• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Daya Saing Hortikultura Indonesia di Pasar

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Analisis Daya Saing Hortikultura Indonesia di Pasar

Bahasa Indonesia berpendapat bahwa daya saing ekspor merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk bertahan dalam pasar tersebut. Daya saing suatu komoditi dapat diukur atas dasar perbandingan pangsa pasar komoditi tersebut pada kondisi pasar yang tetap. Analisis daya saing dalam hal ini mencakup spesialisasi ekspor hasil hortikultura Indonesia yang dapat dikembangkan, kemampuan hortikultura Indonesia untuk dapat merebut pasar, tren daya saing komoditi hortikultura Indonesia, serta analisis posisi daya saing sektor hortikultura Indonesia di pasar ASEAN. Berikut ini akan dijelaskan analisis daya saing yang telah disebutkan diatas berdasarkan komoditi pada tahun 2007 sampai tahun 2012.

6.1.1 Mangga, Manggis dan Jambu Biji

Nilai Revealed Comparative Advantages (RCA) komoditi mangga, manggis dan jambu biji Indonesia selama lima tahun terakhir selalu kurang dari satu. Ini berarti pangsa pasar komoditi mangga, manggis dan jambu biji Indonesia lebih kecil dari rata-rata pangsa ketiga komoditi tersebut di pasar ASEAN, artinya Indonesia tidak berspesialisasi untuk komoditi mangga, manggis dan jambu biji di pasar ASEAN atau dengan kata lain mangga, manggis dan jambu biji Indonesia memiliki daya saing yang lemah dibandingkan dengan negara-negara pesaing di ASEAN.

Tabel 10 Nilai RCA Mangga, Manggis dan Jambu Biji Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012.

Tahun Negara Pesaing Indonesia

Malaysia Filipina Singapura Thailand

2007 1.005 3.734 0.043 3.482 0.713 2008 0.859 2.405 0.025 3.909 0.805 2009 0.632 1.393 0.019 4.850 0.381 2010 0.401 0.885 0.020 4.997 0.198 2011 0.349 2.451 0.027 4.448 0.392 2012 0.180 1.281 0.014 4.642 0.217

Menurut FAO (2012), tujuan utama mangga, manggis dan jambu biji Indonesia adalah pasar negara-negara Timur Tengah seperti Bahrain, Kuwait, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, serta ke Hongkong dan Taiwan. Untuk pasar ASEAN, pangsa ekspor ketiga komoditi ini dikuasai oleh Thailand dan Filipina. Sementara itu Malaysia dan Singapura juga memiliki daya saing yang lemah untuk komoditi mangga, manggis dan jambu biji seperti Indonesia. Daya saing mangga, manggis dan jambu biji Malaysia setelah tahun 2007 menjadi lemah karena pertumbuhan nilai ekspor Malaysia lebih rendah dibandingkan pertumbuhan nilai ekspor ASEAN.

Tabel 11 Nilai AR Mangga, Manggis dan Jambu Biji Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012.

No. Negara Produsen Nilai AR

1 Indonesia 0.087

2 Malaysia 0.022

3 Filipina 0.114

4 Singapura 0.044

5 Thailand 2.581

Sumber : UNComtrade (diolah), 2013

Hasil estimasi Acceleration Ratio (AR) pada Tabel 11 diatas menunjukkan bahwa komoditi mangga, manggis dan jambu biji dari kelima negara tersebut mampu untuk merebut pasar di ASEAN karena kelima negara tersebut memiliki nilai AR yang lebih dari nol, termasuk Indonesia. Diantara kelima negara di atas, komoditi mangga, manggis dan jambu biji dari Thailand memiliki kemampuan untuk merebut pasar ASEAN lebih kuat daripada negara-negara pesaingnya, karena memiliki nilai AR yang paling tinggi diantara negara-negara penghasil mangga, manggis dan jambu biji lainnya. Salah satu penyebab nilai AR mangga, manggis dan jambu biji Thailand tinggi adalah kemampuan mangga Thailand untuk bersaing di pasar internasional. Thailand terkenal dengan beberapa varietas mangganya yang mendunia seperti mangga Okyong, mangga Chokanan, mangga Khiojay, mangga Namdokmai, dan sebagainya. Keunggulan tanaman mangga Thailand sehingga bisa bersaing di pasar internasional adalah pertumbuhan tanaman cepat, berbuah sepanjang musim, serta tahan terhadap serangan hama dan penyakit (Iswanto 2002).

Tabel 12 Nilai ECI Mangga, Manggis dan Jambu Biji Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012.

No. Negara Produsen Rata-Rata ECI

1 Indonesia 1.002

2 Malaysia 0.712

3 Filipina 0.882

4 Singapura 0.853

5 Thailand 1.132

Sumber : UNComtrade (diolah), 2013

Berdasarkan hasil estimasi rata-rata Export Competitiveness Index (ECI) pada Tabel 12, komoditi mangga, manggis dan jambu biji Indonesia memiliki tren daya saing yang meningkat di pasar ASEAN karena memiliki rata-rata ECI lebih dari satu. Negara produsen mangga, manggis, dan jambu biji di ASEAN yang memiliki tren daya saing meningkat juga adalah Thailand. Thailand memiliki rata- rata ECI yang lebih dari satu. Peningkatan daya saing mangga, manggis, dan jambu biji Thailand diakibatkan oleh peningkatan nilai ekspor komoditi tersebut selama periode 2007 sampai 2012. Pada tahun 2007 nilai ekspor komoditi mangga, manggis dan jambu biji Thailand hanya sebesar 5 507 000 US$ dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 54 096 000 US$. Nilai tersebut meningkat lebih dari 1000 persen. Meskipun dikuasai oleh Thailand, Indonesia masih dapat melakukan upaya peningkatan pangsa pasar, hal ini dikarenakan pelaku usaha dari Thailand masih mencari manggis dan mangga dari Indonesia untuk pemenuhan pasar ekspor yang mereka kuasai sehingga jika informasi pasarnya sudah jelas, bukan mustahil eksportir dari Indonesia dapat meningkatkan pangsa pasarnya (Kastaman 2007).

6.1.2 Alpukat

Hasil estimasi RCA yang diperoleh untuk komoditi alpukat Indonesia menunjukkan bahwa komoditi ini layak untuk dikembangkan lebih baik lagi di pasar ASEAN karena memiliki daya saing yang kuat. Nilai RCA alpukat Indonesia mulai tahun 2008 sampai 2012 konsisten lebih dari satu. Ini berarti alpukat Indonesia memiliki pangsa yang lebih besar dibandingkan pangsa alpukat di pasar ASEAN, atau dengan kata lain Indonesia bisa berspesialisasi terhadap komoditi alpukat untuk dapat lebih bersaing lagi di pasar internasional. Singapura

juga memiliki nilai RCA yang selalu lebih dari satu setiap tahunnya, namun nilai RCA yang dimiliki Indonesia mulai tahun 2008 lebih tinggi dari nilai RCA Singapura. Sebenarnya nilai ekspor alpukat Singapura lebih besar dibandingkan Indonesia tiap tahun. Pertumbuhan yang lebih cepat menyebabkan alpukat Indonesia lebih memiliki daya saing dibandingkan alpukat Singapura.

Tabel 13 Nilai RCA Alpukat Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012.

Tahun Negara Pesaing Indonesia

Singapura 2007 1.028 0.135 2008 1.447 3.203 2009 1.395 3.269 2010 1.737 2.275 2011 1.472 2.543 2012 1.597 2.022

Sumber : UNComtrade (diolah), 2013

Menurut data UNComtrade, perkembangan impor alpukat di kawasan ASEAN terus meningkat. Hal ini bisa menjadi keuntungan bagi Indonesia sebagai pengekspor Alpukat di pasar ASEAN. Peningkatan permintaan alpukat cenderung disebabkan peningkatan jumlah penduduk, semakin membaiknya pendapatan masyarakat, serta semakin tingginya kesadaran masyarakat akan nilai gizi buah- buahan, termasuk alpukat (Rukmana 1997). Peningkatan permintaan ini harus diimbangi dengan peningkatan produksi jika ingin alpukat Indonesia dapat bersaing di pasar ASEAN. Menurut Prihatman (2000), prospek alpukat semakin cerah sehubungan dengan semakin terbukanya peluang pasar alpukat, baik di dalam maupun di luar negeri.

Tabel 14 Nilai AR Alpukat Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012.

No. Negara Produsen Nilai AR

1 Indonesia 1.270

2 Singapura 1.324

Sumber : UNComtrade (diolah), 2013

Dari hasil estimasi AR, baik Indonesia maupun Singapura sama-sama memiliki kemampuan untuk merebut pasar alpukat di ASEAN. Selisih nilai AR

kedua negara pun sangat tipis sehingga keduanya memiliki kekuatan yang hampir sama untuk merebut pasar ASEAN. Berdasarkan data FAO, tujuan ekspor alpukat Indonesia lebih sedikit dibandingkan dengan alpukat Singapura. Tujuan utama ekspor alpukat Indonesia hanya ke pasar Malaysia, sedangkan tujuan utama ekspor alpukat Singapura adalah ke pasar Brunei Darussalam, Malaysia, serta Vietnam. Jika dikembangkan dengan baik, tujuan ekspor alpukat Indonesia ke pasar ASEAN bisa diperluas tidak hanya ke Malaysia, mengingat komoditi alpukat Indonesia merupakan produk yang dinamis di pasar ASEAN karena permintaannya yang terus meningkat.

Tabel 15 Nilai ECI Alpukat Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012.

No. Negara Produsen Rata-Rata ECI

1 Indonesia 5.768

2 Singapura 1.324

Sumber : UNComtrade (diolah), 2013

Nilai ECI yang dihasilkan dalam estimasi untuk kedua negara produsen alpukat di ASEAN cenderung fluktuatif setiap tahunnya. Jika dilihat dari nilai rata-rata ECI pada periode 2007 sampai 2012, Indonesia memiliki nilai rata-rata ECI yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa alpukat Indonesia memiliki tren daya saing yang meningkat untuk kedepannya. Menurut Sunarjono (2008), ekspor alpukat Indonesia ke luar negeri terus mengalami peningkatan sehingga memerlukan pengembangan serta pengelolaan yang lebih baik. Sementara itu, Singapura sebagai negara pesaing produsen alpukat di pasar ASEAN juga memiliki tren daya saing yang meningkat. Walaupun nilai rata-rata ECI Singapura masih lebih kecil dari Indonesia, tidak menutup kemungkinan di masa mendatang Singapura akan mengalahkan Indonesia karena daya saingnya yang meningkat. 6.1.3 Semangka

Nilai RCA semangka Indonesia yang diperoleh dari hasil estimasi memiliki nilai kurang dari satu untuk setiap tahunnya, artinya semangka Indonesia kurang memiliki peluang untuk dikembangkan di pasar ASEAN. Pangsa semangka Indonesia lebih kecil dibandingkan pangsa semangka di pasar ASEAN, sehingga Indonesia tidak bisa berspesialisasi untuk komoditi semangka. Jika

dibandingkan dengan nilai RCA semangka Malaysia, semangka Indonesia memiliki daya saing yang lebih lemah.

Tabel 16 Nilai RCA Semangka Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012.

Tahun Negara Pesaing Indonesia

Malaysia Singapura Thailand

2007 4.623 0.003 0.046 0.070 2008 4.479 0.001 0.063 0.476 2009 4.575 0.001 0.108 0.236 2010 5.103 0.001 0.061 0.017 2011 5.350 0.001 0.032 0.030 2012 4.791 0.002 0.020 0.136

Sumber : UNComtrade (diolah), 2013

Nilai RCA semangka Indonesia yang paling tinggi berada pada tahun 2008 dan 2009. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut volume ekspor semangka Indonesia mencapai 95 000 kg yang merupakan volume ekspor semangka tertinggi pada periode 2007 - 2012. Jika dibandingkan dengan rata-rata ekspor semangka Malaysia yang mencapai 35 000 ton setiap tahunnya, ekspor semngka Indonesia masih sangat kecil. Selain Indonesia dan Malaysia, negara penghasil semangka di ASEAN adalah Singapura dan Thailand. Sama seperti Indonesia, nilai RCA kedua negara tersebut selalu kurang dari satu setiap tahunnya, sehingga memiliki daya saing yang lemah di pasar ASEAN.

Tabel 17 Nilai AR Semangka Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012.

No. Negara Produsen Nilai AR

1 Indonesia 0.154

2 Malaysia 0.720

3 Singapura 0.194

4 Thailand 0.180

Sumber : UNComtrade (diolah), 2013

Hasil estimasi AR memiliki nilai yang lebih dari nol (positif) untuk semua negara produsen semangka di ASEAN, yang berarti keempat negara di atas memiliki kemampuan untuk merebut pasar semangka di ASEAN. Malaysia menjadi negara produsen semangka yang lebih memiliki kekuatan untuk merebut

pasar dibandingkan dengan pesaingnya. Malaysia memang memiliki nilai AR yang paling tinggi, namun selisih dengan ketiga negara lainnya, termasuk Indonesia, tidak terlalu jauh sehingga keempat negara di atas memiliki peluang yang sama untuk merebut pasar semangka di ASEAN. Pasar yang cukup kompetitif ini disebabkan semangka memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga banyak pihak mencoba untuk mengembangkannya. Beberapa kelebihan usahatani semangka diantaranya adalah umur produksi yang relatif singkat (70-80 hari), dapat dijadikan tanaman alternatif untuk sawah pada musim kemarau, serta mudah untuk dipraktekkan oleh para petani (Rukmana 1994). Kelebihan semangka tersebut menjadikan komoditi ini laris untuk dikembangkan di negara- negara yang memiliki iklim tropis, seperti di Asia Tenggara.

Tabel 18 Nilai ECI Semangka Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012.

No. Negara Produsen Rata-Rata ECI

1 Indonesia 2.824

2 Malaysia 0.998

3 Singapura 1.422

4 Thailand 0.997

Sumber : UNComtrade (diolah), 2013

Hasil estimasi ECI semangka Indonesia dan negara pesaing di pasar ASEAN pada tahun 2007 sampai 2012 menunjukkan angka yang fluktuatif setiap tahunnya, namun jika dilihat dari nilai rata-rata ECI, Indonesia memiliki tren daya saing yang meningkat. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2011 ke 2012, yaitu saat nilai ekspor semangka Indonesia meningkat dari 38 000 US$ pada tahun 2011 menjadi sebesar 169 000 US$ di tahun 2012. Nilai rata-rata ECI semangka Indonesia pada periode 2007 sampai 2012 memiliki nilai terbesar dibandingkan negara pesaingnya di ASEAN. Negara produsen semangka yang memiliki tren daya saing meningkat juga adalah Singapura. Sementara itu, Malaysia dan Thailand mengalami penurunan pangsa pasar. Meningkatnya tren daya saing semangka Indonesia ini diakibatkan oleh perkembangan produk hortikultura sebagai unggulan daerah dalam beberapa tahun terakhir. Banyuwangi contohnya. Kepala Distan Kabupaten Banyuwangi dalam Prasetyo (2013) menyebutkan bahwa hasil produksi semangka di Banyuwangi semakin meningkat dan

menunjukkan perspektif baru bahwa perkembangan hortikultura tidak hanya terfokus pada peningkatan produksi, namun juga peningkatan mutu, daya saing, dan akses pasar.

6.1.4 Kentang

Nilai RCA kentang Indonesia yang diperoleh dari hasil estimasi memiliki nilai yang kurang dari satu dalam periode tahun 2007 hingga 2012, yang artinya kentang Indonesia kurang memiliki daya saing di pasar ASEAN dan kurang dapat dispesialisasi untuk dikembangkan lagi. Namun jika dilirik dari nilai ekspornya, sebenarnya nilai ekspor kentang Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun mulai dari 51 000 US$ pada tahun 2007 hingga menjadi 143 000 US$ pada tahun 2012. Tetapi laju pertumbuhan nilai ekspor kentang Indonesia lebih lambat dibandingkan pertumbuhan nilai ekspor kentang di ASEAN yang sangat cepat. Tabel 19 Nilai RCA Kentang Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN

Tahun 2007-2012.

Tahun Negara Pesaing Indonesia

Malaysia Singapura 2007 2.773 0.791 0.519 2008 3.277 0.520 0.749 2009 3.444 0.457 0.450 2010 3.025 0.822 0.134 2011 2.538 0.559 0.278 2012 3.304 0.648 0.308

Sumber : UNComtrade (diolah), 2013

Malaysia menjadi pengekspor kentang terbesar di ASEAN sehingga kentang Malaysia memiliki daya saing yang tinggi yang ditunjukkan dengan nilai RCA yang lebih dari satu, sementara kentang Indonesia memiliki nilai yang kurang dari satu sehingga tidak berdaya saing di pasar ASEAN. Kentang Indonesia sebenarnya memiliki potensi dan prospek yang baik untuk mendukung program diversifikasi dalam pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan (Balista 2008), karena ekspor kentang Indonesia dapat lebih meningkat lagi. Namun menurut Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Jawa Barat dalam Khairi (2013), kecenderungan produksi kentang Indonesia merupakan kualitas konsumsi, belum mencapai pada kentang dengan kualitas ekspor. Hal ini

menyebabkan mutu dan kualitas kentang yang diekspor menjadi rendah dan kurang berdaya saing di pasar internasional.

Tabel 20 Nilai AR Kentang Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012.

No. Negara Produsen Nilai AR

1 Indonesia 1.317

2 Malaysia 4.513

3 Singapura 2.656

Sumber : UNComtrade (diolah), 2013

Berdasarkan nilai AR yang diperoleh pada Tabel 20, baik Indonesia, Malaysia, maupun Singapura sama-sama memiliki kekuatan untuk merebut pasar kentang di ASEAN. Nilai AR ketiga negara memiliki nilai yang positif. Malaysia memiliki nilai AR yang lebih tinggi dibanding kedua negara pesaingnya karena memiliki nilai ekspor yang tinggi setiap tahunnya. Hal ini menyebabkan Malaysia lebih memiliki kekuatan untuk merebut pasar kentang di ASEAN. Tren nilai ekspor kentang ketiga negara produsen meningkat dari tahun 2007 sampai 2012, sedangkan nilai impor kentang di ASEAN memiliki tren yang menurun pada periode tersebut. Hal ini yang menyebabkan nilai AR ketiga negara produsen memiliki nilai yang positif.

Tabel 21 Nilai ECI Kentang Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012.

No. Negara Produsen Rata-Rata ECI

1 Indonesia 1.174

2 Malaysia 1.052

3 Singapura 1.025

Sumber : UNComtrade (diolah), 2013

Berdasarkan rata-rata nilai ECI pada Tabel 21, Indonesia memiliki nilai yang lebih dari satu. Ini menunjukkan bahwa kentang Indonesia memiliki tren daya saing yang meningkat. Nilai rata-rata ECI Indonesia juga terbesar jika dibandingkan dengan negara produsen kentang lainnya di pasar ASEAN. Oleh sebab itu, jika kentang Indonesia ingin tetap dapat bersaing di pasar ASEAN, perlu pengelolaan dan pengembangan yang lebih baik di masa datang agar pangsa pasar kentang Indonesia di pasar ASEAN tidak direbut oleh negra-negara pesaing. Kentang Indonesia berpotensi lebih berkembang karena produksi kentang terus

berkembang pesat selama dekade terakhir. Hal ini tidak terlepas dari peran Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balista) dalam penciptaan benih unggul kentang yang bermutu (Sembiring 2010). Indonesia memiliki tren daya saing yang fluktuatif setiap tahunnya. Fluktuasi tren daya saing ini disebabkan oleh beberapa kendala. Kendala ekspor kentang Indonesia yang membuat tren daya saingnya fluktuatif sebenarnya bukan berasal dari proses produksinya, namun karena banyaknya kentang impor yang masuk ke Indonesia yang mengakibatkan petani kentang lokal merugi, dan kehilangan pangsa pasarnya (Prasaja, 2011).

6.1.5 Tomat

Berdasarkan hasil estimasi RCA pada tahun 2007 sampai 2012, komoditi tomat Indonesia memiliki daya saing yang lemah di pasar ASEAN pada periode tersebut, sehingga Indonesia kurang dapat berspesialisasi pada komoditi tomat. Hal ini terlihat dari nilai RCA yang kurang dari satu setiap tahunnya. Diantara seluruh negara penghasil tomat di ASEAN, hanya Malaysia yang memiliki nilai RCA lebih dari satu setiap tahunnya. Nilai RCA yang dimiliki Malaysia pun cukup tinggi. Hal ini membuat Malaysia memiliki daya saing yang sangat kuat untuk komoditi tomat. Sedangkan dua negara produsen tomat lainnya, yaitu Singapura dan Thailand, memiliki daya saing yang lemah di pasar ASEAN selama periode 2007 hingga 2012.

Tabel 22 Nilai RCA Tomat Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012.

Tahun Negara Pesaing Indonesia

Malaysia Singapura Thailand

2007 4.370 0.014 0.116 0.440 2008 4.519 0.013 0.084 0.273 2009 4.532 0.011 0.097 0.201 2010 4.840 0.012 0.078 0.232 2011 5.016 0.011 0.102 0.219 2012 4.674 0.011 0.119 0.145

Sumber : UNComtrade (diolah), 2013

Menurut data BPS (2013), produktivitas tomat Indonesia relatif stabil, sedangkan luas areal budidaya tomat Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dijadikan modal agar produksi tomat Indonesia lebih

meningkat. Meningkatnya produksi membuat Indonesia berpotensi untuk meningkatkan nilai ekspor tomatnya. Peningkatan produksi ini disebabkan buah tomat selain dikonsumsi segar, juga dapat dimanfaatkan untuk bahan dasar industri, misalnya sambal, saus, jamu, kosmetik, dan sebagainya sehingga permintaannya meningkat (Armaini dan Sahyoga 2007).

Tabel 23 Nilai AR Tomat Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012.

No. Negara Produsen Nilai AR

1 Indonesia 0.045

2 Malaysia 0.953

3 Singapura 0.056

4 Thailand 0.082

Sumber : UNComtrade (diolah), 2013

Berdasarkan estimasi nilai AR, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand sama-sama memiliki kekuatan untuk merebut pasar tomat di ASEAN karena keempat negara tersebut memiliki nilai AR yang positif. Malaysia lebih memiliki peluang untuk merebut pasar ASEAN, karena memiliki nilai AR yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara produsen tomat lainnya di ASEAN, sedangkan Indonesia memiliki nilai AR yang paling kecil dibandingan negara lainnya, namun tomat Indonesia tetap memiliki kemampuan untuk merebut pasar ASEAN. Menurut Ahira (2012), tomat Indonesia awalnya memiliki ketahanan yang lemah. Namun semenjak tomat Taiwan yang memiliki penampilan dan ketahanan yang lebih dibandingkan tomat lokal masuk ke Indonesia, para petani lokal pun mulai beralih untuk menanam tomat Taiwan di Indonesia. Hasilnya, perkembangan ekspor tomat Indonesia pun berkembang karena produktivitas yang meningkat.

Tabel 24 Nilai ECI Tomat Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012.

No. Negara Produsen Rata-Rata ECI

1 Indonesia 0.870

2 Malaysia 1.005

3 Singapura 0.954

4 Thailand 1.074

Berdasarkan hasil estimasi rata-rata ECI, tomat Indonesia memiliki tren daya saing yang lemah di pasar ASEAN karena memiliki nilai dibawah satu. Negara produsen tomat lainnya yang memiliki tren daya saing menurun adalah Singapura. Sementara itu, negara-negara yang memiliki tren daya saing tomat yang meningkat di pasar ASEAN adalah Malaysia dan Thailand. Dari data FAO, menunjukkan bahwa tujuan utama ekspor tomat Indonesia di perdagangan internasional memang negara-negara ASEAN seperti Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia. Namun karena kurang memiliki kualitas yang baik, tomat Indonesia memiliki daya saing yang lemah di pasar ASEAN. Singapura dan Malaysia menjadi negara yang paling banyak mengimpor tomat Indonesia pada bulan-bulan tertentu, yaitu bulan ketika mereka tidak memproduksi tomat sendiri (Ahira 2012).

6.1.6 Jahe

Berdasarkan hasil estimasi RCA, jahe Indonesia memiliki daya saing yang kuat setiap tahun pada periode 2007 hingga 2012 yang ditunjukkan dengan nilai RCA yang lebih dari satu, meskipun menurut data BPS volume ekspor Jahe Indonesia ke ASEAN mengalami penurunan. Nilai RCA tertinggi Indonesia terdapat pada tahun 2007, ketika pangsa nilai ekspor jahe Indonesia mencapai 50 persen dari nilai ekspor jahe di ASEAN. Malaysia juga memliki daya saing yang kuat untuk jahe, kecuali pada tahun 2007 karena pada tahun ini, nilai ekspor Malaysia mengalami titik terendah sepanjang periode 2007 hingga 2012. Sedangkan Singapura dan Thailand memiliki daya saing jahe yang lemah di pasar ASEAN selama enam tahun terkahir karena memiliki nilai RCA dibawah satu. Tabel 25 Nilai RCA Jahe Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN

Tahun 2007-2012.

Tahun Negara Pesaing Indonesia

Malaysia Singapura Thailand

2007 0.678 0.579 0.217 5.329 2008 1.884 0.291 0.068 4.109 2009 3.058 0.105 0.473 1.751 2010 1.781 0.177 0.376 1.771 2011 3.222 0.245 0.278 1.036 2012 2.665 0.145 0.563 1.885

Indonesia sempat menguasai pangsa ekspor jahe dunia pada era 1990 sampai 1993 sebelum digantikan oleh China (Purba 2012). Pada periode tersebut jahe dianggap sebagai salah satu produk unggulan Indonesia. Namun setelah China mulai memproduksi jahe dalam jumlah besar, jahe Indonesia mengalami penuruanan daya saing. Oleh sebab itu, ekspor jahe ke ASEAN perlu ditingkatkan agar jahe Indonesia tetap bersaing di pasar ASEAN. Selain ditunjang oleh letak geografis dan lingkungan alam Indonesia yang cocok untuk mengembangkan tanaman jahe, beberapa klon jahe yang terdapat di Indonesia ternyata memiliki kualitas yang lebih tinggi daripada klon jahe luar negeri (Budarti dan Irianto 2005). Menurut Paimin dan Murhananto (2002) dalam Budiarti dan Irianto (2005), sesuai pencanangan Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) dalam menunjang ekspor nonmigas, jahe merupakan salah satu diantara empat komoditas lainnya, yaitu vanili, jambu mete, dan akar wangi.

Tabel 26 Nilai AR Jahe Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012.

No. Negara Produsen Nilai AR

1 Indonesia 0.029

2 Malaysia 0.226

3 Singapura 0.061

4 Thailand 0.110

Sumber : UNComtrade (diolah), 2013

Berdasarkan hasil estimasi AR, keempat negara produsen jahe (Indonesia, Malaaysia, Singapura dan Thailand) sama-sama memiliki kekuatan untuk menguasai pasar jahe di ASEAN, walaupun jika dilihat dari nilai AR-nya, Malaysia lebih memiliki kekuatan untuk menguasai pasar tersebut. Nilai AR keempat negara tersebut sama-sama memiliki nilai yang positif. Namun menurut Purba (2012), Indonesia bisa menguasai pasar jahe internasional dengan cara peningkatan mutu dan kualitas melalui pemanfaatan perkembangan ilmu dan teknologi. Nilai AR Indonesia lebih kecil dibandingan nilai AR Singapura, padahal Singapura mengimpor lebih banyak jahe dari pasar ASEAN jika

Dokumen terkait