• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4. Kerangka Teori

Untuk mengkaji keterlibatan politik yang dilakukan organisasi pemuda dalam penelitian ini maka akan dibahas beberapa teori yang berkaitan dengan politik lokal dan sumber kekuasaan, kelompok elit dalam politik, demokratisasi, partai politik dan kelompok kepentingan dalam pilkada serta penjelasan tentang organisasi preman.

1.4.1. Politik Lokal dan Sumber-Sumber Kekuasaan

Politik lokal bukan hanya berurusan pada soal-soal administrasi publik atau menekankan pada hubungan legal-formal pemerintahan semata. Selama ini, diskusi mengenai politik lokal penekanannya hanya pada pemerintahan lokal hasil dari suatu pemilihan umum saja atau pemilihan kepala daerah saja. Meskipun memiliki keterkaitan, namun pandangan legal-formal seperti itu memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk memahami politik lokal secara lebih utuh. Politik lokal mencakup soal yang luas, misalnya aspek ekonomi, politik, dan sosial22.

Garry Stoker. 1991. The Politics of Local Government. Second Edition. London: The MacMillan Press Ltd Houndmills. Besing Stoke. Hampshir. hal. 230.

Teori dan pendekatan atas politik lokal tergantung pada latar belakang akademik dan ”mazhab” yang dianut. Paling tidak terdapat dua perspektif untuk menjelaskan politik lokal yaitu pendekatan pluralisme dan pendekatan marxist. Pendekatan pluralisme menjelaskan bahwa negara dijadikan sebagai tempat untuk memahami dan menjelaskan beragam kegiatan kelompok yang menuntut adanya pembagian kekuasaan seperti misalnya melalui pemilihan umum. Sedangkan pendekatan marxist melihat bahwa kekuasaan berada pada satu kelompok tertentu yang sangat dominan dan tidak menyebar serta memandang bahwa negara dipandang sebagai institusi yang tidak netral. Dari dua pendekatan itu, studi ini ingin menggunakan pendekatan pluralisme untuk melihat kekuasaan yang ada di masyarakat lokal.

Dari perspektif pluralisme, pilkada langsung diharapkan dapat mendukung tumbuhnya demokrasi dan berjalannya pemerintahan lokal yang dekat dengan rakyat, karena partisipasi masyarakat lokal dilibatkan secara luas. John Steward menyatakan bahwa memperkuat demokrasi lokal sangat penting untuk mengatasi masalah-masalah yang disebabkan karena kuatnya sentralisasi negara.23 Agar demokrasi lokal memiliki kualitas maka pejabat lokal harus dipilih dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat lokal secara luas begitu juga ketika mengambil keputusan. Stewart juga menjelaskan cara-cara yang harus dilakukan oleh pejabat lokal tersebut adalah dengan membuat pendidikan politik bagi rakyat kelas bawah, membuat keputusan yang bersifat lokal, dan melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Karena itu, peran local leader dan informal leader menjadi penting untuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal.24 Kepala daerah, dengan demikian, harus mengenali masyarakatnya sendiri yang plural dan multikultural serta selalu menyediakan media untuk memfasilitasi perbedaan- perbedaan tersebut.

Pilkada langsung dalam konteks politik lokal, diharapkan dapat memperkuat kedudukan kepala daerah sekaligus mengurangi intervensi DPRD agar ”transaksi politik” yang melahirkan ”money politics” dapat dimimalisir. Namun, yang terjadi di berberapa negara-negara berkembang, praktek pemilihan

23

John Stewart. 1996. “Democracy and Local Government”. dalam Paul Hirst and Sunil Khilnani (eds). 1996. Reinventing Democracy, Oxford: Blackwell Publisher. hal. 39.

kepala daerah secara langsung justru menjadi penyebab kasus-kasus korupsi dan ketidakefektifan pemerintahan daerah. Secara teoritik, hal tersebut dapat dijelaskan dari karakteristik elit politik lokal di negara-negara berkembang. Oleh Manor dan Crook, elit politik lokal dicerminkan dengan apa yang disebut sebagai ”close knit power”, yaitu kekuasaan yang cenderung tertutup dan didominasi oleh sekelompok elit.25 Tidak adanya oposisi yang kuat menyebabkan distribusi kekuasaan selalu didominasi oleh kelompok-kelompok yang sudah tertentu. Itu sebabnya, terjadi kooptasi kekuasaan oleh segelintir penguasa. Di sinilah pendekatan pluralisme menjadi penting yaitu bahwa negara dijadikan sebagai tempat untuk memahami dan menjelaskan beragam kegiatan kelompok yang menuntut adanya pembagian kekuasaan seperti misalnya melalui pemilihan umum.

Atas dasar itu, studi ini hendak menggunakan pendekatan pluralisme dengan melihat kekuasaan sebagai titik sentralnya. Untuk membahas tentang kekuasaan tersebut, maka akan dilihat sumber-sumber kekuasaan dan cara-cara untuk memperoleh serta mempertahankan kekuasaan. Perjalanan kekuasaan yang efektif bergantung pada tipe-tipe sumber kekuasaan yang tersedia. Untuk memperoleh kepatuhan, para pemimpin politik biasanya memperluas persediaan sumber daya mereka dan menggunakan secara lebih efisien sumber daya yang telah mereka miliki.

Sumber-sumber kekuasaan harus dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang agar dapat menggunakan kekuasaan itu. Sumber-sumber kekuasaan itu dapat berupa kedudukan, kekayaan, kepandaian atau keterampilan, dan kepercayaan atau agama.26 Sementara Charles F. Andrain membedakan lima tipe sumber daya kekuasaan yaitu sumber daya fisik, ekonomi, keahlian dan personal. Dengan menggunakan sumber-sumber kekuasaan itu, seseorang atau sekelompok orang dapat mempengaruhi orang lain untuk mengikuti kehendak atau keinginannya. Andrain juga menjelaskan perbedaan motif kepatuhan dalam masing-masing tipe sumber daya kekuasaan.

25 Dikutip dari Eko Prasojo. “Otonomi Daerah, Pilkada Langsung dan Democratic Decentralization. dalam M. Zaki Mubarak, M. Agus Susilo, Agung Pribadi. (eds.) 2006 Blue Print Otonomi Dareah Indonesia. Jakarta: The YHB Center.

26 Miriam Budiardjo. 1984. “Konsep Kekuasaan: Tinjauan Pustaka”. dalam Budiardjo. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Gramedia. hal. 13.

Tipe-tipe sumber kekuasaan dan motif kepatuhan tersebut, dijelaskan Andrain, dapat dilihat dalam tabel 1.1. di bawah ini.

Tabel 1.1:

Tipe-Tipe Sumber Kekuasaan27

Tipe Sumber Daya Contoh Sumber Daya Motivasi untuk Mematuhi

Fisik Senjata: senapan, bom, rudal B “berusaha menghindari cedera fisik”

yang disebabkan oleh A

Ekonomi Kekayaan, pendapatan, kontrol

atas barang dan jasa

B “berusaha memperoleh kekayaan” dari A

Normatif Moralitas, kebenaran, tradisi,

relijius, legitimasi, wewenang

B “mengakui bahwa A mempunyai hak moral untuk mengatur” prilaku B

Personal Karisma pribadi, daya tarik,

persahabatan, popularitas

B “mengidentifikasi diri merasa tertarik” dengan A

Ahli Informasi, pengetahuan,

intelejensi, keahlian teknis

B “merasa bahwa A mempunyai pengetahuan dan keahlian yang lebih” Keterangan: A adalah pemegang kekuasaan, B merupakan objek kekuasaan.

Dari sumber-sumber kekuasaan yang dikemukakan oleh Andrain, maka sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh organisasi pemuda itu (PP, IPK, dan FKPPI) berasal dari fisik dan ekonomi. Aspek fisik karena para pimpinan organisasi pemuda itu sering sekali menggunakan senjata sebagai kekuatan ancaman terhadap orang lain (premanisme). Dari sisi ekonomi, kekuasaan diperoleh dengan memberikan pekerjaan kepada para pemuda yang tidak memiliki pekerjaan sebagai penjaga keamanan, petugas parkir atau sebagai penjual lotre (perjudian) seperti KIM, togel dan lain sebagainya. Fenomena tersebut hampir mirip dengan teori local strongmen yang dikemukakan oleh Migdal serta teori John T. Sidel tentang bossism.

Jika merujuk pada Migdal tentang kemunculan local strongmen, salah satu sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh organisasi pemuda/preman diantaranya adalah dari kekayaan yang dimiliki oleh pimpinannya sebagai tuan tanah atau orang kaya.28 Migdal mencoba menerangkan tentang orang kuat lokal yang berhasil melakukan kontrol sosial. Dalam konteks ini, Migdal mengatakan:

”... Mereka berhasil menempatkan diri atau menaruh anggota keluarga mereka pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber- sumber daya berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang

27 Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Tiara Wacana. Yogya. hal. 132.

28 Lihat Joel S. Migdal. 1988. Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World. New Jersey: Princenton University Press. hal. 13.

menurut aturan-aturan yang dilontarkan dalam retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan peraturan perundang-undangan yang dibuat di ibu kota atau dikeluarkan oleh pelaksana peraturan yang kuat”.29

Mengenai fenomena orang kuat lokal tersebut, Migdal memiliki tiga argumentasi yang saling berkaitan. Pertama, orang kuat lokal tumbuh subur di dalam masyarakat ”mirip jaringan” yang digambarkan sebagai ”sekumpulan campuran (melange) organisasi-organisasi sosial nyaris mandiri” dengan kontrol sosial yang efektif ”terpecah-pecah”. Pola kontrol sosial khusus terpecah-pecah ini, menurut dugaan, acapkali diakui melebur dalam pemerintahan kolonial dan penyatuannya di dalam perkuburan kelas-kelas pemilik tanah besar. Singkat kata, berkat struktur masyarakat mirip jaringan, orang kuat lokal memperoleh pengaruh signifikan jauh melampaui pengaruh para pemimpin negara dan para birokrat lokal yang digambarkan Migdal sebagai ”segitiga penyesuaian”.30

Kedua, orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan menyertakan beberapa komponen penting yang dinamakan ”strategi bertahan hidup” penduduk setempat. Dengan kondisi seperti itu, orang kuat bukan saja memiliki legitimasi dan memperoleh banyak dukungan di antara penduduk lokal, tetapi juga hadir untuk memenuhi kebutuhan pokok dan tuntutan para pemilih atas jasa yang diberikan. Para penulis yang diilhami Migdal cenderung membingkai diskusi mereka dengan istilah ”personalisme”, ”klientisme”, dan ”hubungan patron-klien”. Pola ini kemudian juga terjadi karena orang kuat lokal ditempatkan sebagai patron yang memberi kebaikan personal bagi klien yang melarat dan para pengikut di daerah kekuasaan mereka.

Ketiga, berhasilnya orang kuat lokal ”menangkap” lembaga-lembaga dan sumber daya negara merintangi atau menyetujui upaya pemimpin negara dalam melaksanakan pelbagai kebijakan. Orang kuat lokal membatasi otonomi dan kapasitas negara, penyebab kelemahan negara ”dalam menjalankan tujuan berorientasi perubahan sosial, serta memperbesar ketakterkendalian dan kekacauan. Sepanjang keberhasilan strategi industrialisasi dan pertumbuhan amat tergantung pada penyusunan dan pelaksanaan kebijakan negara yang saling bertautan efektif.

29 John T Sidel, “Bosisme …… op. cit. hal. 256. 30 Migdal. Op. Cit., hal. 238-258.

Berbeda dengan Migdal, Sidel melihat bahwa fenomena yang disebutnya sebagai Bosisme merefleksikan strong state dibandingkan strong society. Ia melihat bosisme menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka. Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.31

Tabel 1.2:

Perbandingan Kerangka Teori Migdal dan Sidel tentang Kemunculan Local Strongmen dan Bossism32

Variabel/Indikator Migdal Sidel

Terminologi Local Strongmen Bossism

Keadaan Sosio Kultural Negara-negara yang baru merdeka

Semua negara dan semua tempat di mana sesuatu yang sangat dibutuhkan masyarakat langka Sumber legitimasi Figuritas dan Mistis

! Memfigurkan dan memistikan seseorang dengan jalan memberikan hal-hal yang dibutuhkan masyarakat seperti: 1. tempat tinggal 2. makanan

3. hubungan sosial, & 4. perlindungan

Figuritas dan Kewibawaan ! Memfigurkan

kewibawaan dan figuritas dilakukan dengan cara: 1. menguasai modal 2. tekanan

3. kejahatan

Posisi negara Lemah Kuat

Alasan terbentuk Struktur masyarakat yang fragmentasi

Sengaja diciptakan/ dilindungi oleh negara

Peranan Kebanyakan sebagai

musuh pemerintah pusat karena

kepentingannya selalu berseberangan

dengan para local strongmen

Kebanyakan sebagai broker pemerintah pusat. Kepentingan keduanya selalu bertemu dan saling mengambil keuntungan.

Aktor Tuan tanah, orang

kaya, pemimpin tradisional

Birokrat, tentara,

pengusaha, orang kaya, dan semua orang yang

31 Dikutip dari John T. Sidel. “Bosisme …..” Op. Cit. hal. 72-74. 32

Kerangka tabel tersebut dikutip dari Lili Romli. 2007. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006)”. Disertasi. Departemen Ilmu Politik Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Depok. hal. 26-27.

menguasai sebuah arena di dalam masyarakat itu sendiri.

Industrialisasi Menghambat Mempercepat

Hasil keberadaan local strongmen/bossism 1. legitimasi 2. dukungan 3. kebutuhan ! ketergantungan 4. hubungan patron- klien 1. legitimasi 2. dukungan 3. ketergantungan 4. ketakutan 5. hubungan patron-klien

Sumber: Migdal, 1998. Strong Societies and Weak States: State Society Relations and State Capabilities in the Third World. New Jersey: Princenton University Pres; dan Sidel. 1999. Capital, Coercion, and Crime: Bossism in the Phillipines. Stanford California: Stanford University Press.

Tentang perkembangan bossism di Indonesia, Sidel melihat bahwa itu terjadi seiring dengan melemahnya kontrol Pusat terhadap daerah paska jatuhnya Orde Baru. Kebijakan desentralisasi telah mengakhiri kontrol efektif pusat yang mencegah pejabat-pejabat sipil dan perwira-perwira menengah militer untuk membangun wilayah kekuasaan lokal tersendiri yang mandiri. Ini telah memberikan ruang yang sangat leluasa bagi para pialang politik ini untuk memperoleh dan mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan.33

Dalam kasus di Banten misalnya, pola hubungan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, dan aparat dalam mengusai politik lokalnya didasarkan atas dua, yaitu hubungan patron klien dan berdasarkan hubungan simbiosis mutualisme. Kontrol yang dilakukan oleh tokoh Jawara di Banten dilakukan terhadap pejabat publik dan civil society.34

Berkembangnya bossism lokal tersebut di sisi lain menunjukkan ketiadaan salah satu nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai dengan penerapan kebijakan desentralisasi, yaitu political equality. Konsep ini menyangkut tiga macam hubungan yaitu antarpemerintah (intergovernmental relation), antara negara dan masyarakat (state society relation); dan antara masyarakat dan masyarakat (society-society relation). Hubungan antarpemerintah meliputi kesetaraan antarlevel pemerintahan, baik secara vertikal maupun horizontal, dalam kewenangan mengatur dan mengurus.

33 T. Sidel. “Bosisme...” Op. Cit. hal. 85.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan semakin kuat jika ada kesetaraan antara kewenangan dengan sumber keuangan yang dimiliki, kejelasan kewenangan antarberbagai tingkat pemerintahan, dan sebagainya. Hubungan antarnegara dan masyarakat merupakan refleksi dari daya tawar masyarakat terhadap berbagai keputusan yang diambil lembaga pemerintahan.

Saat ini, untuk melihat fenomena local strongmen atau bossim di beberapa daerah di Indonesia sangat beragam. Di Banten disebut jawara, di Betawi disebut jagoan, di Madura disebut Blater, di Medan disebut Preman, dan lain sebagainya. Praktek-praktek premanisme banyak dilakukan oleh organisasi pemuda di Medan, terutama ketika ingin merrbut satu kedudukan. Dalam menganalisa keterlibatan organisasi pemuda/preman di Medan, teori Sidel tentang local bossism dapat membantu merumuskan kerangka berpikir yang akan digunakan dalam penelitian ini, terutama terkait dengan sumber kekuasaan dan cara penggunaan kekuassaan yang dilakukan oleh kelompok pemuda/preman. Di kota Medan pada masa desentralisasi sekarang ini, para anggota DPRD kota Medan didominasi oleh kelompok-kelompok preman yang saling bersaing. Beberapa diantara mereka memiliki hubungan erat dengan para pensiunan perwira angkatan bersenjata dan kepolisian dan tidak sedikit dari mereka yang berasal dari organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila (PP), Ikatan Pemuda Karya (IPK) dan lain sebagainya.

Fenomena munculnya preman di kota Medan tidak terkait dengan lemahnya negara, tetapi terkait dengan, dalam bahasa Sidel, beroperasinya dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman. Mereka ini memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumberdaya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka.

Agar eksistensi kekuasaan para pimpinan organisasi pemuda/preman itu tetap berlangsung, ada beberapa teori yang menjelaskan tentang bagaimana kekuasaan tersebut dilakukan dan dipertahankan. Untuk menjelaskannya akan dilihat dari teori yang dikemukakan oleh Charles F. Andrain, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramschi. Ketiganya menjelaskan bahwa penggunaan kekuasaan

dibedakan atas dua yaitu dengan cara paksaan/penindasan/koersif atau konsensus/persuasif.

Andrain menyatakan bahwa dari untuk menyelesaikan sebuah pergulatan dominasi atau konflik dari sumber kekuasaan tersebut, maka digunakanlah kekuasaan paksaan atau kekuasaan berdasarkan konsensus. Andrain menjelaskan,

Mereka yang menekankan aspek-aspek pemaksaan dari kekuasaan biasanya memandang politik dalam kerangka pergulatan dominasi dan konflik. Mereka milihat para pelaku politik mengenjar tujuan-tujuan yang tidak diminati oleh keseluruhan komunitasnya. Satu pihak memperoleh keuntungan, sedangkan pihak lain merugi. Sebaliknya, para analis yang menekankan aspek-aspek konsensus lebih banyak mengaitkan kekuasaan dengan usaha mengatasi perlawan bukannya dengan kegiatan-kegiatan koordinasi. Mereka melihat para pelaku politik mengusahakan pencapaian tujuan-tujuan bersama.

Penggunaan kekuasaan paksaan atau konsensusual sangat ditentukan dari sumber kekuasaan yang dimiliki. Karena sumber kekuasaan yang dimiliki itu maka dapat digunakan untuk memberi sanksi atau memberi penghargaan. Di samping itu, sumber daya kekuasaan digunakan untuk menjamin kepatuhan orang atau kelompok lain terhadap orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan tersebut.

Tabel 1.3:

Kekuasaan Paksaan dan Konsensual

Tipe Kekuasaan Paksaan Konsensus

Fisik Cidera fisik, pemenjaraan, kematian

Memberi jalan memperoleh persenjataan Ekonomi Tidak diberi pekerjaan,

penerapan denda, kehilangan kontrak

Memberi jalan

memperoleh kekayaan Normatif Pengucilan, larangan

memangku jabatan

Memberi jalan

memperoleh wewenang dan simbol-simbol kebenaran moral Personal Hilangnya dukungan

kelompok, persahabatan dan popularitas

Pemberian dukungan kelompok

menguntungkan orang lain, penyebaran informasi yang merugikan orang lain

pengetahuan dan keterampilan

Sumber: Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. hal. 140.

Kekuasaan paksaan, menurut Andrain biasanya memandang politik dalam kerangka pergulatan dominasi dan konflik. Sering sekali tujuan itu diperoleh dengan cara yang tidak diinginkan oleh komunitasnya. Satu pihak memperoleh keuntungan sedangkan pihak lain merasa dirugikan.35

Untuk melihat penyelesaian konflik, Maswadi Rauf menjelaskan bahwa penyelesaian konflik dapat digunakan dengan cara persuasif dan koersif. Penyelesaian konflik yang dilakukan dengan cara koersif adalah melalui penggunaan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik. Berkaitan dengan kekerasan fisik ini, Maswadi Rauf mengatakan,

“Kekerasan fisik mencakup penggunaan benda-benda fisik untuk merugikan secara fisik, menyakiti, melukai, atau membunuh fihak lain. Penggunaan kekerasan fisik atau ancaman penggunaannya menimbulkan rasa takut pihak yang akan dikenali yang berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Pengaruh itu adalah berupa diikutinya keinginan pihak yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan.” 36

Hal yang hampir serupa juga dikemukakan oleh Gramsci yang menyatakan bahwa cara dominasi atau penindasan merupakan cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan kekuasaan. Seorang individu, kelompok, atau negara jika ingin memperoleh dan mempertahankan kekuasaan maka ia harus mempunyai atau memiliki akses terhadap instrumen kekerasan.37

Merujuk pada teori di atas, tentunya, dapat disebutkan bahwa model penyelesaian koersif lah yang sering dilakukan oleh organisasi pemuda (Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI) tersebut dalam menyelesaikan konflik. Cara-cara seperti kekerasan, ancaman, menyakiti dan bahkan membunuh, juga dilakukan oleh organisasi pemuda/preman untuk memperoleh dan mempertahankan

35Ibid. hal. 137.

36 Maswadi Rauf. 2001. Konsensus dan Konflik Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. hal. 11-12.

37 Dikutip dari Roger Simon. 2000. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist Pelajar. hal. 15.

kekuasaannya. Mereka melakukan intimidasi, ancaman, perkelahian kepada orang-orang yang dianggap menjadi lawannya. Praktek-praktek kekerasan lebih sering ditemukan dalam segala aktivitas organisasi pemuda di kota Medan. Dalam politik lokal perspektif pluralisme, organisai pemuda yang keras ini kemudian terlibat dalam institusi politik yang berusaha merebut kekuasaan pada jabatan-jabatan publik.

1.4.2. Oganisasi Pemuda/Preman dalam Politik

Organisasi pemuda/preman yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sebagai suatu organisasi pemuda besar yang umumnya merupakan wadah bagi aktivitas preman38. Sedangkan preman adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang melakukan kejahatan dan tindakan kriminil39. Kata preman berasal dari bahasa Belanda vrije man dan istilah ini melekat pada kaum lelaki yang menolak bekerja di perkebunan Belanda. Makna kata tersebut adalah lelaki bebas yang tidak dapat diatur. Namun, sejalan dengan perkembangan jaman pengertian preman mengalami perubahan. Kunarto menyebut Preman sebagai orang atau individu atau kelompok orang yang tidak berpenghasilan tetap, tidak mempunyai pekerjaan yang pasti, mereka hidup atas dukungan orang-orang yang terkena pengaruh orang-orang yang takut secara fisik maupun psikis. Mereka memiliki wilayah kekuasaan dan tidak terikat pada norma dan nilai yang ada dalam masyarakat serta memiliki kecenderungan melakukan tindakan- tindakan kriminal. Sikap, tindakan, dan prilaku para preman itulah yang disebut sebagai premanisme.40

Lyron Ryter, seorang pengajar dari Cornell University, meneliti tentang kehidupan preman dan politik yang disebutnya sebagai politik gangster di kota Medan dan Jakarta pada tahun 1998-2004.41 Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa setelah jatuhnya rezim Orde Baru, perilaku premanisme masuk ke wilayah politik formal. Perilaku ini bisa terjadi karena adanya hubungan yang erat

38

Pengertian ini sebagaimana yang ditulis oleh Vedi R. Hadiz, Op. Cit. hal. 249. 39

Burhani MS – Hasbi Lawrens. 1999. Referensi Ilmiah Politik, Kamus Ilmiah Populer. Jakarta: Lintas Media. hal. 560.

40 Maruli CC Simanjuntak. 2007. Preman-Preman Jakarta. Jakarta: Grafika Indah. hal. 40-41. 41

antara militer dengan organisasi pemuda, yang melakukan tindakan kriminal, untuk memegang posisi penting di partai politik dan lembaga parlemen. Kekuatan preman di Indonesia bukan terletak pada bentuk fisik sebagai orang yang kuat dan selalu melakukan tindakan kekerasan. Justru kelebihan preman adalah selalu terlepas dari sangsi hukum karena memberikan dukungan kepada jaringan politik yang ada. Karena itu, paska jatuhnya pemerintahan Soeharto, mereka tidak lagi hanya mendukung Golkar tetapi dibebaskan untuk masuk ke partai politik manapun. Seiring dengan perjalanan waktu mereka kemudian menduduki posisi penting di partai politik seperti PDI-P, PAN, dan parpol lainnya. Mereka kemudian terdaftar sebagai calon anggota legislatif baik di tingkat nasional dan lokal karena jaringan politik yang terbentuk. Ketika Pemilu 1999 dan 2004 para preman itu diharapkan oleh pimpinan parpol agar dapat mengumpulkan massa sebagai bentuk show of force pada kegiatan-kegiatan partai seperti kampanye dan bertugas di tempat pemungutan suara ketika pemilu berlangsung.42

Dokumen terkait