• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Evaluasi Indikator Sosial-Ekonomi dan Kelembagaan

5.3.3 Analisis Efektivitas

Efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng ditampilkan dengan menggunakan teknik Amoeba yang tersaji dalam bentuk diagram yang terlihat pada Gambar 17.

Keterangan:

Critical Threshold Value (CTV) Sebelum DPL

Setelah DPL

Gambar 17 Hasil analisis efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng menggunakan teknik Amoeba.

Kondisi Tutupan Karang(%)

Kelimpahan Ikan Target (ekor)

Jumlah pelatihan

stakeholder

EKOLOGI SOSIAL-EKONOMI KELEMBAGAAN

Pendapatan (Rp/Thn)

Nilai ekonomi Sumberdaya TK (Rp/Ha/Thn)

Sikap Masyarakat

Hasil yang dicapai (efektivitas) dalam pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng diketahui melalui pengukuran pada beberapa indikator ekologi, sosial- ekonomi dan kelembagaan dengan membandingkan data 2 tahun yang berbeda (tahun 2005 dan tahun 2010). Tahun 2005 merupakan kondisi sebelum terbentuknya DPL, sedangkan tahun 2010 merupakan kondisi setelah terbentuknya DPL Desa Mattiro Labangeng.

Berdasarkan analisis efektivitas menggunakan teknik Amoeba, nilai-nilai indikator secara umum setelah penetapan DPL terlihat bahwa keragaan (performance) indikator semakin baik dibandingkan dengan beberapa indikator sebelum adanya penetapan DPL.Hal ini dikarenakan nilai-nilai tersebut belum melewati nilai ambang batas kritis (CTV). Keberhasilan pengelolaan DPL pada tahun 2010 terlihat dengan adanya peningkatan nilai setiap kriteria baik ekologi, sosial-ekonomi dan kelembagaan dibanding dengan kondisi sebelum terbentuknya DPL pada tahun 2005 yang terurai sebagai berikut:

a. Kriteria Ekologi

Persen tutupan karang hidup

Pengelolaan DPL yang efektif di DPL Desa Mattiro Labangeng ditunjukkan dengan kondisi terumbu karang dari tahun ke tahun yang memiliki kecenderungan pemulihan kondisi karang yang lebih baik. Hal ini terlihat dari kondisi persentase tutupan karang hidup sebesar 20% sebelum penetapan DPL (2005) mengalami peningkatan menjadi 36% setelah adanya penetapan DPL (2010). Meski terjadi peningkatan persen penutupan, kondisi terumbu karang di perairan DPL ini tidak berada di bawah batas nilai kritis yang ditetapkan oleh Gomez dan Yap (1988) sebesar 25%. Kondisi tutupan karang di perairan ini masih dalam kondisi sedang dengan tutupan kurang dari 50% dan masih dibawah kategori baik (Gomez dan Yap 1988).

Kelimpahan ikan target

Pemulihan ekosistem terumbu karang melalui pengelolaan DPL yang efektif ini juga terlihat pada kelimpahan jumlah ikan target yang mengalami kenaikan. Terjadi kenaikan kelimpahan kelompok ikan target di perairan DPL Desa Mattiro Labangeng yakni dari 24 ekor (2005) menjadi 79 ekor (2010). Manuputty dan Djuwariah (2009) menentukan kriteria kelimpahan ikan di

78

terumbu karang (DPL) berdasarkan kelompok ikan target. Hal ini dikarenakan kelompok ikan tersebut memiliki nilai ekonomis dan merupakan target tangkapan nelayan. Kenaikan ikan target pada tahun 2010 ini juga masih berada diatas nilai kritisnya (>25 ekor), sehingga dari indikator ini kondisi kelimpahan ikan karang berdasarkan kelompok ikan target dapat dikatakan lebih baik dari tahun sebelumnya maupun jumlah ideal yang telah ditetapkan.

b. Kriteria Sosial-Ekonomi

Tingkat sikap masyarakat

Pemahaman masyarakat Desa Mattiro Labangeng terhadap keberadaan DPL sangat ditentukan oleh informasi yang mereka dapat tentang nilai-nilai penting dari ekosistem terumbu karang tersebut. Analisis pemahaman ini didasarkan pada jawaban yang diberikan responden dan hanya dilakukan pada tahun 2010 sebagai bentuk evaluasi keberadaan DPL dengan batas kritis sebesar 25%. Tingkat sikap masyarakat nelayan menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendukung keberadaan DPL, hal ini ditunjukkan dengan nilai persentase sikap dukungan masyarakat yang mencapai sebesar 86.66%. Dengan demikian, indikator tersebut dapat dikatakan sebagai penentu keberhasilan dalam pengelolaan DPL.

Pendapatan

Kondisi perekonomian nelayan Desa Mattiro Labangeng diukur melalui pendapatan per tahun yang dibandingkan dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) sebagai nilai batas kritis. Sebelum penetapan DPL pada tahun 2005 rata- rata pendapatan nelayan Desa Mattiro Labangeng adalah Rp 1.413.500/tahun. Nilai ini jauh lebih rendah dibanding dengan nilai pendapatan rata-rata nelayan setelah adanya DPL pada tahun 2010 yang mencapai Rp 7.997.625/tahun dengan nilai batas kritis dari UMK sebesar Rp. 4.320.000/tahun. Pendapatan nelayan pada tahun 2005 masih berada di bawah UMK, sedangkan pada tahun 2010 rata-rata pendapatan nelayan melebihi nilai UMK. Dengan demikian, berdasarkan peningkatan nilai pendapatan nelayan ini dapat dikatakan bahwa kondisi perekonomian nelayan Desa Mattiro Labangeng juga mengalami peningkatan menjadi lebih baik.

Nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang

Nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang digunakan untuk melihat perubahan nilai ekosistem terumbu karang setelah adanya gangguan, dalam hal ini adanya penetapan sebagian perairan Desa Mattiro Labangeng sebagai daerah yang dilindungi. Gangguan ini mengakibatkan perubahan produksi barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya terumbu karang, yang pada akhirnya akan mengubah perilaku pemanfaatannya. Perubahan perilaku pemanfaatan ini akan mengubah nilai dari sumberdaya alam tersebut (Adrianto 2006). Berdasarkan grafik Amoeba

menunjukkan adanya perubahan nilai ekosistem terumbu karang dari aktivitas perikanan tangkap. Nilai ekosistem terumbu karang sebelum adanya penetapan DPL sebesar Rp 42.635.910.51/ha/tahun, nilai ini lebih rendah dibandingkan setelah ditetapkannya DPL yakni sebesar Rp 52.084.390.18/ha/tahun. Jika dibandingkan dengan nilai CTV maka nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang sebelum dan sesudah adanya penetapan DPL tidak melebihi nilai idealnya. Nilai kritis (CTV) yang menjadi pembanding adalah Rp 225.000.000/ha/thn (Modifikasi Munro 1984 in Cesar 1996). Nilai CTV ini merupakan nilai

maksimum sustainable yield (MSY) dari sumberdaya ikan dan invertebrata yang dapat dikonsumsi (Munro 1984 in Cesar 1996). Hal ini juga berarti nilai sebelum dan setelah adanya DPL menunjukkan perikanan tangkap yang masih dalam batas normal dan tidak menunjukkan penangkapan yang lebih (overfishing).

c. Kriteria Kelembagaan

Tingkat pelatihan stakeholder

Kemandirian stakeholder dalam menghadapi tantangan-tantangan DPL dimasa akan datang ditentukan melalui jumlah pelatihan yang dilaksanakan dan diikuti. Pelatihan bagi stakeholder sebelum dan sesudah adanya DPL dilakukan 4 kali dalam setahun.Hal ini juga merupakan program pemerintah (COREMAP II) dalam hal ini tersedianya budget untuk pelaksanaan pelatihan dan juga disesuaikan dengan kebutuhan stakeholder yang ada di daerah. Jika dibandingkan dengan nilai CTV (1) untuk pelaksanaan pelatihan, maka jumlah pelatihan yang didapatkan oleh stakeholder tiap tahun telah cukup untuk pengembangan diri maupun kelembagaan di daerahnya masing-masing.

80

Dokumen terkait