilai singular yaitu 1.867, 1.496 dan 0.654. Nilai singular tersebut memperlihatkan, banyaknya komponen yang dapat dipertimbangkan sebagai model IAKU adalah komponen ke-1 sampai ke-3. Berdasarkan kontribusi keragaman terhadap interakasi genotipe dan lingkungan, maka IAKU1 mampu menjelaskan interaksi sebesar 56.67%, IAKU2 sebesar 36.38% dan IAKU3 sebesar 6.95%. Nilai ini menunjukkan bahwa ketiga komponen utama sudah mampu menjelaskan 100% keragaman data.

Hasil analisis ragam AMMI (Tabel 4.8) menunjukkan IAKU1 berbeda nyata pada taraf 1% dengan peluang 0.000 dan IAKU2 dengan peluang 0.006,

sedangkan IAKU3 menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. Dengan demikian, bobot biji kering dapat diterangkan oleh IAKU1 dan IAKU2. Menurut Endang (2003), IAKU yang tidak menunjukkan perbedaan nyata dimasukan dalam sisaan. Berdasakan nilai kontribusi keragaman terlihat bahwa dua komponen pertama memiliki peranan yang dominan dalam menerangkan keragaman pengaruh yaitu interaksi genotipe dan lingkungan sebesar 93.05%, dengan demikian keragaman yang tidak dapat diterangkan oleh IAKU1 dan IAKU2 sebesar 6.95%.

Interakasi genotipe dan lingkungan dengan metode AMMI dapat diperjelas dengan mempolakannya dalam bentuk biplot, apakah genotipe yang di uji tergolong stabil atau spesifik lingkungan. Biplot menerangkan bahwa semakin dekat titik genotipe dengan titik ordinat (0.0) sebagai sumbu, semakin tinggi tingkat stabilitas suatu genotipe. Genotipe dikatakan stabil jika berada dekat dengan sumbu, sedangkan genotipe yang spesifik lingkungan adalah genotipe yang berada jauh dari sumbu utama tapi letaknya berdekatan dengan garis lingkungan (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). Kedekatan garis lingkungan dan titik genotipe memperlihatkan keeratan hubungan antara genotipe dengan lingkungan.

Gambar 4.4 Biplot AMMI 14 genotipe kacang tanah pada 4 lingkungan. 1 (GWS- 18A1), 2 (GWS-39D), 3 (GWS-72A), 4(GWS-73D), 5 (GWS-74A1), 6 (GWS- 110A1), 7 (GWS-110A2), 8 (GWS- 134A), 9 (GWS-134D), 10 (GWS-138A), 11(Gajah), 12 (Jerapah), 13 (Zebra), 14 (Sima). L1 (Bogor), L2 (Sumedang), L3 (Sukabumi), dan L4 (Kuningan).

Genotipe yang diuji dapat dikelompokkan dalam genotipe yang stabil dan genotipe yang spesifik lingkungan. Penentuan genotipe yang stabil atau genotipe spesifik lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan analisis biplot yang merupakan suatu interpretasi model AMMI. Pola interaksi genotipe dan lingkungan dengan biplot AMMI2 terhadap bobot biji kering menunjukkan bahwa genotipe GWS-73D dan GWS-138A lebih mendekat pusat sumbu. Dengan demikian kedua genotipe tersebut dikelompokkan sebagai genotipe yang stabil

1 23 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Bogor Sumedang Sukabumi Kuni ngan - 0. 8 - 0. 6 - 0. 4 - 0. 2 0. 0 0. 2 0. 4 0. 6 0. 8 Di mensi on 1 ( 56. 7%) - 1. 0 - 0. 8 - 0. 6 - 0. 4 - 0. 2 0. 0 0. 2 0. 4 0. 6 0. 8 1. 0 1. 2

dan beradaptasi luas. Gauch (1992) menyatakan bahwa, genotipe yang tumbuh di lintas lingkungan pengujian dan mendekati sumbu (nol), memberikan indikasi bahwa genotipe tersebut bersifat stabil. Jika sangat jauh dari sumbu (nol) menunjukkan genotipe memiliki daya adaptasi yang spesifik. Genotipe yang tidak stabil menunjukkan respon yang positif jika ditanam di suatu lingkungan yang menguntungkan dan berespon negatif jika ditanam di lingkungan yang berbeda (Aryana 2010).

Genotipe yang berindikasi beradaptasi spesifik terhadap lingkungan tertentu yaitu GWS-110A1, GWS-134D dan Jerapah merupakan genotipe-genotipe yang spesifik pada lingkungan Bogor. Genotipe GWS-110A2, Gajah dan Zebra merupakan genotie-genotipe yang spesifik pada lingkungan Sukabumi. Genotipe GWS-18A1, GWS-39D, GWS-72A, GWS-134A dan Sima merupakan genotipe- genotipe yang spesifik pada lingkungan Kuningan. Genotipe GWS-74A1 merupakan genotipe spesifik pada lingkungan Sumedang. Genotipe-genotipe tersebut memperlihatkan kedekatan garis lingkungan dan titik genotipe. Endang (2003) menyatakan bahwa, jika suatu genotipe dan lingkungan jaraknya berdekatan, maka hal ini menunjukkan genotipe tersebut dapat tumbuh dengan baik di lingkungan terkait. Dengan demikian genotipe-genotipe tersebut dikelompokkan sebagai genotipe yang spesifik dan beradaptasi sempit. Kesesuaian tempat tumbuh dapat juga diinterpretasikan dari besarnya sudut yang dibentuk oleh garis genotipe dan lingkungan yaitu menginformasikan adanya korelasi antara gonotipe dan lingkungan tersebut. Semakin kecil sudut yang terbentuk menginformasikan semakin besarnya korelasi yang terjadi diantara genotipe dan lingkungan. Hal ini memberikan indikasi adaptasi yang bersifat spesifik lingkungan.

Pemulia tanaman dapat memanfaatkan interaksi genotipe dengan lingkungan sehingga dapat diperoleh tanaman dengan sifat yang diinginkan (Tai et al. 1982). Menurut Kasno et al. (1987) terjadinya interaksi genotipe dengan lingkungan akan memperkecil kemajuan seleksi karena lingkungan tertentu belum tentu memberikan hasil yang baik. Sehubungan dengan hal ini disarankan perlunya spesifikasi varietas yang sesuai dengan agroekosistemnya. Namun akan lebih baik kalau dapat diperoleh varietas yang beradaptasi pada lingkungan yang lebih luas dengan daya hasil tinggi (Baihaki et al.,1976; Nugroho 1989).

Metode stabilitas Finlay dan Wilkinson (1963), Eberhart dan Russell (1966), serta metode AMMI (Gauch 1988) merupakan metode yang digunakan untuk mengukur aspek yang sama. Pemilihan metode didasarkan pada efektifitas model yang dihasilkan. Kekurangan dari penggunaan koefisien regresi diantaranya adalah tereliminasi genotipe-genotipe yang responsif terhadap lingkungan produktif (bi > 1) sedangkan produksi diatas rata-rata. Metode AMMI sangat

dapat menjelaskan interaksi genotipe dan lingkungan yang diinterpretasikan dalam bentuk Biplot AMMI. Biplot AMMI meringkas pola hubungan antar genotipe, antar lingkungan dan antar genotipe dan lingkungan. Biplot AMMI menyajikan pola tebaran titik-titik genotipe dengan kedudukan relatifnya pada lingkungan secara simultan dan membaginya kedalam genotipe stabil dan genotipe spesifik lingkungan. Dengan demikian analisis AMMI adalah dapat membedakan varietas stabil dan varietas spesifik. Pada varietas spesifik langsung ditunjuknan pada lokasi mana varietas tersebut harus ditanam (Kasno 2006).