• Tidak ada hasil yang ditemukan

IX KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Analisis Efisiensi Teknis

6.1.1. Analisis Efisiensi Teknis Seluruh Varietas

Analisis ini dilakukan pada 77 decision making unit dengan menggunakan data seperti pada lampiran 1. Data pada lampiran 1 yang digunakan hanya data hasil panen sebagai keluaran (output) (Y), dan variabel masukan (input) yang digunakan adalah pupuk (X1), bibit (X2), tenaga kerja luar keluarga (X3), tenaga kerja dalam keluarga (X4), tenaga kerja mesin (X5), dan luasan lahan (X6). Data lain yang terdapat pada lampiran 1 digunakan dalam memberikan penjelasan hasil keluaran dari nilai efisiensi teknis usahataninya.

Analisis ini dilakukan dengan menggunakan data keseluruhan decision making unit dengan seluruh varietas yang dibudidayakan. Varietas adalah salah satu faktor yang memiliki dampak terhadap produksi dan setiap varietas memiliki karakteristik yang berbeda. Perbedaan varietas dapat menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat efisiensi yang dapat dicapai. Penilaian efisiensi terhadap keseluruhan varietas dilakukan dangan mengasumsikan variabel lain seperti karakteristik lahan, cuaca, dan masukan (input) lain yang digunakan dapat

55 terstandardisasi. Hal lain yang mendukung pengukuran efisiensi teknis dengan menggunakan varietas yang berbeda adalah berdasarkan keterangan dari decision making unit yang mengatakan varietas-varietas yang digunakan oleh decision making unit yang diamati tidak memiliki rentang perbedaan yang besar dari sisi penggunaan masukan (input) maupun keluaran yang dihasilkan.

Hasil efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas terlihat pada gambar 2. Berdasarkan olahan menggunakan software DEAP 2.1, terdapat 12 decision making unit yang mencapai efisiensi teknis di Desa Kertawinangun pada musim kering tahun 2011. Terdapat variasi varietas yang digunakan oleh decision making unit. Varietas yang masuk ke dalam usahatani yang efisien adalah varietas Denok, Kintani 1, SMC, dan Mekongga.

Gambar 2. Efisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah Desa Kertawinangun, Kabupaten Indramayu Tahun 2011

Berdasarkan gambar 2, terdapat decision making unit yang membudidayakan varietas Ciherang, namun tidak ada yang mencapai efisiensi teknis. Hal ini sesuai dengan pendapat para decision making unit yang mengatakan bahwa varietas Ciherang sebenarnya kurang sesuai untuk dibudidayakan di daerah tersebut. Sebelum tahun 2011 hampir seluruh decision

56

making unit membudidayakan varietas Ciherang. Akan tetapi pada tahun 2009- 2010, hampir seluruh decision making unit yang membudidayakan varietas Ciherang mengalami gagal panen. Karena itu, pada musim kering tahun 2011 sebagian besar decision making unit mencoba benih varietas lain seperti Denok, Mekongga, Kintani, dan SMC. Alasan masih ada decision making unit yang membudidayakan varietas Ciherang adalah varietas tersebut yang dianjurkan pemerintah dan adanya bantuan benih varietas Ciherang. Meskipun terdapat pembagian benih dari pemerintah, hanya sedikit decision making unit yang mau menggunakan benih tersebut dengan alasan trauma menggunakan varietas Ciherang.

Diduga hal yang menyebabkan terdapat beberapa varietas yang mencapai efisiensi teknis adalah karakteristik varietas-varietas tersebut yang tidak jauh berbeda. Berdasarkan wawancara dengan decision making unit, decision making unit mengatakan produktivitas dari varietas Denok dan Mekongga tidak jauh berbeda, begitu juga dengan kebutuhan masukan (input). Sedangkan untuk varietas SMC dan Kintani 1, berdasarkan wawancara dengan decision making unit yang menggunakan varietas tersebut, decision making unit ini baru pertama kali menggunakan varietas tersebut dan menyamaratakan pemberian masukan (input) baik untuk varietas SMC, Kintani 1, maupun untuk varietas lain yang dibudiadayakan.

Hasil efisiensi teknis dari decision making unit di Desa Kertawinangun terlihat merata. Hal ini dikarenakan terdapat banyak masukan (input) yang sudah standar kuantitasnya digunakan oleh decision making unit sehingga hasil akhir yang diperoleh tidak terlalu berbeda jauh. Terdapat kemungkinan hanya terdapat beberapa penggunaan variabel masukan (input) yang memiliki sebaran yang luas. Diduga variabel yang memiliki sebaran yang luas adalah penggunaan pupuk. Sedangkan variabel yang memiliki masukan (input) yang cukup terstandardisasi adalah tenaga kerja.

Variabel pupuk diduga memiliki sebaran yang lebar sehingga tidak terstandardisasi. Hal ini disebabkan secara umum, terdapat tiga jenis pupuk yang digunakan oleh decision making unit, yaitu pupuk Urea, TSP, dan Posca. Seluruh

57

decision making unit menggunakan pupuk Urea dengan kuantitas yang sangat bervariasi untuk setiap hektarnya. Sedangkan untuk kedua pupuk lain, tidak semua decision making unit menggunakan pupuk tersebut. Seluruh decision making unit menggunakan minimal dua jenis pupuk, yaitu kombinasi antara Urea dengan salah satu dari TSP atau Posca. Terdapat juga beberapa decision making unit yang menggunakan ketiga pupuk tersebut. Perbedaan penggunaan pupuk dan kuantitas yang digunakan diduga mempengaruhi hasil yang diperoleh dan menjadikan variabel pupuk sebagai salah satu variabel yang tersebar sehingga mempengaruhi nilai efisiensi teknis yang dicapai.

Variabel yang menjadi masukan (input) dengan kuantitas standar diantaranya penggunaan tenaga kerja mesin traktor untuk mengolah lahan. Karena menggunakan mesin dan hanya ada sedikit traktor untuk mengolah lahan, maka waktu pengerjaan dan biaya menjadi standar bagi decision making unit di daerah tersebut. Selain itu karena tenaga penggerak utama berupa mesin, sehingga produktivitas dari mesin itu sendiri dapat lebih terstandardisasi.

Variabel masukan (input) lain yang memiliki standar adalah penggunaan tenaga kerja untuk penanaman. Seluruh decision making unit menggunakan sistem borongan untuk tenaga kerja yang mengerjakan penanaman. Sebenarnya

decision making unit tidak terlalu memperhatikan kuantitas tenaga kerja yang digunakan karena berapapun tenaga kerja yang bekerja, decision making unit

hanya membayar sejumlah tertentu sesuai dengan perjanjian. Akan tetapi variabel ini menjadi standar karena pada kenyataannya hanya ada beberapa kelompok buruh tanam. Setiap kelompok memiliki jumlah anggota tertentu yang akan bekerja untuk menanam padi. Jumlah anggota kelompok buruh tani untuk pekerjaan penanaman berkisar antara 15 hingga 25 orang. Karena itu, meskipun penggarap lahan tidak membatasi standar penggunaan tenaga kerja penanaman, akan tetapi kelompok buruh tani penanam padi telah membuat standar jumlah kelompok tersendiri sehingga pada akhirnya penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan penanaman menjadi lebih terstandar. Usahatani yang membutuhkan lebih banyak buruh tani adalah usahatani yang menggunakan sistem tanam jajar

58 sulit diterapkan sehingga membutuhkan tenaga kerja lebih banyak. Terdapat kurang dari sepuluh decision making unit yang menggunakan sistem jajar legowo. Penggunaan tenaga kerja panen juga menjadi variabel masukan (input) yang memiliki standar tersendiri. Meskipun tidak ada aturan untuk menyamakan penggunaan tenaga kerja, akan tetapi hanya terdapat tiga sistem panen di daerah tersebut, sistem pertama adalah sistem grabag. Sistem ini banyak digunakan oleh

decision making unit dengan alasan biaya yang murah. Sistem ini lebih hemat baik dari segi penggunaan tenaga kerja maupun upah tenaga kerja panen dibandingkan dengan sistem gebod. Sistem kedua adalah sistem gebod. Sistem

gebod lebih padat tenaga kerja dibandingkan dengan sisten grabag. Hal ini dikarenakan pada sistem gebod, seluruh kegiatan sejak memotong batang padi hingga merontokkan biji padi dilakukan secara manual sehingga sangat padat tenaga kerja. Sedangkan pada sistem grabag, tenaga kerja manusia yang digunakan hanya untuk memotong batang padi dan perapihan hasil panennya, sedangkan yang merontokkan biji padi dilakukan oleh mesin grabag.

Berdasarkan sebaran nilai efisiensi teknis yang diperoleh seluruh decision making unit seperti pada tabel 10, sekitar 50 persen decision making unit memiliki capaian efisiensi teknis dibawah 0,75. Hal ini berarti masih banyak decision making unit yang perlu mengevaluasi usahataninya dan mencari penyebab tinggginya inefisiensi. Hal ini juga dapat menjadi referensi dan menunjukan masih terdapat kemungkinan untuk meningkatkan produksi maupun memperbaiki kombinasi penggunaan masukan (input) oleh decision making unit sehingga dapat mencapai efisiensi teknis. Diharapkan decision making unit yang belum mencapai efisiensi teknis dapat belajar dari decision making unit yang telah mencapai efisiensi teknis untuk dapat membantu usahataninya agar dapat mencapai tingkat efisiensi teknis.

Hasil dari efisiensi teknis usahatani padi sawah ini memiliki rataan 0,712. Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Brazdik (2006) yang menganalisis efisiensi teknis di Jawa Barat maka dapat disimpulkan nilai efisinsi teknis relatif yang diperoleh berada pada kisaran yang sama. Terdapat banyak perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Brazdik (2006). Brazdik

59 (2006) menggunakan data panel selama enam musim tanam berupa data sekunder dari Kementerian Pertanian. Hal yang menarik pada Brazdik (2006) adalah penulis menetapkan decision making unit yang tersebar. Karakteristik decision making unit yang menjadi bahan pengamatan heterogen, baik ketinggian, sarana dan prasarana, dan sebagainya. Brazdik (2006) juga melakukan eliminasi terhadap beberapa data yang dianggap menjadi pencilan sehingga dapat menyebabkan kesalahan pada hasilnya. Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih mendekati nilai efisiensi relatif di daerah yang diamati karena penulis menggunakan berbagai variabel seperti karakteristik lahan, pengairan, dan lokasi yang berada di tempat yang sama sehingga lebih tepat untuk dibandingkan. Selain itu data yang digunakan berupa data primer sehingga lebih rinci dan akurat karena bersumber langsung dari decision making unit yang melakukan usahataninya. Tidak ada pengeliminasian data pencilan pada perhitungan efisiensi teknis dalam penelitian ini.

Tabel 10. Sebaran Decision Making Unit Berdasarkan Tingkat Pencapaian Efisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah di Desa Kertawinangun Tahun 2011

Nilai Efisiensi Jumlah Decision Making Unit

(Orang) Persentase (%) 0 < x ≤ 0,1 2 2,6 0,1 < x ≤ 0,2 0 0,0 0, 2 < x ≤ 0,3 1 1,3 0, 3 < x ≤ 0,4 2 2,6 0, 4 < x ≤ 0,5 3 3,9 0, 5 < x ≤ 0,6 11 14,3 0, 6 < x ≤ 0,7 19 24,7 0, 7 < x ≤ 0,8 15 19,5 0, 8 < x ≤ 0,9 5 6,5 0, 9 < x ≤ 1 19 24,7 Jumlah 77 100

60 Dibandingkan dengan penelitian lain yang menganalisis efisiensi teknis padi di negara lain, hasil efisiensi teknis relatif di Desa Kertawinangun yang dilakukan penulis berada pada nilai rata-rata yang relatif sama. Penelitian efisiensi teknis padi yang dilakukan di negara lain yang dibandingkan dalam hal ini adalah penelitian Krasachat (2004) yang menganalisis efisiensi teknis padi sawah di Thailand sebesar 0,77, dan Dhungana et al. (2004) yang menganalisis efisiensi teknis padi di Nepal dengan nilai rata-rata efisiensi 0,76.

Penelitian yang dilakukan penulis memiliki beberapa kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Krasachat (2004) dan Dhungana et al. (2004). Seluruh penelitian ini berusaha mengamati usahatani yang memiliki karakteristik yang homogen. Karakteristik yang diperhatikan adalah kesamaan karakteristik lahan seperti topografi, curah hujan, dan tipe lahan. Pengambilan decision making unit dengan karakteristik yang sama dilakukan dengan tujuan agar nilai efisiensi teknis yang dihasilkan dapat mendekati kenyataan dilapangan. Hal lain yang dilakukan untuk menghasilkan nilai efisiensi yang baik juga digunakan data primer dengan harapan adanya kesalahan data karena penggunaan data sekunder dapat diminimalisasi.

Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian efisiensi teknis padi pada Dhungana et al. (2004) dan Krasachat (2004) adalah kedua penelitian tersebut tidak menggunakan perbandingan pada varietas yang sama. Kedua penelitian tersebut lebih mengutamakan persamaan faktor produksi seperti karakertistik petani dan karakteristik lahan. Kedua penelitian tersebut mengabaikan kemungkinan adanya pengaruh perbedaan varietas yang digunakan terhadap capaian efisiensi. Karena itu, dapat dikatakan penelitian ini memiliki kelebihan memperhatikan adanya kemungkinan varietas mempengaruhi nilai efisiensi sehingga melakukan analisis efisiensi pada setiap varietasnya.

Perbedaan lain antara penelitian ini dibandingkan dengan Dhungana et al.

(2004) dan Krasachat (2004) adalah penelitian ini tidak memasukan variabel pestisida seperti yang telah dijelaskan pada awal bab ini. Akan tetapi penulis berpikiran bahwa penulis lebih tepat untuk tidak menggunakan variabel pestisida dibandingkan dengan memasukan variabel pestisida sebagai nilai dari perkalian

61 antara nominal harga dengan kuantitas pestisida. Penelitian Dhungana et al.

(2004) dan Krasachat (2004) menggunakan variabel harga dari pestisida yang digunakan usaatani sebagai salah satu variabel masukan (input).