• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian efektivitas pengelolaan daerah perlindungan laut Desa Mattiro labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian efektivitas pengelolaan daerah perlindungan laut Desa Mattiro labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN EFEKTIVITAS

PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT

DESA MATTIRO LABANGENG

KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN

SULAWESI SELATAN

DAFIUDDIN SALIM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Kajian Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

(3)

Sanctuary in Mattiro Labangeng Village, Pangkajene Kepulauan District of South Sulawesi. This work was under supervision of YUSLI WARDIATNO and LUKY ADRIANTO.

One of the Marine Sanctuary or Daerah Perlindungan Laut (DPL) in the Pangkajene Kepulauan (Pangkep) district is located at Mattiro Labangeng village. It was founded as an effort to save coral reef ecosystems and to prosper the rural community; especially the local fishermen. However, the existence of this DPL does not automatically solve problems that arose out of coral reef ecosystem management. Few initiatives are therefore needed to restore the original condition gradually. In order to investigate the roles and benefits of the presence of DPL in the conservation of coral reef ecosystem, an assessment is necessary in evaluating the success of the effectiveness of the management of DPL at Mattiro Labangeng village. By this regards, the study intends to evaluate indicators of the effectiveness and to assess how effective is the management of DPL at Mattiro Labangeng village. The research was conducted both in April and September 2010. It was done in territorial waters closed to Mattiro Labangeng village as well as among the villagers of this village, which is located in the Liukang Tupabbiring Utara subdistrict of Pangkep district. Methods applied for this research was field observation, semi-structured interviews and library search over secondary data. Field observation was conducted to obtain ecological data. Each data are collected by different methods: Point Intercept Transect (PIT) method was used to collect data on the condition of coral reefs; Underwater Visual Census (UVC) method was utilized to observe reef fish; and in situ observation method was deployed to collect data of water quality. For institutions and socio-economic information, data collection was conducted in several stages beginning from observation, semi-structured interviews and survey. Evaluative analysis on the management of DPL at Mattiro Labangen village is done in two phases, namely (1) Determining the effectiveness of selected indicators through stakeholder analysis based on the International Union for Conservation of Nature (IUCN), (2) Describing the effectiveness of DPL at Mattiro Labangeng village by analyzing several indicators above based on Amoeba, which was obtained from a technique of measuring the value of each indicator compared to the CTV (Critical Threshold Value). Based on all of indicators can be considered as the management of the DPL at Village Mattiro Labangeng effective. Strategic approaches in managing the DPL at Mattiro Labangeng village effectively can be done by several integrated plans with a full attention remained paid to ecological, socio-economic and institutional issues. These strategies include protecting DPL areas, upgrading capacity and their understanding of coral reef ecosystems.

(4)

RINGKASAN

DAFIUDDIN SALIM. Kajian Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO danLUKY ADRIANTO.

Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) dimaksudkan untuk melindungi terumbu karang beserta komunitas invertebrata yang berasosiasi didalamnya serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pulau akan hidup yang lebih baik. Salah satu DPL di Kabupaten Pangkep yang telah berdiri sebagai salah satu upaya dalam menyelamatkan ekosistem terumbu karang dan diharapkan dapat mensejahterakan masyarakat desa, khususnya para nelayan adalah DPL Desa Mattiro Labangeng. Keberadaan DPL tersebut tidak secara langsung dapat menyelesaikan permasalahan pengelolaan ekosistem terumbu karang, sehingga diperlukan berbagai upaya pengelolaan DPL yang dapat memulihkan kondisi tersebut secara bertahap. Dengan demikian dapat diketahui sejauh mana tujuan program Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng ini dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal untuk mendapatkan perubahan dan manfaat adanya DPL baik dari segi ekologi maupun ekonomi. Oleh karena itu, untuk melihat seberapa besar peran, manfaat dan keberadaan DPL terhadap pelestarian ekosistem terumbu karang perlu dilakukan kajian efektivitas dalam menilai keberhasilan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng. Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah 1) Mengkaji kondisi ekologi perairan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Mattiro Labangeng, 2) Mengkaji kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Mattiro Labangeng, 3) Mengevaluasi indikator efektivitas DPL Desa Mattiro Labangeng, 4) Menilai efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng, dan 5) Menyediakan strategi pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng berdasarkan hasil.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April dan September 2010 di Desa Mattiro Labangeng Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, Kabupaten Pangkep. Metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengamatan langsung di lapangan (observasi), semi-struktur wawancara dan penelusuran data sekunder. Pengamatan lapangan dilakukan untuk pemenuhan data ekologi, yaitu pendataan kondisi terumbu karang dengan metode Point Intercept Transek (PIT), pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode Underwater Visual Census

(UVC) dan data parameter kualitas perairan melalui pengamatan in situ. Metode pengumpulan data sosial-ekonomi dan kelembagaan dilakukan beberapa tahap yakni observasi, semi-struktur wawancara, dan survei. Data yang terkumpul digunakan untuk menganalisis efektivitas Daerah Perlindungan Laut di lokasi penelitian. Analisis evaluasi pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng ini dilakukan melalui dua tahapan, yaitu (1) Menentukan indikator efektivitas terpilih melalui analisis stakeholder berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN); (2) Menggambarkan efektivitas DPL Desa Mattiro Labangeng menggunakan analisis terhadap beberapa indikator di atas menggunakan teknik

(5)

Efektivitas pengelolaan DPL Mattiro Labangeng dalam penelitian ini dapat diketahui melalui penilaian dan evaluasi terhadap indikator-indikator yang dipilih stakeholder, yaitu indikator ekologi (kondisi tutupan karang, kelimpahan ikan target), indikator sosial-ekonomi (pendapatan, nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang, tingkat sikap masyarakat tentang DPL), dan indikator kelembagaan berupa tingkat pelatihan stakeholder. Berdasarkan evaluasi indikator-indikator tersebut, kondisi ekosistem terumbu karang menjadi semakin baik setelah adanya DPL. Hal ini juga terlihat pada indikator sosial ekonomi yang menunjukkan terjadinya peningkatan pendapatan, kenaikan pemanfaatan sumberdaya meski belum melewati nilai ambang batas kritis (CTV) dan dukungan masyarakat terhadap keberadaan DPL yang mencapai 86,66%. Selain itu, keberadaan DPL juga memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat melalui pelatihan-pelatihan untuk peningkatan pengelolaan DPL yang merupakan indikator kelembagaan.

Pengelolaan DPL yang efektif tidak lain adalah tercapainya maksud dan tujuan pengelolaan DPL itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut dan evaluasi indikator yang telah dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng saat ini sangat efektif. Hal ini ditunjukkan dari semua nilai indikator sesudah adanya DPL memiliki nilai lebih baik dari sebelum adanya DPL, dan nilai-nilai tersebut tidak melewati ambang batas kritis (critical threshold values/CTV). Strategi pendekatan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng yang efektif dapat dilakukan beberapa strategi secara terpadu dengan tetap memperhatikan isu-isu baik secara ekologi, sosial-ekonomi maupun kelembagaan. Strategi ini meliputi rehabilitasi dan mengoptimalisasi areal DPL, peningkatan keterampilan dan kesejahteraan masyarakat, serta pemahaman masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang.

(6)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

SULAWESI SELATAN

DAFIUDDIN SALIM

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama Mahasiswa : Dafiuddin Salim Nomor Pokok : C252080121

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(10)

PRAKATA

Terucap syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya yang menghantarkan Penulis menyelesaikan Tesis dengan judul Kajian Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhir guna memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih Penulis atas selesainya Tesis ini dihaturkan kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno M.Sc (Ketua Komisi Pembimbing), Bapak Dr.

Ir. Luky Adrianto M.Sc (Anggota Komisi Pembimbing) dan Dr. Handoko Adi Susanto S.Pi, M.Sc (Penguji Luar Komisi) atas segala arahan, bimbingan, pengertian, masukan, kritik dan saran demi penyempurnaan tesis ini baik dari segi substansi maupun penulisan Tesis ini.

2. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB beserta jajarannya. 3. Ayahanda (Alm) Prof. Dr. H. Abd.Muin Salim atas doa sampai akhir hayat,

Ibunda Arhamy Dappung, M.Pd yang mencurahkan seluruh restu, kakak-kakak dan adik terutama Keluarga kakak Arskal Salim PhD, juga Keluarga besar Syahril Syamsuddin atas doa, dukungan dan perhatian kepada Penulis.

4. Keluarga besar M. Arif Manompo, Anita Setianingsih S.Pi, M.Si dan Zul Janwar S.Kel, M.Si (SPL Sandwich 2008), Kepala Dusun dan Kepala Desa, Ketua LPSTK Desa Mattiro Labangeng, Bapak Sofyan (Fasilitator), Bapak Najamuddin (Motivator Desa), Keluarga dg Ngewa, Makka dan Sdr. Ramli S.Kel atas kerjasama dan penyediaan data penelitian.

5. Keluarga A. Muh Hijaz Jalil S.Kel, Nuramin Syafri S.Kel, Irham Rapy S.Kel, Yusran Nurdin Massa S.Kel, Muh Ridwan Salim S.Kel, Suharto S.Kel, Ramlan Jamal S.Kel, Syamsul Bahri S.Kel, Amadhan Takwir S.Kel, Ikhsan S.Hut, M.Si atas bantuan dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.

6. Masayu Maulinna Wardhani, S.Kel, M.Si atas bantuan dan dukungan kepada Penulis selama penyusunan Tesis ini.

7. Rekan-rekan seperjuangan di SPL angkatan XV tahun 2008 (Yar Johan, Adi, Asep, Moko, Mas Heri, Tiwi, Nidya, Yunus, Luky, Bang Tony, Linna, Pak Hasyim), Al Mudzni, Ashar dan Afif terima kasih atas semua bantuan, spirit, kontribusi pemikiran dan idenya. Semoga komunikasi, persaudaraan, perjuangan dan idealisme yang terbangun tidak menjadi sesuatu yang sia-sia. 8. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis sadar memiliki keterbatasan pemikiran dan memungkinkan terjadi kesalahan dan kekeliruan dalam Tesis ini, sehingga kritik, saran dan masukan adalah hal yang paling berarti untuk penyempurnaannya. Penulis berharap Tesis ini bermanfaat dan bisa menjadi sumber informasi yang berguna. Insya Allah.

Bogor, Juli 2011

(11)

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 25 Juni 1978 dari pasangan Abd Muin salim dan Arhamy Dappung. Penulis merupakan putra kelima dari tujuh bersaudara.

Riwayat pendidikan formal Penulis diawali di SD Negeri Cenderawasih I (1985 – 1991), SMP Negeri 1 Makassar (1991 – 1994) dan SMU Negeri 3 Makassar (1994 – 1997). Pendidikan S1 ditempuh di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (1999 – 2003). Tahun 2008 Penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan Strata-2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN... ... xxvii

1 PENDAHULUAN……… ... 1

2.2.1 Sosial-Ekonomi Daerah Perlindungan Laut... ... 12

2.2.2 Kelembagaan Daerah Perlindungan Laut... ... 13

2.3 Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut ... 13

2.3.1 Indikator Efektivitas Daerah Perlindungan Laut... ... 14

2.3.2 Indikator Ekologi Daerah Perlindungan Laut... ... 16

2.3.3 Indikator Sosial-Ekonomi Daerah Perlindungan Laut... 17

2.3.3.1 Valuasi Ekonomi dalam Sumberdaya... ... 17

2.3.3.2 Pendekatan Valuasi Ekonomi... ... 18

2.3.4 Indikator Kelembagaan Daerah Perlindungan Laut... 21

2.4 Evaluasi Efektivitas ... 22

3.4.2.2 Data Ikan Karang dan Megabentos... ... 28

3.4.2.3 Data Kualitas Perairan... ... 29

3.4.3 Pengumpulan Data Sosial-Ekonomi dan Kelembagaan.. ... 30

3.5 Analisis Data ... 31

3.5.1 Analisis Data Ekologi... ... 31

3.5.1.1 Persentase Tutupan Karang... ... 31

3.5.1.2 Kelimpahan Ikan Karang dan Megabentos... . 31

(13)

3.5.2.3 Metode Effect on Production ... ... 34

3.5.2.4 Metode Likert’s Summeted Rating... ... 35

3.5.3 Analisis Efektivitas Daerah Perlindungan Laut ... 36

3.5.3.1 Penentuan Indikator Efektivitas Terpilih Berdasarkan Stakeholder ... 36

3.5.3.2 Evaluasi Efektivitas Daerah Perlindungan Laut... 38

3.5.3.3 Analisis Tingkat Efektivitas Pengelolaan DPL... ... 38

4 SISTEM SOSIAL-EKOLOGIS DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA MATTIRO LABANGENG ... 41

4.1 Kondisi Umum Desa Mattiro Labangeng ... 41

4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi... ... 41

4.1.2 Penutupan Lahan ………... 41

4.1.3 Pemanfaatan Sumberdaya Laut ……… 43

4.2 Kondisi Sistem Ekologi DPL Desa Mattiro Labangeng ... 44

4.2.1 Kondisi Terumbu Karang……… ... 44

4.4.2 Struktur Pengelola Daerah Perlindungan Laut ... 47

4.4.3 Visi dan Misi Daerah Perlindungan Laut .. ... 48

4.4.4 Larangan di Kawasan Daerah Perlindungan Laut... 49

4.4.5 Sanksi Pelanggaran... ... 49

5.1.2.2 Komunitas Megabentos... ... 57

5.1.3 Kondisi Kualitas Perairan ………... ... 59

5.2 Evaluasi Indikator Sosial-Ekonomi dan Kelembagaan ... 60

5.2.1 Produksi Perikanan Tangkap……… ... 60

5.2.2 Distribusi Pendapatan ……… ... 63

5.2.3 Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang …………. .... 64

5.2.4 Ketersediaan Pasar ………... ... 65

5.2.5 Struktur Lapangan Pekerjaan/Mata Pencaharian . ... 66

5.2.6 Persepsi, Sikap, dan Partisipasi Masyarakat tentang DPL... 67

(14)

5.2.6.2 Sikap……….. .... 69

5.2.6.3 Partisipasi………... 70

5.2.7 Tingkat Pelatihan bagi Stakeholder/Pengelola………... ... 71

5.2.8 Tingkat Partisipasi Stakeholder/Pengelola…………... ... 73

5.3 Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut ... 74

5.3.1 Analisis Stakeholder... ... 74

5.3.2 Indikator Efektivitas Terpilih dan Dampaknya... ... 75

5.3.3 Analisis Efektivitas... ... 76

5.3.4 Tingkat Efektivitas Pengelolaan DPL. ... 80

5.3.5 Strategi Pengelolaan DPL Berdasarkan Hasil... ... 81

6 KESIMPULAN DAN SARAN... ... 85

6.1 Kesimpulan ... 85

6.2 Saran ... ... 86

DAFTAR PUSTAKA... ... 87

(15)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekosistem wilayah pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati dan non-hayati. Komponen-komponen ini secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem, yang dikenal dengan ekosistem atau sistem ekologi. Ekosistem pesisir ini merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan sumberdaya ini meliputi pulau-pulau besar dan kecil yang dikelilingi ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Tipologi ekosistem pesisir ditinjau dari daratan menuju kearah laut lepas diawali oleh ekosistem mangrove yang kemudian diikuti oleh padang lamun, dan ekosistem terumbu karang. Masing-masing ekosistem ini memiliki fungsi dan peran yang saling terkait satu sama lain (Yulianda et al. 2009). Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang amat penting bagi keberlanjutan sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan, dan umumnya tumbuh di daerah tropis, serta mempunyai produktivitas primer yang tinggi. Tingginya produktivitas primer ini menjadikan terumbu karang sebagai tempat berkumpulnya beraneka biota pesisir dan laut seperti ikan, udang, mollusca, dan lainnya (Supriharyono 2007).

(16)

2

Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) merupakan wilayah kepulauan yang memiliki 117 pulau dan umumnya berukuran kecil, 80 pulau di antaranya berpenghuni. Luas daratan pulau-pulau kabupaten ini adalah 351.5 km², sedangkan luas wilayah lautnya sekitar 17.000 km², dengan sumberdaya alam yang paling utama adalah ekosistem terumbu karang yang berbentuk fringing reefs dan diperkirakan mempunyai luas sebesar 36.000 ha (Jompa 1996). Tingkat kerusakan terumbu karang di Kabupaten Pangkep umumnya tergolong tinggi. Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh tingginya tingkat sedimentasi dan pencemaran, serta aktivitas nelayan yang menggunakan jenis alat tangkap yang merusak seperti bahan peledak, sianida, dan alat tangkap destruktif lainnya. Berdasarkan data COREMAP-PSTK (2002), dilaporkan bahwa dari total luas keseluruhan terumbu karang yang ada di Kabupaten Pangkep, 74.26% dalam kondisi rusak dan hanya 25.74% dalam kondisi baik. Kondisi ini sangat memprihatinkan sehingga produktivitas terumbu karang semakin menurun. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah pencegahan kerusakan dan penerapan sistem pengelolaan yang baik, agar kondisi sumberdaya alam di kawasan kepulauan ini bisa memberi harapan yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat terutama kepada mereka yang menggantungkan hidupnya dari ketersediaan sumberdaya alam terumbu karang.

(17)

mensejahterakan masyarakat desa,khususnya para nelayan. Oleh karena itu, untuk melihat seberapa besar peran, manfaat dan keberadaan DPL terhadap pelestarian ekosistem terumbu karang perlu dilakukan kajian efektivitas dalam menilai keberhasilan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng. Penilaian efektivitas ini menurut Pomeroy et al. (2004) didasarkan pada indikator ekologis, sosial-ekonomi dan kelembagaan dengan tujuan DPL yang ada

1.2 Perumusan Masalah

DPL merupakan salah satu alternatif konservasi suatu kawasan laut di tingkat desa yang diyakini akan memiliki dampak penting jangka menengah dan panjang dalam upaya melestarikan sumberdaya alam laut dan sekaligus meningkatkan kondisi sosio-ekonomi sebagai hasil dari peningkatan produksi perikanan yang meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan (Parks et al. 2006 in Carter 2011). Beberapa daerah yang telah dikonservasi, tujuan dan sasarannya tidak berjalan seperti yang diharapkan dan menghasilkan metode dan objek studi yang relatif tidak relevan dengan kondisi yang ada. Beberapa masalah lain yang dihadapi adalah kurangnya koordinasi pada tingkatan level antara satu

stakeholder dan stakeholder lainnya. Walaupun ada maksud peningkatan daerah perlindungan sebagai jaringan antara beberapa daerah yang ada di sekitarnya, faktanya daerah perlindungan ini tidak berjalan seperti yang diharapkan (Pomeroy

et al. 2004). Dengan demikian diperlukan tinjauan dan memahami sejauh mana upaya pengelolaan DPL berjalan secara efektif dan memenuhi tujuan-tujuannya serta bagaimana cara terbaik untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan DPL (Hockings et al. 2006).

(18)

4

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengkaji kondisi ekologi perairan DPL Desa Mattiro Labangeng.

2. Mengkaji kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar DPL Desa Mattiro Labangeng.

3. Mengevaluasi indikator efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng.

4. Menilai efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng.

5. Memberikan alternatif strategi pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng berdasarkan hasil.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat atau kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai kajian ilmiah dari hasil penelitian yang dapat menjadi acuan dalam penentuan kebijakan akan keberadaan DPL.

2. Sebagai informasi tentang efektivitas Daerah Perlindungan Laut , khususnya DPL Desa Mattiro Labangeng, Kabupaten Pangkajene Kepulauan..

3. Sebagai langkah positif untuk mengatur dan memperbaiki pengelolaan DPL sehingga mencapai tujuan dan sasaran yang lebih efektif dan efisien.

1.5 Kerangka Pemikiran

(19)

Efektivitas pengelolaan adalah tingkat sejauh mana kegiatan pengelolaan mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan oleh suatu DPL. Tinjauan berulang terhadap efektivitas pengelolaan juga dapat membantu para pengelola untuk mendokumentasikan kinerja upaya-upaya pengelolaan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan DPL dan memberikan gambaran tentang kemajuannya kepada para pengambil-keputusan dan pemangku kepentingan (Pomeroy et al. 2004; Carter 2011). Dalam kaitan ini, dengan adanya DPL pada Desa Mattiro Labangeng harusnya telah memberikan manfaat kepada masyarakat setempat dan keberlangsungan daerah perlindungan itu sendiri. Untuk mengetahui tercapainya efektivitas dari DPL perlu diidentifikasi tujuan dari pembentukan DPL yang selanjutnya dilakukan analisis beberapa indikator ekologi, sosial-ekonomi dan kelembagaan terkait tujuan pembentukan DPL tersebut.

Tujuan pembentukan DPL Desa Mattiro Labangeng berdasarkan Peraturan Desa Mattiro Labangeng Tentang Daerah Perlindungan Laut Tahun 2007 adalah (a) Menghentikan dan/atau menanggulangi pengrusakan terhadap habitat biota perairan desa; (b) Menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya perairan desa; (c) Meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat desa dalam menjaga dan memelihara sumberdaya perairan desa.

(20)

6

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian. Tidak

feedback

Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng

Mengidentifikasi Indikator-Indikator Berdasarkan Tujuan Pembentukan DPL

Indikator Ekologi

Indikator Kelembagaan Indikator

Sosial-Ekonomi

Evaluasi Indikator Ekologis, Sosial-Ekonomi, dan Kelembagaan

Analisis Efektivitas

Revisi PengelolaanDPL

Efektif?

Ya

(21)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993).

Menurut Veron (1995) terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo-pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu karang di perairan tropis dan secara latitudinal terbentang dari wilayah selatan Jepang sampai utara Australia dikontrol oleh suhu dan sirkulasi permukaan air. Sementara itu, penyebaran secara longitudinal sangat dipengaruhi oleh adanya konektivitas berupa stepping stones. Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan banyaknya jumlah

stepping stones yang terdapat di wilayah indo-pasifik diperkirakan menjadi faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran terumbu karang di region tersebut. Secara umum terumbu karang terdiri atas tiga tipe: (1) terumbu karang tepi, (2) terumbu karang penghalang, dan (3) terumbu karang cincin atau atol.

Terumbu karang Indonesia tergolong yang terkaya di dunia dengan kandungan hayati laut yang beranekaragam. 51% terumbu karang di Asia Tenggara dan 18% terumbu karang dunia berada di perairan Indonesia. Saat ini lebih dari 480 jenis karang batu di dunia yang telah dideskripsikan. Selain itu keanekaragaman ikan karang tertinggi di dunia ditemukan di Indonesia, dengan lebih dari 1650 jenis hanya untuk wilayah Indonesia bagian timur saja (Burke et al. 2002).

2.1.1 Fungsi dan Manfaat Ekologi Terumbu Karang

(22)

8

kebutuhan ekonomi yang memiliki nilai untuk berkontribusi demi kesejahteraan manusia. Keanekaragaman jenis terumbu karang memiliki manfaat secara ekologi dalam mendukung kehidupan masyarakat. Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem yang paling kompleks dan paling produktif, serta ekosistem yang atraktif bila dibandingkan dengan ekosistem lain di dunia (Spurgeon 1992). Secara ekologi terumbu karang menjadi tempat mencari makan (feeding

grounds), tempat berkembang biak (breeding grounds), daerah asuhan (nursery grounds) dan tempat berlindung berbagai jenis ikan dan avertebrata laut lainnya (Spalding et al. 2001). Terumbu karang khususnya karang tepi dan karang penghalang berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut, sebagai penyediaan makanan, tempat tinggal dan perlindungan bagi biota laut. Selain itu terumbu karang mendukung secara biologi kepada ekosistem lamun, mangrove dan laut terbuka. (Bengen 2000). Ekosistem terumbu karang mempunyai banyak manfaat yang beranekaragam, manfaatnya tidak hanya berbentuk sebagai barang tetapi juga sebagai jasa. Manfaat dalam bentuk barang diantaranya sebagai sumber makan, bahan obat-obatan, sedangkan dalam bentuk jasa dari ekosistem terumbu karang diantaranya sebagai objek wisata dan penahan gelombang (Moberg dan Folke 1999).

2.1.2 Fungsi dan Manfaat Ekonomi Terumbu karang

Terumbu karang memegang peranan penting dan sangat potensial terutama dalam sektor perikanan, pariwisata dan kesehatan karena diperkirakan lebih dari 12% perikanan dunia merupakan perikanan karang (Lim 1998). Terumbu karang memiliki manfaat yang beragam berupa barang dan jasa bagi kehidupan biota yang berasosiasi maupun bagi manusia. Terkait barang dan jasa ekosistem terumbu karang terbagi ke dalam empat kategori berdasarkan jasa yang disediakan oleh ekosistem terumbu karang yaitu jasa penyedia, jasa pengontrol, jasa kebudayaan dan jasa pendukung (Burke et al. 2008).

(23)

perikanan negara tersebut. Di Australia misalnya, Great Barrier Reff menarik sekitar 1.8 juta turis dilihat dengan industry bernilai dari US$ 1 milliar per tahun, dibandingkan dengan perkiraan US$ 359 juta untuk nilai tahunan Great Barrier Reff untuk perikanan. Lebih lanjut Burke et al. (2002), mengemukakan bahwa potensi keuntungan bersih pertahun per km2 dari terumbu karang dalam kondisi baik di Asia Tenggara di estimasi mencapai US$ 20000 – US$ 151000 untuk kegiatan perikanan dan perlindungan pantai, sedangkan untuk potensi pariwisata dan estetika mencapai US$ 23100 - US$ 270.000.

Pesatnya perkembangan wisata bahari khusus penyelaman memberikan kontribusi ekonomi cukup besar dalam sejarah pariwisata. Namun beberapa studi melaporkan bahwa aktifitas penyelaman menyebabkan kerusakan terumbu karang secara fisik, biologi, dan kimia seperti kehancuran karang, pemutihan karang dan hancurnya fragmen karang (Anthony et al. 2004). Cesar et al 1996 mengukur kerugian yang ditimbulkan akibat pariwisata adalah US$ 2600 – US$ 435600 per km2.

2.2 Daerah Perlindungan Laut

Mengacu pada IUCN (1994), istilah Marine Protected Area (MPA) adalah daerah-daerah paparan intertidal atau subtidal beserta perairannya yang berasosiasi dengan flora, fauna, sejarah dan budaya yang dilindungi oleh hukum atau semacamnya sebagai upaya melindungi ebagian atau seluruh lingkungan kawasan tersebut. Menurut Kenchington et al. (2003), Marine Protected Area

(MPA) merupakan area wilayah laut yang terutama diperuntukkan bagi perlindungan laut dan perlindungan keanekaragaman hayati, sumberdaya alam dan kultural dan dikelola dengan baik demi keberlanjutan sumberdaya.

(24)

10

cocok dipakai lagi secara luas di daerah Asia dan Fasifik sehingga digantikan dengan istilah “local marinr management”, 2) istilah “MPA” merupakan istilah formal yang dipakai oleh badan-badan nasional dan internasional (legal authority) yang tidak sama pelaksanaannya dengan MMA dalam suatu wilayah. Istilah MMA secara ekslusif diartikan sebagai upaya-upaya pengelolaan dan perlindungan non-formal yang dikenal sebagai legalitas MPA.

Lebih lanjut Wiryawan dan Dermawan (2006), mengemukakan bahwa MMA dapat berfungsi sebagai penghubung jaringan antaara kawasan konservasi laut (Daerah Perlindungan Laut/DPL) berbasis desa. Banyaknya gugus DPL dalam suatu MMA dapat senantiasa berkembang, mengingat proses pembentukan dari masing-masing DPL berbasis desa bervariasi. Namun pada prinsipnya, MMA merupakan pusat koordinasi pengeolaan kawasan konservasi, yang mempunyai skal dan status dapat berbeda. Melalui MMA, maka diharapkan berbagai pemanfaatan kawasan laut seperti penangkapan ikan, budidaya, pariwisata, pertambangan, industri transportasi dan kegiatan lain yang selaras dengan tujuan konservasi kawasan dapat diakomodasi. Dengan adanya DPL-DPL sebagai komponen dari MMA diharapkan suatu kawsan konservasi dapat lebih memberikan manfaat ekologi yang pada akhirnya memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat, karena perlindungan kepada spesies yang berimigrasi dapat lebih optimal jika habitatnya secara utuh dilindungi.

Nama yang digunakan untuk pengelolaan kawasan laut tingkat kampung atau desa beragam seperti, Daerah Pelindungan Laut, Kawasan Kelola Laut, Daerah Kelola Laut, Area Pengelolaan Laut, atau Taman Pelestarian Laut. Terlepas dari apa namanya yang jelas konsep tersebut berbeda dengan model inisiatif lainnya yang telah berkembang selama ini. Kawasan pelestarian jenis yang terakhir ini dikembangkan dari, untuk dan bersama masyarakat setempat dengan luas, tujuan dan cara pengaturan yang sangat beragam tergantung dari kesepakatan yang dibangun bersama masyarakat pesisir setempat (Afif et al.

2005).

(25)

(COREMAP 2006). DPL-BM telah diterapkan oleh banyak proyek yang disponsori oleh bank pembangunan internasional di Asia dimana komponen perlindungan laut merupakan satu dari berbagai strategi pembangunan dan pengelolaan pesisir. Sebagai contoh Program Sektor Perikanan sebesar 150 juta dolar di Filipina dan berbagai proyek bantuan luar lainnya, telah memasukkan konsep DPL berbasis masyarakat ke dalam desain proyek-proyek ini. Negara Filipina memiliki sejarah yang cukup panjang dalam pengembangan DPL berbasis masyarakat ini selama lebih dari dua dekade. DPL berbasis masyarakat ini telah menjadi pendekatan utama pengelolaan pesisir di negara ini dan dipakai sebagai bagian dari kebijakan program desentralisasi. Pada peralihan abad telah ada ratusan DPL yang tersebar hampir di semua wilayah pesisir negara tersebut (Ablaza-Baluyut 1995). Pajaro et al. (1999) mencatat 439 DPL di Filipina dari berbagai jenis, dimana mayoritas dari DPL ini adalah berbentuk daerah perlindungan skala kecil yang dikelola oleh masyarakat dan berukuran kurang dari 30 hektar.

Penerapan DPL-BM di Indonesia merupakan konsep pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat. Kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya merupakan hal terlarang di dalam kawasan DPL-BM, demikian pula akses manusia di dalam kawasan diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan dan larangan aktivitas tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk Peraturan Desa. Penerapan DPL-BM awalnya dilakukan pada DPL di 4 (empat) desa di Provinsi Sulawesi Utara. DPL tersebut merupakan DPL pertama yang dikembangkan di Indonesia dengan fasilitasi pemerintah dan menghasilkan capaian yang memuaskan. Hal ini terbukti bahwa berdasarkan pengalaman di 4 (empat) desa tersebut telah dikembangkan puluhan DPL baru di desa-desa lainnya di Provinsi Sulawesi Utara bahkan di provinsi-provinsi lain (Nikijuluw 2002).

(26)

12

dilakukan penetapan kawasan laut menjadi daerah yang tertutup bagi kegiatan eksploitatif, yaitu sebagai daerah perlindungan laut atau marine sanctuary

(Crawford dan Tulungen 1998; Kasmidi et al. 1999). 2.2.1 Sosial-Ekonomi Daerah Perlindungan Laut

Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. Masyarakat pesisir tidak saja nelayan, melainkan juga pembudidaya ikan, pengolah ikan, bahkan pedagang ikan. Namun, di kalangan masyarakat pesisir sendiri, pelaku ekonomi di subsistem produksi primer-nelayan dan pembudidaya ikan seringkali menemui sejumlah masalah, diantaranya ketidakadilan harga, lemahnya tekhnologi dan modal, terbatasnya SDM, terbatasnya akses sumberdaya, serta lemahnya organisasi, sehingga posisi mereka pun lemah diantara pelaku-pelaku usaha lainnya (Satria 2009).

Standar hidup di masyarakat nelayan pesisir sebagian besar langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perikanan skala kecil. Karakteristik masyarakat perikanan skala kecil umumnya memiliki hubungan tradisi yang kuat, pendidikan yang rendah, usia dewasa dengan pemikiran pendek, masih memiliki pengaruh adat istiadat dan budaya yang besar, marginalisasi dalam perekonomian dan pendapatan yang rendah. Dengan karakteristik yang dimiliki tersebut, sering kali hak ekslusif masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan perikanan dibatasi (Berkes et al. 2001; Jimenez-Badillo 2008).

(27)

Memberikan tanggung jawab kepada masyarakat dalam mengelola sumberdaya terumbu karang adalah upaya mendekatkan masyarakat dengan sumberdaya yang dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup mereka sendiri-sendiri (Hulu 2009). 2.2.2 Kelembagaan Daerah Perlindungan Laut

Kelembagaan adalah gabungan dari norma dan tingkah laku yang berlangsung lama dengan tujuan dan maksud yang bernilai untuk pelayanan bersama. Kelembagaan dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai lembaga atau organisasi kelembagaan, baik lembaga eksekutif (pemerintah), lembaga judikatif (peradilan), lembaga legislatif (pembuat undang-undang), lembaga swasta maupun lembaga masyarakat. Komponen utama dari suatu organisasi kelembagaan adalah adanya tujuan, aturan, sarana dan prasarana, serta adanya sumber daya manusia yang menjalankan organisasi kelembagaan tersebut (Winardi 2003). Menurut Mensah dan Antwi (2002), kelembagaan adalah aspek lain yang harus dihadirkan dalam komunitas masyarakat pesisir (nelayan), hal ini akan menjadikan lebih baik karena nelayan dilibatkan dalam asosiasi yang efektif. Di dalam partisipasinya dapat memberikan pengaruh dalam mendesain dan pelaksanaan kebijakan dalam program yang ditetapkan.

Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dilakukan oleh Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK). Kelembagaan ini terbentuk oleh adanya kolaborasi pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat setempat ( Co-Management). LPSTK ini bertugas untuk mengawasi kegiatan yang berdampak pada ekosistem terumbu karang sehingga tidak terjadi upaya pemanfaatan yang tidak bijaksana seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak maupun menggunakan racun sianida. Lembaga ini juga berfungsi mensosialisasikan kepada kelompok masyarakat dan masyarakat lainnya untuk sadar akan pentingnya terumbu karang (COREMAP II 2007).

2.3 Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut

(28)

14

dilakukan di dalam dan di sekitar DPL memiliki tiga dasar manfaat yang saling terkait, yakni 1) pemahaman yang lebih baik tentang DPL yakni bagaimana DPL dirancang dan memberikan biaya-manfaat secara ekologi dan sosial ekonomi, 2) pengetahuan yang lebih dalam tentang ekosistem laut dan aktivitas manusia yang dapat mempengaruhi ekositem, dan 3) mengembangkan dan menerapkan metode pengelolaan kelautan yang efektif dalam mencapai tujuan tertentu. Monitoring merupakan komponen integral dari pengelolaan kawasan laut, dengan monitoring dapat memberikan data yang diperlukan untuk mengevaluasi perubahan dalam ekosistem laut sebagai akibat dari pelaksanaan program konservasi, terutama daerah dikategorikan sebagai daerah perlindungan laut. Evaluasi sangat penting dilakukan untuk mengetahui tingkat efektivitas, meningkatkan desain, dan memberikan informasi tentang kemajuan kepada para pemangku kepentingan. Monitoring didasarkan pada evaluasi atribut spesifik ekosistem secara periodik dan kondisi sosial ekonomi saat ini atau relevan pada DPL (Houde et al. 2001).

DPL di Filipina dan Pasifik Selatan telah terbukti efektif dalam menjaga atau melindungi ekosistem terumbu karang, meningkatkan jumlah ikan di dalam daerah perlindungan dan meningkatkan produksi perikanan di sekitar DPL (Alcala 1988; Russ dan Alcala 1994). Daerah Perlindungan Laut juga efektif dalam meningkatkan hasil perikanan dibandingkan dengan pendekatan pengelolaan secara tradisional, DPL dapat lebih sederhana, lebih murah (cost efective) dan merupakan pendekatan yang lebih tepat, khususnya konservasi bagi ekosistem terumbu karang (Hasting dan Botsford 1999).

2.3.1 Indikator Efektivitas Daerah Perlindungan Laut

(29)

dari kelemahan dan kelebihan dari aksi pengelolaan yang diterapkan; 3) bagi pengelola dan pelaksana dapat menggunakan indikator ini sebagai perubahan rencana pengelolaan dan manajemen yang lebih adaptif; dan 4) memberi pengetahuan tentang dampak terhadap sumberdaya yang ada di daerah tersebut.

Menurut IUCN (1994) beberapa indikator untuk mengukur efektivitas pengelolaan dalam kawasan konservasi laut antara lain:

a. Kriteria ekologis

Keanekaragaman hayati sumberdaya ikan yang masih terjaga keaslian dengan baik.

Peningkatan kondisi ekologi, termasuk komunitas biologi dan lingkungan fisik dalam suatu sistem ekologi.

Perwakilan dari ekosistem tertentu produktif dan keunikan.

Keberadaan habitat, daerah pemijahan, alam lokal dan daerah migrasi jenis ikan yang memiliki nilai pentingnya konservasi.

b. Kriteria sosial-ekonomi

Dukungan dan komitmen dari masyarakat dan/atau kepentingan para pemangku kepentingan di sekitar kawasan.

Potensi konflik pemanfaatan ruang dan potensi ancaman polusi lingkungan lainnya, sedimentasi, pembangunan di kawasan pesisir.

Pemanfaatan sumberdaya yang tidak ramah lingkungan dari daerah yang relatif kecil.

Dukungan untuk adat dan kearifan lokal sejalan dengan norma-norma konservasi.

Nilai manfaat di bidang perikanan dan peluang pengembangan pariwisata perairan.

Nilai estetika dan kesehatan lingkungan yang dapat mendukung pelestarian sumberdaya ikan.

Kemudahan akses ke daerah-daerah seperti ketersediaan infrastruktur jalan dan transportasi.

(30)

16

berhubungan satu sama lain dan akibatnya dampak dari suatu indikator dapat mempengaruhi keberlanjutan baik secara langsung maupun tidak langsung (Adrianto et al. 2004). Indikator-indikator dapat digunakan pada sejumlah tingkatan yang berbeda untuk tujuan penelitian, pembuat kebijakan, dan sebagai sumber informasi bagi masyarakat umum. Dengan kata lain, tingkatan yang berbeda ini membutuhkan juga indikator-indikator sesuai dengan kebutuhannya. Untuk tujuan riset, menempatkan metodologi yang konsisten dan data yang bervariasi dan comparable, sedangkan pada pembuat kebijakan menekankan pada indikator pengembangan yang berkelanjutan, jelas, dan mudah dalam menentukan suatu strategi dan pengaplikasiannya (Hanley et al. 1999).

2.3.2 Indikator Ekologi Daerah Perlindungan Laut

Empat kategori informasi yang dimasukkan dalam program monitoring yakni 1) struktur komunitas biota laut (kelimpahan, struktur, keanekaragaman jenis, dan distribusi spasial); 2) habitat pemeliharaan atau pemulihan; 3) kualitas air atau kerusakan lingkungan (pencemaran); dan 4) atribut dampak sosial ekonomi. Tiap kategori-kategori ini sangat penting dalam program monitoring daerah perlindungan laut dan untuk menguji apakah daerah perlindungan efektif sesuai dengan tujuannya, maka perlu diadakan pemantauan di beberapa daerah yang melakukan program DPL. Idealnya, jenis metode survei harus cukup ketat untuk mendeteksi 10-25% perubahan biomassa, kepadatan, atau kelimpahan spesies yang ada pada daerah perlindungan laut (Houde et al. 2001). Sebagai contoh, dalam survei ekonomis biota snail di Kenya, ditemukan bahwa terjadi peningkatan populasi dari tujuh menjadi sembilan spesies yang ada pada daerah perlindungan laut (McClanahan 1995 in Houde et al. 2001).

(31)

lingkungan. Indikator yang relevan dengan daerah perlindungan meliputi oksigen terlarut dan nutrisi untuk menilai eutrofikasi, beban kontaminan untuk polutan kimia beracun, salinitas dan kekeruhan untuk menilai run off, dan klorofil untuk produktivitas primer. Penggunaan indikator tergantung pada lokasi daerah perlindungan. Di Florida Keys pemantauan yang dilakukan adalah memantau persentase tutupan karang hidup dan suhu air untuk mengevaluasi kondisi terumbu karang. Di daerah lain, mungkin ada yang lebih spesifik, monitoring spesies dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk perubahan dalam kualitas lingkungan (Houde et al. 2001).

2.3.3 Indikator Sosial-Ekonomi Daerah Perlindungan Laut

Keberlanjutan sosio-ekonomi berfokus pada tingkat makro, yaitu menjaga atau meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi jangka panjang. Kesejahteraan sosial-ekonomi ini didasarkan pada perpaduan indikator ekonomi dan sosial, dengan fokus pada manfaat berkelanjutan, distribusi manfaat antara pelaku perikanan, dan pemeliharaan sistem kelangsungan hidup secara keseluruhan dalam ekonomi lokal dan global. Keberlanjutan sosio-ekonomi paduan antara kriteria ekonomi (tingkat rent sumber daya) dan kriteria sosial (distribusi ekuitas), kriteria ini tidak terpisahkan juga pada tingkat kebijakan (Adrianto et al. 2004).

Indikator ekonomi dimonitoring akan memberikan informasi dalam menentukan bagaimana nilai perikanan dipengaruhi oleh daerah perlindungan laut atau bagaimana kerangka waktu daerah perlindungan laut dapat menguntungkan jika properti ekosistem ditingkatkan dan produktivitas perikanan diperbaiki baik dalam skala lokal maupun regional. Dalam kondisi sosial dan budaya, isu-isu kepuasan juga dapat dimonitoring, terutama melalui survei partisipasi dalam sektor perikanan. Hasil pemantauan (ekologi dan sosial ekonomi) harus teratur untuk memastikan bahwa nelayan mengetahui tentang kinerja daerah perlindungan laut (Houde et al. 2001).

2.3.3.1 Valuasi Ekonomi Sumberdaya

(32)

18

hilangnya ekosistem berarti hilangnya kemampuan ekosistem tersebut untuk menyediakan barang dan jasa. Beberapa kasus bahkan hilangnya ekosistem ini tidak dapat dikembalikan seperti sediakala, pilihan kebijakan pembangunan yang melibatkan ekosistem apakah akan dipertahankan seperti apa adanya, atau dikonversi menjadi pemanfaatan lain merupakan persoalan pembangunan yang dapat dipecahkan dengan menggunakan pendekatan valuasi ekonomi. Dalam hal ini, kuantifikasi manfaat dan kerugian (cost) harus dilakukan agar proses pengambilan keputusan dapat berjalan dengan memperhatikan aspek keadilan (Adrianto 2006).

Mempertahankan sebuah kawasan ekosistem sebagai kawasan preservasi, maka pengambil keputusan perlu mempertimbangkan biaya-biaya langsung yang diperlukan untuk menjaga kawasan tersebut ditambah dengan potensi hilangnya manfaat pembangunan, apabila kawasan tersebut di konversi. Total biaya (costs) inilah yang kemudian menjadi basis bagi pengambilan keputusan dan dapat didekati dengan metode valuasi ekonomi. Dengan demikian tujuan valuasi ekonomi pada dasarnya adalah membantu pengambil keputusan untuk menduga efisiensi ekonomi dari berbagai pemanfaatan yang mungkin dilakukan terhadap ekosistem yang ada di kawasan. Asumsi yang mendasari fungsi ini adalah bahwa alokasi sumberdaya yang dipilih adalah yang mampu menghasilkan manfaat bersih bagi masyarakat (net gain to society) yang diukur dari manfaat ekonomi dari alokasi tersebut dikurangi dengan biaya alokasi sumberdaya tersebut. Namun demikian, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam konteks nilai manfaat masyarakat bersih (net gain to society) tidak dipertimbangkan dalam term

economic efficiency. Oleh karena itu, faktor distribusi kesejahteraan (welfare distribution) menjadi salah satu isu penting bagi valuasi ekonomi yang lebih adil (Ledoux dan Tuner 2002 in Adrianto 2006).

2.3.3.2 Pendekatan Valuasi Ekonomi

(33)

sumberdaya yang berada di kawasan konservasi laut berbeda dengan perhitungan di luar kawasan konservasi laut. Untuk menghitung manfaat ekonomi dan pengelolaan berbasiskan konservasi ada beberapa metode, diantaranya adalah model valuasi ekonomi dan model bioekonomi. Kedua model tersebut bisa dilakukan penyesuaian-penyesuaian jika kondisi data tidak memadai. Selain untuk mengevaluasi kawasan konservasi, model valuasi ekonomi penting digunakan dalam perencanaan pembangunan konservasi laut, diantaranya adalah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya nilai dari sumberdaya alam yang ada di lokasi tersebut sebagai justifikasi bagi pembangunan kawasan konservasi tersebut dan juga sebagai bahan masukan bagi stakeholder apakah bernilai membangun suatu kawasan konservasi laut di kawasan tersebut (Fauzi dan Anna 2005).

Boquiren (2006) mengatakan bahwa pendekatan produktifitas merupakan teknik valuasi berdasarkan hubungan fisik antara lingkungan dengan produksi barang dan jasa dari pasar (market good and service). Teknik ini digunakan untuk melihat perbedaan output (produksi) sebagai dasar perhitungan jasa dari terumbu karang. Pendekatan produktifitas sering digunakan untuk mengukur nilai dari sektor perikanan dan pariwisata (surplus produsen) dan juga untuk menilai perubahan nilai dari output sebelum dan sesudah adanya suatu kejadian atau ancaman atau intervensi pengelolaan. Perubahan produksi dalam perikanan digunakan untuk mengkalkulasi hilangnya nilai dari sektor perikanan karena adanya ancaman dan gangguan terhadap terumbu karang seperti penambangan karang, atau bertambahnya nilai perikanan karena adanya intervensi pengelolaan seperti diberlakukannya kawasan konservasi laut (Cesar dan Chong 2004).

(34)

20

sumberdaya alam untuk menghasilkan aliran barang atau jasa menjadi terganggu (injured). Gangguan ini mengakibatkan perubahan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut, yang pada akhirnya akan mengubah pula perilaku pemanfaatannya. Perubahan perilaku pemanfaatan ini akan mengubah nilai dari sumberdaya alam tersebut (Adrianto 2006).

Menurut Grigalunas dan Congar (1995) in Adrianto (2006) pendekatan produktivitas sangat berguna apabila produk final dapat secara relatif mudah dinilai dan informasi tentang aliran barang dan jasa dari SDA yang dinilai relatif tersedia. Namun terkadang, konsumen tidak terlalu perhatian terhadap aliran barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, sehingga bagian ini menjadi yang terpenting dalam proses valuasi ekonomi dengan menggunakan pendekatan produktivitas ini. Pendekatan produktivitas memandang sumberdaya alam sebagai input dari produk akhir yang kemudian digunakan oleh masyarakat luas. Dengan demikian, langkah pertama dari pendekatan ini adalah menentukan aliran jasa dari sumberdaya alam yang dinilai kemudian dianalisis hubungannya dengan produk akhir yang dikonsumsi oleh masyarakat.

Barton (1994) in Adrianto (2006) menyatakan bahwa EOP diukur dengan menggunakan harga bayangan yang dihitung berdasarkan harga pasar yang telah dijustifikasi dengan menggunakan faktor distorsi market atau ekuitas sosial seperti harga FOB apabila komoditas final produknya diekspor, harga tenaga kerja oportunitas apabila menggunakan tenaga kerja domestik. Pendekatan EOP memerlukan sebuah pendekatan yang integratif antara flow ekologi dan flow ekonomi karena pendekatan ini lebih memfokuskan pada perubahan aliran fungsi ekologis yang memberikan dampak pada nilai ekonomi sumberdaya alam yang dinilai. Menurut Hufschmidt et al. (1983) in Adrianto (2006) memberikan beberapa langkah analisis integrasi ekologi-ekonomi dalam konteks metode EOP adalah mengidentifikasi input sumberdaya, output dan residual sumberdaya dari sebuah proyek; melakukan kuantifikasi aliran fisik dari sumberdaya; melakukan kuantifikasi keterkatian antar sumberdaya alam; melakukan kuantifikasi aliran dan perubahan fisik ke dalam terminologi kerugian dan manfaat ekonomi.

(35)

penggunaan terbaiknya (Green 1992 in Fauzi 2010). Konsep surplus konsumen merupakan selisih manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat dari mengkonsumsi sumberdaya alam dan jumlah yang dibayarkan untuk mengekstraksi sumberdaya alam. Surplus konsumen terjadi jika harga yang dibayarkan oleh konsumen terhadap suatu barang lebih tinggi dari harga pasarnya. Surplus konsumen akan terus naik jika konsumen terus membeli produk sampai unit tertentu dan menghentikannya, karena jika diteruskan konsumen tidak akan mendapatkan surplus lagi. Nilai utility dianggap bahwa ukuran kemampuan barang/jasa untuk memuaskan kebutuhan. Besar kecilnya nilai utility yang dicapai konsumen tergantung dari jenis barang atau jasa dan jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi. Dengan demikian, bila kepuasan semakin tinggi maka semakin tinggi nilai guna atau utility sumberdaya, sebaliknya semakin rendah kepuasan dari suatu barang maka utilitynya semakin rendah pula (http://www.ramaalessandro2. multiply. com/journal/item/2).

2.3.4 Indikator Kelembagaan Daerah Perlindungan Laut

Salah satu faktor penentu keberhasilan pengelolaan ekosistem terumbu karang adalah adanya sistem kelembagaan. Kelembagaan ini sangat penting peranannya, karena terdiri dari banyak pihak baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan adanya sistem kelembagaan, diharapkan rangkaian tugas, tanggungjawab dan wewenang masing-masing unit beserta jajarannya dapat disinergikan secara jelas dan tidak tumpang tindih guna mencapai tujuan pengelolaan secara efektif dan efisien. Dalam pengelolaan terumbu karang diperlukan keterlibatan pihak-pihak terkait (stakeholder) demi tercapainya misi dan tujuan sesuai yang diharapkan dari program yang diciptakan oleh pemeritah pusat untuk dilaksanakan di daerah. Kegiatan dan pengelolaan terumbu karang akan berhasil apabila berdasarkan keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergi oleh semua pihak yang terkait dilibatkan dalam program tersebut. Keberhasilan pelaksanaan program ditentukan antara lain oleh adanya kelembagaan di pusat maupun daerah (COREMAP II 2006).

(36)

22

jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya lautnya. Dua komponen penting keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat adalah 1) konsensus yang jelas bagi 3 stakeholder utama, yaitu pemerintah, masyarakat pesisir dan peneliti (sosial, ekonomi dan sumber daya) dan 2) pemahaman yang mendalam dari masing-masing stakeholder utama akan peran dan tanggung jawabnya dalam mengimplementasikan program pengelolaan berbasis masyarakat (Dahuri 2003; Nikijuluw 2002). Menurut Carter (1996), Community-based resource Management (CBRM) didefenisikan sebagai salah satu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan disuatu daerah terletak atau berada di tangan organisasi-organisasi (kelembagaan) dalam masyarakat di daerah tersebut.

Kegiatan kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang diperlukan beberapa rencana pengelolaan seperti sekretariat pengelola yang memberi dukungan dan mengkoordinasikan semua aspek usaha pengelolaan daerah perlindungan laut, termasuk penggalangan partisipasi dan stakeholder. Selain sekretariat sebagai penguatan kelembagaan, pelatihan-pelatihan bagi kelompok masyarakat perlu juga dilaksanakan seperti pelatihan administrasi, pelatihan budidaya laut, pelatihan selam, pelatihan sistem pengawasan ekosistem terumbu karang dan pelatihan rehabilitasi terumbu karang (transplantasi). Monitoring dan evaluasi kelembagaan perlu dilakukan untuk melihat sejauhmana keberhasilan penguatan kelembagaan telah diterapkan. Evaluasi dan monitoring ini dilakukan setiap bulan/tahun sehingga dapat diketahui perkembangannya untuk mencari solusi yang terbaik dalam mencapai tujuan kelembagaan yang diharapkan (Farchan dan I Nyoman 2008).

2.4 Evaluasi Efektivitas

(37)

kebijaksanaan dan rancangan program/kegiatan yang akan datang (DKP 2009). Hal yang sama dinyatakan oleh Adrianto (2007), tujuan dari evaluasi adalah analisis mendalam terhadap hasil dan keluaran dari program serta menentukan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan program, hasil dari evaluasi ini digunakan untuk perencanaan masa depan.

Pelaksanaan kegiatan evaluasi dapat dilakukan pada saat program/kegiatan telah dirancang namun belum diimplementasikan, pada saat program/kegiatan masih atau sedang berlangsung dimana indikator kerja diidentifikasi dan dikembangkan dengan tujuan program, dan pada saat program/kegiatan telah berakhir dan menunjukkan dampak (Adrianto 2007; DKP 2009). Menurut Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006) in Adrianto (2007) ada beberapa pendekatan evaluasi yang dapat dilakukan yaitu, pendekatan evaluasi kinerja, evaluasi proses, identifikasi kapasitas pengelolaan, dan evaluasi hasil (outcomes).

(38)
(39)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April dan September 2010di Desa Mattiro Labangeng Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, Kabupaten Pangkepyang terletak antara 04°48‟13.2”-04°50‟53.9” Lintang Selatan (LS) dan 119°23‟45.0”-119°26‟38.3” Bujur Timur (BT). Pengamatan biofisik perairan dilakukan di Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Mattiro Labangeng.Lokasi penelitian Desa Mattiro Labangeng ditampilkan pada Gambar 2.

3.2 Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut,

Tabel 1 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian

No Alat Penelitian Kegunaan/Keterangan

1 Floating drough (cm/dtk) mengukur kecepatan arus 2 Thermometer (°C) mengukur suhu perairan

3 Secchi disk(%) mengukur kecerahan

4 Depth gauge(m) mengukur kedalaman

5 Handrefraktometer(o/oo) mengukur salinitas perairan 6

Buku Identifikasi Karang dan Ikan Karang (Suharsono 2008; Kuiter dan Tonozuka 2001)

mengukur oksigen terlarut

dokumentasi gambar di bawah air pengukuran transek

panduan dalam wawancara

mengidentifikasi karang dan ikan karang

3.3 Jenis dan Sumber Data

(40)
(41)

Tabel 2 Jenis data primer dan sekunder

Kebutuhan data Jenis Data Sumber Data Ekologi

- Tutupan benthik

- Kelimpahan spesies ikan karang dan megabentos

- Frekuensi pelaksanaan pelatihan - Partisipasi stakeholder

primer/sekunder primer

insitudan koleksi

insitu

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Pengumpulan Data Responden

Penentuan responden dilakukan secara non-probability sampling, yakni

purposive samplingdan accidental sampling (Adrianto 2005). Metode ini dipilih dengan alasan bahwa sifat penelitian spesifik untuk pengelolaan DPL, sehingga responden yang menjadi sumber data adalah responden yang terkait dengan DPL Desa Mattiro Labangeng. Penentuan jumlah responden populasi nelayan representatif digunakan dengan rumus sebagai berikut (Hutabarat et al. 2009):

2……….……….………... (1)

Keterangan:

n = jumlah contoh yang akan diukur

p = proporsi kelompok yang akan diambil contoh-nya q = proporsi sisa dalam populasi contoh

Z= nilai tabel Z dari 1/2α, dimana α=0.05 maka Z=1.96

(42)

28

Jumlah penduduk Desa Mattiro Labangeng adalah 1028 jiwa (BPS Kabupaten Pangkep 2009) dan sebanyak 80 orang adalah populasi nelayan yang memanfaatkan daerah terumbu karang dan sekitar perairan Desa Mattiro Labangeng. Berdasarkan hasil rumus penentuan responden populasi nelayan dalam penelitian ini adalah sebanyak 28 responden. Pengambilan responden juga diambil berdasarkan kelompok masyarakat lainnya dengan tujuan mengetahui persepsi, sikap dan partisipasi terhadap keberadaan DPL.

3.4.2 Pengumpulan Data Komponen Ekologi 3.4.2.1 Data Kualitas Perairan

Parameter kualitas air yang dibutuhkan sebagai data pendukung diukur untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam tentang kondisi terkini DPL Desa Mattiro Labangeng. Parameter yang diukur diantaranya adalah kedalaman, kecerahan, arus, suhu, oksigen terlarut dan salinitas.

3.4.2.2 Data Komunitas Karang

Sampling data komunitas karang dilakukan 1 (satu) kali pada Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng. Pengamatan ini dilakukan secara langsung dengan metode Point Intercept Transek (PIT). Sebelum pemasangan transek garis, terlebih dahulu menentukan keberadaan posisi transek permanen yang dipasang sebelumnya oleh LIPI sebagai pemantauan dengan menggunakan

Global Positioning System (GPS) dan metode manta tow. Pada stasiun penelitian, transek garis dibentangkan sepanjang 25 meter dan diusahakan tetap berpedoman pada garis transek permanen yang ada. Pengamatan dilakukan dengan pengulangan sebanyak 2 kali dan mencatat komponen dasar komunitas karang pada tiap-tiap poin yang dilewati. Pencatatan data komunitas karang hidup dengan metode PIT dapat dilihat pada Gambar 3 (Manuputty dan Djuwariah 2009).

(43)

Biota lain dan komponen abiotik lainnya juga dicatat yang menyinggung transek garis (roll meter) (English et al. 1997). Penggolongan komponen dasar komunitas karang berdasarkan metode PIT dan kode-kodenya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3Komponen dasar metode PIT dan kodenya

Kategori Kode Keterangan

Dead Coral DC Karang mati yang masih berwarna putih

Dead Coral Alga DCA Karang mati yang warnanya berubah karena ditumbuhi alga filamen

Acropora AC Karang Acropora Non Acropora NA Karang Non-Acropora Soft Coral SC Karang bentuk lunak

Rubble R Patahan karang bercabang (mati)

Rock RK Substrat dasar yang keras (cadas)

Sand S Pasir

Silt SI Pasir Lumpuran yang halus

Alga A Jenis-jenis Makro Alga

Sumber: English et al. 1997; Manuputty dan Djuwariah 2009 3.4.2.3 Data Ikan Karang dan Megabentos

Pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode Underwater Visual Census (UVC), yaitu pengamatan yang dilakukan 1 (satu) kali di Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng pada transek garis permanen sepanjang 25 meter yang sebelumnya dipasang transek garis (roll meter) dengan pengulangan sebanyak 2 kali. Spesies ikan dan kelimpahannya dicatat pada 2.5 meter ke kiri dan ke kanan dari transek garis seperti yang ditampilkan pada Gambar 4 berikut (Manuputty dan Djuwariah 2009),

Gambar 4 Pengamatan ikan karang dengan metode UVC.

(44)

30

ikan target, kelompok ikan ini merupakan ikan yang memiliki ekonomis tinggi. Kelompok ikan target yang di sensus diantaranya terdiri dari famili Serranidae (Rock Cods), Lutjanidae (Snappers), Lethrinidae (Emperors), Haemulidae (Sweetlips), dan Scaridae (Parrotfishes); dan 3) ikan indikator merupakan jenis ikan karang yang mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem tersebut, diantaranya kelompok ikan Chaetodontidae dan Chelmonidae (English et al. 1997; Manuputty dan Djuwariah 2009).

Pengamatan organisme megabentos dilakukan dengan metode Reef Check Benthos, yaitu pengamatan diatas transek garis yang sama (25 meter) dengan pengulangan sebanyak 2 kali dan mencatat organisme bentos dan kelimpahannya pada lebar 1 meter ke kanan dan ke kiri dari garis transek. Megabentos yang dicatat dan diamati sepanjang transek adalah lobster, udang karang, bintang berduri, bulu babi, bulu babi berbentuk pensil, teripang, kima kecil (<20 cm), kima besar (>20 cm), lola, dan karang jamur. Mekanisme pengamatan megabentos disajikan pada Gambar 5 berikut (Manuputty dan Djuwariah 2009),

Gambar 5 Pengamatan megabentos dengan metode Reef Check Benthos. 3.4.3 Pengumpulan Data Sosial-Ekonomi dan Kelembagaan

Metode pengumpulan data sosial-ekonomi dan kelembagaan dilakukan beberapa tahap yakni observasi, semi-struktur wawancara dan survei (Pollnac et al. 2000).

Observasi dilakukan untuk mengamati langsung aktivitas masyarakat setempat yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya dan pengelolaan terumbu karang. Observasi diharapkan dapat memberikan informasi yang relevan tentang aktivitas masyarakat, stakeholder, dan kultur budaya.

(45)

kualitatif, identifikasi penduduk lokal dan informasi dari stakeholder-stakeholder yang ada.

Tahap survei merupakan kegiatan lapangan dengan menggunakan kuisioner yang telah dirancang dan terstruktur dengan baik. Pertanyaan yang akan diajukan adalah pertanyaan-pertanyaan khusus terkait pengelolaan Daerah Perlindungan Laut.

Kegiatan riil dilapangan pada penelitian ini adalah dengan mengunjungi semua aktifitas masyarakat terkait pemanfaatan sumberdaya yang ada di desa tersebut, termasuk ikut dalam penangkapan ikan di wilayah perairan desa. Wawancara terbuka dan kuisioner dilakukan dari rumah ke rumah hingga mengumpulkan beberapa nelayan dan stakeholder di kantor desa guna mencari informasi tentang keberadaan DPL.

3.5 Analisis Data

3.5.1 Analisis Data Ekologi

3.5.1.1 Persentase Tutupan Karang

Persentase penutupan karang dihitung berdasarkan metode panduan PIT (Manuputty dan Djuwariah 2009) sebagai berikut:

... (2) Keterangan:

C = Persen tutupan karang Ni = Jumlah tiap komponen N = Total komponen

Kriteria persentase penutupan karang hidup berdasarkan Gomez dan Yap (1988) adalah kriteria buruk dengan kisaran 0.0% - 24.9%; kriteria sedang pada kisaran 25% - 49.9%; kriteria baik dengan kisaran 50% -74.9%; dan kriteria sangat baik dengan kisaran 75% - 100%.

3.5.1.2 Kelimpahan Ikan Karang dan Megabentos

Kelimpahan jenis ikan karang dan megabentos dapat dihitung dengan menggunakan rumus Brower et al. (1990) berikut:

(46)

32

Keterangan: Ni = Kelimpahan ikan atau megabentos (individu/m2) nij = Jumlah total individu dari spesies ke-i

A = Luas total daerah pengambilan contoh (m2)

Penentuan kriteria kelimpahan ikan karang di Daerah Perlindungan Laut (DPL) menurut COREMAP II didasarkan pada kelimpahan ikan karang kelompok Ikan Target (Manuputty dan Djuwariah 2009). Kelompok Ikan Target dapat dikategorikan sebagai berikut:

“Sedikit” apabila jumlah individu Ikan Target sepanjang transek <25 ekor, “Sedang” apabila jumlah individu Ikan Target sepanjang transek >25-50 ekor, “Banyak” apabila jumlah individu Ikan Target sepanjang transek >50 ekor.

3.5.1.3 Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman Komunitas Ikan Karang dan Megabentos

a. Indeks Keanekaragaman

Indeks Keanekaragaman Shannon (H‟) didapatkan berdasarkan rumus Ludwig dan Reynolds (1988), Magurran (2004) di bawah ini:

………. (4)

dimana nilai pi diperoleh dengan menggunakan rumus:

……….. (5)

Keterangan: H' = Indeks keanekaragaman Shannon

s = Jumlah jenis

pi = Proporsi jumlah individu ke-i (n/N)

ni = Banyaknya individu spesies ke-i N = Total individu seluruh spesies ln = Log natural

b. Indeks Keseragaman

Rasio keanekaragaman hasil pengamatan terhadap keanekaragaman maksimum disebut sebagai ukuran keseragaman, dengan rumus sebagai berikut (Magurran 2004):

' H

(47)

Keterangan: E = Indeks keseragaman

'

H = Indeks keanekaragaman Shannon

Hmaks = Keanekaragaman maksimum

3.5.2 Analisis Data Sosial-Ekonomi dan Kelembagaan 3.5.2.1 Analisis Deskriftif-Kualitatif

Analisis ini digunakan untuk memaparkan data yang relevan terhadap keefektifan Daerah Perlindungan Laut yang telah diterapkan. Data dianalisis dengan perhitungan sederhana, yakni perhitungan dalam bentuk indeks, total penjumlahan dan persentase dari beberapa indikator yang ada. Hasil dari perhitungan ini digambarkan dalam bentuk grafik yakni pie charts, tabel, dan diagram. Perbandingan juga dilakukan pada beberapa indikator untuk melihat perbedaan terhadap pemanfaatan dan pengelolaan DPL yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Data kuantitatif ini juga dibandingkan dengan data sekunder yang dikumpulkan dari instansi-instansi terkait untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan mencegah adanya bias data (Pollnac et al. 2000).

3.5.2.2 Analisis Gini RatioIndeks

Gini Ratio Indeks (GRI) yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk melihat distribusi pendapatan. Data yang dibutuhkan dalam indeks ini adalah jumlah rumahtangga atau responden dan rata-rata pendapatan atau pengeluaran rumahtangga yang sudah dikelompokkan menurut kelasnya. Rumus untuk menghitung Gini Ratio Indeks (Putong 2010) sebagai berikut:

……… (7)

Keterangan:

GRI = Gini Ratio Indeks

fi = Frekuensi responden dalam kelas pendapatan ke-i

Fci = Frekuensi kumulatif dari total pendapatan dalam kelas pendapatan ke-i

Fci-1 = Frekuensi kumulatif dari total pendapatan dalam kelaspendapatan ke (i-1)

Gambar

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.
Tabel 1 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
Gambar 2 Peta sampling biofisik dan sosial-ekonomi Desa Mattiro Labangeng.
Tabel 2 Jenis data primer dan sekunder
+7

Referensi

Dokumen terkait

Panitia/ Pokja ULP masih bisa memberikan penjelasan selama 3 jam setelah masa Aanwijzing berakhir Untuk menjawab pertanyaan cukup dengan menyebutkan I D Peserta.

Pendekatan desain yang diterapkan pada penelitian tugas akhir ini adalah mengeksplorasi karakter material karagenan sampai sejauh mana perlakuan tertentu dapat diaplikasikan

Populasi dalam penelitian ini adalah semua produk alas kaki yang dihasilkan di Koperasi Kerajinan Keparakan Mandiri Sejahtera

kesehatan lahir batin,memiliki pemikiran, perkataan, tindakan baik yang terasah, terasah oleh budaya luhur peninggalan nenek moyang, budaya malu yang

Penelitian menggunakan desain Studi Komparasi pendekatan cross sectional.Terdiri dari dua kelompok sampel yaitu yang diberikan ASI Eksklusif berjumlah 16 responden dan

30 Tahun 2010 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, untuk itu judul skripsi ini adalah “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah

Peraturan ini dipertegas pada Pasal 87 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa “Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUMDes” juncto Pasal

Tampilan input bank berfungsi untuk melakukan pengolahan data bank mulai dari tambah data, ubah data dan hapus data bank. Bentuk halaman input bank dapat