• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) Desa Kertawinangun Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) Desa Kertawinangun Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu"

Copied!
247
0
0

Teks penuh

(1)

1

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa (BPS, 2010). Peningkatan jumlah penduduk akan mengakibatkan peningkatan jumlah permintaan tanaman pangan terutama padi menyebabkan diperlukan upaya peningkatan produksi padi. Peningkatan produksi padi dapat dilakukan dengan meningkatkan luas produksi atau peningkatan produktivitas. Salah salah satu alternatif yang dapat dilakukan sebagai upaya peningkatan produksi adalah melalui peningkatan produktivitas. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya introduksi teknologi dan peningkatan efisiensi. Introduksi teknologi dapat dilakukan dengan pengadaan program-program pertanian oleh pemerintah seperti program intensifikasi, BIMAS, dan lain sebagainya.

Berdasarkan laporan penelitian Brazdik (2006) petani di daerah Jawa Barat, program intenfikasi pertanian BIMAS memiliki dampak peningkatan produksi yang berbeda-beda sehingga untuk meningkatkan produksi diperlukan berbagai formulasi dan penyesuaian dengan karakteristik petani di suatu daerah. Daryanto, et al. (2002) dalam Brazdik (2006) juga menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara efisiensi teknis dengan partisipasi petani program intensifikasi pertanian sehingga program intensifikasi gagal meningkatkan efisiensi teknis petani di Jawa Barat. Penelitian Dhungana et al. (2004) menyatakan di negara berkembang, inovasi teknologi dan atau introduksi teknologi baru yang lebih efisien dibutuhkan untuk meningkatkan produksi, akan tetapi terdapat masalah seperti cultural constrains yang menyebabkan teknologi tersebut tidak dapat diterapkan. Karena itu peningkatan atau perbaikan efisiensi usahatani menjadi alternatif untuk meningkatkan produksi padi.

(2)

2 mengalami peningkatan, namun peningkatannya tidak terlalu signifikan, yaitu antara 0,1 hingga 5,5 persen. Produksi dan produktivitas padi berdasarkan provinsi di Indonesia dapat terlihat pada tabel 1. Provinsi Jawa Barat adalah salah satu lumbung padi nasional. Sebagai sentra penghasil padi nasional, Provinsi Jawa Barat memiliki peran penting dalam menjaga pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri. Provinsi Jawa Barat tahun 2003 hingga 2010 memiliki kontribusi sekitar 16 hingga 17 persen dari total produksi padi sawah nasional (BPS 2012)1

1 [BPS]. 2012. Tabel Luas Panen, Produksi, Produktivitas Padi Seluruh Provinsi 2005-2010.

. Tahun 2005 hingga 2010 produktivitas provinsi ini berada diatas rataan produktivitas nasional akan tetapi masih dibawah produktivitas beberapa provinsi lain seperti Jawa Timur.

Kabupaten Indramayu tahun 2005 hingga 2009 adalah kabupaten yang memiliki luas tanam dan produksi padi sawah terbesar di Provinsi Jawa Barat. Jumlah produksi pada rentang tahun yang sama menyumbang sekitar 11 persen dari total produksi padi sawah Jawa Barat dan merupakan daerah penghasil terbesar padi di Jawa Barat. Informasi luas dan produktivitas padi sawah di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada tabel 2.

(3)

3 Tabel 1. Luas Panen dan Produksi Padi Sawah Menurut Provinsi di Indonesia

2009-2010

No. Provinsi Luas Panen (ha) Produksi (Ton) 2009 2010 *) 2009 2010 *) 1 Nangroe Aceh

Darussalam 352.006 347.966 1.539.448 1.571.130 2 Sumatera Utara 718.583 702.403 3.382.066 3.422.734 3 Sumatera Barat 432.147 450.368 2.088.055 2.188.709

4 Riau 127.522 131.263 478.343 507.37

5 Kepulauan Riau 131 375 403 1.202

6 Jambi 127.981 124.577 556.007 537.505

7 Sumatera Selatan 679.243 690.25 2.945.914 3.041.034 8 Kepulauan Bangka

Belitung 2.793 3.975 9.733 14.069

9 Bengkulu 120.882 121.877 484.594 491.901 10 Bandar Lampung 506.596 528.328 2.487.314 2.623.849 11 DKI Jakarta 1.974 2.015 11.013 11.164 12 Jawa Barat 1.825.346 1.905.080 10.924.508 11.271.677 13 Banten 332.776 368.009 1.740.951 1.915.995 14 Jawa Tengah 1.663.024 1.734.647 9.380.495 9.859.955 15 DI Yogyakarta 105.613 106.907 662.368 646.816 16 Jawa Timur 1.787.354 1.842.445 10.758.398 11.126.704 17 Bali 149.269 151.208 876.692 867.185 18 Nusa Tenggara Barat 316.12 329.594 1.653.811 1.620.666 19 Nusa Tenggara Timur 127.896 111.652 464.703 405.509 20 Kalimantan Barat 331.922 334.452 1.131.806 1.159.012 21 Kalimantan Tengah 133.065 146.964 420.407 451.762 22 Kalimantan Selatan 444.391 417.944 1.823.652 1.683.163 23 Kalimantan Timur 92.383 96.156 421.605 450.789 24 Sulawesi Utara 103.887 107.52 522.566 554.031 25 Gorontalo 47.733 45.37 256.217 252.243 26 Sulawesi Tengah 201.877 195.603 929.791 912.372 27 Sulawesi Selatan 853.676 877.458 4.293.918 4.337.946 28 Sulawesi Barat 60.731 72.127 298.79 352.512 29 Sulawesi Tenggara 87.274 99.829 377.677 429.15

30 Maluku 18.545 17.779 83.764 77.532

31 Maluku Utara 10.631 12.825 39.753 48.503

32 Papua 24.176 24.661 91.986 95.964

33 Papua Barat 9.531 8.969 34.475 32.904 Sumber : BPS dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan

(4)

4 Tabel 2. Produksi dan Luas Panen Padi Sawah Menurut Kabupaten dan Kota di

Jawa Barat Tahun 2005-2006

No Kabupaten/Kota

Produksi (Ton) Luas Panen(hektar)

Tahun Tahun

2008 2009 2008 2009

1 Bogor 477.344 493.779 81.415 82.697

2 Sukabumi 619.987 734.011 113.211 124.284

3 Cianjur 672.368 723.695 120.268 127.527

4 Bandung 379.399 419.542 64.123 68.741

5 Garut 643.981 705.711 106.336 110.845

6 Tasikmalaya 634.810 695.905 103.119 111.494

7 Ciamis 580.452 668.237 96.531 105.464

8 Kuningan 311.728 338.129 53.424 57.967

9 Cirebon 417.724 507.377 73.007 85.538

10 Majalengka 491.336 561.173 89.026 94.960

11 Sumedang 380.243 412.422 66.676 69.362

12 Indramayu 1.006.927 1.290.035 179.330 218.392

13 Subang 974.552 1.098.210 167.539 182.200

14 Purwakarta 194.382 209.751 35.062 36.059

15 Karawang 1.075.933 1.058.267 180.930 179.251

16 Bekasi 563.511 618.113 101.513 104.823

17 Bandung Barat 169.647 214.702 30.600 35.877

18 Kota Bogor 7.492 7.112 1.273 1.269

19 Kota Sukabumi 19.998 22.687 3.495 3.625

20 Kota Bandung 12.547 10.635 2.244 1.810

21 Kota Cirebon 2.643 3.565 464 624

22 Kota Bekasi 9.930 5.481 1.798 913

23 Kota Depok 4.441 4.585 753 788

24 Kota Cimahi 3.915 2.993 668 504

25 Kota Tasik 64.656 80.772 11.829 14.222

26 Kota Banjar 37.222 37.679 6.260 6.110

Jumlah 9.757.168 10.924.508 1.690.864 1.825.346 Sumber:Diperta Jabar (2011) 2

(5)

5 Kecamatan Kandanghaur adalah salah satu sentra penghasil padi di Provinsi Jawa Barat (Diperta Jabar 2010)3

3

. Seluruh petani padi di Kecamatan Kadanghaur membudidayakan padi dengan menggunakan sawah (lahan basah). Hal ini dikarenakan adanya saluran irigasi yang baik sehingga menunjang petani untuk melakukan hal tersebut. Selain itu, padi sawah memiliki produksi yang lebih tinggi dan membutuhkan perawatan dan penggunaan faktor produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan padi kering atau padi gogo. Selain itu, padi sawah lebih tahan terhadap hama dan penyakit. Faktor-faktor tersebut menyebabkan petani di Kecamatan Kandanghaur membudidayakan padi sawah.

Desa Kertawinangun adalah salah satu desa di Kecamantan Kandanghaur yang memiliki luas sawah 480 hektar atau 7,79 persen dari total luas sawah di Kecamatan Kandanghaur. Berdasarkan tabel 3, terlihat bahwa petani padi sawah di Desa Kertawinangun berdasarkan sumber pengairan yang digunakan adalah satu-satunya desa di Kecamatan Kandanghaur yang seluruh area persawahannya menggunakan irigasi secara teknis. Hal ini berdampak kepada produktivitas padi di desa tersebut menjadi kedua tertinggi dibandingakan dengan desa lain di Kecamatan Kandanghaur. Terlihat pada tabel 4 bahwa Desa Kertawinangun memiliki hasil panen dan produktivitas padi sawah yang tinggi. Tahun 2010 produktivitas padi sawah menurun dibandingkan dengan desa lain. Tahun sebelumnya Desa Kertawinangun menempati posisi produktivitas tertinggi dibandingkan dengan desa lainnya.

Keseragaman sumber pengairan dan letak kawasan persawahan yang ada disuatu daerah menyebabkan Desa Kertawinangun dijadikan objek penelitian efisiensi teknis padi sawah menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis.

Hal ini disebabkan kesamaan sumber perngairan dan letak lahan yang berada dalam satu hamparan menunjukan bahwa seluruh responden yang diamati memiliki faktor produksi berupa karakteristik lahan yang sama.

(6)

6 Tabel 3. Luas Areal Pesawahan menurut Jenis Pengairan di Kecamatan

Kandanghaur Tahun 2010

No Desa

Irigasi Teknis (hektar)

Irigasi Setengah

Teknis (hektar)

Sederhana (hektar)

Tadah Hujan (hektar)

Jumlah (hektar)

1 Curug 427,8 17,1 0 0 444,9

2 Pranti 293,7 6,3 0 0 300

3 Wirakanan 374,3 132,5 0 0 506,8

4 Karang Mulya 0 92 131 124 347

5 Karanganyar 120 146,2 360,2 0 626,4

6 Wirapanjunan 40,5 82,2 81,2 40,1 244

7 Perean Girang 272 611 124 0 1007

8 Bulak 196 204,7 119,7 0 520,4

9 Ilir 285 200 110,1 0 595,1

10 Soge 386,1 0 37 0 423,1

11 Eretan Wetan 0 4,4 64,7 3,1 72,2

12 Eretan Kulon 250 116,4 0 0 366,4

13 Kertawinangun 472,5 0 0 0 472,5

Jumlah 3117,9 1612,8 1027,9 167,2 5925,7

(7)

7 Tabel 4. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Di Kecamatan

Kandanghaur Tahun 2010

No Desa Luas Panen

(hektar)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/hektar)

1 Curug 525 5.722,5 5,50

2 Pranti 300 3.333,8 5,30

3 Wirakanan 990 5.306,4 5,40

4 Karang Mulya 465 2.425,0 5,20

5 Karanganyar 1.358 6.036,3 4,40

6 Wirapanjunan 420 1.911 4,60

7 Perean Girang 1.900 8.502,5 4,50

8 Bulak 1.170 5.423 4,60

9 Ilir 1.270 5.880,1 4,60

10 Soge 860 4.558,0 5,30

11 Eretan Wetan 105 449,4 4,30

12 Eretan Kulon 614 3.070,0 5,00

13 Kertawinangun 934 5.001,6 5,40

Total 10.911 4,9 57.619,5

Sumber : UPTD Pertanian dan Peternakan Kecamatan Kandanghaur (2011)

- Data Versi UPTD Pertanian dan Peternakan Kecamatan Kandanghaur (dalam BPS 2011)

1.2. Rumusan Masalah

(8)

8 meningkatkan risiko yang dihadapi, dan lain sebagainya sehingga pemilik lahan sulit mencapai economics of scale dari usahanya. Meskipun terdapat pemilik lahan yang enggan menggarap lahannya, namun terdapat pula petani yang mau menggarap lahan orang lain dengan sistem sewa, bagi hasil, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukan masih adanya keinginan petani untuk mengembangkan usaha padi sawah di daerah tersebut.

Terdapat hipotesis bahwa petani pemilik lahan enggan mengusahakan lahannya sendiri dikarenakan luasan lahan yang dimiliki tidak terlalu besar sehingga apabila pemilik lahan memutuskan untuk menggarap lahannya sendiri maka besarnya biaya yang harus dikeluarkan tidak sebanding dengan besarnya pendapatan yang diperoleh. Karena itu, bagi pemilik lahan akan lebih menguntungkan menyewakan lahannya kepada orang lain dan mendapatkan pendapatan tetap dari sewa lahan tersebut kemudian mengusahakan modalnya keusaha lain yang dapat memberikan penghasilan yang lebih tinggi. Sedangkan hipotesis mengenai penyebab masih adanya petani yang tertarik untuk menjadi petani penggarap adalah petani tersebut menggarap luasan yang mendekati atau mencapai economics of scale sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan pendapatan yang diperoleh.

Penelitian mengenai efisiensi teknis dilakukan untuk mengetahui sebaran efisiensi teknis relatif dari responden yang menjadi objek pengamatan. Pendekatan Data Envelopment Analysis digunakan dikarenakan pendekatan ini lebih sederhana dibandingkan pendekatan analisis lain seperti stochastic frontier approach. Pendekatan Data Envelopment Analysis dianggap dapat menggambarkan capaian efisiensi teknis relatif dari daerah pengamatan meskipun tidak menggunakan banyak asumsi dan pembatasan seperti pada pendekatan

stochastic frontier approach. Selain itu, telah banyak penelitian yang menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis untuk menganalisis efisiensi teknis relatif pada komoditas pertanian.

(9)

9 antara keduanya. Terdapat hipotesis bahwa responden yang mencapai efisiensi teknis belum tentu menjadi responden yang memiliki pendapatan perhektar yang tertinggi.

Terdapat kemungkinan adanya keragaman varietas yang digunakan petani. Karena itu, selain menganalisis secara general seluruh varietas yang ada di desa pengamatan, diperlukan juga adanya analisis pada lingkup pengamatan yang lebih kecil, yaitu pengamatan pervarietas, baik pada analisis efisiensi maupun pendapatan perhektar. Berdasarkan permasalahan tersebut, rumusan masalah yang akan diteliti adalah:

1) Bagaimana tingkat efisiensi teknis petani padi sawah perbandingan seluruh varietas dan pervarietas di Desa Kertawinangun pada musim kering tahun 2011 dengan pendekatan Data Envelopment Analysis? 2) Apakah ada hubungan antara nilai efisiensi teknis perbandingan

pervarietas dengan karakteristik responden di Desa Kertawinangun. 3) Bagaimana pendapatan petani padi sawah seluruh varietas dan

pervarietas di Desa Kertawinangun pada musim kering tahun 2011? 4) Bagaimana hubungan antara efisiensi teknis dengan pendapatan

perhektar petani padi sawah perbandingan seluruh varietas dan pervarietas di Desa Kertawinangun pada musim kering tahun 2011?

1.3. Tujuan Penelitian

1) Menganalisis efisiensi teknis petani padi sawah di Desa Kertawinangun berdasarkan perbandingan seluruh varietas dan pervarietas pada musim kering tahun 2011 menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis.

2) Menganalisis hubungan antara nilai efisiensi teknis pervarietas dengan karakteristik responden di Desa Kertawinangun.

3) Menganalisis pendapatan seluruh varietas dan pervarietas petani padi sawah di Desa Kertawinangun pada musim kering tahun 2011.

(10)

10 1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan kebijakan pengembangan padi sawah sehingga produksi padi nasional dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri tanpa menekan produsen. Selain itu, diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat mengubah cara pandang petani mengenai pentingnya efisiensi dalam menentukan keuntungan suatu usahatani. Penelitian ini juga dapat memberikan gambaran kepada petani mengenai hubungan antara efisiensi teknis yang dicapai dengan pendapatan perhektar yang diperoleh.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

(11)

11

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka Mengenai Usahatani

Usahatani adalah suatu bentuk kombinasi penggunaan masukan (input) (modal, tenaga kerja, lahan) yang sengaja diusahakan oleh seseorang maupun suatu badan untuk menghasilkan suatu produk pertanian dalam arti luas. Usahatani dapat diartikan sebagai bagian dari suatu sistem agribisnis yang bergerak dibidang budidaya pertanian.

Metode yang sering digunakan untuk menganalisis usahatani adalah analisis rasio R/C atau rasio antara penerimaan dan biaya. Nilai R/C rasio digunakan dalam analisis usahatani dengan menggambarkan tingkat efisiensi suatu usahatani berdasarkan rasio antara variabel biaya yang dikeluarkan dan pendapatan yang diterima. Kelebihan dari analisis ini adalah memiliki model yang sederhana sehingga memudahkan penulis untuk menggunakannya. Kekurangan dari analisis ini adalah masih terdapat banyak faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi dari usahatani tersebut namun tidak termasuk ke dalam variabel yang dipertimbangkan. Contoh factor yang tidak dipertimbangkan adalah kesamaan karakteristik lahan, penggunaan factor produksi, dan lain sebagainya. Selain itu, apabila usahatani dikategorikan tidak efisien, model tersebut tidak dapat mendeskripsikan variabel apa saja yang menyebabkan usahatani tersebut tidak efisien sehingga tidak dapat memberikan referensi kepada pihak yang terkait untuk membuat perbaikan agar efisiensinya meningkat. Kelebihan dari analisis efisiensi dengan pendekatan Data Envelopment Analysis

adalah dapat memberikan referensi kuantitas penggunaan factor produksi yang seharusnya digunakan. Akan tetapi, kelemahan dari Data Envelopment Analysis

(12)

12 dibandingkan. Usahatani pertama memiliki luas lahan seluas 0,2 hektar. Sedangkan usahatani kedua memiliki luas lahan lima hektar. Terdapat kemungkinan usahatani dengan luasan lahan lebih besar memiliki rasio R/C yang rendah, dikarenakan penggunaan factor produksi dalat lebih rendah Karena mencapai skala ekonomis.

2.2. Tinjauan Pustaka Mengenai Efisiensi

Efisiensi adalah salah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan suatu keluaran (output) tertentu dengan menggunakan sejumlah masukan (input) tertentu secara optimal. Efisiensi dari suatu usaha memiliki kaitan yang erat antara masukan (input) yang digunakan dengan keluaran (output) yang dihasilkan. Variabel keluaran (output) pada usahatani yang sering digunakan adalah pendapatan dan hasil produksi. Variabel pendapatan diperoleh dari hasil perkalian antara produksi dengan harga jual produk. Variabel masukan (input) yang digunakan adalah faktor produksi seperti pupuk, benih, tenaga kerja, lahan, irigasi, menajemen, dan lain sebagainya.

2.3. Tinjauan Pustaka Mengenai DEA

Pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) adalah salah satu metode

(13)

13 Metode Data Envelopment Analysis dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi dari suatu perusahaan. Metode ini dapat juga dapat diterapkan pada usaha lain yang memiliki karakteristik masukan (input) dan keluaran (output) yang sejenis dari banyak usaha yang diamati. Metode ini merupakan metode analisis noparametrik yang menghasilkan production frontier.

Kelebihan dari penggunaan Data Envelopment Analysis adalah tidak membutuhkan banyak asumsi dalam bentuk fungsional untuk menspesifikasi hubungan antara masukan (input) dan keluaran (output) sehingga membutuhkan lebih sedikit variabel dibandingkan dengan frontier approach, tidak membutuhkan asumsi distribusi untuk menentukan inefisiensi ( Krascachat 2004). Kelemahan dari DEA adalah tidak mengukur kesalahan dari model (Fraser dan Hone 2001).

Pendekatan Data Envelopment Analysis dapat menggunakan data primer maupun data sekunder. Data primer dapat menjadi sumber data seperti penelitian Dhungana et al.(2004) dan Krascachat (2004). Data sekunder dapat digunakan sebagai sumber data seperti pada penelitian, Lee (2005), Putri dan Lukviarman (2008), Abidin dan Endri (2009). Analisis efisiensi usahatani menggunakan data primer yang dikumpulkan dengan maksud untuk digunakan dalam penelitian. Data primer lebih baik digunakan karena skala pengamatan yang terbatas sehingga diharapkan dengan penggunaan data primer dapat menghasilkan simpulan yang relevan dengan fakta dilapangan.

Variabel yang digunakan dalam menggunakan Data Envelopment Analysis

adalah variabel yang dianggap penulis memiliki peran penting dalam mementukan efisiensi dari usaha yang diteliti. DEA adalah model yang hanya memperhatikan variabel yang dimasukkan ke dalam model sehingga ketepatan penulis dalam menentukan variabel yang digunakan menjadi sangat mempengaruhi simpulan yang dihasilkan. Diperlukan keahlian dan ketepatan penggunaan variabel-varabel baik masukan (input) maupun keluaran (output) agar hasil yang didapatkan dapat dipertanggungjawabkan.

(14)

14 (input) dalam model, yaitu jumlah pupuk, total penggunaan tenaga kerja, luas tanam, kapital yang digunakan, dan total biaya masukan (input) lain selain yang dijadikan variabel masukan (input) pada model, sedangkan keluaran (output) yang digunakan adalah total produksi padi (Krascachat 2004). Sedangkan penelitian efisiensi teknis padi di Nepal (Dhungana et al. 2004) menggunakan pembagian sesi berdasarkan kelompok sosiekonomi, pencatatan masukan (input) dan keluaran (output), serta sesi mengenai risiko yang dihadapi. Variabel yang digunakan adalah usia pemilik lahan, jenis kelamin, persentase tenaga kerja dalam keluarga, risiko yang dihadapi, hasil panen, lahan, bibit, tenaga kerja mesin, pupuk, pengeluaran lain, biaya sewa lahan, harga bibit, upah perpekerja, biaya sewa tenaga kerja mesin, pupuk, dan masukan (input) lain. Penelitian efisiensi perusahaan kertas di beberapa negara di dunia menggunakan total penjualan sebagai variebel keluaran (output) dan total pengeluaran operasi serta pengeluaran bunga sebagai variabel masukan (input) (Lee 2005).

Metode penarikan simpulan dalam DEA adalah DEA menarik kurva

envelop dari DMU yang memiliki efisiensi relatif paling tinggi dalam model. Kemudian posisi efisiensi dari setiap DMU dimasukan ke dalam kurva sehingga terlihat efisiensi relatif dari setiap DMU terhadap DMU yang dijadikan dasar pengambilan keputusan efisiensi relatif. Dengan adanya penempatan posisi setiap DMU dalam kurva envelop, dapat disimpulkan DMU yang berada pada posisi garis kurva envelop adalah DMU yang telah efisien menurut model tersebut, sedangkan DMU yang berada dibawah kurva envelop adalah DMU yang masih belum mencapai efisiensi relatif dalam model.

2.4. Penelitian Terdahulu

(15)

15 Penelitian ini menggunakan perbandingan nilai produk marginal (NPM) dengan biaya korbanan marginal (BKM) untuk menganalisis tingkat efisiensi dari masing-masing faktor produksi. Faktor produksi yang diduga mempengaruhi usahatani nenas adalah faktor sosiokultiral seperi usia petani dan pengalaman, biaya tetap seperti lahan, dan biaya variabel seperti pupuk, bibit, dan sebagainya. Nilai dari faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi usahatani kemudian dianalisis menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas dan OLS (ordinary least square) untuk menduga koefisien dari fungsi produksi. Hasil persamaan regresi kemudian dianalisis untuk mendapatkan t-hitung, F hitung, dan nilai R2.

Metode lain yang digunakan untuk menganalisis efisiensi pada usahatani adalah metode B/C rasio (Yuningsih 1999). Penelitian ini menggunakan pengelompokan pada petani berdasarkan luas lahan yang diusahakan kemudian membandingkan tingkat efisiensi usahatani dari kelompok petani dengan pengusahaan skala besar dan skala kecil.

Pendekatan DEA dapat digunakan untuk menganalisis kinerja efisiensi teknis pada perbankan (Putri dan Lukviarman 2008; Abidin dan Endri 2009). Pendekatan DEA digunakan sebagai alat benchmarking atau kinerja dari beberapa unit yang akan dianalisis (decision making unit) yang telah memiliki standardisasi variabel masukan (input) dan keluaran (output) sehingga setap unit dapat dibandingkan kinerjanya. Meskipun sektor pertanian memiliki variabel masukan (input) dan keluaran (output) yang relatif sulit untuk distandardisasi namun telah terdapat beberapa penelitian yang menggunakan pendekatan DEA untuk mengukur kinerja efisiensi dari unit yang akan dianalisis (decision making unit) pada sektor pertanian. Beberapa penelitian yang menggunakan DEA pada sektor pertanian adalah Fraser dan Hone (2001), Dhungana et al. (2004), Sarker dan De (2004), Lee (2005), dan Brazdik (2006), Aman dan Haji (2011).

(16)

16 Penelitian efisiensi teknis yang menggunakan Data Envelopment Analysis

dapat menggunakan Tobit regression untuk mengetahui variabel yang mempengaruhi inefisiensi suatu DMU seperti pada penelitian Dhungana et al.

(2004), Krascachat (2004, 2007), Brazdik (2006), Javed (2008), dan Aman (2011). Sedangkan Fernandez (2001) menggunakan Bootstrap regression method

(17)

17

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis adalah suatu alur berpikir yang digunakan oleh penulis berdasarkan teori maupun konsep yang telah ada sebagai acuan dalam menjalankan penelitian. Penelitian ini menggunakan konsep usahatani, teori produksi, dan teori efisiensi produksi.

3.1.1. Konsep Efisiensi Usahatani

Efisiensi dapat diartikan bagaimana suatu usaha mengalokasikan sumber daya yang dimiliki untuk menghasilkan keluaran (output) yang optimal. Efisiensi juga dapat diartikan sebagai kemampuan suatu usaha mengalokasikan masukan (input) yang lebih sedikit dibandingkan usaha lain untuk menghasikan keluaran (output) yang sama atau mengalokasikan masukan (input) yang sama untuk menghasilkan keluaran (output) yang lebih tinggi.

(18)

18 3.1.2. Konsep Data Envelopment Analysis

Cooper (2002) menyatakan pendekatan Data Envelopment Analysis

(DEA) adalah suatu pendekatan evaluasi kinerja dari suatu kegiatan yang menggunakan satu atau lebih masukan (input) untuk menghasilkan satu atau lebih keluaran (output). Kegiatan yang diamati dalam DEA sering disebut dengan

decision making unit (DMU). Pendekatan DEA menggunakan pembobotan yang bersifat fixed pada seluruh masukan (input) dan keluaran (output) dari setiap DMU yang dievaluasi. Pendekatan DEA memiliki model matematika dengan virtual masukan (input) dan keluaran (output), dan vi sebagai bobot masukan (input), dan ur sebagai bobot keluaran (output),

Virtual masukan (input) = v1x1o+…+vmxmo (3.1) Virtual keluaran (output)= u1y1o+…+usyso (3.2) Pembobotan dilakukan dengan menggunakan linear programming untuk memaksimumkan rasio dari,

(3.3)

Terdapat kemungkinan pembobotan optimal pada setiap DMU berbeda sehingga pembobotan pada DEA merupakan turunan dari data yang dimiliki ataupun dianggap sama. Misalkan diasumsikan terdapat m masukan (input) dan s keluaran (output) pada DMU X, maka matriks X (m x n) adalah:

(3.4) 3.1.3. Konsep CCR Model

(19)

19 efisiensi dari setiap DMU pada suatu waktu tertentu dengan n optimalisasi. Misalkan DMUj dibandingkan dengan DMUo ( o = 1, 2, …, n), maka fractional programming dengan pembobotan masukan (input) vi (i = 1, …, m), dan pembobotan keluaran (output) ur (r = 1, …, s) adalah,

(FPo) max (3.5)

Subject to ) (3.6)

v1, v2, …, vm ≥ 0 (3.7)

Pembatasan kurang dari satu menunjukan rasio antara virtual keluaran (output) dan virtual masukan (input) harus lebih kecil atau kurang dari satu untuk setiap DMU. Pembatasan ini akan menyebabkan nilai objektif maksimal * =1. Sedangkan bentuk linear programming (LPo) dari CCR model adalah:

(LPo) max = 1y1o+…+ syso (3.8)

subject to v1x1o+…+ vmxmo (3.9) 1y1j+…+ sysj ≤v1x1j+…+ vmxmj (3.8)

(j = 1, …, n)

V1, V2, …., Vm ≥ 0 (3.9)

1, 2, …, s ≥ 0 (3.10)

3.1.4. Konsep Biaya Usahatani

Biaya dalam usahatani dapat diklasifikasikan menjadi biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap dapat didefinisikan sebagai biaya yang jumlahnya relatif tetap tanpa tergantung pada jumlah keluaran (output) yang dihasilkan. Sedangkan biaya variabel dapat diartikan sebagai biaya yang besarnya bervariasi sesuai dengan jumlah keluaran (output) yang dihasilkan.

(20)

20 jagung dengan kedelai. Pengaplikasian sejumlah pupuk tidak dapat dipastikan digunakan sebagi masukan (input) bagi produksi tanaman padi atau kedelai, sehingga dalam kasus seperti ini jumlah fisik menjadi tidak penting sehingga lebih baik menggunakan besaran nominal yang dikeluarkan untuk tanaman tersebut. Konsep biaya dalam analisis usahatani juga dapat menggunakan analisis finansial dan analisis ekonomi. Analisis finansial adalah analisis yang menggunakan harga yang sebenarnya dikeluarkan oleh petani, sedangkan analisis ekonomi adalah analisis yang digunakan dengan menggunakan harga bayangan atau shadow price

(Soekartawi 1995).

Terdapat juga konsep biaya berdasarkan jenis pengeluaran yang dilakukan, yaitu konsep biaya tunai. Biaya tunai adalah biaya yang secara tunai dikeluarkan oleh usahatani untuk membeli faktor produksi baik barang maupun jasa yang digunakan dalam usahataninya. Hal yang perlu diingat adalah pada biaya tunai, besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membayar pinjaman maupun bunga tidak termasuk (Soekartawi 1995).

3.1.5. Konsep Pendapatan Usahatani

Pendapatan dalam mengukur suatu usahatani dapat dilakukan dengan menggunakan arus uang tunai. Akan tetapi arus uang tunai tidak dapat mencerminkan keadaan yang sebenarnya karena terutama pada petani yang subsisten maupun semisubsisten masih banyak pendapatan yang tidak berupa uang tunai (Soekartawi et al. 1986). Fick (1975) dalam Soekartawi et al. (1986) menyatakan penilaian produk usahatani yang subsisten menggunakan nilai pasar sulit digunakan apabila produk tersebut tidak diperdagangkan dipasar setempat sehingga penulis dapat menggunakan harga pasar ditempat lain ataupun harga barang substitusi berdasarkan kadar gizi yang setara. Harga pasar yang umumnya digunakan adalah harga jual bersih ditingkat petani karena dianggap lebih dapat menggambarkan besaran yang diperoleh oleh petani.

(21)

21 digunakan adalah pendapatan kotor usahatani. Pendapatan kotor mencakup semua produk yang dijual ke pasar, digunakan sebagai konsumsi rumah tangga petani, digunakan usahatani untuk pakan ternak maupun sebagai bibit pada masa tanam selanjutnya, digunakan sebagai alat pembayaran, maupun sebagai inventori yang disimpan di gudang. (Soekartawi et al. 1986).

Konsep lain yang dapat dijadikan alat ukur pendapatan petani adalah pendapatan tunai petani (farm net cash receipt). Pengukuran ini dilakukan dengan nilai bersih dari pengurangan antara penerimaan tunai dengan pengeluaran tunai. Sama halnya seperti pada biaya tunai, pada penerimaan tunai, penerimaan yang berasal dari pinjaman tidak termasuk kedalam penerimaan tunai (Soekartawi et al.

1986).

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Peningkatan jumlah penduduk Indonesia mengakibatkan kebutuhan akan pangan semakin meningkat. Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki permintaan pangan yang besar. Beras adalah makanan pokok yang sangat penting bagi sebagian besar penduduk indonesia sehingga diperlukan peningkatan produksi untuk mengimbangi peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan meningkatkan areal tanam ataupun meningkatkan produktivitas. Keterbatasan lahan mengakibatkan pilihan peningkatan produktivitas menjadi lebih mungkin diusahakan. Salah satu cara meningkatkan produktivitas adalah dengan meningkatkan efisiensi.

(22)

22 pada saat pengolahan tanah berupa traktor dan pekerjaan usahatani lain dikerjakan oleh tenaga kerja manusia. Modal yang digunakan berupa benih, pupuk, insektisida, pestisida, saprodi, gudang, dan lain sebagainya. Sedangkan faktor produksi manajemen adalah faktor produksi yang lebih bersifat kualitatif.

Berdasarkan faktor produksi yang dapat dikuantitatifkan dan keluaran (output) yang dihasilkan dari usahatani, penelitian ini menganalisis nilai efisiensi relatif dari setiap usahatani yang dijadikan decision making unit dengan menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA). Dengan menggunakan DEA berdasarkan efisiensi relatif dari model DMU yang ada, maka dapat diketahui nilai efisiensi teknis dari setiap usahatani.

Pendapatan adalah salah satu faktor yang penting untuk diketahui. Seseorang dapat menjadi tertarik untuk mengusahakan suatu usaha apabila usaha tersebut mampu memberikan hasil yang positif. Karena itu, diperlukan suatu analisis pendapatan untuk mengetahui besarnya pendapatan rata-rata yang diperoleh dari usahatani padi sawah di Desa Kertawinangun. Analisis pendapatan yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan beberapa pendekatan. Pendekatan yang digunakan dalam analisis pendapatan pada penelitian ini adalah analisis pendapatan tunai rata-rata di Desa Kertawinangun, rasio R/C total, dan analisis pendapatan perhektar bersih.

(23)

23 pendapatan tunai untuk mengetahui pendapatan perhektar rata-rata decision making unit di Desa Kertawinangun.

Analisis pendapatan tunai perhektar dilakukan pada pengamatan seluruh varietas dan pada masing-masing varietas. Analisis pendapatan tunai perhektar dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui besaran pendapatan tunai perhektar yang diusahakan di desa pengamatan, tanpa memperhitungkan varietas. Hal ini dapat berguna bagi pembaca yang ingin mengetahui secara umum besaran pendapatan tunai perhektar decision making unit di Desa Kertawinangun. Selain itu, dapat menjadi referensi bagi investor yang ingin mengusahakan padi sawah di daerah tersebut.

Analisis pendapatan tunai rata-rata pervarietas dilakukan dengan menghitung pendapatan tunai rata-rata perhektar pada decision making unit

dengan varietas Ciherang, Denok, dan Mekongga. Meskipun sebenarnya terdapat varietas SMC dan Kintani 1 yang diusahakan di Desa Kertawinangun, namun kedua varietas tersebut hanya digunakan oleh satu decision making unit sehingga tidak dapat dihitun rataannya. Analisis pendapatan tunai perhektar untuk setiap varietas dilakukan dengan tujuan memberikan gambaran lebih rinci mengenai pendapatan yang diperoleh usahatani di daerah pengamatan. Analisis ini juga dilakukan untuk mengetahui apakah ada varietas yang lebih menonjol dibandingkan dengan varietas lain, baik dari segi penerimaan, biaya, maupun pendapatan tunai yang dihasilkan.

(24)

24 pada penelitian ini kemudian akan dibandingkan dengan nilai efisiensi teknis yang dicapai. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah dengan menggunakan dua alat ukur efisiensi, maka terdapat hubungan yang berbanding lurus. Selain itu, dapat terlihat apakah decision making unit yang mampu mencapai efisiensi teknis berdasarkan data envelopment analysis juga merupakan decision making unit

yang mencapai rasio R/C yang besar.

Analisis pendapatan ketiga yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis pendapatan bersih perhektar. Analisis ini dilakukan pada setiap decision making unit. Hasil dari analisis ini kemudian dibandingkan dengan nilai efisiensi teknis yang diperoleh, sehingga dapat terlihat hubungan antara nilai efisiensi dengan pendapatan perhektar yang diperoleh decision making unit. Alasan penulis menggunakan analisis pendapatan bersih perhektar (tidak seperti analisis pendapatan perhektar rata-rata yang menggunakan analisis pendapatan tunai) adalah karena tujuan dari analisis ini mengetahui hubungan antara efisiensi dan pendapatan. Apabila penulis menggunakan analisis pendapatan tunai, terdapat kemungkinan decision making unit yang mengusahakan usahataninya menggunakan lahan pribadi akan mencapai pendapatan perhektar yang lebih tinggi mengingat biaya sewa lahan menjadi biaya tunai terbesar yang dikeluarkan

(25)

25 Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis

Efisiensi Teknis dan Pendapatan Padi Sawah di Desa Kertawinangun Tahun 20111

Peningkatan kebutuhan pangan pokok

Peningkatan permintaan padi

Analisis Pendapatan dan Rasio R/C

Saran perbaikan efisiensi usahatani Peningkatan jumlah penduduk

Diperlukan peningkatan produksi padi

Efisiensi Pendekatan data envelopment analysis di Desa Kertawinangun

Usahatani efisien

Usahatani tidak efisien

Perbedaan Karakteristik Varietas

Ciherang Denok Mekongga

(26)

26

IV METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Kertawinangun, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Kandanghaur adalah salah satu sentra produksi padi di Jawa Barat, dan Provinsi Jawa Barat sebagai sentra beras nasional. Penelitian dilakukan sejak bulan Januari 2012 hingga Juni 2012. Penelitian menggunakan data panen musim kedua tahun sebelumnya (tahun 2011) dengan pertimbangan panen yang akan datang memiliki risiko produksi yang sangat tinggi sehingga dikhawatirkan akan terjadi penurunan produksi.

4.2. Data dan Instrumentasi

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian penulis. Data primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara kepada petani decision making unit dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Pertanyaan yang diajukan mencakup identitas petani, faktor produksi yang digunakan, dan biaya serta pendapatan yang diperoleh petani dari usahatani padi sawahnya baik yang dijual maupun yang tidak. Data primer digunakan sebagai masukan yang kemudian digunakan untuk dianalisis menggunakan alat analisis yang ditentukan.

(27)

27 4.3. Definisi Operasional

Tabel 5. Definisi Variabel dan Unit Pengukuran

Variabel Unit Definisi

Usia Tahun Usia dari petani j yang menjalankan usahatani Usia

Usahatani

Tahun Usia usahatani padi sawah j yang dijalankan Lama

pendidikan formal

Tahun Lama petani j mengikuti pendidikan formal

Lahan m2 Luasan lahan yang diusahakan untuk usahatani padi sawah j

Benih kg/m2 Jumlah benih yang digunakan oleh usahatani j Harga benih Rupiah/kg Biaya yang dikeluarkan usahatani padi sawah j

untuk membeli benih Tenaga kerja

dalam keluarga

Jam Kerja Jumlah jam kerja tenaga kerja dalam keluarga yang digunakan dalam usahatani padi sawah j Tenaga kerja

luar keluarga

Jam Kerja Jumlah jam kerja tenaga kerja luar keluarga yang digunakan dalam usahatani padi sawah j Tenaga kerja

mesin

Jam Kerja Jumlah jam kerja tenaga kerja mesin yang digunakan dalam usahatani padi sawah j

Upah tenaga kerja dalam keluarga

Rupiah/HOK Biaya yang dikeluarkan untuk membayar tenaga kerja dalam keluarga yang digunakan usahatani padi sawah j

Upah tenaga kerja luar keluarga

Rupiah/HOK Biaya yang dikeluarkan untuk membayar tenaga kerja manusia luar keluarga yang digunakan usahatani padi sawah j

Upah tenaga kerja mesin

Rupiah Biaya yang dikeluarkan untuk membayar tenaga kerja mesin yang digunakan usahatani padi sawah j

Sewa lahan Rupiah/musim tanam

Biaya sewa lahan yang dikeluarkan oleh usahatani padi sawah j untuk menyewa sawah Biaya

pengadaan irigasi

Rupiah/musim tanam

Biaya pengadaan irigasi yang dikeluarkan usahatani padi sawah j untuk pengadaan irigasi Biaya

pengadaan saprodi

Rupiah Total biaya yang dikeluarkan usahatani padi sawah j untuk inventarisasi saprodi padi sawah Hasil panen kg GKG Jumlah hasil panen usahatani padi sawah ke i Pendapatan

Hasil Panen

(28)

28 Variabel adalah konsep yang memiliki variasi nilai (Soekartawi et al.

1984). Variabel dan unit pengukuran yang digunakan pada data primer dalam penelitian ini terdapat pada tabel 5. Variabel yang didefinisikan dalam bagian ini adalah variabel yang digunakan pada kuisioner penulis.

4.4. Metode Pengambilan Decision making unit

Metode pengambilan decision making unit dilakukan secara purposive. Penelitian sengaja mengambil decision making unit petani yang mengusahakan lahan yang berada di suatu hamparan tertentu di Desa Kertawinangun, Kabupaten Indramayu. Hal ini dilakukan untuk keseragaman variabel masukan (input) seperti karakteristik lahan, topologi, sistem pengairan, dan cuaca. Keseragaman hamparan menjadi sangat penting karena penelitian ini adalah penelitian mengenai efisiensi. Peneltian mengenai efisiensi menuntut standardisasi variabel-variabel yang digunakan, terutama variabel yang memiliki pengaruh terhadap produksi.

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data primer yang digunakan dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan Data Envelopment Analysis untuk mengukur efisiensi teknis relatif dari berbagai usahatani yang dijadikan sebagai decision making unit. Data yang terkumpul dari setiap decision making unit akan diolah menggunakan software

(29)

29 4.5.1. Analisis Efisiensi Teknis

Pendekatan efisiensi teknis yang digunakan adalah Data Envelopment Analysis. Pendekatan ini digunakan karena sederhana dan tidak membutuhkan banyak variabel. Asumsi constant return to scale dan input oriented digunakan karena pengamatan ini hanya dilakukan pada satu periode waktu, sehingga kemungkinan adanya perubahan-perubahan faktor produksi sebagai akibat dari perkembangan waktu dapat diabaikan. Waktu satu musim tanam padi sawah tergolong singkat (sekitar 100 hari) memperbesar kemungkinan tidak ada perbedaan teknologi yang mempengaruhi usahatani selama musim tanam. Penelitian ini menggunakan input oriented karena variabel masukan (input) adalah vatiabel yang lebih mudah dikontrol oleh decision making unit (Javed 2008). Analisis multistage digunakan untuk meminimalisasi adanya kesalahan sebagai akibat dari tidak dihitungnya kesalahan pada hasil perhitungan. Hal ini sesuai dengan yang direkomendasikan dalam Cooper et al. (2002) untuk tidak menggunakan analisis satu stage.

4.5.2. Analisis Hubungan Nilai Efisiensi Teknis dengan Karakteristik Decision making unit

Hubungan analisis antara nilai efisiensi teknis yang dicapai decision making unit pada perbandingan varietas dengan karakteristik decision making unit

dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan, signifikansi, dan tren yang ada pada kedua varaibel yang dibandingkan. Variabel karakteristik decision making unit yang dibahas adalah adalah lama pendidikan formal, usia, pengalaman bertani, dan status kepemilikan lahan. Pemilihan variabel ini sesuai dengan penelitian Fernandez dan Nuthall (2001) yang juga menganalisis hubungan antara efisiensi teknis penndekatan Data Envelopment Analysis dengan karakteristik dari decision making unit yang menjaid objek penelitian. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Fernandez dan Nuthall (2001) adalah alat analisis hubungan yang digunakan. Fernandez dan Nuthall (2001) menggunakan

(30)

30 Hal pertama yang dilakukan adalah pengujian hubungan dan signifikansi hubungan antara kedua variabel yang dibandingkan. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan alat analisis SPSS 16. Pendekatan yang dilakukan adalah menggunakan pengujian Rank Spearman. Penulis memutuskan untuk menggunakan pendekatan ini atas dasar pengujian Rank Spearman membutuhkan asumsi skala pengukuran dari kedua variabel yang dianalisis mencapai skala ordinal. Variabel nilai efisiensi teknis menurut penulis termasuk ke dalam skala ordinal sehingga pengujian hubungan menggunakan Rank Spearman dianggap tepat untuk diaplikasikan pada penelitian ini. Variabel yang diuji hubungan dengan analisis antara nilai efisiensi teknis pervarietas adalah nilai efisiensi teknis

decision making unit pada perbandingan seluruh varietas, pendidikan formal, usia, dan pengalaman bertani. Variabel status kepemilikan lahan tidak digunakan dalam perbandingan karena skala pengukurannya tidak mencapai ordinal.

Nilai dari Rank Spearman dilambangkan dengan rs. Pengujian Rank Spearman menggunakan dua variabel, yang dinotasikan dengan variabel X dan variabel Y. Masing-masing variabel diurutkan sesuai dengan urutan tertentu, dengan aturan nilai terendah (satu) untuk observasi dengan nilai terkecil dan nilai n untuk observasi dengan nilai terbesar. Apabila terdapat observasi yang bernilai sama, maka nilai urutan yang digunakan adalah nilai rata-ratanya. Nilai rs dapat dinotasikan sebagai berikut:

(4.1)

Dimana,

x

2 =

(4.2)

y

2

=

(4.3)

keterangan:

(31)

31 ty = banyaknya observasi sama pada variabel Y untuk rank tertentu

di = perbedaan rank X dan rank Y pada observasi ke-i i = observasi ke-i, untuk i =1,2, ..., n

∑ = jumlahkan untuk seluruh kasus angka sama

Secara umum, interpretasi dari nilai rs adalah sebagai berikut: 1) Bila nilai│rs│= 0, berarti kedua variabel tidak berkorelasi. 2) Bila nilai │rs│= 1, berarti kedua variabel berkorelasi sempurna.

3) Semakin tinggi nilai │rs│, berarti semakin kuat hubungan kedua variabel.

4) Tanda positif pada rs, menunjukkan bahwa kedua variabel berkorelasi searah, yakni apabila variabel X semakin tinggi maka variabel Y akan cenderung semakin tinggi pula, atau sebaliknya.

5) Tanda negatif pada rs menunjukkan bahwa kedua variabel berkorelasi berlawanan arah, yakni apabila variabel X semakin tinggi maka variabel Y akan cenderung semakin rendah, atau sebaliknya.

Secara deskriptif nilai rs dapat dikategorikan secara subyektif, namun biasanya analisis bisnis mengategorikan nilai rs menjadi lima kategori berikut ini:Bila, 0<│r s│<0,2, maka kedua variabel dikategorikan berkorelasi sangat lemah.

1) Bila, 0,2≤│rs│≤0,4, maka kedua variabel dikategorikan berkorelasi lemah.

2) Bila, 0,4≤│rs│<0,6, maka kedua variabel dikategorikan berkorelasi sedang.

3) Bila, 0,6≤│rs│<0,8, maka kedua variabel dikategorikan berkorelasi kuat.

4) Bila, 0,8≤│r s│<1, maka kedua variabel dikategorikan berkorelasi sangat kuat.

(32)

32 hubungan antara kedua variabel (berbanding lurus atau berbanding terbalik) akan tetapi hasil tersebut tidak dapat menunjukan posisi dari masing-masing unit pengamatan. Karena itu, digunakan gambar scatter untuk mengetahui posisi pemetaan masing-masing decision making unit pada pemetaannya dan garis tren yang dihasilkan. Manfaat dari penggunaan gambar scatter adalah dapat membantu mengetahui posisi masing-masing usahatani dan melihat penyebaran dari data-data yang ada. Analisis ini digunakan pada tren antara nilai efisiensi teknis pervarietas dengan nilai efisiensi teknis decision making unit pada perbandingan seluruh varietas, pendidikan formal, usia, dan pengalaman bertani.

4.5.3. Analisis Pendapatan Usahatani

Analisis pendapatan usahatani membahas penerimaan, pengeluaran, dan pendapatan usahatani. Analisis pendapatan usahatani dilakukan dengan pendokumentasian seluruh penerimaan dan pengeluaran dari usahatani yang dijalankan pada musim yang menjadi objek pengamatan.

Analisis pendapatan yang digunakan untuk menunjukan kemampuan petani di daerah penelitian menghasilkan keuntungan dilakukan dengan menggunakan analisis pendapatan tunai. Penerimaan tunai adalah total nilai dari hasil perkalian antara total produksi yang dijual dan harga jual yang diterima

decision making unit. Pengeluaran usahatani yang digunakan adalah pengeluaran tunai, yaitu pengeluaran yang secara nominal dikeluarkan oleh decision making unit untuk membeli barang dan jasa dalam menjalankan usahatani, seperti pengeluaran untuk membeli pupuk, membayar tenaga kerja, dan lain sebagainya. Pendapatan adalah selisih antara total penerimaan dengan total pengeluaran.

Analisis pendapatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis pendapatan tunai usahatani. Analisis ini menjadi menjadi alat ukur kemampuan usahatani menghasilkan uang tunai. Secara matematis, pendapatan tunai usahatani dapat dituliskan sebagai berikut:

(33)

33 Keterangan:

FNCF = Pendapatan tunai usahatani (farm net cash flow) FR = Penerimaan tunai usahatani (farm receipt) FP = Pengeluaran tunai usahatani (farm payment)

Penelitian ini menggunakan analisis pendapatan tunai pada bagian analisis pendapatan rata-rata baik pada seluruh varietas maupun pada setiap varietasnya. Penulis memutuskan untuk menggunakan analisis pendapatan tunai dibandingkan dengan analisis pendapatan bersih dikarenakan berdasarkan hasil perhitungan, apabila menggunakan analisis pendapatan bersih, maka total pendapatan yang diperoleh rata-rata decision making unit di daerah tersebut sangat rendah. Hal ini disebabkan besarnya biaya diperhitungkan yang dikeluarkan oleh decision making unit. Biaya diperhitungkan yang terbesar yang dikeluarkan oleh decision making unit adalah biaya opportunity cost lahan dan penyusutan. Karena itu, penulis memutuskan menggunakan analisis pendapatan tunai usahatani untuk menunjukan kemampuan petani di daerah pengamatan menghasilkan uang tunai dari usahatani yang dijalankan.

4.5.4. Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya

Analisis rasio penerimaan dan biaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio R/C ( Revenue/ Cost Ratio). Rasio R/C adalah salah satu analisis yang dapat digunakan untuk mengetahui kelayakan dari suatu usaha yang dilakukan. Rasio R/C dilakukan dengan membandingkan antara total penerimaan usahatani dengan total biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang dan jasa dalam menjalankan kegiatan usahatani pada waktu yang diamati. Penelitian ini menggunakan rasio R/C total. Secara matematis, rasio R/C total dapat dituliskan sebagai berikut:

(34)

34

Keterangan :

TI = Penerimaan total (total income)

TFE = Pengeluaran total (total farm expenses)

Hal yang menjadi ukuran efisiensi usahatani dengan menggunakan nilai rasio R/C adalah nilai dari rasio R/C. Apabila nilai rasio R/C lebih besar dari satu maka usahatani tersebut dikatakan telah mencapai efisiensi. Nilai rasio R/C menunjukan bahwa usahatani mendapatkan keuntungan dari setiap satuan usaha yang dikeluarkan. Misalkan nilai efisiensi dari usahatani X adalah 1,5. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap satu satuan usaha yang dikeluarkan oleh usahatani akan menghasilkan keluaran (output) sebesar 1,5.

Penelitian ini menggunakan analisis rasio R/C total. Pendapatan (revenue) yang digunakan adalah total pendapatan yang diperoleh dari hasil panen, baik yang dijual maupun digunakan untuk membayar faktor produksi ataupun dikonsumsi petani. Selain itu, biaya yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan total biaya usahatani. Total biaya yang digunakan meliputi biaya tunai dan biaya diperhitungkan.

4.5.5. Analisis Hubungan Efisiensi Teknis dengan Pendapatan perhektar

Analisis pendapatan perhektar pada bab yang membahas hubungan antara nilai efisiensi teknis dengan pendapatan perhektar menggunakan nilai pendapatan bersih perhektar yang diperoleh masing-masing decision making unit. Awalnya penulis menggunakan analisis pendapatan tunai perhektar untuk dibandingkan dengan nilai efisiensi teknis yang dicapai. Akan tetapi berdasarkan hasil perhitungan, terlihat adanya gap yang besar antara decision making unit yang menggunakan lahan sewa dan decision making unit dengan lahan pribadi.

(35)

35

Decision making unit yang menggunakan lahan sendiri jelas lebih tinggi pendapatan tunai yang diperolehnya.

Menurut Soekartawi (1986), analisis arus uang tunai termasuk penting untuk mengukur penampilan usahatani, akan tetapi pengukuran tersebut tidak menggambarkan keadaan sebenarnya. Hal ini disebabkan dalam usahatani, terdapat banyak biaya tidak tunai yang dikeluarkan terutama pada usahatani yang subsisten atau semisubsisten. Soekartawi (1986) mengajukan konsep pendapatan kotor usahatani (gross farm income) yang didefinisikan sebagai nilai produk total dari suatu usahatani dan mencakup produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga usahatani, digunakan oleh usahatani baik sebagai bibit pada masa tanam berikutnya ataupun sebagai pakan ternak, digunakan sebagai alat pembayaran, ataupun untuk disimpan. Nilai pendapatan kotor dikurangi dengan pengeluaran total disebut dengan pendapatan bersih. Karena itu, pada analisis pendapatan perhektar yang dibandingkan dengan efisiensi teknis yang diperoleh, pendapatan yang digunakan adalah pendapatan bersih, bukan pendapatan tunai.

Analisis pendapatan bersih menggunakan pendapatan kotor dan biaya atau pengeluaran total (total farm expenses). Definisi dari penerimaan kotor adalah nilai dari perkalian antara total produksi dengan harga produk. Definisi dari biaya total adalah biaya yang dikeluarkan secara tunai dan total biaya diperhitungkan. Secara matematis, pendapatan perhektar decision making unit

data dituliskan sebagai berikut:

FNI = GFI - TFE (4.6)

Keterangan:

FNI = Pendapatan bersih (farm net income) GFI = Pendapatan kotor (gross farm income) TFE = Pengeluaran total (total farm expenses)

Pengeluaran yang termasuk kedalam pengeluaran total adalah biaya tunai, tidak tunai, dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli faktor produksi berupa barang maupun jasa yang dikeluarkan

(36)

36 produksi berupa barang adalah pembelian pupuk, benih, pestisidan, dan perlengkapan pembenihan. Contoh dari biaya tunai untuk membeli faktor produksi berupa jasa adalah biaya sewa lahan pada decision making unit dengan status kepemilikan lahan sewa, tenaga kerja luar keluarga, dan tenaga kerja mesin untuk pengolahan traktor.

Biaya tidak tunai adalah biaya yang dikeluarkan oleh usahatani untuk membeli faktor produksi berupa barang maupun jasa namun tidak menggunakan uang tunai sebagai alat pembayarannya. Contoh dari biaya tidak tunai adalah upah tenaga kerja panen. Terdapat sistem bagian hasil panen yang digunakan untuk pembayaran upah panen. Salah satu nisbah yang banyak digunakan adalah nisbah 10:7. Interpretasi dari nisbah ini adalah dari setiap 100 kg padi yang dipanen, maka buruh panen mendapatkan upah panen sebesar 17 kg. Kelemahan dari penelitian ini adalah masih belum mampu menggambarkan secara detil mengenai biaya tidak tunai yang dikeluarkan petani. Hal ini disebabkan pada saat pengumpulan data sebagian besar pengamatan tidak dapat mengingat besarnya biaya tidak tunai yang dikeluarkan. Selain itu, besar kemungkinan biaya tidak tunai yang dibeluarkan tercampur dengan pengeluaran rumah tangga usahatani sehingga sangat sulit dipisahkan. Contoh dari biaya tidak tunai yang sulit dipisahkan dengan pengeluaran rumah tangga usahatani adalah biaya untuk upah makan buruh tani. Terdapat banyak pengamatan yang memberikan upah berupa makanan maupun minuman untuk buruh tani yang bekerja. Akan tetapi sangat sulit dihitung besarnya pengeluaran ini karena disatukan dengan pengeluaran rumah tangga usahatani untuk biaya makan keluarga petani.

Biaya diperhitungkan adalah biaya yang sebenarnya dikeluarkan oleh

(37)

37 diukur dengan menggunakan metode garis lurus. Secara matematis, metode garis lurus dapat dinotasikan dengan:

(4.7)

(38)

106

IX KESIMPULAN DAN SARAN

9.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan, kesimpulan yang diperoleh adalah:

1) Tingkat efisiensi teknis petani padi sawah di Desa Kertawinangun pada musim kering tahun 2011 berkisar 0,712. Sedangkan pada varietas Ciherang sebesar 0, 877, Denok sebesar 0,780, dan Mekongga sebesar 0,705.

2) Tidak terdapat hubungan antara nilai efisiensi teknis perbandingan varietas dengan karakteristik decision making unit.

3) Pendapatan tunai perhektar usahatani padi sawah di Desa Kertawinangun musim kering tahun 2011 sebesar Rp10.856.226. Pendapatan tunai varietas Ciherang sebesar Rp.9.804.923, Denok sebesar Rp.13.219.161, dan Mekongga sebesar Rp.16.732.697.

4) Terdapat hubungan berbanding lurus antara nilai efisiensi yang dicapai dengan pendapatan perhektar usahatani padi sawah di Desa kertawinangun pada musim kering tahun 2011.

9.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat disampaikan diantaranya: 1) Hasil penelitian ini menunjukan adanya hubungan negative antara

karakeristik responden dengan nilai efisiensi. Hal ini dapat menjadi bahan kajian penelitian lain baik pada lokasi dan alat analisis yang sama maupun berbeda.

2) Tidak adanya hubungan antara karakterisktik responden dengan nilai efisiensi dapat memunculkan penelitian selanjutnya yang membahas factor lain yang mungkin mempengaruhi, seperti kemampuan manajerial maupun

entrepreneurship.

3) Penelitian selanjutnya yang menggunakan DEA sebagai alat analisis memasukan variabel pestisida sebagai salah satu variabel masukan

(39)

38

V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5.1. Keadaan Wilayah Penelitian

Kertawinangun adalah satu dari 13 desa di Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu. Desa ini terletak pada ketinggian tiga meter diatas permukaan air laut dengan curah hujan 2.000 mm/tahun. Suhu rataan harian desa ini adalah 30 oC. Luas wilayah Desa Kertawinangun adalah 5,68 km2 terdiri atas 0,0795 km2 area pemukiman, 0,445 km2 lahan persawahan dengan irigasi teknis, dan sisanya digunakan untuk lahan pemakaman, pekarangan, perkantoran, dan prasarana umum. Desa Kertawinangun memiliki batas administratif sebagai berikut:

Sebelah Utara: Desa Eretan Kulon, Kecamatan Kandanghaur Sebelah Selatan: Desa Soge, Kecamatan Kandanghaur

Sebelah Timur: Desa Eretan Wetan, Kecamatan Kandanghaur Sebelah Barat: Desa Eretan Kulon, Kecamatan Kandanghaur

5.2. Gambaran Umum Penduduk dan Matapencaharian

(40)

39 Tabel 6. Komposisi Penduduk Desa Kertawinangun Berdasarkan Usia dan Jenis

Kelamin Tahun 2010 Usia

(tahun)

Jenis Kelamin

Pria (Jiwa) Persentase (%) Perempuan (Jiwa) Persentase (%)

0-15 792 28,08 782 27,12

16-55 1.651 58,53 1.663 57,68

>56 378 13,40 438 15,19

Total 2.821 100 2.883 100

Sumber: Kantor Desa Kertawinangun 2011, diolah

Komposisi penduduk Desa Kertawinangun berdasarkan matapencaharian dan jenis kelamin, sebagian besar penduduk baik pria maupun wanita bekerja sebagai buruh tani. Penduduk desa menjadi buruh tani lepas dengan sistem borongan dengan mematok harga tertentu untuk berbagai jenis kegiatan bertani. Terdapat kemungkinan ada perhitungan ganda pada tabel 7 karena terdapat penduduk yang memiliki pekerjaan ganda, misalnya sebagai TNI yang juga mengolah sawah sehingga dapat dikatakan sebagai seorang petani.

(41)

40 Tabel 7. Komposisi Penduduk Desa Kertawinangun Berdasarkan

Matapencaharian dan Jenis Kelamin Tahun 2010 Matapencaharian

Jenis Kelamin Pria

(Orang)

Persentase (%)

Perempuan (Orang)

Persentase (%)

Petani 119 10,09 100 8,83

Buruh Tani 481 40,80 750 66,25

Pegawai Negeri Sipil 10 0,85 14 1,24

Pedagang Keliling 15 1,27 20 1,77

Peternak 6 0,51 0 0,00

Montir 332 28,16 0 0,00

Dokter Swasta 5 0,42 0 0,00

Pembantu rumah Tangga 0,00 50 4,42

TNI 1 0,08 0 0,00

Pensiunan PNS/TNI/Polri 1 0,08 0 0,00

Pengusaha kecil dan

menengah 5 0,42 4 0,35

Dukun kampung terlatih 0 0,00 1 0,09

Guru Swasta 9 0,76 1 0,09

Karyawan Swasta 145 12,30 139 12,28

Pedagang 50 4,24 53 4,68

Total 1179 100 1132 100

Sumber: Kantor Desa Kertawinangun 2011, diolah

5.3. Karakteristik Decision Making Unit

Jumlah decision making unit yang diwawancarai dalam penelitian ini sebanyak 73 orang. Terdapat beberapa decision making unit yang memiliki lahan yang terfragmentasi di beberapa lokasi namun masih terdapat dalam satu hamparan yang menjadi objek penelitian. Terdapat beberapa decision making unit

yang mengolah lahan yang terfragmentasi dalam cakupan penelitian dengan menanam varietas yang sama, sehingga penulis mengasumsikan beberapa lahan terfragmentasi yang diolah oleh satu decision making unit dianggap sebagai satu

[image:41.595.84.515.80.546.2]
(42)

41 satu fragmen lahan yang ditanami satu jenis varietas merupakan satu decision making unit . Sedangkan asumsi yang digunakan pada decision making unit yang melakukan budidaya pada beberapa lahan terfragmentasi dalam cakupan penelitian dengan varietas yang berbeda disetiap fragmen lahannya sebagai satu

decision making unit dengan beberapa decision making unit. Fragmen lahan yang dianggap sebagai decision making unit tersendiri adalah fragmen dengan varietas yang berbeda. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa varietas memiliki pengaruh terhadap produktivitas dan memiliki karakteristik seperti kebutuhan hara, ketahanan hama dan penyakit, dan lain sebagainya yang berbeda, sehingga penulis tidak dapat mengasumsikan beberapa fragmen dengan varietas yang berbeda sebagai satu decision making unit sehingga pada penelitian ini terdapat 73

decision making unit yang diwawancara, dengan 77 decision making unit.

Alasan terdapat decision making unit yang mengolah lahan yang terfragmentasi adalah karena sebagian besar decision making unit hanya petani penggarap dengan sistem sewa sehingga mereka tidak dapat memastikan mendapatkan lahan yang berada dalam satu hamparan. Simpulan yang diambil dari pernyataan para decision making unit yang menggunakan satu varietas meskipun lahannya terfragmentasi diantaranya: (a) meningkatkan efisiensi.

Decision making unit hanya cukup mengkalkulasikan luas lahannya dan menghitung kebutuhan dari masukan (input) yang harus disediakan. Apabila membudidayakan lebih dari varietas, terdapat kemungkinan reponden harus mengeluarkan tenaga lebih untuk memperhitungkan inventori yang harus dikeluarkan. (b) memudahkan menghitung pendapatan bersih. (c) memudahkan dalam proses penjualan. Hal ini disebabkan setiap varietas memiliki karakteristik yang berbeda sehingga terdapat kemungkinan pasar memiliki harga yang berbeda. Terdapat beberapa alasan decision making unit membudidayakan lebih dari satu varietas dalam satu musim tanam, diantaranya: (a) coba-coba, pada alasan ini decision making unit mengatakan mencoba varietas baru dan pada akhirnya akan membandingkan hasilnya untuk menjadi referensi pada musim tanam selanjutnya. Decision making unit tidak dapat mengandalkan hasil panen

(43)

42 karakteristik tersendiri dalam mengelola usahataninya, sehingga decision making unit perlu merasa harus langsung menguji hasil dari suatu varietas. (b) mengikuti varietas yang digunakan oleh petani sekitar lahan. Misalkan decision making unit

X mengolah lahan yang dikelilingi petani yang menggunakan padi B. Meskipun

decision making unit X lebih menyukai padi A, akan tetapi pada akhirnya petani X mengikuti petani lain menanam padi B. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terkena hama dan penyakit karena perbedaan varietas. (c) adanya perjanjian dengan pemilik lahan. Misalkan pemilik lahan menghendaki lahannya ditanami padi varietas tertentu dikarenakan alasan tertentu misalnya sejarah lahan. Hal ini menyebabkan petani penggarap mengikuti varietas sesuai dengan yang diinginkan pemilik lahan.

Karakteristik decision making unit yang akan dibahas meliputi jenis kelamin, usia, lama bertani padi sawah, lama pendidikan formal, matapencaharian utama, status kepemilikan lahan garapan, dan sumber modal usahatani. Matapencaharian utama didefinisikan sebagai pekerjaan yang dianggap menjadi sumber penghasilan utama decision making unit. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat 58 dari 73 decision making unit atau sebanyak 79,46 persen decision making unit mengatakan bahwa mereka tidak memiliki pekerjaan lain selain bertani. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki keahlian lain selain bertani. Berdasarkan usia pada kategori decision making unit yang menyatakan bertani sebagai matapencaharian utama, hanya terdapat satu decision making unit yang berusia tidak produktif (diatas 65 tahun) dengan rataan pengalaman bertani 22 tahun. Meskipun banyak decision making unit yang masih berusia produktif, namun mereka hanya menggantungkan pendapatan dari bertani dengan alasan bertani adalah satu-satunya keahlian yang dimiliki. Banyaknya pengalaman menjadi petani juga menjadikan decision making unit menjadikan bertani sebagai sumber penghasilannya.

Berdasarkan lama menempuh pendidikan, decision making unit rata-rata menempuh pendidikan formal selama 6,5 tahun dengan 22 decision making unit

(44)

43 dunia pertanian sejak kecil membuat mereka merasa bertani adalah jalan hidupnya meskipun memiliki pendapatan yang tidak pasti. Berdasarkan usia, rataan

decision making unit berusia 44 tahun, dengan pengalaman bertani 22 tahun sehingga mereka menjadi lebih memilih bertani sebagai satu-satunya pekerjaan yang dimiliki.

Terdapat 15 dari 73 decision making unit atau sebanyak 20,54 persen

decision making unit memiliki pekerjaan lain selain bertani. Meskipun memiliki pekerjaan lain, sebagian besar decision making unit menganggap bertani adalah matapencaharian utama. Hal ini disebabkan besarnya penghasilan yang diperoleh dari bertani. Selain itu terdapat beberapa decision making unit yang tidak memiliki penghasilan tetap dari pekerjaan diluar bertani sehingga menganggap bertani adalah matapencaharian utama. Hanya terdapat lima decision making unit

yang menganggap bertani bukan matapencaharian utama. Alasan kelima decision making unit menyatakan bertani bukan matapencaharian utama karena mereka mendapatkan penghasilan tetap setiap periode tertentu dari pekerjaannya, ataupun mereka mendapatkan pendapatan yang besar dari pekerjaan lain selain bertani. Data decision making unit yang memiliki pekerjaan lain selain bertani terdapat pada tabel 8.

Usia rataan decision making unit yang memiliki pendapatan lain diluar usahatani adalah 43 tahun dengan rataan lama bertani 22 tahun, dan seluruh

decision making unit masih berada pada usia produktif. Masih produktifnya usia

decision making unit dapat menjadi penunjang sehingga decision making unit

(45)

44 Tabel 8. Sebaran Decision Making Unit Berdasarkan Jenis Pekerjaan Selain

Bertani Tahun 2010

Pekerjaan Selain Bertani Jumlah Decision Making Unit

Persentase (%)

Tukang Servis 1 6,67

Guru Honorer 3 20

PNS 2 13,33

Pedagang 7 46,67

Supir 1 6,67

TNI 1 6,67

Jumlah 15 100

Sumber: Kantor Desa Kertawinangun 2011, diolah

Berdasarkan luasan lahan, terdapat 34 decision making unit yang menggarap lahan dibawah satu hektar. Meskipun luasan yang digarap tidak terlalu besar, akan tetapi decision making unit merasa mendapatkan keuntungan karena sebagian besar menggarap lahan pribadi sehingga apabila gagal panen tidak dibebankan untuk membayar sewa lahan. Hanya dua decision making unit

yang menggarap lahan diatas lima hektar, dan hanya terdapat satu decision making unit yang menggarap lahan diatas lima hektar dan milik sendiri. Sebagian besar decision making unit yang menggarap lahan antara satu hingga lima hektar menggarap lahan yang terfragmentasi di beberapa tempat namun masih dalam satu hamparan yang menjadi area pengamatan. Hal ini dikarenakan terdapat

[image:45.595.105.520.154.353.2]
(46)

45 pemilik lahan dengan menggunakan harga gabah pada saat decision making unit membayar.

Berdasarkan sumber modal usahatani, sebagian besar decision making unit

tidak menggantungkan dari satu sumber modal saja. Kurang dari sepuluh decision making unit hanya memiliko satu sumber. Rataan modal yang dibutuhkan

decision making unit untuk menjalankan usahatani sebesar lima juta rupiah untuk lahan 0,7 hektar. Meskipun tidak terdapat akses terhadap lembaga perbankan di desa, petani dapat mengakses lembaga bank di desa lain yang berjarak sekitar 5 km dari desa tersebut, sehingga terdapat beberapa petani yang dapat mengakses perbankan sebagai sumber modal. Berdekatannya desa pengamatan dengan desa lain di tepi pantai menyebabkan petani yang memiliki akses ke KUD Mina sehingga meskipun bukan nelayan, namun petani tetap mendapat akses modal dari KUD tersebut.

5.4. Teknik Budidaya

Teknik budidaya yang direkomendasikan oleh Departemen Pertanian adalah teknik budidaya dengan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Pengelolaan tanaman terpadu menjadi salah satu strategi peningkatan produktivitas dengan penerapan teknologi yang sesuai dengan sumber daya pertanian yang tersedia di suatu daerah. Komponen dalam PTT terdiri atas teknologi dasar dan teknologi pilihan. Komponen teknologi dasar pada PTT adalah: (1) Penggunaan varietas unggul. (2) Benih bermutu dan berlabel. (3) Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah. (4) Pengendalian hama dan penyakit terpadu (HPT). Komponen teknologi pilihan dalam PTT terdiri atas: (1) Penanaman bibit umur muda dengan jumlah bibit satu hingga tiga bibit perlubang. (2) Peningkatan populasi tanaman. (3) Penggunaan bahan organik seperti kompos atau pupuk kandang. (4) Pengairan dan pengeringan berselang. (5) Pengendalian gulma. (6) Panen tepat waktu. (7) Perontokan gabah sesegera mungkin (BBP2TP 2008).

(47)

46 mengandalkan kebiasaan bertani yang dilakukan. Salah satu hal yang diduga menyebabkan hal ini adalah kurangnya kedekatan antara penyuluh dengan

decision making unit. Menurut keterangan decision making unit, penyuluh pertanian memiliki peran yang minim dalam membimbing dan memberikan informasi secara merata kepada decision making unit sehingga sebagian besar

decision making unit kurang mengetahui perkembangan terkini mengenai teknik budidaya padi sawah. Selain itu faktor usia dan latar belakang pendidikan juga menjadi faktor pendukung sikap subsisten dari decision making unit yang diamati.

Contoh hal yang membuat petani menjadi tidak percaya terhadap penyuluh adalah kejadian pada sekitar tahun 2006. Penyuluh pertanian memperkenalkan padi sawah jenis baru yaitu padi hibrida dan terdapat beberapa decision making unit yang tertarik untuk membudidayakan. Akan tetapi muncul masalah seperti gagal panen, banyaknya hama dan penyakit yang menyerang, tingginya biaya produksi, dan rendahnya harga beras di pasaran. Sekitar tahun 2008, penyuluh pertanian mengintroduksi padi varietas Ciherang, akan tetapi setelah beberapa musim tanam padi tersebut rentan terhadap hama dan penyakit, selain itu anakannya memiliki kualitas yang menurun dari hasil panen sebelumnya sehingga sebagian decision making unit enggan menggunakan bibit ini. Berbagai masalah yang muncul menyebabkan decision making unit merasa inferior dengan penyuluh pertanian sehingga saat ini sebagian besar decision making unit mereasa enggan untuk berkonsultasi dengan penyuluh pertanian. Selain itu, selama sekitar satu bulan pengamatan, terlihat penyuluh pertanian tidak melakukan pendekatan ataupun penyuluhan terhadap petani di daerah penelitian.

Berdasarkan kegiatan budidaya yang digunakan oleh decision making unit, secara gar

Gambar

Tabel 2. Produksi dan Luas Panen Padi Sawah Menurut Kabupaten dan Kota di Jawa Barat Tahun 2005-2006
Tabel 3. Luas Areal Pesawahan menurut Jenis Pengairan di Kecamatan Kandanghaur Tahun 2010
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis
Tabel 5.  Definisi Variabel dan Unit Pengukuran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Komunikasi berpengaruh terhadap Kinerja pegawai pada bagian Tata Usaha. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera

Penelitian Kajian Paparan Panas Lingkungan Kerja Terhadap Kenyamanan Termal Dan Produktivitas Kerja pada tahun ke-3 dana Hibah Bersaing ini dilakukan untuk meneliti

Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja perusahaan ( Return On Asset ) berpengaruh positif dan signifikan

impor dan dikelola oleh Bank Indonesia (Jimmy Benny 2003:1406).. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui Kurs Dollar Amerika, Pendapatan Perkapita, dan Cadangan

Penguat RF merupakan perangkat yang berfungsi memperkuat sinyal frekuensi tinggi yang dihasilkan osilator RF dan menghasilkan keluaran daya yang cukup besar

Dari proses identifikasi model HOR tahap 1 ditemukan 24 kejadian risiko (risk event ) dan 24 agen penyebab risiko (risk agent), selanjutnya penerapan HOR tahap 2 diperoleh

Kemudian dari hasil studi penggunaan kit IPA di kota Mataram ditemukan fakta bahwa jarangnya pemakaian kit IPA SD dalam pembelajaran di kelas (Syahrial,

Penelitian ini bertujuan memanfaatkan limbah cair industri tapioka yang diperkaya dengan penambahan glukosa dan amonium sulfat sebagai media alternatif starter bakteri asam laktat