• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Analisis change in productivity di Desa Bejiharjo

Berbanding terbalik dengan kondisi di Desa Bedoyo, perubahan penggunaan kawasan karst di Desa Bejiharjo tidak memberikan dampak negatif terhadap lahan pertanian milik masyarakat karena kegiatan wisata tidak menyebabkan pencemaran apapun, namun perubahan produktivitas tetap terjadi karena peningkatan kesejahteraan yang dialami masyarakat di Desa Bejiharjo membuat beberapa responden mampu menambah luasan lahan yang dimilikinya. Rumahtangga di Desa Bejiharjo tetap melakukan kegiatan pertaniannya seperti biasa, hanya saja semenjak desa tersebut berkembang menjadi kawasan wisata kegiatan pertanian menjadi pekerjaan sampingan. Hasil panen juga lebih banyak digunakan untuk konsumsi sendiri dibandingkan untuk dijual, hal ini disebabkan karena kebutuhan sehari-hari sudah dapat terpenuhi dari penghasilan mereka di sektor wisata. Penghasilan dari sektor non-farm khususnya wisata telah meningkatkan kesejahteraan rumahtangga responden di Desa Bejiharjo, sebanyak 12,5% responden bahkan mampu menambah luas areal lahan pertanian yang dimilikinya. Rata-rata responden tersebut dapat membeli lahan tambahan seluas

0,05-0,1 Ha, tambahan lahan tersebut digunakan untuk menanam tanaman padi sebagai tanaman pangan utama rumahtangga. Adanya peningkatan luas areal lahan pertanian tersebut menyebabkan terjadi peningkatan produktivitas tanaman padi di Desa Bejiharjo. Perubahan produktivitas dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Perubahan produktivitas dan nilai produksi padi di Desa Bejiharjo Sebelum (2010*) Sesudah (2016) Nilai perubahan Rata-rata produktivitas

(kg/ha/tahun)

277,1 367,0 89,9

Rata-rata nilai produksi (Rp/tahun)

1.278.266 5.230.000 1.270.816

Keterangan: * nilai uang tahun 2010 yang dikonversi menjadi setara dengan nilai uang tahun 2016 Hasil analisis pada Tabel 13 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pada rata-rata produksi tanaman padi yang semula 277,1 kg/ha/tahun menjadi 367,0 kg/ha/tahun. Meningkatnya luas lahan pertanian yang dimiliki responden memberikan kesempatan bagi rumahtangga untuk memproduksi padi lebih banyak. Tambahan luas lahan pertanian ini ditanami dengan tanaman padi oleh responden dengan alasan padi merupakan sumber utama pangan rumahtangga mereka, sehingga dengan meningkatnya produksi padi makan meningkat pula cadangan pangan mereka. Beberapa responden bahkan sebelumnya hanya memiliki luas lahan yang sangat sempit sehingga mereka hanya menanam jagung dan kacang-kacangan, namun setelah luas lahan mereka bertambah mereka bisa menanam tanaman padi.

Terjadinya peningkatan produktivitas berpengaruh pada pendapatan bersih yang bisa didapatkan rumahtangga dari produksi padi. Nilai change in productivity

dapat diketahui dengan cara menghitung perubahan pendapatan sebelum dan sesudah terjadi perubahan penggunaan kawasan karst. Nilai hasil penjualan produksi padi didapatkan dari hasil mengalikan jumlah produksi padi sebelum dan sesudah terjadi perubahan kawasan karst dengan harga jual padi di Desa Bejiharjo yaitu sebesar Rp5.000/kg (Lampiran 6). Nilai perubahan produktivitas didapatkan dari selisih pendapatan yang didapatkan petani sebelum dan sesudah terjadi perubahan kawasan karst dalam satuan rupiah. Berdasarkan hasil perhitungan yang dapat dilihat pada Tabel 13, nilai perubahan produktivitas sebelum dan sesudah terjadinya perubahan kawasan karst adalah sebesar –Rp1.270.816,- per tahun. Nilai tersebut menunjukkan nilai minus karena memang terjadi peningkatan produksi padi di Desa Bejiharjo akibat adanya peningkatan luas lahan pertanian yang dimiliki oleh rumahtangga responden, sehingga produksi padi ikut meningkat. Peningkatan produksi padi ini akan meningkatkan cadangan makanan yang dimiliki oleh rumahtangga responden di Desa Bejiharjo. Hal ini akan mempengaruhi nilai kerentanan Desa Bejiharjo yang diduga lebih rendah apabila dibandingkan dengan Desa Bedoyo. Selain tanaman padi, seperti halnya di Desa Bedoyo lahan pertanian di Desa Bejiharjo juga ditanami dengan tanaman lain, namun tidak terjadi perubahan produksi pada tanaman non padi tersebut karena mayoritas luas lahan milik responden tidak berubah. Responden yang mengalami perubahan luas lahan memilih untuk menanami lahannya dengan tanaman padi karena merupakan tanaman pokok. Data nilai hasil penjualan tanaman selain padi di Desa Bejiharjo dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Nilai hasil penjualan tanaman selain padi di Desa Bejiharjo

Sebelum (2010)* Sesudah (2016)

Jenis tanaman Rata-rata

jumlah produksi (kg) Rata-rata hasil penjualan (Rp) Rata-rata jumlah produksi (kg) Rata-rata hasil penjualan (Rp) Jagung 84,25 199.265 84,25 294.875 Kacang-kacangan 65,9 89.031 65,9 131.750 Umbi-umbian 25,9 51.189 25,9 75.750

Keterangan: * nilai uang yang sudah dikonversi menjadi setara dengan nilai uang tahun 2016 Berdasarkan data pada Tabel 22, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah produksi tanaman-tanaman selain padi tidak mengalami perubahan. Hal ini disebakan karena lahan yang luasnya tidak berubah sebelum dan sesudah terjadinya perubahan kawasan karst. Nilai rata-rata hasil penjualan yang menunjukkan peningkatan disebabkan oleh perubahan harga jual dan nilai uang yang terjadi dari tahun 2010 ke tahun 2016.

Biaya Pengganti (Replacement Cost)

Perubahan kawasan karst menjadi kawasan pertambangan ternyata juga memberikan dampak pada ketersediaan air bagi masyarakat di Desa Bedoyo. Sebelum kegiatan pertambangan terjadi, masyarakat memenuhi kebutuhan airnya dari mata air dan embung-embung. Air ini merupakan hasil penyerapan dari batuan karst. Kegiatan pertambangan mengganggu fungsi karst sebagai penyerap dan penyimpan air, sehingga lama kelamaan ketersediaan air di mata air dan embung mulai berkurang, kalaupun ada masyarakat harus mengambil air ke lokasi yang lebih jauh. Ketersediaan air yang mulai terbatas ini memaksa masyarakat untuk beralih menggunakan jasa dari PDAM. Konsumsi air dari PDAM tentunya membuat rumahtangga harus mengeluarkan biaya tambahan. Hal ini tentunya merupakan sebuah kerugian yang dialami oleh rumahtangga.

Menurut Widyastuti (2007) penambangan batugamping yang dilakukan di Desa Bedoyo mengakibatkan kerusakan lahan yang berimbas pada pengurangan kapasitas air tanah. Cadangan air di Desa Bedoyo sendiri adalah sebanyak 3.287.476 m3 yang apabila dinilai dengan rupiah sebesar Rp639.287.112,-. Penambangan batugamping di Desa Bedoyo juga menyebabkan peningkatan kandungan sedimen pada air permukaan sehingga kekeruhan air meningkat. Apabila penambangan batugamping terus dilakukan sampai cadangan batu habis, keuntungan ekonomi yang akan didapatkan yaitu sebesar Rp98.624.285.280,- namun nilai bukit karst sebagai akuifer air tanah akan hilang kapasitasnya sebesar Rp639.287.112,-. Keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat setempat hanya sementara, namun penduduk dirugikan selamanya karena kehilangan cadangan air. Berkurangnya cadangan air ini akhirnya memaksa masyarakat untuk beralih menggunakan air dari PDAM.

Keadaan yang dialami rumahtangga di Desa Bedoyo ini tidak dirasakan oleh rumahtangga di Desa Bejiharjo. Kegiatan wisata yang dilakukan di kawasan karst adalah kegiatan susur sungai yang mengalir di dalam goa karst, dan kegiatan tersebut tidak mengganggu dan merusak aliran sungai bawah tanah yang menjadi sumber air bagi masyarakat setempat. Rumahtangga di Desa Bejiharjo tetap dapat

memenuhi kebutuhan air sehari-hari dari sumur dan mata air yang berasal dari sungai tersebut. Menurut keterangan key person, ketersediaan air di Desa Bejiharjo sebelum dan sesudah perubahan kawasan karst tidak pernah mengalami masalah, air yang berasal dari sungai tersebut tetap melimpah dan mencukupi kebutuhan masyarakat setempat. Air yang tersedia dari sungai ini membuat rumahtangga di Desa Bejiharjo tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk keperluan air sehari-hari seperti yang terjadi di Desa Bedoyo.

Seluruh rumahtangga responden di Desa Bedoyo dalam penelitian ini beralih menggunakan air PDAM. Beberapa responden juga mengatakan bahwa mereka perlu membeli air galon untuk keperluan minum. Menurut Widyastuti (2007), air tanah di Desa Bedoyo sesuai dengan baku mutu air minum kelas I sebenarnya masih aman digunakan namun perlu diberikan perhatian lebih lanjut. Penggunaan air dari PDAM dan galon ini menyebabkan rumahtangga harus mengeluarkan biaya yang sebelumnya tidak mereka keluarkan. Kerugian yang dialami masyarakat berupa biaya pengganti sumberdaya yang hilang (Replacement cost) dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Biaya pengganti air yang harus dikeluarkan responden di Desa Bedoyo

No Jenis biaya Jumlah responden

(orang) Total Rata-rata

1. PDAM 37 1.852.500

2. PDAM dan air gallon 3 330.000

Total 2.182.500 54.562,5

Berdasarkan Tabel 15, biaya pengganti (Replacement cost) yang harus dikeluarkan responden dibagi menjadi dua kategori, yaitu biaya PDAM dan biaya PDAM dan air galon. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai rata-rata total biaya pengganti yang harus dikeluarkan masyarakat akibat berkurangnya suplai air akibat perubahan penggunaan kawasan karst yaitu sebesar Rp54.562,5,- per bulannya atau Rp654.750,- per tahun. Nilai ini tentunya mempengaruhi pengeluaran rumahtangga responden, selain itu juga mempengaruhi tingkat kerentanan rumahtangga karena adanya biaya tambahan yang harus dikeluarkan akibat perubahan penggunaan kawasan karst. Responden juga banyak yang mengeluhkan jika air yang berasal dari PDAM ini sering keruh dan dalam satu minggu bisa terjadi satu hingga dua kali gangguan teknis yang menyebabkan pasokan air ikut terganggu.

Terganggunya ketersediaan air ini menurut hasil wawancara dirasakan oleh seluruh masyarakat di Desa Bedoyo. Seluruh rumahtangga di desa ini harus menggunakan air dari PDAM untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga seluruh rumahtangga memiliki pengeluaran tambahan untuk kebutuhan air mereka. Total kerugian masyarakat akibat biaya pengganti air yang harus dikeluarkan dapat diestimasi dengan cara mengalikan rata-rata biaya pengganti yang dikeluarkan oleh suatu rumahtangga dengan jumlah kepala keluarga yang ada di Desa Bedoyo. Berdasarkan hasil perhitungan, dengan jumlah kepala keluarga di Desa Bedoyo yaitu sebanyak 4.475 kepala keluarga (Pemda DIY, 2014) maka didapat estimasi nilai kerugian masyarakat Desa Bedoyo akibat biaya pengganti air yang harus dikeluarkan yaitu sebesar Rp244.167.188,- setiap bulannya.

Penelitian yang dilakukan Mukhlis (2012) menunjukkan bahwa keluhan air terbesar di Desa Bedoyo adalah keruhnya air PDAM dan tingginya kandungan

kapur yang ada di dalam air sehingga setelah air dimasak warga harus menyaring dan mengendapkannya terlebih dahulu. Biaya tagihan PDAM yang harus mereka bayarkan juga dirasa memberatkan. Kerugian yang dialami rumahtangga di Desa Bedoyo ini merupakan dampak negatif dari perubahan penggunaan kawasan karst menjadi pertambangan. Desa Bedoyo termasuk dalam kawasan karst resapan air yang apabila kondisinya semakin rusak maka kemungkinan besar supply air di daerah lain juga akan terkena dampaknya. Hal ini disebabkan karena daerah tangkapan Sungai Bribin, sungai bawah tanah besar yang mensuplai air bagi seluruh daerah di Kabupaten Gunungkidul berada di kawasan karst tersebut.

Identifikasi Kerentanan Rumahtangga Akibat Perubahan Penggunaan Kawasan Karst

Perubahan penggunaan kawasan karst menjadi dua kawasan yang berbeda, yaitu menjadi kawasan pertambangan dan menjadi kawasan wisata memberikan dampak yang berbeda pada rumahtangga di masing-masing lokasi. Dampak yang dirasakan oleh rumahtangga mempengaruhi struktur mata pencaharian dan penghasilan mereka. Selain itu kondisi lingkungan di masing-masing lokasi juga mengalami perubahan yang berbeda akibat perubahan penggunaan kawasan karst tersebut. Perubahan penggunaan kawasan karst dalam hal ini merupakan stressor

bagi rumahtangga di kedua desa yang akan berpengaruh pada kerentanan rumahtangga secara ekonomi. Nilai kerentanan rumahtangga di kedua desa diidentifikasi dengan menghitung nilai Livelihood Vulnerability Index (LVI) yang didapat dari tujuh sub-komponen yaitu profil sosio-demografi, strategi penghidupan, air, kesehatan, jejaring sosial, pangan, dan dampak perubahan kawasan karst.

Perubahan kawasan karst menjadi kawasan pertambangan seperti yang telah dijelaskan telah banyak memberikan eksternalitas kepada masyarakat di sekitarnya. Eksternalitas tersebut diantaranya perubahan penghasilan rumahtangga, perubahan produktivitas pertanian, dan juga biaya pengganti (replacement cost) yang harus ditanggung oleh masyarakat. Eksternalitas yang dirasakan oleh masyarakat Desa Bedoyo cenderung merupakan eksternalitas negatif, karena walaupun rumahtangga responden mengalami peningkatan penghasilan namun sebenarnya mereka mengalami banyak kerugian seperti lahan yang tercemar, sumber air yang hilang, polusi udara, dan terancamnya keberlanjutan kawasan karst itu sendiri. Sementara itu kawasan karst yang berubah menjadi kawasan wisata semakin ramai dari waktu ke waktu sehingga menimbulkan eksternalitas positif bagi masyarakat di sekitarnya. Eksternalitas positif yang dirasakan berupa peningkatan penghasilan karena semakin bervariasinya kesempatan kerja di sektor non-farm. Sektor wisata tentunya lebih menjanjikan karena tidak memiliki risiko ketidakpastian yang besar seperti sektor pertanian. Eksternalitas berbeda yang dirasakan pada kedua lokasi tersebut akan memicu kerentanan dalam rumahtangga, untuk itu perlu diketahui seberapa besar nilai kerentanan pada rumahtangga di kawasan karst yang mengalami perubahan penggunaan menjadi kawasan pertambangan. Penilaian kerentanan rumahtangga dilakukan dengan Livelihood Vulnerability Index (LVI). Nilai LVI sendiri menurut Hahn et al. (2009) berada pada rentang 0 (sedikit rentan) sampai 0,5 (paling rentan). Perhitungan LVI pada penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan indeks komposit. Hasil perhitungan LVI di kedua desa dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Hasil perhitungan LVI Komponen

utama

Sub-komponen Satuan Bedoyo Bejiharjo Nilai maks Nilai min Nilai Std Nilai Std Profil sosiodemogra fi Rasio 0,36 0,22 RT dengan KK perempuan Persen 20 0,20 12,5 0,13 100 0 RT dengan KK berusia lanjut (>55 tahun) Persen 35 0,35 22,5 0,23 100 0 RT dengan KK lulusan SD Persen 52,5 0,53 30 0,30 100 0 Strategi penghidupan Rasio 0,37 0,32 RT dengan sumber penghasilan hanya dari KK Persen 15 0,15 10 0,10 100 0 RT yang pekerjaan utamanya bertani Persen 92,5 0,93 10 0,10 100 0 RT yang tidak

mempunyai hewan ternak

Persen 35 0,35 47,5 0,48 100 0

RT yang tidak memiliki pekerjaan sampingan

Persen 7,5 0,07 5

57,5 0,58 100 0

Air Rasio 0,53 0,29

RT dengan sumber air bersih dari mata air

Persen 0 0 100 1 100 0

RT dengan sumber air bersih dari PDAM

Persen 100 1 0 0 100 0

RT yang memiliki masalah supply air

Persen 100 1 0 0 100 0 RT yang memiliki penampungan air Persen 12,5 0,13 17,5 0,18 100 0 Kesehatan Rasio 0,18 0,00 RT yang anggota keluarganya pernah sakit akibat paparan

Persen 17,5 0,18 0 0 100 0

RT yang harus pergi ke Rumah Sakit Persen 17,5 0,18 0 0 100 0 Jejaring sosial Rasio 0,37 0,37 RT yang mendapat bantuan dari pemerintah

Persen 40 0,40 32,5 0,33 100 0 RT yang pernah meminjam pada saudara/tetangga Persen 32,5 0,33 40 0,40 100 0 Pangan Rasio 0,37 0,21

RT yang menjual hasil ladangnya

Persen 55 0,55 27,5 0,28 100 0

RT yang pangannya bukan dari hasil ladang sendiri Persen 17,5 0,18 12,5 0,13 100 0 Dampak perubahan kawasan karst Rasio 0,26 0,05 RT yang profesi utamanya masih bertani

Persen 37 0,37 10 0,10 100 0

RT yang kesejahteraannya menurun

Persen 15 0,15 0 0 100 0

Nilai LVI 0,35 0,21

Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 16 dengan menggunakan nilai indeks dari setiap sub-komponen, didapatkan nilai LVI Desa Bedoyo sebesar 0,35 dan Desa Bejiharjo sebesar 0,21. Nilai ini menunjukkan bahwa Desa Bedoyo memiliki kerentanan yang lebih tinggi akibat adanya perubahan kawasan karst dibandingkan dengan Desa Bejiharjo. Nilai kerentanan Desa Bedoyo yang lebih tinggi ini dapat disebabkan oleh eksternalitas negatif yang dirasakan rumahtangga responden disana. Kondisi lingkungan yang menurun dapat berdampak pada keadaan ekonomi rumahtangga yang akan menjadi lebih rentan. Nilai LVI Desa Bejiharjo yang lebih rendah berbanding lurus dengan keadaan rumahtangga responden disana. Responden di Desa Bejiharjo merasakan eksternalitas yang positif akibat dari perubahan kawasan karst menjadi kawasan wisata. Perbedaan yang dirasakan di kedua desa ini ternyata mempengaruhi nilai kerentanan pada tujuh komponen utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu profil sosiodemografi, strategi penghidupan, air, kesehatan, jejaring sosial, pangan, dan dampak perubahan kawasan karst.

Komponen yang menunjukkan kerentanan paling tinggi di Desa Bedoyo adalah komponen air dengan nilai 0,53. Nilai kerentanan yang tinggi ini disebabkan karena semenjak terjadi perubahan kawasan karst rumahtangga responden di Desa Bedoyo kehilangan supply air yang berasal dari mata air dan yang tertampung di embung. Rumahtangga responden harus menggunakan jasa air dari PDAM untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Penggunaan air dari PDAM ini tentunya menambah biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap rumahtangga, sehingga akan berpengaruh terhadap kerentanan ekonomi rumahtangga itu sendiri. Hal ini disebabkan karena hanya 64% rumahtangga di Moma yang dapat memenuhi kebutuhan air sehari-harinya. Komponen air di Desa Bejiharjo sendiri memiliki nilai kerentanan yang rendah yaitu 0,29. Nilai ini cukup rendah karena seluruh rumahtangga di Desa Bejiharjo tidak memiliki masalah supply air. Kebutuhan air mereka tetap tersedia baik dari mata air maupun sumur, menurut keterangan responden, sungai bawah tanah yang berada di dalam Goa Pindul merupakan sumber air bagi mereka dan kegiatan wisata tidak mengganggu ketersediaan air sehingga rumahtangga tidak perlu mengeluarkan biaya lagi seperti yang terjadi di Desa Bedoyo.

Selain itu sebanyak 17,5% rumahtangga responden juga memiliki penampungan air sebagai tempat persediaan. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Hahn (2008) di Moma dan Mabote. Hanya 64% rumahtangga di Moma yang memiliki persediaan air untuk kebutuhan sehari-harinya, sementara itu di Mebote 94% rumahtangganya memiliki persediaan air yang konsisten. Hal ini mengakibatkan Moma menjadi daerah yang memiliki kerentanan pada komponen air lebih tinggi dibandingkan dengan Mabote.

Nilai kerentanan yang tinggi selanjutnya di Desa Bedoyo adalah komponen jejaring sosial dengan nilai 0,37. Hal ini disebabkan karena sebanyak 40% responden di Desa Bedoyo mendapatkan bantuan dari pemerintah. Rumahtangga responden juga melakukan pinjaman pada saudara atau tetangga apabila sedang dalam keadaan terdesak, sementara beberapa rumahtangga responden mengaku enggan melakukan pinjaman ke bank/koperasi karena persyaratannya dirasa cukup merepotkan. Meminjam kepada saudara atau tetangga dilakukan responden bila berada dalam keadaan yang sangat terdesak, namun jika mereka masih memiliki aset mereka akan memilih untuk menjual aset tersebut. Nilai kerentanan yang tinggi

pada komponen jejaring sosial juga terjadi di Desa Bejiharjo, sebanyak 32,5% responden masih mendapat bantuan dari pemerintah. Selain itu karena kekeluargaan yang tinggi apabila dalam keadaan terdesak rumahtangga melakukan pinjaman kepada saudara atau tetangga.

Nilai kerentanan komponen strategi penghidupan di Desa Bedoyo dan Desa Bejiharjo masing-masing 0,37 dan 0,32. Nilai ini cukup tinggi karena sebanyak 93% rumahtangga responden di Desa Bedoyo masih mengandalkan kegiatan bertani sebagai mata pencaharian utamanya walaupun keadaan ladang yang tercemar air banyu putih menyebabkan ladang tidak lagi bisa ditanami padi, sementara pekerjaan di perusahaan tambang dianggap sebagai pekerjaan sampingan. Sementara itu sebanyak 57,5% rumahtangga responden di Desa Bejiharjo masih mengandalkan sektor pertanian sebagai pekerjaan sampingan, dan 47,5% diantaranya tidak memiliki hewan ternak. Mayoritas rumahtangga responden memiliki pekerjaan utama di sektor pariwisata karena sektor ini jauh lebih menjanjikan dan minim risiko ketidakpastian, sementara itu kegiatan bertani sebagai pekerjaan sampingan dilakukan oleh rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dan baru akan dijual apabila persediaan untuk pangan mereka sehari-hari dianggap sudah mencukupi.

Nilai kerentanan komponen pangan di Desa Bedoyo yaitu sebesar 0,37. Nilai kerentanan ini tergolong cukup tinggi karena 55% rumahtangga responden menjual hasil panennya selain dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri. Hal ini dapat menyebabkan ketersediaan makanan rumahtangga berkurang. Sebaliknya, nilai kerentanan komponen pangan di Desa Bejiharjo lebih rendah yaitu sebesar 0,21. Rumahtangga responden di Desa Bejiharjo yang menjual ladangnya hanya sebanyak 27,5% saja, sisanya hasil panen dikonsumsi sendiri. Mayoritas rumahtangga sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari hasil pekerjaan di sektor wisata, sehingga hasil panen lebih banyak dikonsumsi sendiri. Namun 12,5% rumahtangga juga menjual hasil panennya apabila kebutuhan untuk konsumsi sudah tercukupi.

Nilai kerentanan komponen profil sosio-demografi di Desa Bedoyo yaitu sebesar 0,36. Hal ini disebabkan karena sebanyak 52,5% kepala rumahtangga responden di Desa Bedoyo hanya lulusan SD dan beberapa diantaranya bahkan tidak sekolah. Sementa nilai komponen ini di Desa Bejiharjo yaitu sebesar 0,22. Nilai ini cukup rendah bila dibandingkan dengan nilai komponen yang sama di Desa Bedoyo. Hal ini dikarenakan kepala rumahtangga responden di Desa Bejiharjo sudah banyak yang menyelesaikan pendidikannya sampai ke jenjang SMA, hanya 30% kepala rumahtangga yang merupakan lulusan SD. Pendidikan yang lebih tinggi ini memberikan kesempatan kepada kepala keluarga untuk mendapat strata pekerjaan yang lebih tinggi di lembaga jasa wisata yang ada di Desa Bejiharjo.

Nilai komponen dampak perubahankawasan karst di Desa Bedoyo adalah sebesar 0,26. Hal ini disebabkan karena perubahan kawasan karst yang terjadi mengakibatkan sebagian besar rumahtangga responden tidak dapat menanami padi lagi di ladangnya akibat pencemaran dari air banyu putih, padahal kegiatan pertanian masih menjadi profesi utama bagi mayoritas rumahtangga disana. Hal ini mengakibatkan terjadi perubahan pada penghasilan rumahtangga, walaupun perubahan kawasan karst juga memberikan dampak positif berupa tersedianya alternatif pekerjaan yang lain selain bertani, namun kerugian yang dialami

rumahtangga responden akibat ladang yang tidak bisa ditanami padi ini cukup besar bila dibandingkan dengan penghasilan yang didapat dari bekerja di perusahaan pertambangan. Nilai komponen dampak perubahan kawasan karst di Desa Bejiharjo adalah 0,05. Perubahan kawasan karst yang terjadi membuat hampir seluruh rumahtangga responden beralih profesi ke sektor wisata, hanya 10% yang masih melakukan aktivitas bertani sebagai profesi utamanya. Seluruh rumahtangga juga merasakan peningkatan kesejahteraan setelah kawasan karst berkembang menjadi lokasi wisata.

Nilai komponen yang paling rendah di kedua desa yaitu komponen kesehatan. Nilai komponen kesehatan di Desa Bedoyo dan Desa Bejiharjo masing- masing yaitu 0,18 dan 0,00. Rumahtangga responden di Desa Bedoyo sebanyak 17,5% merasa terganggu kesehatannya dan perlu pergi berobat ke puskesmas atau rumah sakit akibat dari kegiatan pertambangan. Sementara itu nilai komponen kesehatan di Desa Bejiharjo menunjukkan nilai 0,00 karena tidak ada satupun rumahtangga responden yang merasakan adanya gangguan kesehatan akibat dari perubahan kawasan karst tersebut sehingga mereka juga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pergi berobat ke rumahsakit atau puskesmas.

Secara keseluruhan, rumahtangga di Desa Bejiharjo memiliki kerentanan

Dokumen terkait