• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Peningkatan Daya Saing Komoditi Hortikultura

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.2 Strategi Peningkatan Daya Saing Komoditi Hortikultura

hortikultura didapatkan dari hasil wawancara secara mendalam (Indepth Interview) dengan Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Strategi dibagi menjadi empat pendekatan, yaitu regulasi stakeholders, budidaya, serta kebijakan perdagangan.

6.2.1 Regulasi Peningkatan Daya Saing Hortikultura Indonesia

Regulasi tentang peningkatan daya saing hortikultura Indonesia sudah dimulai sejak Repelita V tentang pengembangan ekspor komoditi hortikultura di pasar internasional. Regulasi dibagi menjadi dua, yaitu regulasi yang mendukung serta regulasi yang menghambat. Regulasi yang mendukung merupakan regulasi

yang mendorong peningkatan daya daya saing hortikultura Indonesia, contohnya standarisasi mutu produk hortikultura yang akan diekspor, seperti kualitas kemasan, tekstur serta rasa. Pemerintah melakukan kebijakan standarisasi mutu komoditi hortikultura yang diekspor melalui rencana strategis Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura tahun 1997 sampai tahun 2007, serta yang terakhir melalui rencana strategis Kementrian Pertanian tahun 2009 sampai tahun 2014. Sementara itu, regulasi yang menghambat terdiri dari pembatasan impor hortikultura, pembatasan investasi hortikultura asing di dalam negeri, serta menekan kompetisi perdagangan hortikultura di dalam negeri. Regulasi yang menghambat ini bertujuan agar komoditi hortikultura domestik bisa lebih berkembang dibandingkan dengan komoditi hortikultura impor.

Dalam Petunjuk Umum Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Hortikultura Tahun Anggaran 2013 disebutkan bahwa strategi yang dapat dilakukan untuk pengembangan hortikultura Indonesia dalam upaya peningkatan daya saing adalah pengembangan kawasan kebun, perbaikan mutu produk hortikutura, penguatan sistem perbenihan hortikultura, penguatan sistem perlindungan tanaman hortikultura, penguatan kelembagaan hortikultura, penanganan pascapanen hortikuktura, akselerasi pembiayaan dan kemitraan, serta pemasyarakatan produk hortikutura. Regulasi tentang strategi peningkatan daya saing hortikutura Indonesia sebenarnya banyak, mulai dari regulasi produksi sampai ke regulasi pasca panen. Pada kenyataannya hanya sedikit yang patuh terhadap regulasi-regulasi yang ada. Jika regulasi-regulasi tersebut dapat diberlakukan dengan baik, hortikultura Indonesia sangat berpotensi untuk memiliki daya saing yang lebih baik.

6.2.2 Stakeholders yang Terkait

Instansi-instansi yang terkait dalam usaha peningkatan daya saing hortikultura terdiri dari intansi pusat sampai ke instansi daerah, serta perusahaan dan asosiasi hortikultura yang ada di Indonesia. Instansi pusat seperti Kementrian Pertanian, Kementrian Perdagangan, Direktorat Jenderal Hortikultura, serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura berfungsi untuk membuat regulasi dan kebijakan terkait peningkatan daya saing komoditi hortikultura Indonesia yang selanjutnya disosialisasikan kepada instansi daerah, seperti Pemerintah Daerah

dan Dinas Pertanian, untuk diberlakukan di daerah masing-masing. Namun penguatan kelembagaan tidak ditunjukkan untuk instansi-instansi pusat dan daerah tersebut, tetapi untuk kelompok tani, pedagang, serta asosiasi hortikultura yang merupakan pemeran utama dalam usaha peningkatan daya saing hortikultura (Direktorat Jenderal Hortikultura 2012). Kerjasama ketiga antara ketiga pelaku usaha yang berbeda segmen tersebut dianggap mampu untuk meningkatkan posisi tawar petani dan daya saing rantai pasok. Pada kenyataannya, banyak kelompok tani yang tidak aktif di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan posisi tawar petani dan meningkatkan efektivitas dan efisiensi usaha diperlukan pembentukan dan pengaktifan kelompok-kelompok tani dan gabungan kelompok tani (gapoktan). Keberadaan gabungan kelompok tani juga akan memudahkan dalam mensosialisasikan, menerapkan teknologi dan mengakses pembiayaan. Pemberdayaan kelompok tani dan gapoktan diarahkan pada peningkatan kemampuan agribisnis secara keseluruhan, sehingga tidak terfokus pada aspek budidaya saja.

6.2.3 Budidaya Hortikultura Indonesia

Dalam aspek budidaya, pemerintah telah mensosialisasikan regulasi- regulasi terkait budidaya hortikultura yang baik dan benar dalam upaya meningkatkan daya saing hortikultura Indonesia, seperti standarisasi mutu produk, sertifikasi organik, serta penerapan Good Agriculture Practice (GAP) dan Good Handling Practice (GHP). GAP dan GHP mulai diberlakukan pertama kali pada tahun 2007 di Amerika Serikat (FAO 2007). Good Agriculture Practice merupakan pedoman umum yang dikeluarkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) tentang penerapan praktek budidaya pertanian yang baik, seperti manual produksi tanaman serta manual perlindungan tanaman, sedangkan Good Handling Practice merupakan pedoman umum yang dikeluarkan FAO tentang sistem pengelolaan produk hortikultura yang baik, termasuk teknologi pemanenan dan pasca panen, agar dapat mempertahankan mutu dan keutuhan produk hortikultura segar tetap prima sampai ke tangan konsumen. Secara ringkas, GAP merupakan pedoman untuk budidaya hortikultura yang baik, seperti pengembangan varietas baru tanaman buah, sayur atau tanaman hias di sektor hulu, dan penganekaragaman produk baru agroindustri di sektor hilir, sementara

GHP merupakan pedoman untuk penanganan pasca panen hortikultura yang baik. Penerapan GAP pada hortikultura Indonesia didukung dengan telah terbitnya Peraturan Menteri Pertanian No. 48/Permentan/OT.140/10/2009 pada tanggal 19 Oktober 2009 tentang Pedoman Budidaya Buah dan Sayur yang Baik dan Peraturan Menteri Pertanian No. 57 tahun 2012 tentang Pedoman Budidaya Tanaman Obat yang Baik. Pedoman-pedoman tersebut diharapkan menjadi panduan budidaya dalam proses produksi untuk menghasilkan produk aman konsumsi, bermutu dan diproduksi secara ramah lingkungan. Sementara itu GHP mengacu kepada Peraturan Menteri Pertanian No. 44 tahun 2009 tentang Pedoman Penanganan Pascapanen Hasil Pertanian Asal Tanaman yang Baik serta UU No. 13 tahun 2010 tentang Hortikultura (Direktorat Jenderal Hortikultura 2011). Penerapan GAP dan GHP semakin mendapat sorotan di masa mendatang. Tuntutan konsumen akan meningkat terhadap pemenuhan makanan yang aman dan dengan pengolaan budidaya serta pasca panen yang berwawasan lingkungan. Penerapan GAP dan GHP di Indonesia saat ini belum dapat dilaksanakan secara optimal mengingat besarnya biaya penerapan GAP dan GHP pada sistem pertanian hortikultura yang sebagian besar didominasi petani berskala kecil. Para pelaku agribisnis juga pada umumnya belum menyadari pentingnya penanganan budidaya pasca panen. Oleh sebab itu, perlu ada sistem permodalan yang kuat di lingkungan produsen agar pembiayaan untuk penerapan GAP dan GHP bisa terlaksana dengan baik. Sosialisasi yang lebih mendalam juga diperlukan mengingat pengetahuan petani tentang penerapan GAP dan GHP masih minim. Jika penerapan GAP dan GHP telah terlaksana dengan baik, maka akan dihasilkan produk hortikultura yang bermutu dan bersaing di pasar internasional.

6.2.4 Kebijakan Perdagangan yang Mendukung Peningkatan Daya Saing Hortikultura Indonesia

Kebijakan dan regulasi yang disebutkan sebelumnya merupakan kebijakan-kebijakan pertanian yang mendukung usaha peningkatan daya saing hortikultura Indonesia. Selain kebijakan-kebijakan pertanian tersebut, ada juga kebijakan-kebijakan perdagangan yang juga mendukung peningkatan daya saing hortikultura Indonesia. Pembatasan kuota impor menjadi salah satu kebijakan perdagangan yang bertujuan untuk mengembangkan produk hortikultura lokal

agar tidak kalah bersaing dengan komoditi impor. Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) mulai diberlakukan pada tanggal 28 September 20122. Kebijakan RIPH bertujuan agar saat musim panen, produk hortikultura lokal bisa berkembang di pasar domestik mapun internasional dan saat musim paceklik impor hortikultura dilakukan. Selain kebijakan RIPH, menentukan produk-produk hortikultura (spesialisasi produk) yang tepat untuk dikembangkan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan produktivitas hortikultura Indonesia (Sa’id 2010). Selama negara-negara non-tropis masih ikut memproduksi hortikultura yang sejatinya diproduksi di daerah tropis, Indonesia akan kalah bersaing karena teknologi yang dimiliki negara-negara tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan teknologi di negara Indonesia. Oleh sebab itu, perlu mencari komoditi yang hanya ada di negara tropis sehingga lebih dapat bersaing di pasar internasional. Spesialisasi produk menjadikan Indonesia dapat fokus terhadap produk-produk yang dianggap memiliki nilai ekspor yang cukup baik di pasar tujuan sehingga proses produksi menjadi efisien.

2

Dokumen terkait