• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

4.5. Kekuasaan Lokal dan Kepentingan Lokal

Perubahan terakhir dari politik desentralisasi yang terjadi di Indonesia adalah pada soal rekrutmen pejabat publik di tingkat lokal yaitu pemilihan langsung kepala daerah. Mekanisme ini dipilih karena diantarnya dianggap dapat meminimalisir politik uang, mengurangi oligarki parpol dan kelompok kepentingan di tingkat lokal. Dari kasus pilkada langsung tahun 2005 di kota Medan terlihat bahwa ada beberapa pengaruh partai politik dan kelompok kepentingan yang sama. Kelompok kepentingan yang dimaksud itu adalah organisasi pemuda yang melakukan aktivitas atau berprilaku sebagai preman. Itu terlihat dari adanya pimpinan yang sama antara partai politik dan organisasi pemuda/preman. Interkasi diantara parpol yang mendukung calon walikota dengan organisasi pemuda/preman dilakukan dengan tujuan yang saling menguntungkan.

Dari kasus pilkada kota Medan, dengan melihat keterlibatan organisasi pemuda/preman, bahwa terdapat kepentingan ekonomi dan kekuasaan dalam pelaksanaan desentralisasi. Kepentingan ekonomi berkisar pada akses untuk menguasai beberapa sumber-sumber keuangan yang berasal dari kontrak negara atau disebut proyek yang dialokasikan untuk organisasi pemuda itu. Dukungan yang diberikan oleh organisasi pemuda/preman dalam pilkada kota Medan tahun 2005 lebih disebabkan karena mereka akan mendapatkan alokasi pekerjaan/proyek dari walikota tersebut. Bahkan deretan kepentingan yang sekarang tampak lebih bervariasi dibandingkan masa Soeharto. Bos-bos organisasi pemuda/preman yang memperebutkan kendali lokal itu terdiri dari para pialang dan bandar politik yang ambisius, kelompok-kelompok pebisnis baru yang berambisi tinggi, para gangster politik, kaum kriminal dan barisan keamanan sipil.

Dalam kasus keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam pilkada di kota Medan itu juga terlihat yang muncul sebagai aktor-aktor politik baru adalah

para pengusaha kecil atau tingkat menengah yang beberapa usahanya sangat tergantung dari proyek negara, para politisi profesional yang dulunya memiliki keterkaitan dengan rezim Orde Baru. Pendatang-pendatang baru yang relatif baru ini pun mampu meningkatkan pengaruh mereka kepada tokoh-tokoh yang lebih besar dalam hak akses uang, dan yang penting lagi akses terhadap aparat kekerasan. Yang menarik bahwa aktor-aktor politik ini merasa sudah ”nyaman” dalam situasi proses desentralisasi yang sedang berlangsung di Indonesia. Mereka merasa bahwa otonomi daerah sudah mampu menyediakan kesempatan yang sangat menguntngkan bagi aktivitas perburuan rente di tingkat lokal itu sendiri.

Meskipun mereka bukanlah kelompok pro demokrasi yang memiliki kekuatan pendukung massa yang secara nyata dan signifikan mampu mengubah sistem politik, namun bukan berarti mereka tidak memiliki kekuatan politik untuk menguasai lembaga-lembaga politik. Ini terlihat dari kasus pilkada langsung di kota Medan. Dengan uang dan kekerasan mereka mampu terlibat dalam peran intimidasi untuk membuat seseorang calon dapat terpilih.

BAB V KESIMPULAN

Aktivitas Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, dan FKPPI di kota Medan dikenal sebagai organisasi pemuda yang sering melakukan tindakan kekerasan seperti berkelahi, mengancam, menggunakan senjata tajam dan bahkan membunuh. Banyak anggota organisasi pemuda itu adalah para preman Medan. Para preman itu, pada awalnya dijadikan sebagai penjaga keamanan bagi para pemilik toko, pabrik dan perusahaan perkebunan yang beroperasi di Medan. Di kota yang dijuluki sebagai “sarangnya para preman” tersebut, berbagai tindak kekerasan yang dilakukan para preman, masih menjadi musuh kongkrit yang cukup menyita energi para aktivis organisasi non pemerintah di kota Medan. Preman dan premanisme saat ini telah merasuk ke segala lini kehidupan di Medan. Sejumlah tokoh preman Medan adalah pelaku “pembantaian” terhadap orang-orang kiri di Medan paska tahun 1965-an. Dan “peran kepahlawanan” tersebut, hingga kini masih dijadikan bahan indoktrinasi untuk merekrut para calon preman baru. Seperti melakukan indoktrinasi bagi generasi muda baru karena ikut ”menyelamatkan” republik ini dari ancaman komunis.

Fenomena banyaknya pemuda-pemuda yang masuk menjadi anggota organisasi pemuda itu banyak disebabkan karena tingginya angka pengangguran serta tingkat pendidikan yang masih sangat rendah terutama pada awal-awal Orde Baru. Sehingga menjadi anggota organisasi pemuda dapat dipandang sebagai lahan pencari kerja bagi sebagian pemuda di kota Medan. Karena alasan itu juga perkelahian antara Pemuda Pancasila dan IPK sering terjadi.

Keterlibatan organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila di politik disebabkan adanya konflik politik antar partai di tingkat nasional dan untuk merespons radikalisme buruh sayap kiri di perkebunan dan industri yang ada di Medan. Ketika itu, otoritas militer mengorganisasikan kaum muda ke dalam Pemuda Pancasila (PP) dengan tujuan mengawasi dan mencegah pengaruh komunis di daerah-daerah termasuk di kota Medan. Ketika terjadi peristiwa

Oktober 1965 kelompok ini ditempatkan untuk memimpin ”pembersihan” dari setiap individu dan kelompok yang dicurigai sebagai anggota atau bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kelompok ini terus menunjukkan kekuatannya terutama ketika awal Orde Baru untuk menguasai ekonomi dan pemerintahan di Medan. Karena kekayaan alam yang dimiliki seperti karet, sawit, tembakau dapat dijual secara tunai dan kebanyakan orang-orang kaya – karena penghasilannya itu dan sebagaian besar berasal dari etnis Cina – sering menggunakannya untuk perjudian dan pelacuran. Pada akhir tahun 1960-an karena tekanan politik, para etnis Cina yang menjalankan usaha tersebut harus memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh pemerintah jika tidak maka usahanya terancam untuk ditutup. Pada saat bersamaan kekuatan preman ternyata memiliki keingingan untuk menyediakan jasa ”perlindungan” bagi mereka yang memerlukannya, seperti ancaman dari penutup, perampasan, atau lebih buruk dari itu.

Dari kondisi-kondisi seperti itu menyebabkan pengaturan sosial dan bahkan politik berada dalam mainan preman Medan, bukan berada dalam koridor hukum. Kekuatan Pemuda Pancasila dalam politik terlihat saat pemilihan walikota Medan yang dilakukan pada awal-awal Orde Baru. Pemuda Pancasila misalnya yang telah secara terbuka dan sukses berkampanye untuk Sjoerkani agar menjadi walikota Medan melawan calon yang didukung oleh komando militer. Ternyata, Sjoerkani menang dan menjadi walikota Medan periode 1966- 1974 karena andil dari kekuatan preman. Selama masa jabatan Sjoerkani itu pula pengaruh Pemuda Pancasila menjadi lebih kuat. Para anggotanya ditekankan untuk memiliki usaha dagang baik yang sah maupun tidak dan beroperasi di kota agar diatur dengan ketat.

Dinamika politik organisasi pemuda/preman di kota Medan sedikit berbeda dengan kota-kota lain yang ada di Indonesia, yang dikenal juga memiliki tradisi kekerasan itu sepeti Banten dengan Jawaranya, Betawi dengan Jagoan, dan lain sebagainya. Di Medan, tidak hanya Pemuda Pancasila yang kuat, namun ada juga Ikatan Pemuda Karya, sebuah organisasi yang lahir dari PP yang akhirnya justru menjadi saingan terbesar PP. Kepemimpinan Olo Panggabean di IPK membawa beberapa perubahan dalam konstalasi kekuasaan

yang dimiliki oleh organisasi pemuda di kota Medan. Karena kepiawaiannya dalam memainkan peran diantara tokoh-tokoh berpengaruh baik dari kalangan sipil dan militer, IPK bahkan segera menjadi lebih kuat daripada Pemuda Pancasila yang ditinggalkannya tahun 1978. Di samping kedua organisasi pemuda yang paling berpengaruh di Medan, ada FKPPI yang dibentuk oleh anak-anak tentara yang memiliki jabatan penting di ABRI. FKPPI, yang pada awal kelahirannya ditujukan untuk memperkuat barisan muda di tubuh Golkar, pada saat-saat tertentu turut juga memberikan andil dalam praktek kekerasan oleh organisasi pemuda di Medan. Meskipun para pengikut organisasi pemuda itu terlibat dalam aksi kekerasan seperti perkelahian untuk memperebutkan pengaruh atau akses atas dunia kriminal di kota Medan, namun hal tersebut tidak terjadi di kalangan para elitnya.

Ketika perubahan politik terjadi di tahun 1997, para elit organisasi pemuda/preman itu ternyata menyadari bahwa mereka harus juga melakukan perubahan dalam memberikan dukungan politiknya. Selama Orde Baru, Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI dikenal sebagai organisasi yang selalu memberikan dukungan dan aspirasi politiknya ke Golongan Karya, namun ketika perubahan terjadi, organisasi ini menyatakan dirinya sebagai organisasi independen. Meskipun dalam praktiknya sering mengalami kontradiksi.

Organisasi pemuda yang disebutkan itu, pada masa Orde Baru, dianggap sebagai pendukung utama dari unsur pemuda, namun ketika terjadi perubahan politik dengan serta merta menyatakan dirinya sebagai organisasi pemuda yang bersifat independen secara politik. Selanjutnya, banyak elit Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI yang menjadi pimpinan partai politik di Medan dan tidak sedikit dari mereka terpilih sebagai anggota DPRD kota Medan. Karena posisi politik itu pula mengharuskan mereka terlibat dalam pemilihan kepala daerah langsung.

Keterlibatan PP, IPK, dan FKPPI dalam pilkada langsung menekankan bahwa keterbukaan politik di masa reformasi tidak menghasilkan kesempatan yang sama untuk maju bagi semua lapisan masyarakat. Karena bagi mereka yang memiliki modal ekonomi dan politik lah yang lebih banyak mendapatkan dukungan. Ini terlihat dari peran Pemuda Pancasila, IPK, dan sebagian besar pimpinan FKPPI dalam pilkada langsung di kota Medan tahun 2005 mendukung

calon walikota yang sama. Keterlibatan itu juga dilakukan secara intens masuk sebagai bagian dari tim sukses, melakukan lobi secara internal dan eksternal, menggunakan kekuatan uang, melakukan mobilisasi massa dan kekerasan, serta melakukan kontrol terhadap media. Dari enam indikator yang diteliti, terlihat bahwa kegiatan yang sering dilakukan oleh organisasi pemuda/preman ini adalah pengerahan massa dan penggunaan kekerasan serta penggunaan kekuatan uang. Anggota paling bawah yang dilibatkan oleh IPK merasa lebih berani melakukan kekerasan, seperti menyakiti para pesaing atau siapapun yang dituduh memberikan pandangan negatif tentang aktivitas organisasi dan calon walikota yang didukung ketimbang dua organisasi pemuda lainnya. Pemuda Pancasila dan beberapa pimpinan FKPPI yang terlibat dalam pilkada langsung itu lebih mengutamakan proses kelembagaan melaui forum-forum organisasi, jika tidak berhasil maka elit organisasi itu akan memberi teguran dan tindakan kekerasan juga dilakukan.

Meskipun secara organisasi kelompok ini bukan sebagai pengusung utama, namun tahap awal dari proses pencalonan walikota Medan dilakukan dengan kesepakatan khusus yang terjadi antara pimpinan organisasi dan pimpinan parpol yang sebagian besar pimpinan parpol di kota Medan berasal dari organisasi pemuda ini. Pentingnya memperoleh dukungan dari organisasi pemuda itu dipandang sebagai simbolisasi politik. Artinya, mereka digunakan hanya untuk menentramkan para elit politik di Medan yang banyak berasal dari organisasi pemuda itu. Tidak jarang mereka digunakan hanya untuk diam atau tidak melakukan apa-apa karena jika mereka dilibatkan diyakini akan kontra produktif terhadap pemilih.

Dukungan yang diberikan oleh Ikatan Pemuda Karya, dalam pilkada langsung walikota Medan tahun 2005, relatif tidak memiliki konflik internal ketimbang Pemuda Pancasila dan FKPPI yang membebaskan pimpinan dan anggota organisasinya untuk mendukung calon manapun. Karena itu, IPK adalah organisasi pemuda yang berpengaruh diantara Pemuda Pancasila dan FKPPI. Karena IPK secara penuh mendukung Abdillah – Ramli tanpa konflik internal yang dapat mempengaruhi opini publik. Konon kabarnya, Olo the godfather, memberikan apresiasi yang sangat baik kepada Abdillah. Selain itu, elitnya dianggap berhasil menentramkan anggota paling bawah dari IPK, yang dikenal

amat brutal itu, meskipun terdapat riak-riak kecil di lapangan. Beberapa keputusan penting yang telah direncanakan oleh tim sukses AR Center selalu didiskusikan kepada pihak IPK, termasuk kepada Olo meskipun tidak secara langsung. Hal ini penting dilakukan oleh AR Center agar terjalin komunikasi kepada anggota paling bawah dari IPK yang dikenal sangat brutal. Sehingga, beberapa kegiatan yang tidak melibatkan anggota IPK dapat diketahui oleh para elitnya agar mengamankan barisan paling bawah itu.

Faktor penting untuk melihat keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam pilkada di Medan adalah karena kepentingan ekonomi dan kekuasaan dalam pelaksanaan desentralisasi. Kepentingan ekonomi berkisar pada akses untuk menguasai beberapa sumber-sumber keuangan yang berasal dari kontrak negara atau disebut proyek yang dialokasikan untuk organisasi pemuda itu. Dukungan yang diberikan oleh organisasi pemuda/preman dalam pilkada kota Medan tahun 2005 lebih disebabkan karena mereka akan mendapatkan alokasi pekerjaan/proyek dari walikota tersebut. Bahkan deretan kepentingan yang sekarang tampak lebih beragam dibandingkan pada masa Soeharto. Bos-bos organisasi pemuda/preman yang terlibat dalam pilkada itu terdiri dari para pialang dan bandar politik yang ambisius, kelompok-kelompok pebisnis baru yang berambisi tinggi, para gangster politik, kaum kriminal dan barisan keamanan sipil.

Hal lain yang ditemukan adalah munculnya aktor-aktor politik baru yang mulanya berprofesi sebagai pengusaha kecil atau tingkat menengah. Pada umumnya mereka sangat tergantung dari proyek negara. Pendatang-pendatang baru yang relatif baru ini pun mampu meningkatkan pengaruh mereka kepada tokoh-tokoh yang lebih besar dalam hak akses uang, dan yang penting lagi akses terhadap aparat kekerasan. Yang menarik bahwa aktor-aktor politik ini merasa sudah ”nyaman” dalam situasi proses desentralisasi yang sedang berlangsung di Indonesia. Mereka merasa bahwa otonomi daerah sudah mampu menyediakan kesempatan yang sangat menguntungkan bagi aktivitas perburuan rente di tingkat lokal itu sendiri.

Meskipun mereka bukanlah kelompok pro demokrasi yang memiliki kekuatan pendukung massa yang secara nyata dan signifikan mampu mengubah

sistem politik, namun bukan berarti mereka tidak memiliki kekuatan politik untuk menguasai lembaga-lembaga politik. Ini terlihat dari kasus pilkada langsung di kota Medan. Dengan uang dan kekerasan mereka mampu terlibat dalam peran intimidasi untuk membuat seseorang calon dapat terpilih.

Jika dianalisis dari teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini, maka didapat beberapa relevansi terhadap teori yang digunakan serta ada beberapa penyesuaian dari teori yang ada.

Interaksi diantara organisasi pemuda (Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI), selama proses pilkada langsung tahun 2005 di Medan, berlangsung dalam situasi yang mengutamakan kepentingan lokal. Elit yang berasal dari ketiga organisasi pemuda itu disebut sebagai pemimpin formal dan informal. Sebagian dari mereka menjadi pemimpin partai politik dan anggota dewan sedangkan selebihnya memiliki pengaruh baik terhadap pengikutnya maupun pemimpin formal yang ada di kota Medan. Bagi calon walikota, melibatkan ketiga organisasi pemuda itu sangat penting karena mereka dianggap bagian dari masyarakat lokal yang memiliki pengaruh baik secara langsung maupun tidak, bersifat positif atau negatif, kepada masyarakat pemilih.

Dalam kaitan ini, jika dilihat dalam konteks politik lokal seperti yang dikemukakan oleh Stewart, bahwa dalam demokrasi lokal sangat penting melibatkan partisipasi masyarakat terutama peran local leader dan informal leader. Sehingga kepala daerah dapat mengenali masyarakatnya yang plural dan multikultural itu. Karena itu, melibatkan organisasi Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI dalam pilkada langsung di Medan dipandang sebagai cara untuk mengenal karakter masyarakat lokal.

Namun, yang tidak terjadi pada kasus keterlibatan organisasi pemuda (Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI) dalam pilkada langsung di Medan adalah tidak adanya mekanisme yang demokratis dalam kebijakan menentukan dukungan kepada calon walikota. Melibatkan para anggota paling bawah dari ketiga organisasi itu untuk menentukan dukungan kepada calon walikota tidak pernah dilakukan. Keputusan itu diambil oleh sekelompok elit organisasi pemuda itu karena alasan-alasan ekonomi dan kepentingan yang dijalin secara strategis

diantara elit organisasi dan calon walikota. Sehingga apa yang disebut Manoor dan Crook sebagai ”close knit power” yaitu kekuasaan cenderung tertutup dan didominasi oleh elit terjadi dalam melihat keterlibatan organisasi pemuda pada pilkada tahun 2005 di Medan.

Keputusan untuk memberikan dukungan tersebut dapat dipahami karena elit organisasi pemuda itu memiliki sumber-sumber kekuasaan yang berasal dari fisik dan ekonomi. Secara fisik eksistensi kekuasaannya diperoleh, dipertahankan, dan dioperasikan melalui cara-cara kekerasan, koersif, dan dominasi. Karena kekuasaannya, para elit organisasi pemuda itu dapat mempengaruhi orang lain untuk mengikuti kehendak atau keinginannya. Dari sumber ekonomi para elit organisasi itu memberikan pekerjaan dan upah kepada anggotanya dari penguasaan daerah yang dikelola oleh ketiga organisasi pemuda itu. Karenanya, ketika keputusan organisasi yang dilakukan oleh segelintir elit dalam mendukung calon walikota harus juga dipatuhi oleh anggota organisasi. Tidak jarang konflik internal organisasi terjadi karena beberapa anggota senior dan anggota paling bawah tidak sependapat dengan keputusan organisasi itu. Ketika konflik terjadi maka tindakan kekerasan lah seperti mengancam dan menggunakan senjata tajam yang dilakukan kepada anggota yang tidak mengikuti keputusan organisasi itu. Karena pola-pola kekerasan yang dilakukan maka munculnya, apa yang disebut Migdal, local strongmen dapat dipahami sebagai klientisme yaitu kegiatan personal atau sekelompok orang yang memberi kebaikan bagi mereka yang memerlukannya seperti pekerjaan dan uang.

Namun, teori Migdal tidak begitu relevan lagi untuk menjelaskan keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam pilkada langsung di Medan karena tidak adanya personal atau kelompok yang dominan dan kuat dalam politik atau tidak adanya kelompok masyarakat yang kuat yang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan negara. Yang terjadi adalah sebaliknya, dalam pilkada langsung menunjukkan posisi negara kuat karena serangkaian kebijakan ditetapkan oleh negara. Terkait dengan posisi negara, maka fenomena yang disebut Sidel sebagai Bosisme relevan menjelaskan kuatnya negara dalam struktur politik lokal. Sidel menjelaskan bahwa bosisme menunjukkan elit lokal, yang diperankan oleh organisasi pemuda (Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI)

dalam pilkada langsung tahun 2005 di kota Medan, sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka.

Bosisme itu adalah para preman yang menguasai organisasi pemuda dan beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, dan militer. Para bos-bos tersebut bersekutu untuk memenangkan kontes pemilihan pejabat publik agar sumber-sumber ekonomi dan politik mudah didapatkan dengan persetujuan otoritas politik seperti walikota, partai politik dan anggota dewan. Karena itu, bosisme dalam kasus organisasi pemuda/preman ini tidak ada yang dominan. Bos-bos itu tersebar di berbagai organisasi pemuda yang terkadang tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Hubungan yang terjadi diantara bos-bos organisasi pemuda/preman itu hanya hubungan kepentingan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Dalam hubungan seperti ini, keduanya berada dalam posisi seimbang dan karena adanya kepentingan yang sama. Karena motif seperti ini juga, maka mereka dilibatkan dalam pilkada oleh calon walikota untuk memuluskan agenda atau skenario yang telah dibuat oleh calon walikota. Karena dengan modal ekonomi misalnya, calon walikota dapat membayar bos-bos organisasi pemuda/preman ini untuk melindungi atau memerintah sesuai dengan agenda yang telah disusun.

Pemberian dukungan organisasi pemuda/preman itu relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Charles F. Andrain, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramsci tentang sumber-sumber kekuasaan dan cara penggunaannya. Pertama, bahwa dukungan yang diberikan tersebut tidak dilakukan secara demokratis seperti melalui konsensus melainkan lebih banyak mengandalkan cara-cara represif seperti menyakiti, melukai atau bahkan membunuh. Hal ini dilakukan karena sumber kekuasaan elit organisasi pemuda tersebut berasal dari kekuatan fisik. Kedua, jika terjadi konflik akibat keputusan yang diambil itu, baik secara internal maupun eksternal, penyelesaiannya sering dilakukan dengan menggunakan kekerasan kepada pihak-pihak yang tidak setuju dengan keputusan itu.

Terkait dengan teori yang dikemukakan oleh Abadinsky, meskipun organisasi pemuda itu melakukan praktek premanisme dan kejahatan – Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI – namun tidak begitu ”pas” dikelompokkan sebagai organized crime. Memang, keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam pilkada langsung di Medan lebih disebabkan kepentingan untuk memperoleh perlindungan dari semua aktivitas organisasi yang mereka lakukan seperti perlindungan untuk mengelola satu lokasi atau wilayah tertentu dan mendapatkan proyek-proyek pemerintah. Namun, ada unsur yang hilang jika disebut sebagai organized crime yaitu organisasi pemuda/preman ini tidak memiliki anggota yang bersifat eksklusif dan abadi. Banyak anggota organisasi itu yang berganti seragam semaunya, terlepas dari upaya-upaya yang dilakukan oleh pimpinannya. Dari kasus tersebut terlihat bahwa anggota-anggota organisasi itu mengenakan seragam organisasi manapun yang bersedia membayar dan memobilisasi mereka sewaktu-waktu. Ide tentang ”pemuda setempat” yang siap disewa oleh siapapun dan tidak punya keterikatan dengan organisasi manapun muncul karena fenomena ini.

Karena itu, fenomena tentang gengster politik seperti yang dikemukakan oleh Lyron Ryter dan Vedi R. Hadiz lebih tepat untuk menguraikan keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam pilkada langsung kota Medan tahun 2005. Pemimpin organisasi pemuda paramiliter masih memainkan peran sebagai operator melalui tindakan intimidasi dan kekerasan kepada para pendukung calon pesaing. Namun yang berbeda adalah bahwa kemenangan dalam kompetisi pilkada langsung ditentukan oleh figur yang populer, bukan hanya karena adanya dukungan organisasi pemuda yang melakukan praktek

Dokumen terkait