iii
ABSTRAK
Judul : Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan.
Halaman : vi + 125 halaman + lampiran
Daftar Pustaka : 49 buku; 7 jurnal dan hasil penelitian; 12 dokumen resmi, surat kabar, dan majalah
Penelitian ini mencoba menguraikan fakta-fakta tentang keterlibatan organisasi pemuda (Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, dan FKPPI) di Kota Medan dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di Kota Medan. Di masyarakat Medan ketiga organisasi pemuda itu sering melakukan aktivitas premanisme seperti kekerasan, menyakiti dan bahkan membunuh untuk kepentingan uang dan kekuasaan. Mereka terlibat dalam politik dengan tujuan mendapatkan proteksi dari kegiatan dan usaha yang dilakukan. Karena itu, penelitian ini menjelaskan argumentasi yang mendasari keterlibatan organisasi pemuda/ preman dalam Pilkada Langsung tahun 2004 Kota Medan. Ada enam indikator yang diteliti yaitu mengenai bentuk dukungan yang diberikan, kedudukannya di tim sukses, lobi yang dilakukan baik secara internal maupun eksternal, menggunakan kekuatan uang, melakukan mobilisasi massa dan kekerasan, serta melakukan kontrol terhadap media. Dengan melihat perbandingan ketiga organisasi pemuda itu, maka penelitian ini menjawab indikator mana yang paling sering dilakukan oleh ketiga organisasi pemuda itu? Siapa tokoh dan organisasi mana yang berpengaruh dalam pilkada langsung tahun 2005 di Kota Medan? Dan mengapa organisasi pemuda itu terlibat dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di Kota Medan?
Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori sumber-sumber kekuasaan dan cara-cara penggunaannya dari Charles F. Andrain, Joel S. Migdal, John T. Sidel, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramsci. Untuk melihat secara lebih jelas tentang karakteristik organisasi preman digunakan teori yang dikemukakan oleh Howard Abadinsky dan beberapa hasil penelitian dari Lyron Ryter dan Vedi R. Hadiz tentang fenomena gengster politik di Indonesia. Teori demokratisasi digunakan untuk melihat situasi politik di tingkat nasional dan lokal yang berubah di Indonesia serta pentingnya kelompok kepentingan dan partai politik dalam pilkada langsung. Selain itu teori elit yang dikemukakan Mosca dan Bottomore digunakan untuk melihat peran elit dalam proses perubahan politik, ekonomi, yang terjadi. Dengan menggunakan desain studi kasus dan metode wawancara sebagai teknik utama pengumpulan data, penelitian ini mengandalkan hasil analisis dari data wawancara yang diperoleh dan relevansinya dengan teori yang digunakan.
iv
Pemberian dukungan itu relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Charles F. Andrain, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramsci tentang sumber-sumber kekuasaan dan cara penggunaannya seperti kekerasan, menyakiti dan bahkan membunuh kepada pihak-pihak yang pesaing. Munculnya bos-bos lokal di Medan menegaskan teori Sidel terjadi di Medan namun ada beberapa penyesuaian yang bersifat lokal. Penelitian ini memiliki relevansi dengan perdebatan yang tengah berlangsung tentang arah dan karakter dari demokrasi lokal di Indonesia. Seperti model yang dikemukakan oleh O’Donnel, Schimtter dan Huntington. Namun, harus dicatat bahwa pola-pola demokratisasi lokal di Indonesia terkait dengan diskusi lainnya yang lebih umum dan yang lebih teoritis mengenai pemerintahan dan perubahan kelembagaan.
Sebagai organisasi yang melakukan praktek premanisme dan kejahatan, Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI tidak begitu ”pas” dikelompokkan sebagai organized crime. Keterlibatannya dalam politik lebih disebabkan kepentingan untuk memperoleh perlindungan dari semua aktivitas organisasi yang mereka lakukan. Organisasi pemuda ini tidak memiliki anggota yang bersifat eksklusif dan abadi. Fenomena tentang gengster politik seperti yang dikemukakan oleh Lyron Ryter dan Vedi R. Hadiz lebih tepat untuk menguraikan keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam pilkada langsung Kota Medan tahun 2005. Namun yang berbeda adalah bahwa kemenangan dalam kompetisi pilkada langsung juga ditentukan oleh figur yang populer, bukan hanya karena adanya dukungan organisasi pemuda yang melakukan praktek premanisme. Justru keterlibatan mereka pada masyarakat pemilih harus diminimalisasi. Kekuatan otot dan uang hanya digunakan sebagai tindakan politik untuk menenangkan sebagian kalangan elit lokal. Artinya, Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI hanya dilibatkan dan dibayar untuk tidak berbuat apa-apa atau dibayar agar tidak menimbulkan kekacauan.
v
KATA PENGANTAR
Tesis ini berujudul ”Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan”. Tesis ini menjelaskan tentang adanya keterlibatan organisasi pemuda yaitu Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, dan FKPPI pada saat pilkada langsung dilakukan di Kota Medan pada tahun 2005. Keterlibatan organisasi pemuda ini secara politik sering dilihat sebagai gengster politik karena tidak jarang mereka melakukan tindakan kekerasan seperti menyakiti, melukai, dan bahkan membunuh karena kepentingan uang, otot, dan kekuasaan. Dalam tesis ini diuraikan bahwa kegiatan pengerahan massa dan penggunaan kekerasan sangat sering diandalkan dari organisasi ini ketika calon walikota atau tim sukses memerlukan tindakan itu sebagai bagian dari skenario politik yang dirancang. Kegiatan itu juga menyebabkan bahwa hanya calon walikota yang memiliki dana yang tidak sedikit akan didukung oleh organisasi pemuda ini. Kekuatan uang untuk menggerakkan anggota organisasi merupakan keniscayaan yang harus dilakukan mengingat alasan dasar dari organisasi pemuda ini dalam politik hanya karena ingin mendapatkan proteksi dari aktivitas usaha yang mereka lakukan. Usaha-usaha itu bukan saja dilakukan untuk mendapatkan kontrak atau proyek yang berasal dari pemerintah namun berkaitan dengan penguasaan satu wilayah atau daerah untuk kepentingan ekonomi.
Alhamdulillah, atas syukur kepada Allah SWT, penulis diberikan rahmat berupa kesempatan dan kesehatan untuk menyelesaikan studi ini berupa penulisan tesis dari hasil penelitian yang dikerjakan, dari proses awal, tidak kurang dari delapan bulan. Selawat dan salam penulis juga sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya, semoga para pengikutnya sampai akhir zaman mendapatkan manfaat.
Penyelesaian penulisan Tesis ini tentunya karena adanya dukungan dan bimbingan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pertama-tama penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Isbodroini, MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan pemikiran yang sangat berarti bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Maswadi Rauf, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Politik dan dosen pengasuh dan penilai dari mata kuliah LPIP yang membantu penulis untuk meyakinkan agar draf penelitian ini dilanjutkan menjadi penulisan tesis. Terima kasih penulis sampaikan kepada Drs. Julian A. Pasha, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik Program Pascasarjana FISIP UI dan Dra. Nurul Nurhandjati, M.Si selaku Sekretaris Program Studi yang telah membantu penulis untuk masalah perkuliahan dan berikut proses administrasinya. Kepada mas Dr. Lili Romli, M,Si penulis juga mengucapkan terima kasih atas diskusi dan masukannya selama penulis melakukan proses penyelesaian laporan ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf sekretariat Program Studi Ilmu Politik Program Pascasarjana FISIP UI diantaranya Mas Deni, Mbak Retno, Mbak Hera, Mbak Romlah, Mas Anto, Mas Biwoso, Mas Diro, dan Mas Jenar yang telah membantu selama masa perkuliahan.
vi
Kepada teman-teman di FISIP USU penulis juga mengucapkan terima kasih atas dorongannya untuk menyelesaikan studi ini. Arifin, Thamrin, Mas Dho, Warjio, Ibnu dan lainnya yang senantiasa memberikan motivasi itu.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pimpinan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan bantuannya, Drs. Subhilhar, Ph.D (Pembantu Rektor II USU) Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA (Dekan FISIP USU), Drs. Agus Suriadi, M.Si (SPS MSP USU), Drs. Humaizi, MA (PD I), Drs. Mukti Sitompul, M.Si (PD II), dan Drs. Burhan Harahap (PD III). Serta beberapa abang, rekan dan teman sesama dosen di FISIP USU. Kepada Kakanda Nuzirwan B. Lubis (Ketua IKA FISIP USU) penulis juga mengucapkan terima kasih atas motivasi dan bantuan yang diberikan.
Ucapan terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada kedua orang tuaku, Abah (H. Muin Sudarmo) dan Mama (Hj. Ruyanti) yang tak henti-hentinya, siang dan malam, mendoakan penulis agar dapat mencapai cita-cita. Dengan rendah hati penulis berikan karya ini untuk kedua orang tuaku tercinta, semoga ini menjadi amal ibadah. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua mertuaku, Ir. H. Sudiono dan Elvi Koto atas dorongan yang selama ini diberikan. Kepada adik-adikku penulis juga sampaikan terima kasih Adek, Omi, Omo, Aci, Diah, dan Marin. Kepada mereka semua, penulis berdoa semoga mendapat limpahan rahmat dan hidayah dari Allah SWT.
Ucapan khusus penulis berikan kepada istri tercinta, Novi Susanti, yang selama ini mendampingi penulis dalam suka dan duka, yang selalu mendoakan agar penulis meraih cita-cita, yang mengorbankan segalanya buat penulis, selalu memberikan spirit dan kecintaannya yang tulus, memberikan kesejukan dan keindahan dalam mengarungi bahtera kehidupan bersama anak-anak tercinta. Kepada anak-anakku ayah sampaikan permohonan maaf karena selama ini kurang memberikan perhatian yang lebih Fatah Rizkin dan Tuhva Norif, serta sang fajar yang sedang dinanti. Ayah berdoa semoga, sesuai dengan nama yang ayah berikan, kalian menjadi anak-anak yang pintar dan soleha serta dapat mewujudkan cita-cita kalian.
Kepada semua pihak yang penulis belum sebutkan satu persatu (penulis mohon maaf) yang telah memberikan dorongan, masukan, kritik, perhatian dan doanya selama ini, penulis mengucapkan terima kasih. Akhirnya, penulis berdoa dan berharap semoga Allah SWT membalas amal kebaikan kepada semua pihak yang telah turut andil dalam menyelesaikan studi ini. Amin.
Jakarta, Maret 2008 Penulis,
vii
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ...………... i
PERNYATAAN ORISINALITAS ...………... ii
ABSTRAK ...……….…………... iii
KATA PENGANTAR ...………... v
DAFTAR ISI ...………. vii
DAFTAR TABEL ...……….... ix
PETA KOTA MEDAN ...………. x
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 7 1.3. Tujuan Penelitian ... 12
1.4. Kerangka Teori ... 13
1.4.1. Politik Lokal dan Sumber-Sumber Kekuasaan ... 13
1.4.2. Oganisasi Pemuda/Preman dalam Politik ... 23
1.4.3. Partai Politik dan Kelompok Kepentingan dalam Pilkada Langsung di Indonesia ... 28
1.4.4. Kelompok Elit Lokal dalam Politik ... 32
1.4.5. Demokratisasi ... 34
1.5. Skema Analisis ... 37
1.6. Keterbatasan Penelitian ... 38
1.7. Metode Penelitian ... 38
Tipe Penelitian ... 38
Teknik Pengumpulan Data & Nara Sumber ... 39
Teknik Analisa Data ... 40
1.8. Sistematika Penulisan ... 41
viii
2.2. ”Ini Medan, Bung!” Semboyan untuk Preman Medan ... 53
2.3. Memahami Preman dan Politik di Kota Medan ... 55
2.4. Penguasaan Politik Lokal ... 67
BAB III POSISI POLITIK PEMUDA PANCASILA, IKATAN PEMUDA KARYA, DAN FKPPI DALAM PILKADA LANGSUNG KOTA MEDAN TAHUN 2005 3.1. Pelaksanaan Pilkada Langsung Kota Medan Tahun 2005 ... 73
3.2. Dukungan Politik PP, IPK, dan FKPPI dalam Pilkada Langsung Kota Medan Tahun 2005 ... 77
3.2.1. Dukungan Politik Pemuda Pancasila ... 77
3.2.2. Dukungan Politik Ikatan Pemuda Karya ... 81
3.2.3. Dukungan Politik FKPPI ... 84
3.3. PP, IPK, FKPPI dan Tim Sukses Walikota Medan Tahun 2005 ... 87
3.4. Lobi dan Akses Jaringan ... 89
3.5. Analisis Dukungan, Kedudukan Tim Sukses, serta Lobi dan Jaringan PP, IPK, dan FKPPI ... 91
BAB IV POLA MOBILISASI PEMUDA PANCASILA, IPK, DAN FKPPI DALAM PILKADA LANGSUNG TAHUN 2005 KOTA MEDAN 4.1. Indikasi Kekuatan Uang ... 97
4.2. Pengerahan Massa dan Penggunaan Kekerasan ... 100
4.3. Penguasaan Opini Media ... 103
4.4. Analisis Pola Mobilisasi dan Karakteristik Organisasi Preman ... 105
4.5. Kekuasaan Lokal dan Kepentingan Lokal ... 112
BAB V KESIMPULAN ... 114
DAFTAR PUSTAKA ... 126
ix
DAFTAR TABEL
Hal Tabel 1.1 Tipe-Tipe Sumber Kekuasaan ... 16
Tabel 1.2 Perbandingan Kerangka Teori Migdal dan Sidel tentang
Kemunculan Local Strongmen dan Bossism ... 18 Tabel 1.3 Kekuasaan Paksaan dan Konsensual ... 21 Tabel 2.1 Komposisi Etnis Kota Medan tahun 2005 ... 50 Tabel 2.2 Data OKP, Partai Politik,dan Ormas
di Kota Medan tahun 2008 ... 52 Tabel 2.3 Beberapa Pengurus Organisasi Pemuda yang
Menjadi Pengurus Partai Politik di Kota Medan ... 70 Tabel 2.4 Beberapa Anggota Organisasi Pemuda yang
Menjadi Anggota DPRD Kota Medan ... 71 Tabel 3.1 Perbedaan Tugas Organisasi Tim Sukses Abdillah
x
PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya sendiri dan seluruh sumber yang
dikutip maupun dirujuk di dalam karya ini telah saya nyatakan
dengan benar atas kaidah-kaidah akademis.
Jakarta, Maret 2007
Penulis,
ABSTRAK
Judul : Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan.
Halaman : vi + 125 halaman + lampiran
Daftar Pustaka : 49 buku; 7 jurnal dan hasil penelitian; 12 dokumen resmi, surat kabar, dan majalah
Penelitian ini mencoba menguraikan fakta-fakta tentang keterlibatan organisasi pemuda (Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, dan FKPPI) di Kota Medan dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di Kota Medan. Di masyarakat Medan ketiga organisasi pemuda itu sering melakukan aktivitas premanisme seperti kekerasan, menyakiti dan bahkan membunuh untuk kepentingan uang dan kekuasaan. Mereka terlibat dalam politik dengan tujuan mendapatkan proteksi dari kegiatan dan usaha yang dilakukan. Karena itu, penelitian ini menjelaskan argumentasi yang mendasari keterlibatan organisasi pemuda/ preman dalam Pilkada Langsung tahun 2004 Kota Medan. Ada enam indikator yang diteliti yaitu mengenai bentuk dukungan yang diberikan, kedudukannya di tim sukses, lobi yang dilakukan baik secara internal maupun eksternal, menggunakan kekuatan uang, melakukan mobilisasi massa dan kekerasan, serta melakukan kontrol terhadap media. Dengan melihat perbandingan ketiga organisasi pemuda itu, maka penelitian ini menjawab indikator mana yang paling sering dilakukan oleh ketiga organisasi pemuda itu? Siapa tokoh dan organisasi mana yang berpengaruh dalam pilkada langsung tahun 2005 di Kota Medan? dan mengapa organisasi pemuda itu terlibat dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di Kota Medan?
Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori sumber-sumber kekuasaan dan cara-cara penggunaannya dari Charles F. Andrain, Joel S. Migdal, John T. Sidel, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramsci. Untuk melihat secara lebih jelas tentang karakteristik organisasi preman digunakan teori yang dikemukakan oleh Howard Abadinsky dan beberapa hasil penelitian dari Lyron Ryter dan Vedi R. Hadiz tentang fenomena gengster politik di Indonesia. Teori demokratisasi digunakan untuk melihat situasi politik di tingkat nasional dan lokal yang berubah di Indonesia serta pentingnya kelompok kepentingan dan partai politik dalam pilkada langsung. Selain itu teori elit yang dikemukakan Mosca dan Bottomore digunakan untuk melihat peran elit dalam proses perubahan politik, ekonomi, yang terjadi. Dengan menggunakan desain studi kasus dan metode wawancara sebagai teknik utama pengumpulan data, penelitian ini mengandalkan hasil analisis dari data wawancara yang diperoleh dan relevansinya dengan teori yang digunakan.
Pemberian dukungan itu relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Charles F. Andrain, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramsci tentang sumber-sumber kekuasaan dan cara penggunaannya seperti kekerasan, menyakiti dan bahkan membunuh kepada pihak-pihak yang pesaing. Penelitian ini memiliki relevansi dengan perdebatan yang tengah berlangsung tentang arah dan karakter dari demokrasi lokal di Indonesia. Seperti model yang dikemukakan oleh O’Donnel, Schimtter dan Huntington. Namun, harus dicatat bahwa pola-pola demokratisasi lokal di Indonesia terkait dengan diskusi lainnya yang lebih umum dan yang lebih teoritis mengenai pemerintahan dan perubahan kelembagaan.
Sebagai organisasi yang melakukan praktek premanisme dan kejahatan, Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI tidak begitu ”pas” dikelompokkan sebagai organized crime. Keterlibatannya dalam politik lebih disebabkan kepentingan untuk memperoleh perlindungan dari semua aktivitas organisasi yang mereka lakukan. Organisasi pemuda ini tidak memiliki anggota yang bersifat eksklusif dan abadi. Fenomena tentang gengster politik seperti yang dikemukakan oleh Lyron Ryter dan Vedi R. Hadiz lebih tepat untuk menguraikan keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam pilkada langsung Kota Medan tahun 2005. Namun yang berbeda adalah bahwa kemenangan dalam kompetisi pilkada langsung juga ditentukan oleh figur yang populer, bukan hanya karena adanya dukungan organisasi pemuda yang melakukan praktek premanisme. Justru keterlibatan mereka pada masyarakat pemilih harus diminimalisasi. Kekuatan otot dan uang hanya digunakan sebagai tindakan politik untuk menenangkan sebagian kalangan elit lokal. Artinya, Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI hanya dilibatkan dan dibayar untuk tidak berbuat apa-apa atau dibayar agar tidak menimbulkan kekacauan.
KATA PENGANTAR
Tesis ini berujudul ”Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan”. Tesis ini menjelaskan tentang adanya keterlibatan organisasi pemuda yaitu Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, dan FKPPI pada saat pilkada langsung dilakukan di Kota Medan pada tahun 2005. Keterlibatan organisasi pemuda ini secara politik sering dilihat sebagai gengster politik karena tidak jarang mereka melakukan tindakan kekerasan seperti menyakiti, melukai, dan bahkan membunuh karena kepentingan uang, otot, dan kekuasaan. Dalam tesis ini diuraikan bahwa kegiatan pengerahan massa dan penggunaan kekerasan sangat sering diandalkan dari organisasi ini ketika calon walikota atau tim sukses memerlukan tindakan itu sebagai bagian dari skenario politik yang dirancang. Kegiatan itu juga menyebabkan bahwa hanya calon walikota yang memiliki dana yang tidak sedikit akan didukung oleh organisasi pemuda ini. Kekuatan uang untuk menggerakkan anggota organisasi merupakan keniscayaan yang harus dilakukan mengingat alasan dasar dari organisasi pemuda ini dalam politik hanya karena ingin mendapatkan proteksi dari aktivitas usaha yang mereka lakukan. Usaha-usaha itu bukan saja dilakukan untuk mendapatkan kontrak atau proyek yang berasal dari pemerintah namun berkaitan dengan penguasaan satu wilayah atau daerah untuk kepentingan ekonomi.
Alhamdulillah, atas syukur kepada Allah SWT, penulis diberikan rahmat berupa kesempatan dan kesehatan untuk menyelesaikan studi ini berupa penulisan tesis dari hasil penelitian yang dikerjakan, dari proses awal, tidak kurang dari delapan bulan. Selawat dan salam penulis juga sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya, semoga para pengikutnya sampai akhir zaman mendapatkan manfaat.
Penyelesaian penulisan Tesis ini tentunya karena adanya dukungan dan bimbingan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pertama-tama penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Isbodroini, MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan pemikiran yang sangat berarti bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Maswadi Rauf, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Politik dan dosen pengasuh dan penilai dari mata kuliah LPIP yang membantu penulis untuk meyakinkan agar draf penelitian ini dilanjutkan menjadi penulisan tesis. Terima kasih penulis sampaikan kepada Drs. Julian A. Pasha, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik Program Pascasarjana FISIP UI dan Dra. Nurul Nurhandjati, M.Si selaku Sekretaris Program Studi yang telah membantu penulis untuk masalah perkuliahan dan berikut proses administrasinya. Kepada mas Dr. Lili Romli, M,Si penulis juga mengucapkan terima kasih atas diskusi dan masukannya selama penulis melakukan proses penyelesaian laporan ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf sekretariat Program Studi Ilmu Politik Program Pascasarjana FISIP UI diantaranya Mas Deni, Mbak Retno, Mbak Hera, Mbak Romlah, Mas Anto, Mas Biwoso, Mas Diro, dan Mas Jenar yang telah membantu selama masa perkuliahan.
Kepada teman-teman di FISIP USU penulis juga mengucapkan terima kasih atas dorongannya untuk menyelesaikan studi ini. Arifin, Thamrin, Mas Dho, Warjio, Ibnu dan lainnya yang senantiasa memberikan motivasi itu.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pimpinan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan bantuannya, Drs. Subhilhar, Ph.D (Pembantu Rektor II USU) Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA (Dekan FISIP USU), Drs. Agus Suriadi, M.Si (SPS MSP USU), Drs. Humaizi, MA (PD I), Drs. Mukti Sitompul, M.Si (PD II), dan Drs. Burhan Harahap (PD III). Serta beberapa abang, rekan dan teman sesama dosen di FISIP USU. Kepada Kakanda Nuzirwan B. Lubis (Ketua IKA FISIP USU) penulis juga mengucapkan terima kasih atas motivasi dan bantuan yang diberikan.
Ucapan terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada kedua orang tuaku, Abah (H. Muin Sudarmo) dan Mama (Hj. Ruyanti) yang tak henti-hentinya, siang dan malam, mendoakan penulis agar dapat mencapai cita-cita. Dengan rendah hati penulis berikan karya ini untuk kedua orang tuaku tercinta, semoga ini menjadi amal ibadah. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua mertuaku, Ir. H. Sudiono dan Elvi Koto atas dorongan yang selama ini diberikan. Kepada adik-adikku penulis juga sampaikan terima kasih Adek, Omi, Omo, Aci, Diah, dan Marin. Kepada mereka semua, penulis berdoa semoga mendapat limpahan rahmat dan hidayah dari Allah SWT.
Ucapan khusus penulis berikan kepada istri tercinta, Novi Susanti, yang selama ini mendampingi penulis dalam suka dan duka, yang selalu mendoakan agar penulis meraih cita-cita, yang mengorbankan segalanya buat penulis, selalu memberikan spirit dan kecintaannya yang tulus, memberikan kesejukan dan keindahan dalam mengarungi bahtera kehidupan bersama anak-anak tercinta. Kepada anak-anakku ayah sampaikan permohonan maaf karena selama ini kurang memberikan perhatian yang lebih Fatah Rizkin dan Tuhva Norif, serta sang fajar yang sedang dinanti. Ayah berdoa semoga, sesuai dengan nama yang ayah berikan, kalian menjadi anak-anak yang pintar dan soleha serta dapat mewujudkan cita-cita kalian.
Kepada semua pihak yang penulis belum sebutkan satu persatu (penulis mohon maaf) yang telah memberikan dorongan, masukan, kritik, perhatian dan doanya selama ini, penulis mengucapkan terima kasih. Akhirnya, penulis berdoa dan berharap semoga Allah SWT membalas amal kebaikan kepada semua pihak yang telah turut andil dalam menyelesaikan studi ini. Amin.
Jakarta, Maret 2008
Penulis,
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ...………... i
PERNYATAAN ORISINALITAS ...………... ii
ABSTRAK ...……….…………... iii
KATA PENGANTAR ...………... v
DAFTAR ISI ...………. v
DAFTAR TABEL ...……….... vii
PETA KOTA MEDAN ...………. viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 7 1.3. Tujuan Penelitian ... 12
1.4. Kerangka Teori ... 13
1.4.1. Politik Lokal dan Sumber-Sumber Kekuasaan ... 13
1.4.2. Oganisasi Pemuda/Preman dalam Politik ... 23
1.4.3. Partai Politik dan Kelompok Kepentingan dalam Pilkada Langsung di Indonesia ... 28
1.4.4. Kelompok Elit Lokal dalam Politik ... 32
1.4.5. Demokratisasi ... 34
1.5. Skema Analisis ... 37
1.6. Keterbatasan Penelitian ... 38
1.7. Metode Penelitian ... 38
Tipe Penelitian ... 38
Teknik Pengumpulan Data & Nara Sumber ... 39
Teknik Analisa Data ... 40
1.8. Sistematika Penulisan ... 41
2.2. ”Ini Medan, Bung!” Semboyan untuk Preman Medan ... 53
2.3. Memahami Preman dan Politik di Kota Medan ... 55
2.4. Penguasaan Politik Lokal ... 67
BAB III POSISI POLITIK PEMUDA PANCASILA, IKATAN PEMUDA KARYA, DAN FKPPI DALAM PILKADA LANGSUNG KOTA MEDAN TAHUN 2005 3.1. Pelaksanaan Pilkada Langsung Kota Medan Tahun 2005 ... 73
3.2. Dukungan Politik PP, IPK, dan FKPPI dalam Pilkada Langsung Kota Medan Tahun 2005 ... 77
3.2.1. Dukungan Politik Pemuda Pancasila ... 77
3.2.2. Dukungan Politik Ikatan Pemuda Karya ... 81
3.2.3. Dukungan Politik FKPPI ... 84
3.3. PP, IPK, FKPPI dan Tim Sukses Walikota Medan Tahun 2005 ... 87
3.4. Lobi dan Akses Jaringan ... 89
3.5. Analisis Dukungan, Kedudukan Tim Sukses, serta Lobi dan Jaringan PP, IPK, dan FKPPI ... 91
BAB IV POLA MOBILISASI PEMUDA PANCASILA, IPK, DAN FKPPI DALAM PILKADA LANGSUNG TAHUN 2005 KOTA MEDAN 4.1. Indikasi Kekuatan Uang ... 97
4.2. Pengerahan Massa dan Penggunaan Kekerasan ... 100
4.3. Penguasaan Opini Media ... 103
4.4. Analisis Pola Mobilisasi dan Karakteristik Organisasi Preman ... 105
4.5. Kekuasaan Lokal dan Kepentingan Lokal ... 112
BAB V KESIMPULAN ... 114
DAFTAR PUSTAKA ... 126
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1.1 Tipe-Tipe Sumber Kekuasaan ... 16
Tabel 1.2 Perbandingan Kerangka Teori Migdal dan Sidel tentang
Kemunculan Local Strongmen dan Bossism ... 18 Tabel 1.3 Kekuasaan Paksaan dan Konsensual ... 21
Tabel 2.1 Komposisi Etnis Kota Medan tahun 2005 ... 50
Tabel 2.2 Data OKP, Partai Politik,dan Ormas
di Kota Medan tahun 2008 ... 52
Tabel 2.3 Beberapa Pengurus Organisasi Pemuda yang
Menjadi Pengurus Partai Politik di Kota Medan ... 70
Tabel 2.4 Beberapa Anggota Organisasi Pemuda yang
Menjadi Anggota DPRD Kota Medan ... 71
Tabel 3.1 Perbedaan Tugas Organisasi Tim Sukses Abdillah
ABSTRAK
Judul : Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan.
Halaman : vi + 125 halaman + lampiran
Daftar Pustaka : 49 buku; 7 jurnal dan hasil penelitian; 12 dokumen resmi, surat kabar, dan majalah
Penelitian ini mencoba menguraikan fakta-fakta tentang keterlibatan organisasi pemuda (Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, dan FKPPI) di Kota Medan dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di Kota Medan. Di masyarakat Medan ketiga organisasi pemuda itu sering melakukan aktivitas premanisme seperti kekerasan, menyakiti dan bahkan membunuh untuk kepentingan uang dan kekuasaan. Mereka terlibat dalam politik dengan tujuan mendapatkan proteksi dari kegiatan dan usaha yang dilakukan. Karena itu, penelitian ini menjelaskan argumentasi yang mendasari keterlibatan organisasi pemuda/ preman dalam Pilkada Langsung tahun 2004 Kota Medan. Ada enam indikator yang diteliti yaitu mengenai bentuk dukungan yang diberikan, kedudukannya di tim sukses, lobi yang dilakukan baik secara internal maupun eksternal, menggunakan kekuatan uang, melakukan mobilisasi massa dan kekerasan, serta melakukan kontrol terhadap media. Dengan melihat perbandingan ketiga organisasi pemuda itu, maka penelitian ini menjawab indikator mana yang paling sering dilakukan oleh ketiga organisasi pemuda itu? Siapa tokoh dan organisasi mana yang berpengaruh dalam pilkada langsung tahun 2005 di Kota Medan? dan mengapa organisasi pemuda itu terlibat dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di Kota Medan?
Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori sumber-sumber kekuasaan dan cara-cara penggunaannya dari Charles F. Andrain, Joel S. Migdal, John T. Sidel, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramsci. Untuk melihat secara lebih jelas tentang karakteristik organisasi preman digunakan teori yang dikemukakan oleh Howard Abadinsky dan beberapa hasil penelitian dari Lyron Ryter dan Vedi R. Hadiz tentang fenomena gengster politik di Indonesia. Teori demokratisasi digunakan untuk melihat situasi politik di tingkat nasional dan lokal yang berubah di Indonesia serta pentingnya kelompok kepentingan dan partai politik dalam pilkada langsung. Selain itu teori elit yang dikemukakan Mosca dan Bottomore digunakan untuk melihat peran elit dalam proses perubahan politik, ekonomi, yang terjadi. Dengan menggunakan desain studi kasus dan metode wawancara sebagai teknik utama pengumpulan data, penelitian ini mengandalkan hasil analisis dari data wawancara yang diperoleh dan relevansinya dengan teori yang digunakan.
Pemberian dukungan itu relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Charles F. Andrain, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramsci tentang sumber-sumber kekuasaan dan cara penggunaannya seperti kekerasan, menyakiti dan bahkan membunuh kepada pihak-pihak yang pesaing. Penelitian ini memiliki relevansi dengan perdebatan yang tengah berlangsung tentang arah dan karakter dari demokrasi lokal di Indonesia. Seperti model yang dikemukakan oleh O’Donnel, Schimtter dan Huntington. Namun, harus dicatat bahwa pola-pola demokratisasi lokal di Indonesia terkait dengan diskusi lainnya yang lebih umum dan yang lebih teoritis mengenai pemerintahan dan perubahan kelembagaan.
Sebagai organisasi yang melakukan praktek premanisme dan kejahatan, Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI tidak begitu ”pas” dikelompokkan sebagai organized crime. Keterlibatannya dalam politik lebih disebabkan kepentingan untuk memperoleh perlindungan dari semua aktivitas organisasi yang mereka lakukan. Organisasi pemuda ini tidak memiliki anggota yang bersifat eksklusif dan abadi. Fenomena tentang gengster politik seperti yang dikemukakan oleh Lyron Ryter dan Vedi R. Hadiz lebih tepat untuk menguraikan keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam pilkada langsung Kota Medan tahun 2005. Namun yang berbeda adalah bahwa kemenangan dalam kompetisi pilkada langsung juga ditentukan oleh figur yang populer, bukan hanya karena adanya dukungan organisasi pemuda yang melakukan praktek premanisme. Justru keterlibatan mereka pada masyarakat pemilih harus diminimalisasi. Kekuatan otot dan uang hanya digunakan sebagai tindakan politik untuk menenangkan sebagian kalangan elit lokal. Artinya, Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI hanya dilibatkan dan dibayar untuk tidak berbuat apa-apa atau dibayar agar tidak menimbulkan kekacauan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Amandemen konstitusi yang terjadi, setelah jatuhnya Orde Baru,
merupakan salah satu wujud dari gerakan reformasi. Langkah tersebut dianggap
juga sebagai tindakan nyata reformasi kelembagaan yang dibutuhkan dalam
praktek konsolidasi demokrasi setelah mengalami fase pemerintahan otoriter
Orde Baru. Sejak itu, bangsa Indonesia memasuki fase kehidupan politik yang
lebih terbuka dan demokratis dan ditandai dengan pulihnya hak-hak sipil dan
politik. Perubahan mendasar yang terjadi dalam amandemen UUD 1945
diantaranya adalah rekrutmen pejabat negara, baik yang duduk di legislatif
maupun eksekutif, pusat maupun daerah yang dipilih secara langsung oleh
rakyat melalui pemilihan umum.
Pemilihan umum diakui sebagai sebuah arena untuk membentuk
pemerintahan demokrasi perwakilan serta menggelar pergantian pemerintahan
secara berkala dan damai. Dalam sistem politik demokrasi, salah satu unsur
pentingnya adalah penyelenggaraan pemilihan umum anggota legislatif dan
kepala eksekutif di tingkat nasional dan lokal harus dilakukan secara bebas dan
adil. Pemilihan umum juga merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi
atau kontestasi antaraktor politik untuk meraih kekuasaan, partisipasi politik
rakyat untuk menentukan liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara1.
Urgensi pemilu dalam sistem politik demokrasi, setidaknya dilandasi atas
empat argumentasi. Pertama, pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada penyelenggara
negara, baik yang duduk dalam lembaga legislatif maupun eksekutif di pusat dan
daerah. Mereka ini bertindak atas nama rakyat dan
mempertanggung-jawabkannya kepada rakyat. Kedua, pemilihan umum merupaka prosedur dan
1
mekanisme pemindahan perbedaan aspirasi dan pertentangan kepentingan dari
masyarakat ke dalam penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah,
untuk kemudian dibicarakan dan diputuskan secara beradab. Ketiga, pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme perubahan politik secara teratur dan
tertib, dilakukan secara periodik baik perubahan sirkulasi elit politik maupun
perubahan arah dan pola kebijakan publik. Keempat, pemilihan umum juga dapat
digunakan sebagai prosedur dan mekanisme engineering untuk mewujudkan tatanan politik dan pola prilaku politik yang disepakati.2
Karena itu, pentingnya melihat pemilu sebagai bentuk perubahan
kelembagaan politik yang diatur dalam UUD 1945, dan diberlakukan baik pada
tingkat nasional maupun lokal. Untuk perubahan pengaturan institusi politik di
tingkat lokal dilakukan sebagai bentuk akomodasi tuntutan lokal agar dapat
menjamin pelaksanaan otonomi yang lebih luas dalam manajemen
sumber-sumber daya lokal serta mengalokasikan pelaksanaan kekuasaan ekonomi dan
politik. Di dalam Pasal 18 UUD 1945 diatur tentang kewenangan daerah propinsi
dan kabupaten/kota dalam mengatur dan mengurus kepentingan sendiri (otonomi
daerah) bukan karena pemberian pemerintah pusat ataupun pendelegasian
kewenangan pemerintahan dari presiden, melainkan merupakan pengakuan
negara. Berbagai urusan pemerintahan telah didesentralisasikan ke
daerah-daerah diantaranya adalah pemilihan kepala daerah-daerah hukum di provinsi dan
kabupaten/kota secara langsung.
Dengan disahkannya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,
maka sejak Juni 2005 pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh
rakyat. Ini melengkapi pengalaman pemilu legislatif dan presiden yang
berlangsung tahun 2004 dengan UU No. 12/2003 dan UU No. 23/2003. Sejalan
dengan semangat konstitusi yang menegaskan penggunaan sistem presidensil,
di tingkat nasional presiden dipilih langsung, maka di daerah pun (sebagai sub
sistem) dalam memilih gubernur/bupati/walikota juga mengikuti pola tersebut,
dipilih langsung oleh rakyat. Politik desentralisasi yang didesain tersebut
menegaskan tentang perubahan yang signifikan terhadap peran rakyat dalam
rekrutmen pejabat publik maupun dalam kebijakan publik. Karena kebijakan
desentralisasi sebelumnya di bawah UU No. 29/1999 menentukan kepala daerah
yang dipilih sepenuhnya oleh DPRD, bukan oleh rakyat secara langsung. Situasi
politik pada saat itu memunculkan kekecewaan beberapa elemen masyarakat
karena tidak berjalannya fungsi DPRD sebagai wakil rakyat. Diantara fungsi yang
tidak berjalan adalah menyerap aspirasi rakyat untuk menentukan siapa yang
bakal menjadi pemimpinnya. Karena itu, proses politik di daerah masih
didominasi oleh DPRD. Posisi rakyat masih marjinal, yang ditandai dengan
tersumbatnya aspirasi rakyat dalam proses pemilihan kepala daerah. Akibat
selanjutnya dari proses pemilihan kepala daerah dalam praktiknya sarat dengan
persoalan seperti money politics, konflik antara massa dan aparat, maupun konflik antara pendukung calon kepala daerah.3 Atas dasar itu dan karena adanya perubahan sistem pemilu legislatif dan pemilihan langsung presiden
maka diikuti juga dengan pemilihan kepala daerah secara langsung pula.
Praktiknya baru terwujud setelah dilakukannya revisi UU No. 22/1999 menjadi
UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.
Ketika awal diberlakukannya pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung,
antusiasme masyarakat menyongsongnya tampak begitu tinggi. Situasi ini tidak
saja karena adanya kesempatan bagi masyarakat untuk memilih dan
menentukan secara langsung kepala daerahnya, melainkan juga berkenaan
dengan begitu besarnya harapan atau ekspektasi terhadap para kepala daerah
hasil pilkada langsung. Akumulasi kekecewaan terhadap praktik pemerintahan
lokal selama sekitar lima tahun terakhir tampaknya menjadi faktor penting di balik
harapan besar masyarakat tersebut.
Hasil jajak pendapat yang dilakukan Kompas, pada awal-awal
diberlakukannya pilkada langsung yakni Februari 2005, terhadap sekitar 1000
responden di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua menunjukkan
tingginya harapan masyarakat akan munculnya kepala daerah yang lebih
berkualitas dalam pilkada langsung mendatang.4 Tingginya angka harapan itu mencapai 90,9 persen di Kalimantan, 84,1 persen di Sumatera, 82,9 persen di
Sulawesi, 71,1 persen di Jawa, dan 64,3 persen di Papua. Namun, dalam waktu
3
Beberapa kasus pemilihan kepala daerah oleh DPRD tahun 2000 lihat “Evaluasi Otonomi Daerah”. dalam Kompas, 30 Desember 2001. hal 6.
dua bulan ke depan atau April 2005, jajak pendapat yang dilakukan di media
yang sama menunjukkan kecenderungan yang menurun bahkan dengan
persentase yang cukup drastis. Tingka keyakinan masyarakat terhadap
kemampuan kepala daerah hasil pilkada langsung merosot tinggal 49,1 persen.
Sebagian masyarakat lainnya, dalam persentasi hampir berimbang (43,4
persen), memberikan penilaian ”tidak yakin” bahwa kepala daerah hasil pilkada
mendatang mampu memperbaiki kehidupan demokrasi di daerah.5
Hasil jajak pendapat tersebut mengindikasikan menurunnya tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap kepala daerah hasil pilkada langsung. Hal ini
dimungkinkan karena berkaitan dengan kekecewaan banyak pihak terhadap
format pilkada langsung. Terdapat beberapa asumsi yang menyebabkan
fenomena politik lokal ini terjadi. Pertama, pemilihan secara langsung ternyata tidak memutus mata rantai oligarki partai yang harus diakui cenderung mewarnai
kehidupan partai-partai di DPRD. Kepentingan partai-partai dan bahkan
kepentingan segelintir elit partai acapkali dimanipulasi sebagai kepentingan
kolektif masyarakat.6 Praktek-praktek seperti ini sebenarnya mengindikasikan adanya kepentingan lama yang cukup terbina pada masa Orde Baru, karena
semua keputusan dilakukan oleh elit-elit tertentu yang memiliki kekuasaan politik,
perbedaannya hanya pada besaran ruang lingkupnya.
Kedua, pilkada langsung belum juga menurunkan praktik-praktik tentang fenomena korupsi, kolusi, dan politik uang antara para calon, partai politik, dan
DPRD di balik proses pemilihan kepala daerah.7 Fenomena ini disinyalir terjadi karena adanya kepentingan tertentu dari kelompok dan pribadi sebagai akibat
dari kesepakatan yang dibangun pada saat proses pilkada berlangsung. Ketiga,
pilkada langsung memunculkan indikasi kuat munculnya
kepentingan-kepentingan lama yang didasarkan atas pertarungan yang tajam, keras, dan
5 Lihat “Kualitas Calon Pemimpin Daerah Diragukan”, dalam Kompas. 9 April 2005. hal. 8. 6 Tentang kecenderungan munculnya oligarki partai dalam kehidupan politik lokal era reformasi,
lihat misalnya, Moch. Nurhasim. ed. 2002. Kualitas Keterwakilan Politik: Kasus Sumbar, Jateng, Jatim, dan Sulsel. Jakarta: Pusat Penelitian Politik. LIPI.
7
berkepanjangan diantara elit-elit lokal yang sejatinya berasal dari kekuatan lama
yang dipupuk pada masa Orde Baru.8
Realitas tersebut kemudian menimbulkan persoalan baru bagi
demokratisasi yang sedang dibangun di Indonesia terutama di tingkat lokal.
Format pilkada langsung yang diharapkan dapat memenuhi tuntutan praktik
demokrasi yang lebih substansial sekaligus memastikan bahwa desentralisasi
serta otonomi daerah diselenggarakan secara lebih berkualitas masih menjadi
pertanyaan besar.
Terdapat implikasi positif dan negatif atau setidaknya terdapat gejala
anomali yang terjadi dalam praktek politik lokal di Indonesia. Implikasi positipnya
antara lain adalah munculnya partisipasi politik rakyat misalnya kebebasan pada
pemilu. Sedangkan, implikasi negatif atau setidaknya anomali yang terjadi dalam
penyelenggaraan demokrasi adalah bahwa demokrasi yang dibangun di negeri
ini hanya sebatas pada demokrasi formal yang dibangun sejak akhir 1990-an.
Namun, pengembangan unsur-unsur demokrasi yang lebih substantif – seperti
aturan main, prosedur dan institusi demokratik perlu didukung oleh suatu budaya
demokrasi yang sering diperankan oleh kemampuan elit dalam menterjemahkan
kebijakan-kebijakan politik – belum berjalan dengan baik. Akibatnya sering
terjadi kelumpuhan politik salah satu penyebabnya adalah karena munculnya
kepentingan-kepentingan lama yang telah dipupuk di bawah patronase Orde
Baru. Gejala negatif atau anomali ini menjadi penting untuk dicermati dalam
rangka membangun demokrasi yang lebih substantif.
Kelompok-kelompok yang berada di bawah patronase Orde Baru itu bisa
berbentuk institusi atau perorangan yang berfungsi sebagai penjaga kepentingan
ekonomi dan politik mereka. Salah satu bentuk institusi tersebut adalah
organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila, FKPPI, dan lain sebagainya,
sedangkan perorangan adalah pengusaha yang bergantung pada kontrak
negara. Ketika terjadi perubahan politik di Indonesia tahun 1997, dengan tingkat
adaptasi yang sangat baik mereka masuk ke dalam sistem demokrasi prosedural
yang baru itu. Proses adaptasi tersebut terjalin dari tingkat nasional sampai ke
tingkat lokal.9 Meskipun di tingkat lokal terjadi perubahan desain desentralisasi, namun mereka dapat menjadi bagian dari desain tersebut. Perubahan itu juga
cenderung mengabaikan secara empiris tentang kepentingan yang melekat
dalam lembaga-lembaga politik lokal itu dan pengaruhnya terhadap jalannya
pemerintahan lokal. Adanya indikasi mengenai pertarungan yang tajam, keras
dan berkepanjangan di antara koalisi-koalisi kepentingan yang lebih luas
sehingga dapat menyebabkan proses perubahan desentralisasi memiliki masalah
tersendiri dalam mengembangkan demokrasi yang substantif tersebut10. Diantara permasalahan itu adalah adanya kepentingan dari elit lama yang berperan.
Desain desentralisasi memiliki banyak hal yang sama dengan teori modernisasi
gaya lama, yang sangat mengandalkan inisiatif elit-elit teknokrat-birokrat atau
golongan pengusaha dengan versi kontemporer yang berkedok sebagai teori
pilihan rasional dan teori modal sosial11. Artinya, bahwa peran elit menjadi penting dalam politik desentralisasi di Indonesia.
Vedi R. Hadiz kemudian menyatakan bahwa politik desentralisasi banyak
diperankan oleh mereka yang menduduki lapis bawah dari jaringan patronase
Orde Baru yang menggurita itu12. Terutama untuk kepentingan ekonomi seperti penguasaan pekerjaan di daerah yang bersumber dari APBD dan APBN,
sedangkan kepentingan politik seperti memenangkan pemilu DPRD dan
pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Masa Orde Baru jaringan ini
menyebar dari Istana Cendana hingga ke daerah-daerah, kota-kota dan
desa-desa. Kendati sistem sentralisasi ini tidak ada lagi, namun elemen-elemennya
telah menata kembali diri mereka di dalam jaringan patronase baru yang bersifat
desentralistik, lebih cair dan saling bersatu satu sama lain. Bahkan deretan
kepentingan yang sekarang memperebutkan kekuasaan di tingkat lokal tampak
9
Mengenai pandangan ini banyak kajian atau tulisan-tulisan tentang perkembangan politik lokal di Indonesia sejak 1998, terutama kajian mengenai hasil-hasil Pemilu legislatif 2004 dan Pilkada yang dilaksanakan di beberapa tempat kabupaten dan kota di Indonesia. Lihat misalnya Pradjarta Dirdjosanjata dan Nico L Kana. eds. 2006, Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004, Pustaka Pelajar, Yogyakartarta.
10 Dari evaluasi penyelenggaraan otonomi daerah, terdapat beberapa kasus yang lebih banyak
disebabkan karena permainan kepentingan elit lokal misalnya konflik paska pilkada sebanyak 65%, perburuan akses sumber daya ekonomi di daerah 22%, serta isu-isu lainnya 13%. Lihat Kompas, 3 Juli 2007, Evaluasi Otonomi Daerah.
11
Ben Fine. 2001. Social Capital Versus Social Theory: Political Economy and Social Science at the Turn of the Millennium. London; Routledge.
lebih bervariasi daripada masa Orde Baru13. Di dalamnya termasuk para pialang dan bandar politik yang ambisius, birokrat negara yang lihai, kelompok-kelompok
pebisnis baru yang berambisi tinggi, serta beraneka ragam gengster politik, kaum
kriminal, dan barisan keamanan sipil14. Kebanyakan dari kelompok ini dibesarkan oleh rezim lama sebagai operator dan pelaksana di lapangan. Mereka ini
kemudian menjadi elit-elit yang berperan dalam proses keberhasilan dan
kegagalan dari pembangunan demokrasi di tingkat lokal yang sedang dilakukan
di Indonesia.
Di bawah Orde Baru, sudah menjadi rahasia umum bahwa kekuasaan elit
lokal, seperti yang disebutkan di atas, juga bersumber dari kedekatan mereka
dengan komandan militer lokal. Hal ini memungkinkan mereka untuk
menjalankan aktivitas-aktivitas menguntungkan seperti perjudian dan jaringan
perlindungan yang kebal hukum. Perubahan kedudukan militer sejak reformasi
tidak berarti putusnya keterkaitan ini. Dalam perjalanan sepuluh tahun reformasi
dan gejala politik desentralisasi yang telah dilaksanakan dengan berbagai revisi
dari UU No. 22/1999 ke UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah maka
gejala politik lokal diwarnai dengan interaksi politik dan kepentingan lokal yang
lebih banyak diperankan oleh elit-elit yang tidak termasuk dalam kategori
pembangunan demokrasi formal yang bersifat linier tersebut. Perkembangan dari
penataan institusi lokal kebanyakan tidak mencerminkan situasi politik yang
menguntungkan bagi masyarakat lokal. Sulit untuk membayangkan bahwa
elit-elit dengan kategori tersebut ternyata mendapatkan tempat yang
menguntungkan di bidang politik.
1.2. Perumusan Masalah
Pelaksanaan politik lokal di Indonesia, termasuk menyempurnakan
proses rekrutmen pejabat publik seperti pilkada misalnya, diyakini tidak memutus
munculnya adanya kepentingan lama dari sistem Orde Baru yang sering sekali
13Ibid.
14
menjadi penentu dalam proses politik di tingkat lokal. Kajian-kajian yang
membahas beberapa kasus tentang kekuasaan dan kepentingan lokal dengan
elit-elitnya, yang dipandang sebagai aktor-aktor politik yang tidak termasuk dalam
kategori pembangunan demokrasi formal namun memiliki peran signifikan, di
antaranya dilakukan oleh Ryter (2000), Lindsey (2002), dan Hadiz (2005)15. Di kota Medan munculnya elit-elit politik paska runtuhnya Orde Baru, banyak yang
berasal dari tokoh organisasi kepemudaan seperti Ikatan Pemuda Karya (IPK),
Pemuda Pancasila (PP), Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia
(FKPPI), dan lain sebagainya. Kebanyakan anggota dari organisasi itu berprofesi
sebagai pengusaha kecil atau tingkat menengah yang paling tidak sebagian
bergantung pada proyek dan kontrak negara, politisi profesional dengan kaitan
khusus ke partai-partai politik yang sudah ada masa Orde Baru. Pada saat
reformasi sebagian dari mereka meningkat statusnya menjadi elit-elit baru karena
mendapat kompensasi berupa kemudahan akses terhadap lembaga-lembaga
politik lokal seperti DPRD, pemerintah kota, partai politik dan media massa, serta
beberapa kelompok kepentingan seperti lembaga-lembaga bisnis yang memiliki
keterkaitan dengan elit-elit organisasi tersebut16. Pemimpin organisasi pemuda paramiliter di Medan ini sering memainkan peran sebagai operator politik selama
masa Orde Baru, melaksanakan fungsi intimidasi tidak resmi untuk rezim dan
para pejabatnya yang dilakukan bersama-sama dengan aparat terkait.
Ketika jatuhnya Orde Baru, keberadaan ketiga organisasi pemuda itu (PP,
IPK, dan FKPPI) ternyata tetap eksis dan menunjukkan aktivitas yang tidak jauh
berbeda pada saat sebelumnya. Di kota Medan, para pimpinan organisasi
15 L. Ryter. 1998. “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Soeharto New Order?”
Indonesia, 66, Oktober. L. Ryter. 2000. “A Tale of Two Cities”, Inside Indonesia 63 (July-September). http://www.serve.com/inside/edit63/loren1.hatml. dan T. Lindsey. 2002. “The Criminal State: Premanisme and the New Order”, dalam G. Lloyd dan S. Smith. (eds.). Indonesia Today: Challenges of History. Singapore: ISEAS. adalah pengamat yang menulis tentang politik premanisme di Indonesia. Mereka menyebutkan bahwa tidak ada daerah lain yang sanggup menyaingi Sumatera Utara dalam soal liku-liku kekuatan politik dan pengaruh preman terutama interaksi politik mereka di tingkat lokal. Sedangkan Hadiz mengkaji tentang konstelasi kekuasaan dan Politik di Sumatera Utara paska Orde Baru yang dianggapnya sebagai bentuk reformasi yang tidak tuntas lihat Hadiz, op. cit. hal. 235-253.
16 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hadiz (2001), ketika paska turunnya Orde Baru, tentang
tersebut justru melakukan adaptasi dalam sistem politik yang telah berubah.
Secara politis, langkah awal yang dilakukan oleh ketiga organisasi tersebut
adalah dengan menyatakan dirinya sebagai organisasi yang bersifat independen
atau bebas secara politik. Sebagian besar elitnya menduduki posisi-posisi
penting di beberapa partai politik baru seperti PAN, Partai Demokrat, dan lain
sebagainya sebagai pengambil keputusan disamping Partai Golkar yang menjadi
bagian terpenting dalam aktivitas organisasinya. Sistem multi partai dan pemilu
paska Orde Baru, ternyata tidak begitu sulit bagi mereka untuk tetap menjadi
bagian dalam sistem politik yang baru itu. Ini dilakukan agar mereka tetap dapat
mengendalikan keputusan-keputusan penting yang diambil oleh otoritas politik
(eksekutif dan legislatif). Namun, dalam menjalankan aktivitas organisasi tetap
menggunakan cara-cara kekerasan, kepentingan uang, perjudian, intimidasi dan
menguasai satu kawasan (teritorial) tertentu. Meskipun terdapat beberapa
organisasi pemuda lainnya yang melakukan praktek premanisme (seperti AMPI,
Pemuda Panca Marga, Garda Banper, dan lain sebagainya), namun organisasi
ini berafiliasi dengan salah satu partai politik. Karena itu, PP, IPK, dan FKPPI17 ini menjadi fokus dari subjek analisis dalam penelitian ini.
Pada periodesasi desentralisasi di Indonesia berbagai upaya untuk
menguasai politik lokal mereka lakukan, termasuk ketika terjadi perubahan
mekanisme pemilihan Walikota Medan pada tahun 2005 yang dilakukan secara
langsung. Terlepas dari munculnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai
partai yang menguasai sebanyak 9 orang anggota DPRD kota Medan18. Namun, keberhasilan Golkar dan partai Orde Baru lainnya sebagai pemain lama, dalam
mengusung Ketua DPRD kota Medan hasil Pemilu 2004 dari Fraksi Partai Golkar
dan memenangkan calon incumbent walikota Medan tahun 2005 (Abdillah)19,
17 Dalam beberapa bagian tulisan, penulis meminjam penggunaan istilah Vedi R. Hadiz tentang
organisasi pemuda/preman, maksudnya ditujukan kepada ketiga organisasi pemuda tersebut. 18 Dalam Pemilu Legislatif 2004 di Kota Medan PKS memperoleh kursi sebanyak 9 orang, kursi
terbanyak di DPRD Kota Medan, lalu PG, PDIP, dan PD mendapat 6 kursi, PAN dan PDS 5 kursi, PPP mendapat 4 kursi, PBR 3 kursi, dan Partai Patriot mendapat 1 kursi.
19 Abdillah adalah Walikota Medan yang terpilih dalam Pilkada Langsung Tahun 2005, yang
menunjukkan keahliannya dalam memerankan permainan politik lokal dan
menandakan mesin politiknya masih berjalan dengan baik. Banyak anggota PP,
IPK, dan FKPPI disebarkan di berbagai tempat sebagai alat pengaman bagi
partai politik dan tim-tim sukses calon walikota20. Mereka tidak mengalami kesulitan untuk bersaing di bidang politik dengan kelompok-kelompok
prodemokrasi karena memiliki akses terhadap uang dan kekuasaan seperti
pimpinan partai politik dan anggota DPRD kota Medan berasal dari organisasi
pemuda/preman21. Atas dasar itu, penulis menganggap menarik dan perlu melakukan penelitian yang diharapkan bisa menguraikan keterlibatan organisasi
pemuda/preman di kota Medan pada saat Pilkada Langsung tahun 2005 di kota
Medan. Sehingga, dapat diketahui cara-cara yang dilakukan oleh organisasi
pemuda/preman di kota Medan untuk tetap berperan dalam proses pemilihan
walikota Medan yang dilakukan secara langsung.
Hal tersebut penting dilihat karena pola-pola yang diterapkan, pada saat
pilkada langsung diberlakukan, memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda
ketika masa Orde Baru dan pada saat pemilihan kepala daerah antara tahun
1999 sampai 2005 yaitu adanya politik uang dan kekerasan untuk merebut
jabatan politik. Harusnya, dalam desain rekrutmen pejabat publik dan
demokratisasi saat ini, model-model seperti itu hendaknya tidak ada lagi dan
diharapkan berubah menjadi gerakan persuasif yang cenderung kepada
kepentingan rakyat. Keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam pilkada
langsung tahun 2005 di kota Medan dalam penelitian ini diartikan sebagai
aktivitas mereka untuk mengusung ”jago”nya agar terpilih dalam pemilihan
langsung sebagai walikota Medan Periode 2005-2010. Ada beberapa aktivitas
yang dijadikan indikator untuk melihat keterlibatan organisasi pemuda/preman
dalam Pilkada Langsung Walikota Medan tahun 2005.
Kota Medan oleh KPK diantaranya kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran (Waspada, 7 Mei 2007) dan penyalahgunaan dana APBD Kota Medan Tahun 2005 (Kompas, 16 Juni 2007).
20 Pemberitaan media lokal di Medan seperti Waspada, SIB, dan Analisa pada periode menjelang
pelaksanaan pemilu 2004 dan Pilkada 2005 terlihat dalam beberapa foto media tersebut terpampang barisan pengamanan yang berasal dari PP, IPK, FKPPI, dan lain sebagainya yang sering digunakan oleh partai-partai politik baik pada saat kampanye maupun acara-acara khusus yang digelar untuk itu.
21 Data sementara yang diperoleh penulis dari berbagai sumber adalah Bangkit Sitepu, pengurus
Pertama, menawarkan bentuk dukungan baik secara organisatoris atau yang dilakukan oleh elit organisasi pemuda/preman dengan posisi sebagai
pengusung utama atau bagian dari partai yang mencalonkan walikota atau
bagian dari calon walikota Medan itu sendiri. Hal ini berhubungan dengan
usulan-usulan yang ditawarkan pimpinan organisasi pemuda/preman kepada partai atau
calon Walikota Medan, sehingga organisasi pemuda/preman itu ikut secara aktif
sebagai tim inti atau bagian dari partai yang mencalonkan walikota atau bagian
dari tim calon walikota. Bagian ini akan menguraikan informasi langsung dari
pimpinan organisasi tentang alasan yang dikemukakan untuk mendukung satu
partai politik yang mencalonkan atau calon walikota Medan dan bagaimana
strategi dukungan itu dilaksanakan.
Kedua, bertindak sebagai inisiator atau melakukan pemaksaan dari seluruh, sebagian atau tindakan yang terpisahkan dari aktivitas yang dirancang
oleh partai politik yang mengusung calon walikota atau tim sukses yang dibentuk
untuk memenangkan pemilihan. Dari informasi ini akan kelihatan posisi
organisasi pemuda/preman dalam struktur pemenangan walikota, apakah
sebagai penentu atau hanya sebagai pelengkap dari struktur tersebut.
Ketiga, melakukan lobi-lobi secara intensif ke berbagai kalangan. Bagian ini akan menguraikan berbagai pertemuan yang digagas oleh organisasi
pemuda/preman untuk mendapatkan dukungan termasuk kesepakatan yang
dibangun dari dukungan itu. Lobi tersebut baik dilakukan secara vertikal (antar
pemain-pemain lokal) maupun horizontal (kepada pemerintah pusat dan partai
politik di tingkat nasional).
Keempat, indikasi kekuatan uang. Informasi ini akan mencoba menguraikan aliran dana yang diterima dan digunakan oleh organisasi
pemuda/preman. Kekuatan uang yang dimaksudkan di sini adalah pendanaan
yang diterima oleh pimpinan organisasi dari calon walikota untuk keperluan
keamanan dan mobilisasi dukungan massa. Ini penting dilihat karena salah satu
keinginan kelompok ini adalah selalu menunjukkan kekuatannya yang dilihat dari
kemampuannya untuk memaksa keinginannya kepada pihak yang bertentangan
Kelima, pengerahan massa dan penggunaan kekerasan. Pengerahan massa berkaitan tentang besarnya jumlah massa yang diorganisir dengan
identitas fisik yang selalu digunakan oleh organisasi pemuda/preman (seperti
baju seragam atau atribut lain) dalam kegiatan pilkada langsung di kota Medan.
Sedangkan penggunaan kekerasan dilihat dari adanya ancaman fisik (seperti
penculikan, pembunuhan, dan lain-lain) atau non fisik (seperti intimidasi,
pelecehan, dan lain-lain) yang dilakukan terhadap lawan-lawan politik baik pada
tingkat elit dan masyarakat bawah.
Keenam, melakukan penguasaan opini media dengan cara melakukan kontrol langsung terhadap pemberitaan media. Ini dilakukan agar segala
peristiwa yang berkaitan dengan pemilihan walikota dapat dikendalikan. Suara
pers yang kritis diharapkan dapat dikontrol dengan cara ”membeli” tulisan para
wartawan atau pimpinan media massa.
Untuk memudahkan peneliti melihat enam indikator yang diuraikan di atas
dalam menjelaskan keterlibatan organisasi pemuda dalam arena pilkada
langsung di kota Medan tahun 2005. Maka pertanyaan penelitian yang hendak
dijawab dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dari keenam indikator yang diuraikan di atas, bentuk keterlibatan manakah
yang sering dilakukan oleh organisasi pemuda dalam Pilkada Langsung
tahun 2005 di kota Medan?
2. Siapa tokoh dan organisasi pemuda mana yang berpengaruh pada saat
Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan?
3. Mengapa organisasi pemuda terlibat dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di
kota Medan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan fakta-fakta tentang
dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menjelaskan argumentasi yang mendasari keterlibatan
organisasi pemuda/preman dalam kasus Pemilihan Kepala Daerah Langsung
tahun 2004 kota Medan dengan menggunakan desain studi kasus. Dari informasi
itu, maka akan didapat cara-cara atau model yang digunakan. Kemudian akan
didapat juga informasi bahwa organisasi pemuda/preman yang sangat eksis
pada masa Orde Baru itu ternyata mengalami atau tidak mengalami kesulitan
untuk menyesuaikan diri pada saat terjadi perubahan politik yaitu ketika
mekanisme pemilihan kepala daerah diubah secara langsung pada tahun 2005 di
kota Medan.
1.4. Kerangka Teori
Untuk mengkaji keterlibatan politik yang dilakukan organisasi pemuda
dalam penelitian ini maka akan dibahas beberapa teori yang berkaitan dengan
politik lokal dan sumber kekuasaan, kelompok elit dalam politik, demokratisasi,
partai politik dan kelompok kepentingan dalam pilkada serta penjelasan tentang
organisasi preman.
1.4.1. Politik Lokal dan Sumber-Sumber Kekuasaan
Politik lokal bukan hanya berurusan pada soal-soal administrasi publik
atau menekankan pada hubungan legal-formal pemerintahan semata. Selama
ini, diskusi mengenai politik lokal penekanannya hanya pada pemerintahan lokal
hasil dari suatu pemilihan umum saja atau pemilihan kepala daerah saja.
Meskipun memiliki keterkaitan, namun pandangan legal-formal seperti itu
memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk memahami politik lokal secara lebih
utuh. Politik lokal mencakup soal yang luas, misalnya aspek ekonomi, politik, dan
sosial22.
Teori dan pendekatan atas politik lokal tergantung pada latar belakang
akademik dan ”mazhab” yang dianut. Paling tidak terdapat dua perspektif untuk
menjelaskan politik lokal yaitu pendekatan pluralisme dan pendekatan marxist.
Pendekatan pluralisme menjelaskan bahwa negara dijadikan sebagai tempat
untuk memahami dan menjelaskan beragam kegiatan kelompok yang menuntut
adanya pembagian kekuasaan seperti misalnya melalui pemilihan umum.
Sedangkan pendekatan marxist melihat bahwa kekuasaan berada pada satu
kelompok tertentu yang sangat dominan dan tidak menyebar serta memandang
bahwa negara dipandang sebagai institusi yang tidak netral. Dari dua
pendekatan itu, studi ini ingin menggunakan pendekatan pluralisme untuk melihat
kekuasaan yang ada di masyarakat lokal.
Dari perspektif pluralisme, pilkada langsung diharapkan dapat
mendukung tumbuhnya demokrasi dan berjalannya pemerintahan lokal yang
dekat dengan rakyat, karena partisipasi masyarakat lokal dilibatkan secara luas.
John Steward menyatakan bahwa memperkuat demokrasi lokal sangat penting
untuk mengatasi masalah-masalah yang disebabkan karena kuatnya sentralisasi
negara.23 Agar demokrasi lokal memiliki kualitas maka pejabat lokal harus dipilih dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat lokal secara luas begitu juga
ketika mengambil keputusan. Stewart juga menjelaskan cara-cara yang harus
dilakukan oleh pejabat lokal tersebut adalah dengan membuat pendidikan politik
bagi rakyat kelas bawah, membuat keputusan yang bersifat lokal, dan melibatkan
partisipasi masyarakat lokal. Karena itu, peran local leader dan informal leader menjadi penting untuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal.24 Kepala daerah, dengan demikian, harus mengenali masyarakatnya sendiri yang plural dan
multikultural serta selalu menyediakan media untuk memfasilitasi
perbedaan-perbedaan tersebut.
Pilkada langsung dalam konteks politik lokal, diharapkan dapat
memperkuat kedudukan kepala daerah sekaligus mengurangi intervensi DPRD
agar ”transaksi politik” yang melahirkan ”money politics” dapat dimimalisir.
Namun, yang terjadi di berberapa negara-negara berkembang, praktek pemilihan
23
John Stewart. 1996. “Democracy and Local Government”. dalam Paul Hirst and Sunil Khilnani (eds). 1996. Reinventing Democracy, Oxford: Blackwell Publisher. hal. 39.
kepala daerah secara langsung justru menjadi penyebab kasus-kasus korupsi
dan ketidakefektifan pemerintahan daerah. Secara teoritik, hal tersebut dapat
dijelaskan dari karakteristik elit politik lokal di negara-negara berkembang. Oleh
Manor dan Crook, elit politik lokal dicerminkan dengan apa yang disebut sebagai
”close knit power”, yaitu kekuasaan yang cenderung tertutup dan didominasi oleh
sekelompok elit.25 Tidak adanya oposisi yang kuat menyebabkan distribusi kekuasaan selalu didominasi oleh kelompok-kelompok yang sudah tertentu. Itu
sebabnya, terjadi kooptasi kekuasaan oleh segelintir penguasa. Di sinilah
pendekatan pluralisme menjadi penting yaitu bahwa negara dijadikan sebagai
tempat untuk memahami dan menjelaskan beragam kegiatan kelompok yang
menuntut adanya pembagian kekuasaan seperti misalnya melalui pemilihan
umum.
Atas dasar itu, studi ini hendak menggunakan pendekatan pluralisme
dengan melihat kekuasaan sebagai titik sentralnya. Untuk membahas tentang
kekuasaan tersebut, maka akan dilihat sumber-sumber kekuasaan dan cara-cara
untuk memperoleh serta mempertahankan kekuasaan. Perjalanan kekuasaan
yang efektif bergantung pada tipe-tipe sumber kekuasaan yang tersedia. Untuk
memperoleh kepatuhan, para pemimpin politik biasanya memperluas persediaan
sumber daya mereka dan menggunakan secara lebih efisien sumber daya yang
telah mereka miliki.
Sumber-sumber kekuasaan harus dimiliki oleh seseorang atau
sekelompok orang agar dapat menggunakan kekuasaan itu. Sumber-sumber
kekuasaan itu dapat berupa kedudukan, kekayaan, kepandaian atau
keterampilan, dan kepercayaan atau agama.26 Sementara Charles F. Andrain membedakan lima tipe sumber daya kekuasaan yaitu sumber daya fisik,
ekonomi, keahlian dan personal. Dengan menggunakan sumber-sumber
kekuasaan itu, seseorang atau sekelompok orang dapat mempengaruhi orang
lain untuk mengikuti kehendak atau keinginannya. Andrain juga menjelaskan
perbedaan motif kepatuhan dalam masing-masing tipe sumber daya kekuasaan.
25 Dikutip dari Eko Prasojo. “Otonomi Daerah, Pilkada Langsung dan Democratic Decentralization. dalam M. Zaki Mubarak, M. Agus Susilo, Agung Pribadi. (eds.) 2006 Blue Print Otonomi Dareah Indonesia. Jakarta: The YHB Center.
Tipe-tipe sumber kekuasaan dan motif kepatuhan tersebut, dijelaskan Andrain,
[image:36.595.115.518.195.327.2]dapat dilihat dalam tabel 1.1. di bawah ini.
Tabel 1.1:
Tipe-Tipe Sumber Kekuasaan27
Tipe Sumber Daya Contoh Sumber Daya Motivasi untuk Mematuhi
Fisik Senjata: senapan, bom, rudal B “berusaha menghindari cedera fisik”
yang disebabkan oleh A
Ekonomi Kekayaan, pendapatan, kontrol
atas barang dan jasa
B “berusaha memperoleh kekayaan” dari A
Normatif Moralitas, kebenaran, tradisi,
relijius, legitimasi, wewenang
B “mengakui bahwa A mempunyai hak moral untuk mengatur” prilaku B
Personal Karisma pribadi, daya tarik,
persahabatan, popularitas
B “mengidentifikasi diri merasa tertarik” dengan A
Ahli Informasi, pengetahuan,
intelejensi, keahlian teknis
B “merasa bahwa A mempunyai pengetahuan dan keahlian yang lebih” Keterangan: A adalah pemegang kekuasaan, B merupakan objek kekuasaan.
Dari sumber-sumber kekuasaan yang dikemukakan oleh Andrain, maka
sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh organisasi pemuda itu (PP, IPK,
dan FKPPI) berasal dari fisik dan ekonomi. Aspek fisik karena para pimpinan
organisasi pemuda itu sering sekali menggunakan senjata sebagai kekuatan
ancaman terhadap orang lain (premanisme). Dari sisi ekonomi, kekuasaan
diperoleh dengan memberikan pekerjaan kepada para pemuda yang tidak
memiliki pekerjaan sebagai penjaga keamanan, petugas parkir atau sebagai
penjual lotre (perjudian) seperti KIM, togel dan lain sebagainya. Fenomena
tersebut hampir mirip dengan teori local strongmen yang dikemukakan oleh Migdal serta teori John T. Sidel tentang bossism.
Jika merujuk pada Migdal tentang kemunculan local strongmen, salah satu sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh organisasi pemuda/preman
diantaranya adalah dari kekayaan yang dimiliki oleh pimpinann