• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

4.4. Analisis Pola Mobilisasi dan Karakteristik Organisasi Preman

Jika melihat dari proses interaksi Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI terlihat bahwa kegiatan pengerahan massa dan penggunaan kekerasan sangat sering dilakukan. Dengan kekuatan otot dan keberanian anggota organisasi atau pihak lain yang dibayar untuk melakukan itu, kelompok ini dapat bertindak semaunya seperti menyakiti dan melukai orang lain yang tidak sependapat dengannya. Kelompok ini juga dapat “dipesan” untuk melakukan kekerasan bagi pihak-pihak yang memerlukannya tanpa adanya kepentingan yang bersifat langgeng. Anggota IPK lebih banyak melakukan tindakan-tindakan seperti yang disebutkan itu ketimbang Pemuda Pancasila dan FKPPI.

IPK dikenal sebagai organisasi pemuda yang anggotanya memiliki keberanian untuk melakukan tindakan kekerasan ketimbang Pemuda Pancasila dan FKPPI. Mereka juga dapat mencari orang-orang yang dapat dibayar untuk melakukan tindakan kekerasan itu. Beberapa peristiwa kekerasan di lapangan, ketika pilkada langsung di kota Medan, tidak jarang anggota IPK berkelahi dengan pendukung calon lain. Ini ditemukan pada saat penyebaran spanduk, leaflet atau saat-saat kampanye dilangsungkan. Karena perintah dukungan itu berasal dari elit-elit IPK yang harus ditaati oleh segenap jajarannya. IPK relatif tidak memiliki konflik internal dalam persoalan pemberian dukungan kepada calon walikota pada tahun 2005 itu. Konflik sering terjadi dengan pihak di luar organisasi baik sesama pendukung atau calon pesaing pada saat mereka terlibat pada proses pilkada langsung itu.

Berbeda dengan Pemuda Pancasila, tindakan untuk memberikan dukungan kepada calon walikota dilakukan melalui forum-forum organisasi seperti pelantikan di tingkat anak cabang atau anak ranting. Jika terdapat konflik yang menyebabkan perpecahan secara internal, maka elit-elitnya terlebih dahulu memberikan teguran yang sifatnya persuasi. Jika tindakan itu juga tidak bisa untuk merubah dukungan maka akan dilakukan tindakan kekerasan. Kepada para senior yang tidak sependapat dengan keputusan organisasi, maka penyelesaian konfliknya dilakukan antar senior dan bukan oleh ketua organisasi. Situasi ini memang menyulitkan pimpinan Pemuda Pancasila, sebab seorang ketua terpilih lebih banyak dipengaruhi peran para seniornya ketimbang pengurus organisasinya sendiri. Karena itu, para senior di Pemuda Pancasila memiliki pengaruh yang tidak kecil untuk mengarahkan organisasi termasuk melakukan tindakan kekerasan. Dukungan yang diberikan kepada Abdillah – Ramli dalam pilkada langsung tersebut dilakukan juga didasarkan atas pertimbangan banyaknya senior Pemuda Pancasila yang menjadi pimpinan parpol dan anggota legislatif serta yang lainnya memiliki kaitan bisnis dengan Abdillah serta mendukungnya. Karena jumlah senior pendukung yang besar itulah, mereka mengharuskan Pemuda Pancasila juga mendukung Abdillah. Jadi, meskipun dilakukan secara kelembagaan namun tidak ada kaidah demokrasi, seperti kemandirian organisasi dalam mengambil keputusan, yang dilakukan dalam proses pemberian dukungan organisasi.

Namun, sering juga terjadi bentrokan antara anggota IPK dan Pemuda Pancasila, organisasi pendukung calon yang sama, ketika mereka saling klaim daerah kekuasaannya masing-masing. Perkelahian antar anggota geng itu akan selesai jika bos-bos kedua organisasi itu bertemu dan tercapailah kesepakatan. Pada saat yang sama mereka dapat memberikan perintah kepada anggotanya untuk menghentikan perkelahian itu.

FKPPI memiliki fenomena yang berbeda. Sebagian pimpinan organisasi ini, termasuk ketua cabang Medan, memberikan dukungan kepada Abdillah – Ramli. Sebagian kecil menyebelah kepada Maulana – Sigit. Masing-masing pimpinan itu mengerahkan massa, baik yang anggota maupun bukan, dalam kegiatan-kegiatan sosialisasi kepada walikota yang mereka dukung. Dukungan terbesar yang diberikan pimpinan organisasi dilakukan kepada Abdillah – Ramli, karena hanya sebagian kecil pimpinan FKPPI yang mendukung Maulana – Sigit. Tidak jarang kekerasan juga terjadi antar sesama anggota FKPPI ketika bertemu di lapangan karena memberikan dukungan yang berbeda.

Penyelesaian pertentangan itu juga dilakukan oleh masing-masing pimpinan organisasi. Di pihak pendukung Abdillah – Ramli pengaruh kuatnya pimpinan di FKPPI dinilai oleh besarnya jumlah anggota yang dapat dimobilisasi serta kemampuan melakukan lobi-lobi politik dengan pihak-pihak yang diperlukan termasuk melakukan lobi kepada pimpinan militer. Peran itu banyak dilakukan oleh Martius Latuparisa. Sebagai ketua dan melalui keputusan organisasi, beliau memberikan kebebasan kepada pimpinan FKPPI untuk “bermain” dalam pilkada langsung di kota Medan. Pada saat yang sama, beliau memberikan dukungan kepada Abdillah – Ramli. Karena posisinya sebagai ketua organisasi itu, tentu mobilisasi massa tidak begitu menjadi persoalan yang cukup serius baginya. Kasus-kasus kekerasan yang sering terjadi secara internal diselesaikannya melalui cara-caranya sendiri bukan melalui mekanisme organisasi.

Interaksi dalam proses pemberian dukungan kepada Walikota Medan yang dilakukan oleh Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Masing-masing memiliki pola tersendiri, sesuai caranya, dalam memberikan dukungan itu. IPK dengan model dan caranya sendiri begitu juga PP dan FKPPI. Tidak adanya koordinasi antar organisasi

pemuda itu terjadi baik di tingkat masing-masing elit organisasi maupun anggota organisasi. Persoalan perselisihan di lapangan, penyelesaiannya dilakukan melalui kesepakatan antara elit-elit organisasi pemuda itu. Tindakan kekerasan sering terjadi bukan hanya antar organisasi melainkan sesama anggota organisasi. Ciri penyelesaian konflik atau perselisihan karena adanya tindakan kekerasan juga dilakukan dengan cara-cara koersif, seperti yang disebutkan di atas, dapat disebut memiliki karakteristik premanisme. Ketiga organisasi pemuda itu dalam bidang politik juga menerapkan tindakan premanisme.

Konstelasi organisasi pemuda/preman di kota Medan, dalam kasus pilkada langsung di kota Medan, memiliki pola yang hampir sama sejak Orde Baru sampai dengan masa reformasi ini. Apa yang ditemukan dalam penelitian Lyron Ryter dan Vedi R. Hadiz tentang tentang organisasi gangster yang terjadi di kota Medan ketika paska jatuhnya Orde Baru dan awal reformasi tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada saat pilkada langsung dilakukan di kota Medan. Beberapa parpol besar di kota Medan selain Golkar seperti ketua PDI-P, PAN, Partai Demokrat adalah juga bos-bos organisasi pemuda/preman. Pemimpin organisasi pemuda paramiliter masih memainkan peran sebagai operator politik pada saat pilkada langsung di kota Medan. Operator politik itu dilakukan melalui intimidasi kepada para pendukung calon pesaing. Karena hubungannya yang erat sejak Orde Baru dengan militer dan polisi, mereka juga merasa tidak akan terjerat kasus hukum ketika melakukan tindakan kekerasan kepada para wartawan atau pihak-pihak lain yang menyudutkan tindakan mereka.

Namun, ada perbedaan yang ditemukan dalam penelitian ini dengan hasil penelitian Ryter dan Hadiz. Keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam pilkada langsung tahun 2005 di kota Medan tidak lagi menentukan. Mereka sering digunakan oleh calon walikota dan tim sukses untuk tidak berbuat apa- apa. Karena penentuan pilihan ada pada rakyat pemilih di kota Medan. Kegerahan banyak masyarakat Medan akan aktivitas para pemuda yang tergabung dalam organisasi baik PP, IPK, dan FKPPI membuat calon dan tim sukses berusaha untuk tidak melibatkan mereka pada masyarakat pemilih.

Jika melihat pernyataan yang disampaikan oleh tim sukses Abdillah – Ramli, yang didukung oleh organisasi pemuda/preman itu, bahwa untuk tim MMC155 mereka tidak melibatkan orang-orang yang tercatat sebagai anggota atau pimpinan organisasi pemuda/preman. Itu dilakukan karena mereka meyakini bahwa melibatkan organisasi pemuda itu akan menurunkan popularitas Abdiilah di masyarakat pemilih. Melibatkan organisasi pemuda (Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI) adalah agar mereka mengikuti skenario yang telah direncanakan, jangan sampai mereka bertindak mengacaukan suasana. Artinya, mereka dilibatkan dan dibayar untuk tidak mengambil tindakan apapun. Karena setiap tindakan yang dilakukannya akan kontra produktif, mengingat bahwa model sosialisasi tim sukses yang dibentuk oleh PKS mengandalkan pada forum-forum pengajian yang langsung menyentuh ke masyarakat dan lebih mengutamakan ketertiban ketimbang kekerasan. Karena itu juga, kedekatan Abdillah dengan para tokoh agama dari ulama sampai guru ngaji lebih ditingkatkan ketika masa- masa kampanye dilakukan.

Ada hal yang berbeda, dari hasil penelitian yang diperoleh, ketika melihat fenomena Pemilu 2004 di kota Medan jika dikaitkan dengan pilkada langsung tahun 2005. Pemilu tersebut menghasilkan PKS sebagai partai Islam baru yang menyatakan dirinya sebagai partai bersih dan memperoleh suara yang signifikan. Karena itu, partai ini memperoleh jumlah anggota DPRD Kota Medan yang paling besar yaitu 9 orang. Namun, perolehan suara yang besar itu tidak terjadi dalam pilkada langsung yang dinilai lebih disebabkan karena figur dan popularitas.

Abdillah lebih dikenal sebagai seorang walikota yang bersifat dermawan, sering membagi-bagikan uang kepada masyarakat pada saat lebaran atau tahun baru tiba. Tidak sedikit masyarakat Medan yang mengantri di depan pintu rumah pribadi Abdillah ketika lebaran dan tahun baru. Selain itu, program pemberdayaan lingkungan dengan menaikkan honor yang cukup tinggi kepada para kepala lingkungan dinilai sebagai tindakan populis untuk mengangkat popularitasnya.

155

MMC adalah Medan Madani Center, tim sukses yang dibentuk oleh Abdillah dengan tujuan melakukan kegiatan pengumpulan massa sekaligus memonitor dan menilai semua kegiatan partai politik dan ormas yang mendukung Abdillah dalam Abdillah – Ramli Center (AR Center). Tim ini terdiri dari profesional seperti wartawan, beberapa orang akademisi dan aktivis LSM.

Menurut beberapa sumber dari hasil wawancara, Abdillah terpilih kembali sebagai Walikota Medan kedua Periode 2005-2010 bukan karena dukungan yang diberikan oleh organisasi pemuda itu. Melainkan lebih kepada popularitasnya sebagai orang yang dikenal karena kedermawanannya, dekat dengan para ulama, dan relatif berada di antara semua golongan yang ada di kota Medan. Terlepas dari beberapa kasus keuangan pemerintah kota Medan yang sedang dialaminya sekarang, popularitasnya tidaklah menurun. Pilihannya untuk melibatkan organisasi pemuda dianggap sebagai bagian dari “simbolisasi politik”. Simobolisasi ini diartikan sebagai bagian dari sikap untuk memuaskan kelompok-kelompok politik di tingkat elit di kota Medan.156

Dari hasil wawancara juga dapat dikatakan bahwa Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI memiliki beberapa karakteristik sebagai organized crime sebagaimana yang dikemukakan oleh Abadinsky. Karena keterlibatannya dalam pilkada langsung di kota Medan lebih disebabkan motif uang dan kekuasaan. Organisasi pemuda itu mencari massa untuk dimobilisasi pada acara-acara yang digelar untuk mendukung calon walikota seperti kampanye atau kegiatan sosialisasi lainnya. Mobilisasi massa itu dilakukan dengan kekuatan uang dan karena adanya kekuasaan dengan praktek-praktek premanisme. Orang-orang yang dimobilisasi itu bukanlah seluruhnya berasal dari anggota organisasi, sebagian besar didapat dari pemuda-pemuda yang dibayar untuk kegiatan itu. Hal ini kemudian memunculkan ide ’pemuda setempat’, yang siap disewa oleh siapapun, dan tidak punya rasa keterikatan dengan organisasi manapun.

Meskipun mereka terlibat dalam aktivitas politik, seperti memberikan dukungan kepada salah satu calon walikota, namun tujuannya hanya untuk memperoleh perlindungan dari semua aktivitas organisasi yang mereka lakukan terutama yang berkaitan dengan penguasaan terhadap satu kawasan tertentu. Karena itu, bentuk dukungan yang diberikan oleh organisasi ini hanya kepada calon yang memiliki kekuatan uang dan kekuasaan karena diyakini akan menang dalam pilkada langsung. Sebagai calon incumbent, Abdillah memiliki semua

156 Istilah “simbolisasi politik” ini diperoleh ketika wawancara dengan Taufan Damanik di Medan, 17 Oktober 2007. Mengenai pengertian yang sama juga disampaikan juga oleh Said Abdullah dan Amir Purba ketika melihat fenomena melibatkan organisasi pemuda.

kriteria tersebut, selain uang, akses dan jaringan, popularitas Abdillah di masyarakat Medan sangat baik.

Tindakan pilihan untuk mendukung Abdillah sebagai calon walikota Medan Periode 2005-2010 bukan didasarkan atas ideologi atau nilai yang dibangun atau dimiliki oleh organisasi pemuda/preman itu. Karena memang organisasi pemuda/preman itu tidak memiliki platform yang jelas sebagai landasan aktivitas politik dan sosialnya. Aktivitas politik dilakukan karena tidak adanya ideologi (nilai) tertentu yang diyakini oleh organisasi pemuda itu. Pilihan dukungan dilakukan karena keinginan untuk memperoleh perlindungan dari semua aktivitas organisasi yang mereka lakukan.

Sebagai organisasi yang melakukan praktek premanisme dan kejahatan, Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI tidak begitu ”pas” dikelompokkan sebagai organized crime. Keterlibatannya dalam politik lebih disebabkan kepentingan untuk memperoleh perlindungan dari semua aktivitas organisasi yang mereka lakukan. Tidak terlihat beberapa ciri terpenting lainnya dalam kasus keterlibatan organisasi pemuda itu pada pilkada di Medan. Diantaranya adalah memiliki anggota yang bersifat eksklusif dan abadi. Banyak anggota organisasi itu yang berganti seragam semaunya, terlepas dari upaya-upaya yang dilakukan oleh pimpinannya. Dari kasus tersebut terlihat bahwa anggota-anggota organisasi itu mengenakan seragam organisasi manapun yang bersedia membayar dan memobilisasi mereka sewaktu-waktu.

Pola mobilisasi dukungan terjadi karena adanya hubungan yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme antara calon walikota yang didukung dengan pimpinan organisasi pemuda/preman itu. Posisi antara calon walikota dan pimpinan organisasi pemuda/preman itu seimbang dan dibangun berdasarkan kepentingan diantara keduanya. Posisi seimbang karena beberapa pimpinan organisasi pemuda/preman itu menduduki jabatan penting sebagai ketua partai politik pendukung calon walikota yang memiliki kekuatan uang untuk ”membeli” parpol agar dapat mencalonkan dirinya. Selain itu, pimpinan organisasi pemuda dapat melakukan praktek-praktek kekerasan dan intimidasi yang sering dilakukan di dunia kriminal untuk memuluskan tujuan-tujuan politiknya. Misalnya dengan melakukan kontrol terhadap media dan kalangan

pekerja pers. Dengan nada ancaman dan tindakan-tindakan kekerasan mereka dengan mudah melakukannya kepada wartawan yang ”mengganggu” kepentingan politik mereka.

Dokumen terkait