• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN

2.3 Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut

2.3.3.2 Pendekatan Valuasi Ekonomi

Terdapat beberapa pendekatan metodologi untuk melakukan penilaian (valuasi) dari sebuah ekosistem atau sumberdaya alam. Sebagian besar dari pendekatan tersebut berbasis pada pendekatan biaya (cost-approach) dengan alasan bahwa pendekatan manfaat (benefit-approach) relatif lebih sulit diprediksi (Grigalunas dan Congar 1995 in Adrianto 2006). Menghitung manfaat ekonomi

sumberdaya yang berada di kawasan konservasi laut berbeda dengan perhitungan di luar kawasan konservasi laut. Untuk menghitung manfaat ekonomi dan pengelolaan berbasiskan konservasi ada beberapa metode, diantaranya adalah model valuasi ekonomi dan model bioekonomi. Kedua model tersebut bisa dilakukan penyesuaian-penyesuaian jika kondisi data tidak memadai. Selain untuk mengevaluasi kawasan konservasi, model valuasi ekonomi penting digunakan dalam perencanaan pembangunan konservasi laut, diantaranya adalah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya nilai dari sumberdaya alam yang ada di lokasi tersebut sebagai justifikasi bagi pembangunan kawasan konservasi tersebut dan juga sebagai bahan masukan bagi stakeholder apakah bernilai membangun suatu kawasan konservasi laut di kawasan tersebut (Fauzi dan Anna 2005).

Boquiren (2006) mengatakan bahwa pendekatan produktifitas merupakan teknik valuasi berdasarkan hubungan fisik antara lingkungan dengan produksi barang dan jasa dari pasar (market good and service). Teknik ini digunakan untuk melihat perbedaan output (produksi) sebagai dasar perhitungan jasa dari terumbu karang. Pendekatan produktifitas sering digunakan untuk mengukur nilai dari sektor perikanan dan pariwisata (surplus produsen) dan juga untuk menilai perubahan nilai dari output sebelum dan sesudah adanya suatu kejadian atau ancaman atau intervensi pengelolaan. Perubahan produksi dalam perikanan digunakan untuk mengkalkulasi hilangnya nilai dari sektor perikanan karena adanya ancaman dan gangguan terhadap terumbu karang seperti penambangan karang, atau bertambahnya nilai perikanan karena adanya intervensi pengelolaan seperti diberlakukannya kawasan konservasi laut (Cesar dan Chong 2004).

Suatu ekosistem mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menyediakan produk akhir berupa barang maupun jasa. Sebagai contoh, ekosistem terumbu karang secara ekologi mampu menyediakan produk akhir berupa ikan, udang, kepiting, dan sebagainya. Produk-produk akhir tersebut dalam konteks ini merupakan produktivitas ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu, dengan menggunakan metode effect on production fungsi ekosistem terumbu karang sebagai penyedia produk tersebut secara ekonomi dapat divaluasi. Secara konseptual, pendekatan produktivitas beranjak dari pemikiran bahwa apabila ada gangguan terhadap sistem sumberdaya alam (misalnya polusi), maka kemampuan

20

sumberdaya alam untuk menghasilkan aliran barang atau jasa menjadi terganggu (injured). Gangguan ini mengakibatkan perubahan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut, yang pada akhirnya akan mengubah pula perilaku pemanfaatannya. Perubahan perilaku pemanfaatan ini akan mengubah nilai dari sumberdaya alam tersebut (Adrianto 2006).

Menurut Grigalunas dan Congar (1995) in Adrianto (2006) pendekatan produktivitas sangat berguna apabila produk final dapat secara relatif mudah dinilai dan informasi tentang aliran barang dan jasa dari SDA yang dinilai relatif tersedia. Namun terkadang, konsumen tidak terlalu perhatian terhadap aliran barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, sehingga bagian ini menjadi yang terpenting dalam proses valuasi ekonomi dengan menggunakan pendekatan produktivitas ini. Pendekatan produktivitas memandang sumberdaya alam sebagai input dari produk akhir yang kemudian digunakan oleh masyarakat luas. Dengan demikian, langkah pertama dari pendekatan ini adalah menentukan aliran jasa dari sumberdaya alam yang dinilai kemudian dianalisis hubungannya dengan produk akhir yang dikonsumsi oleh masyarakat.

Barton (1994) in Adrianto (2006) menyatakan bahwa EOP diukur dengan menggunakan harga bayangan yang dihitung berdasarkan harga pasar yang telah dijustifikasi dengan menggunakan faktor distorsi market atau ekuitas sosial seperti harga FOB apabila komoditas final produknya diekspor, harga tenaga kerja oportunitas apabila menggunakan tenaga kerja domestik. Pendekatan EOP memerlukan sebuah pendekatan yang integratif antara flow ekologi dan flow ekonomi karena pendekatan ini lebih memfokuskan pada perubahan aliran fungsi ekologis yang memberikan dampak pada nilai ekonomi sumberdaya alam yang dinilai. Menurut Hufschmidt et al. (1983) in Adrianto (2006) memberikan beberapa langkah analisis integrasi ekologi-ekonomi dalam konteks metode EOP adalah mengidentifikasi input sumberdaya, output dan residual sumberdaya dari sebuah proyek; melakukan kuantifikasi aliran fisik dari sumberdaya; melakukan kuantifikasi keterkatian antar sumberdaya alam; melakukan kuantifikasi aliran dan perubahan fisik ke dalam terminologi kerugian dan manfaat ekonomi.

Metode pendekatan surplus merupakan pengukuran manfaat sumberdaya alam yang tepat karena pemanfaatan sumberdaya dinilai berdasarkan alternatif

penggunaan terbaiknya (Green 1992 in Fauzi 2010). Konsep surplus konsumen merupakan selisih manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat dari mengkonsumsi sumberdaya alam dan jumlah yang dibayarkan untuk mengekstraksi sumberdaya alam. Surplus konsumen terjadi jika harga yang dibayarkan oleh konsumen terhadap suatu barang lebih tinggi dari harga pasarnya. Surplus konsumen akan terus naik jika konsumen terus membeli produk sampai unit tertentu dan menghentikannya, karena jika diteruskan konsumen tidak akan mendapatkan surplus lagi. Nilai utility dianggap bahwa ukuran kemampuan barang/jasa untuk memuaskan kebutuhan. Besar kecilnya nilai utility yang dicapai konsumen tergantung dari jenis barang atau jasa dan jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi. Dengan demikian, bila kepuasan semakin tinggi maka semakin tinggi nilai guna atau utility sumberdaya, sebaliknya semakin rendah kepuasan dari suatu barang maka utilitynya semakin rendah pula (http://www.ramaalessandro2. multiply. com/journal/item/2).

2.3.4 Indikator Kelembagaan Daerah Perlindungan Laut

Salah satu faktor penentu keberhasilan pengelolaan ekosistem terumbu karang adalah adanya sistem kelembagaan. Kelembagaan ini sangat penting peranannya, karena terdiri dari banyak pihak baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan adanya sistem kelembagaan, diharapkan rangkaian tugas, tanggungjawab dan wewenang masing-masing unit beserta jajarannya dapat disinergikan secara jelas dan tidak tumpang tindih guna mencapai tujuan pengelolaan secara efektif dan efisien. Dalam pengelolaan terumbu karang diperlukan keterlibatan pihak- pihak terkait (stakeholder) demi tercapainya misi dan tujuan sesuai yang diharapkan dari program yang diciptakan oleh pemeritah pusat untuk dilaksanakan di daerah. Kegiatan dan pengelolaan terumbu karang akan berhasil apabila berdasarkan keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergi oleh semua pihak yang terkait dilibatkan dalam program tersebut. Keberhasilan pelaksanaan program ditentukan antara lain oleh adanya kelembagaan di pusat maupun daerah (COREMAP II 2006).

Pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat (community-base management) dapat didefenisikan sebagai proses pemberian wewenang, tanggung

22

jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya lautnya. Dua komponen penting keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat adalah 1) konsensus yang jelas bagi 3 stakeholder utama, yaitu pemerintah, masyarakat pesisir dan peneliti (sosial, ekonomi dan sumber daya) dan 2) pemahaman yang mendalam dari masing-masing stakeholder utama akan peran dan tanggung jawabnya dalam mengimplementasikan program pengelolaan berbasis masyarakat (Dahuri 2003; Nikijuluw 2002). Menurut Carter (1996), Community-based resource Management (CBRM) didefenisikan sebagai salah satu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan disuatu daerah terletak atau berada di tangan organisasi-organisasi (kelembagaan) dalam masyarakat di daerah tersebut.

Kegiatan kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang diperlukan beberapa rencana pengelolaan seperti sekretariat pengelola yang memberi dukungan dan mengkoordinasikan semua aspek usaha pengelolaan daerah perlindungan laut, termasuk penggalangan partisipasi dan stakeholder. Selain sekretariat sebagai penguatan kelembagaan, pelatihan-pelatihan bagi kelompok masyarakat perlu juga dilaksanakan seperti pelatihan administrasi, pelatihan budidaya laut, pelatihan selam, pelatihan sistem pengawasan ekosistem terumbu karang dan pelatihan rehabilitasi terumbu karang (transplantasi). Monitoring dan evaluasi kelembagaan perlu dilakukan untuk melihat sejauhmana keberhasilan penguatan kelembagaan telah diterapkan. Evaluasi dan monitoring ini dilakukan setiap bulan/tahun sehingga dapat diketahui perkembangannya untuk mencari solusi yang terbaik dalam mencapai tujuan kelembagaan yang diharapkan (Farchan dan I Nyoman 2008).

Dokumen terkait