• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

3.5. Analisis Dukungan, Kedudukan Tim Sukses,

Jika merujuk pemaparan tersebut terlihat jelas menonjolnya Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI, khususnya di Medan, sebagai operator politik dari calon walikota Medan. Beberapa posisi politik penting dari pimpinan organisasi pemuda itu sebagian besar berada di partai politik dan anggota DPRD kota Medan, maka kekuatan tawar mereka semakin kuat dengan calon walikota yang akan didukung. Bila masa Orde Baru mereka terkonsentrasi pada Partai Golkar, dengan kekuatan uang dan otot, pada masa reformasi mereka juga bisa merebut posisi pimpinan beberapa partai politik. Pemberian dukungan dari partai politik yang dikuasi oleh pimpinan organisasi pemuda itu, mengharuskan pimpinan Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI, baik secara organisasi maupun individu, juga mendukung calon walikota yang diusulkan. Artinya, bahwa ketiga organisasi pemuda ini hanya dijadikan sebagai alat (vehicle) saja bagi elit-elitnya untuk melakukan negoisasi berupa kompensasi yang akan diberikan kepada calon walikota yang didukung. Perintah itu dapat dilakukan dengan baik oleh pimpinan

137 Wawancara dengan Uli Tobing dan Darwin Nasution di Medan, 18 Oktober 2007 dan 21 Oktober 2007.

organisasi kepada anggotanya karena kekuasaan yang dimilikinya bersumber dari kekuatan fisik dan ekonomi serta selalu menyelesaikan konflik baik dengan anggota maupun lawannya dengan cara-cara represif seperti kekerasan dan intimidasi. Pemuda Pancasila dan IPK memberikan dukungan baik secara organisasi dan individu pimpinannya kepada pasangan Abdillah – Ramli. Berbeda dengan FKPPI, yang tidak memberikan dukungan secara organisasi, namun sebagian besar pimpinannya mendukung Abdillah – Ramli dan hanya sebagian kecil yang menyebelah ke Maulana – Sigit.

Jika melihat fenomena dukungan yang diberikan oleh Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI dalam pilkada langsung tahun 2005 di kota Medan terdapat beberapa relevansi teori yang dikemukakan oleh Charles F. Andrain, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramsci tentang sumber-sumber kekuasaan dan cara penggunaannya. Pertama, bahwa dukungan yang diberikan tersebut tidak dilakukan secara demokratis melainkan lebih banyak mengandalkan cara-cara represif. Proses pemberian dukungan kepada calon walikota dilakukan oleh pimpinan organisasi secara top down. Anggota organisasi dipaksa untuk mengikuti keputusan yang dibuat secara sepihak oleh elit organisasi, jika tidak maka akan ada sanksi organisasi yang bisa berakibat kepada tindakan kekerasan fisik seperti menyakiti, melukai atau bahkan membunuh. Hal ini dilakukan karena sumber kekuasaan pimpinan organisasi pemuda tersebut berasal dari kekuatan fisik. Kedua, jika terjadi konflik akibat keputusan yang diambil itu, baik secara internal dan eksternal, penyelesaiannya sering dilakukan juga dengan menggunakan kekerasan seperti menyakiti, melukai, atau bahkan membunuh pihak yang tidak setuju dengan keputusan itu.

Persekutuan yang dilakukan oleh ketiga organisasi pemuda itu (Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI) dilakukan dalam praktek-praktek premanisme. Diantaranya adalah mengamankan lokasi-lokasi yang akan digunakan untuk kampanye, penyebaran alat peraga dan pada saat-saat tertentu menyuruh anggota organisasi ini untuk tidak bertindak apapun. Yang terpenting adalah semua aktivitas dari ketiga organisasi pemuda ini dapat dikontrol oleh calon yang mereka dukung. Dalam posisinya sebagai pendukung salah seorang calon walikota, mereka ditempatkan dalam ”ring kedua” yaitu sebagai koordinator lapangan yang bertugas untuk mengerahkan massa pada saat kampanye,

penyebaran alat peraga seperti spanduk, baleho dan lain sebagainya atau sebagai penjaga keamanan pada acara-acara yang digelar untuk itu.

Dari situasi itu terlihat fenomena yang disebut Sidel sebagai Bosisme yang menunjukkan elit lokal, yang diperankan oleh organisasi pemuda (Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI) dalam pilkada langsung tahun 2005 di kota Medan, sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka. Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.138

Dalam sistem politik yang baru paska jatuhnya Orde Baru, seperti adanya sistem multi partai, pemilu langsung, dan lain sebagainya, peran elit dari ketiga organisasi ini menjadi penting. Pimpinan organisasi pemuda itu secara sadar melihat bahwa mereka tidak dapat membentuk kekuasaan secara independen. Sebesar apapun kekuatan mereka untuk membuat keputusan dengan pemaksaan, mereka pada akhirnya tunduk pada pengawasan otoritas politik. Kelompok-kelompok elit organisasi itu kemudian harus masuk ke dalam otoritas politik seperti partai politik, legislatif dan eksekutif.139 Agar mereka mendapatkan proteksi dari usaha-usaha organisasi yang dilakukan selama ini. Karena itu, beberapa pimpinan Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI menjadi ketua di beberapa partai politik. Sehingga, karena memiliki kekuatan politik secara struktural maka posisi tawar mereka semakin tinggi baik secara materi dan nonmateri untuk memberikan dukungan kepada calon walikota.

Fenomena politik lokal yang terjadi di kota Medan, dalam kasus pilkada langsung, dapat dijelaskan melalui teori elit dalam proses transisi. Yang terjadi adalah mereka yang memiliki uang dan mampu menyebarkan aparat kekerasan adalah pihak yang berhasil menguasai lembaga-lembaga demokrasi lokal di kota Medan seperti partai politik dan parlemen. Lembaga-lembaga politik itu, dalam proses transisi, dikuasai oleh koalisi-koalisi kekuatan sosial dan kepentingan organisasi pemuda/preman itu. Ketika Orde Baru organisasi pemuda itu memainkan peran penting sebagai operator politik dan pada saat reformasi

138 John T. Sidel. “Bosisme …..” Op. Cit. hal. 72-74. 139

mereka menduduki sebagian besar partai politik, anggota parlemen dan menguasai eksekutif tingkat lokal. Ini tidak terlepas dari kemampuan elitnya untuk beradaptasi dalam perubahan politik yang terjadi sebagaimana yang dikemukakan oleh Moska dan Bottomore. Moska menyebutkan bahwa kelompok sosial baru dapat terbentuk atau yang lama bertahan akibat adanya respon yang dilakukan oleh elit dalam perubahan ekonomi, politik atau kultural. Eksistensi elit, menurut Bottomore, akan eksis jika kelompok-kelompok yang dipimpinnya masuk dalam otoritas politik seperti partai politik dan legislatif. Langkah itu lah yang dilakukan oleh elit-elit organisasi pemuda/preman di kota Medan. Masuk dan menguasai partai politik sebagai ketua dan berusaha menjadi anggota legislatif di kota Medan. Kemudian berperan dalam eksekutif dengan mendukung calon walikota agar tetap ikut menentukan keputusan-keputusan di bidang politik dan ekonomi.

Pilkada langsung di kota Medan, sebagaimana di daerah-daerah lain, digelar di tengah-tengah proses transisi yang terjadi di Indonesia. Dari kasus tersebut, proses transisi yang terjadi kemudian menurut O’Donnel dan Schmitter, mengarah kepada ’sesuatu yang lain’ sebagai bentuk pemulihan pemerintahan otoriter baru yang mungkin lebih kejam.140 Dalam kasus pilkada langsung di kota Medan tahun 2005 itu juga, terlihat bahwa pemenang pilkada adalah calon yang didukung oleh organisasi pemuda yang melakukan praktek-praktek premanisme seperti kekerasan, penculikan, menyakiti, melukai, bahkan membunuh.

Jika merujuk pada model yang dikemukakan oleh Huntington maka dalam proses transisi yang terjadi – pada kasus pilkada langsung kota Medan – adalah transisi melalui jalur transplasi yakni terjadi negosiasi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok penekan.141 Pelaksanaan pilkada langsung tahun 2005 di kota Medan melibatkan organisasi pemuda dengan praktek-praktek premanisme sebagai pemenang. Melalui lobi-lobi internal dan penggunaan jaringan yang dimiliki, elit-elit organisasi pemuda/preman berhasil meraih posisi penting dalam partai politik dan parlemen lokal yang lahir sebagai bentuk lembaga demokrasi dari tuntutan kalangan oposisi atau kelompok pro demokrasi. Tidak ada kekuatan kelompok pro demokrasi yang dapat menahan organisasi pemuda/preman itu

140 O’Donnel dan Schmitter. Op. Cit. 141

untuk tidak masuk dan menguasai lembaga-lembaga politik baru yang terbentuk. Dengan posisi politik yang diperolehnya itu, mereka kemudian memiliki peran penting dalam pemilihan pilkada langsung yang sejatinya dilakukan untuk mengurangi praktek-praktek premanisme itu. Perubahan mekanisme pilkada langsung yang sejatinya dilakukan untuk meminimalisir praktek-praktek premanisme, tidak berarti menyingkirkan kekuatan organisai pemuda/preman itu.

Jika melihat keterlibatan yang dilakukan oleh Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI dalam Pilkada Langsung Walikota Medan tahun 2005, akan terlihat pengaruh IPK lebih besar ketimbang Pemuda Pancasila dan FKPPI. Untuk melaksanakan keputusan penting yang telah diambil, seperti yang dinyatakan oleh tim sukses AR Center, harus dikoordinasikan kepada IPK ketimbang PP. Hal ini wajar dilakukan mengingat IPK secara penuh mendukung Abdillah – Ramli tanpa konflik internal yang dapat mempengaruhi opini publik. Konon kabarnya, Olo the godfather, memberikan apresiasi yang sangat baik kepada Abdillah.142 Selain itu, elitnya dianggap berhasil menentramkan anggota paling bawah dari IPK, yang dikenal amat brutal itu, meskipun terdapat riak-riak kecil di lapangan. Karena itu, posisi mereka dalam tim sukses berada pada level kedua yaitu sebagai eksekutor di lapangan, bukan sebagai perencana dari strategi yang diterapkan. Elit-elit IPK lebih memiliki pengaruh dengan calon walikota ketimbang elit-elit yang ada di PP maupun FKPPI.

Apa yang menarik dari proses keterlibatan diantara organisasi pemuda/preman itu adalah bahwa masing-masing organisasi berjalan tanpa adanya koordinasi. Meskipun didapati model bentuk dukungan yang sama namun tidak ada keterkaitan diantara organisasi itu. Pemuda Pancasila berjalan dengan kepentingan yang dimiliki organisasinya sendiri begitu juga IPK dan beberapa bos FKPPI yang terlibat dalam pilkada langsung itu. Masing-masing bos organisasi itu bertanggung jawab untuk ”menertibkan” dan memberikan dukungan bagi sang walikota. Mereka bekerja berdasarkan daerah atau lokasi yang mereka kuasai. Tidak pernah terlihat anggota Pemuda Pancasila secara berkumpul bersama-sama di daerah tertentu untuk tujuan sosialisasi. Namun,

142 Menurut seorang sumber beberapa alokasi kontrak negara dan kemudahan izin-izin usaha selalu diberikan Abdillah kepada ”perusahaan gedung putih”, markas besarnya IPK.

pemimpin puncaknya malah bersekutu untuk mendukung pasangan walikota yang sama.

Dari proses interaksi organisasi pemuda itu terlihat juga peran penting kelompok kepentingan dengan partai politik dalam pilkada di kota Medan. Baik Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI mempunyai anggota dan kader-kadernya sebagai pimpinan partai politik dan anggota DPRD. Karena itu, mereka memiliki peran yang sangat strategis dalam pilkada kota Medan. Keterlibatan mereka dalam pilkada kota Medan memunculkan fenomena kekerasan dalam politik lokal, meskipun dalam kadar yang tidak tinggi atau tidak sering ditemukan. Di beberapa tempat perkelahian juga terjadi akibat perselisihan diantara anggota paling bawah dari ketiga organisasi pemuda ini.

Jika merujuk pada teori yang disebutkan oleh Stoker bahwa interaksi antara kelompok kepentingan dengan partai politik dapat dilakukan dalam bentuk persuasi dan paksaan. Maka, dalam kasus di kota Medan, keterlibatan organisasi pemuda sebagai kelompok kepentingan dengan partai politik yang memiliki keterkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung sering berjalan dengan cara paksaan. Cara tersebut berlangsung karena adanya kepentingan ekonomi dan politik dari Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI yang berbeda satu sama lain. Yang ditemukan dari proses pilkada di Medan adalah adanya kepentingan untuk mendapatkan proyek pemerintah, penguasaan sebagian daerah atau wilayah sebagai lahan untuk mencari uang misalnya dari parkir, penjaga keamanan di pasar-pasar tradisional atau pusat-pusat pertokoan modern. Semua usaha-usaha ini tentunya harus mendapatkan perlindungan dari otoritas lokal terutama dari walikota Medan.

Fenomena pilkada langsung di kota Medan menunjukkan interaksi antara partai politik dan kelompok kepentingan selalu berada dalam bingkai kepentingan elit yang menguasai partai politik dan kelompok kepentingan. Hal ini terjadi karena adanya karakter elit politik lokal, oleh Manor dan Crook sebagai ”close knit power”, yaitu kekuasaan yang cenderung tertutup dan didominasi oleh sekelompok elit. Karena itu, kooptasi kekuasaan dilakukan oleh segelintir elit penguasa.

BAB IV

POLA MOBILISASI PEMUDA PANCASILA, IPK, DAN FKPPI DALAM PILKADA LANGSUNG TAHUN 2005 KOTA MEDAN

4.1. Indikasi Kekuatan Uang

Secara eksplisit sulit untuk membuktikan adanya kekuatan uang yang diberikan oleh calon walikota kepada pimpinan Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI sebagai bentuk kebutuhan dana operasional dalam pilkada langsung kota Medan tahun 2005. Namun, patut dicatat bahwa Abdillah menyediakan dana yang cukup besar untuk mengelola dan memobilisasi massa dari organisasi pemuda ini. Hampir setiap hari selalu ada proposal kegiatan yang diterima dan harus dikeluarkan dananya. Sekitar 40% dari total dana dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan baik dari Pemuda Pancasila, IPK, dan sesekali FKPPI melalui proposal yang diajukan ke tim sukses.143 Pada jam-jam sibuk, sejak Kantor AR Center dijadikan sebagai tim sukses, awal-awal Februari 2005, banyak pemuda yang berpakaian milisi sipil berkumpul sekedar menjaga atau meramaikan suasana kantor itu. Mereka itu adalah anggota dari Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI yang sengaja disiapkan untuk berjaga-jaga disekitar kantor tim sukses itu.

Selain dana yang telah dikeluarkan untuk pimpinan partai politik pendukung Abdillah – Ramli, tim keuangan juga harus mengeluarkan dana untuk membayar proposal yang diajukan oleh organisasi pemuda yang juga anggota dari pimpinan parpol itu.144 Meskipun antara pimpinan parpol dan pimpinan organisasi pemuda itu adalah orang yang sama,

Dari wawancara dengan penulis, sebuah sumber mengatakan bahwa: ”.... dana operasional sering diterima mereka melalui pimpinan organisasi di mana juga dia menjadi ketua dari partai politik yang

143

Informasi ini didapat dari R di Medan, bendahara tim sukses Abdillah-Ramli, 17 Oktober 2007. Ia mengakui memiliki beberapa kuitansi untuk membuktikan ini.

144 Tidak ada sumber yang dapat menyebutkan perkiraan jumlah dana yang dikeluarkan untuk operasional tim sukses, termasuk bendahara tim sukses. Serta dari mana dana itu didapatkan Ketika ditanya soal ini beliau menjawab ”rahasia perusahaan”.

mendukung. Dana itu digunakan untuk memasang spanduk, selebaran, atau sekedar melihat aktivitas pendukung lawan di lapangan. Seperti juga dana itu digunakan untuk menghadiri kampanye atau acara-acara khusus yang digelar organisasi misalnya malam pelantikan atau yang lainnya. Jadi, dana untuk digunakan untuk sosialisasi agar mendukung Abdillah – Ramli.” 145

Namun, yang penting juga dicatat bahwa pendanaan operasional untuk kegiatan seperti yang disebutkan di atas tidak selalu menjadi yang utama bagi pimpinan Pemuda Pancasila. Hal yang terpenting adalah setelah calon yang didukung terpilih menjadi walikota, maka beberapa kesepakatan berupa pemberian pekerjaan akan ditagih. Karena itu, pilihan dukungan terhadap calon walikota telah diperkirakan dan diharuskan untuk menang dalam pemilihan. Jika tidak demikian, beberapa agenda pekerjaan yang harus dilakukan oleh organisasi dan individu ke depan akan menghadapi banyak kendala.

Hal yang sama juga dilakukan oleh pimpinan pengerah massa dari IPK. Bahwa penggunaan dana yang mereka terima ketika pilkada itu adalah untuk operasionalisasi anggota. Dana itu digunakan untuk tranportasi dan uang makan para anggotanya yang berpakaian seragam organisasi bercorak loreng, menandakan milisi sipil. Sebagian besar digunakan untuk pengerahan massa pada saat kampanye dan orang-orang yang berjaga-jaga di beberapa tempat pemungutan suara (TPS).146 Setiap anggota yang dikerahkan di lokasi-lokasi tertentu berjumlah puluhan orang. Lokasi-lokasi tersebut adalah daerah yang selalu menjadi basis atau ”dikuasai” oleh IPK. Jika diperlukan jumlah massa yang besar, dari sub-sub daerah tersebut kemudian mereka akan dimobilisasi dan dikonsentrasikan untuk keperluan tersebut. Acara-acara kampanye misalnya, pertemuan-pertemuan parpol dengan organisasi massa yang ditujukan sebagai forum sosialisasi calon walikota yang didukung selalu terlihat seragam organisasi.

Sedangkan orang-orang FKPPI yang terlibat di pilkada langsung itu tidak secara eksplisit menyebutkan jumlah dana yang mereka terima. Dana yang diterima hanya kemungkinan diberikan kepada pimpinan FKPPI yang

145 Wawancara dengan Darwin Nasution, 21 Oktober 2007. 146

mendukung salah satu calon walikota itu. Dana itu kemudian mereka berikan kepada anggota untuk keperluan operasional seperti transportasi dan konsumsi.

Dalam kaitannya dengan penggunaan dana, diperoleh pernyataan dari oleh ketua tim sukses AR Center sebagai berikut.

”Banyak alokasi dana tim sukses yang juga diperuntukkan bagi kebutuhan operasional organisasi pendukung termasuk untuk OKP seperti Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI. Terkadang kas atau loker uang kosong karena bisa saja kebutuhan yang telah diperkirakan ternyata tidak mencukupi. Mereka yang meminta dana, harus menyampaikan rincian kegiatannya. Ada juga dana yang telah diserahkan dan dikelola oleh parpol pendukung. Nah, untuk ini pihak keuangan juga tidak begitu bisa melakukan audit pemakaian keuangan.”147

Besarnya dana yang digunakan oleh tim sukses AR Center cukup besar karena banyaknya organisasi pendukung yang bergabung dalam tim ini. Namun, dukungan yang diberikan tidak berbanding lurus dengan sumbangan dana yang juga diberikan oleh organisasi pendukung ini.

”sumber dana yang didapat di tim ini berasal dari pasangan calon kemudian para pengusaha yang bersimpati kepada kami. Sumbernya jelas telah kami laporkan ke KPU secara rutin dan juga telah diaudit berdasarkan ketentuan undang-undang. Karena itu juga, kita selalu meminta rincian bagi setiap organisasi yang memerlukan bantuan dana dari tim ini”148

Lain halnya dan sangat berbeda dengan organisasi pemuda yang mendukung Maulana – Sigit. Beberapa tokoh senior Pemuda Pancasila dan unsur pimpinan FKPPI yang mendukung pasangan ini. Secara jelas disebutkan oleh tim sukses Maulana – Sigit bahwa mereka justru memberikan bantuan berupa keuangan tim sukses. Dana operasional tentunya juga diberikan kepada anggota FKPPI yang hadir dalam acara-acara kampanye atau yang ditugaskan untuk mensosialisasikan pasangan ini kepada masyarakat. Karena kekuatan tim kampanye M-S adalah pada forum-forum pengajian atau pertemuan-pertemuan lintas agama dan etnik itu. Untuk kegiatan yang ditujukan oleh ketiga organisasi pemuda itu sangat kecil bahkan dalam catatan tim sukses tidak pernah ada, karena memang tidak pernah menjalin kesepakatan dari awal.149

147 Wawancara dengan Said Abdullah 148Ibid

149

Dokumen terkait