• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pendapatan petani jagung menggambarkan secara sederhana bagaimana tingkat kelayakan usahatani jagung di daerah penelitian. Hasil analisis finansial dan ekonomis disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa hasil panen petani adalah sebesar 10.57 ton per usahatani atau 4.82 ton jagung pipilan kering per hektar. Secara finansial, harga jual jagung dalam bentuk pipilan kering adalah Rp.1400 per kg, sehingga diperoleh penerimaan sebesar Rp. 6.74 juta per hektar. Sedangkan secara ekonomis, dengan harga jagung Rp. 1452 diperoleh penerimaan sebesar Rp. 7.00 juta per hektar. Jadi, penerimaan petani secara ekonomis lebih besar daripada penerimaan finansial karena harga bayangan jagung yang lebih tinggi daripada harga privatnya.

Secara finansial, biaya total tunai yang dikeluarkan pada usahatani jagung adalah Rp. 4.29 juta per hektar sedangkan total biaya yang dikeluarkan adalah 4.57 juta. Komponen biaya terbesar yang harus dibayarkan petani untuk usahatani jagung adalah untuk biaya tenaga kerja luar keluarga, yaitu sekitar 18.91 persen (9.92 persen pada pra-panen dan 8.99 persen pada saat panen). Biaya pupuk organik (pupuk kandang) merupakan komponen biaya kedua

terbesar yang harus dikeluarkan petani, yaitu sekitar 15.31 persen. Sedangkan komponen biaya terkecil adalah biaya benih sebesar 1.05 persen.

Tabel 12. Analisis Finansial dan Ekonomis Usahatani Jagung per Hektar di Kabupaten Tanah Laut Musim Tanam I Tahun 2006-2007

Input Finansial Ekonomi

Satuan Fisik Nilai (Rp) % Nilai (Rp) %

PRODUKSI kg 4818 6 745 200 7 000 303 TRADABLE INPUT Benih kg 17.23 48 054 1.05 465 210 8.92 Pupuk a. Pupuk Anorganik - Urea kg 447.51 541 487 11.85 779 339 14.94 - SP-36 kg 45.25 75 794 1.66 53 961 1.03 - KCl kg 41.39 112 788 2.47 60 233 1.15 - NPK kg 25.7 88 665 1.94 67 688 1.30 b. Pupuk Organik kg 3 496.32 699 264 15.31 699 264 13.40 c. Pestisida liter 5.42 230 372 5.04 230 372 4.42

Total Tradable input 1 796 424 39.32 2 356 066 45.16

FAKTOR DOMESTIK

a. Bajak ha 1 325 000 7.11 325 000 6.23

b. Larik ha 1 175 000 3.83 175 000 3.35

c. Transportasi Pupuk paket 1 100 000 2.19 100 000 1.92

d. Tenaga Kerja Luar Keluarga

- Pra-panen jam 90.6 453 000 9.92 453 000 8.68 - Panen karung 164.23 410 575 8.99 410 575 7.87 e. Pasca panen - Transportasi karung 164.23 328 460 7.19 328 460 6.30 - Perontokan kg 4818 168 630 3.69 168 630 3.23 - Pengeringan kg 4818 529 980 11.60 529 980 10.16

Tenaga Kerja Dalam Keluarga

a. Pra-panen jam 46.20 231 000 5.06 231 000 4.43

b. Panen jam 2.55 12 750 0.28 12 750 0.24

Bunga Modal 167 326 3.66 256 566 4.92

Sewa Lahan ha 1 400 000 8.76 400 000 4.92

TOTAL BIAYA TUNAI 4 287 069 93.85 4 846 711 92.90

TOTAL BIAYA 4 568 164 100.00 5 217 047 100.00

KEUNTUNGAN ATAS BIAYA

TUNAI

2 458 131 2 153 593

KEUNTUNGAN ATAS BIAYA

TOTAL

2 177 036 1 783 257

R/C Atas Biaya Tunai 1.57 1.44

R/C Atas Biaya Total 1.48 1.34

Secara ekonomis, struktur biaya produksi jagung hampir sama dengan struktur biaya pada analisis finansial. Komponen biaya terbesar adalah tenaga kerja luar keluarga sebesar 16.55 persen (8.68 pada pra penen dan 7.87 persen pada pasca panen), diikuti dengan pupuk organik sebesar 13.29 persen. Biaya benih mencapai 8.92 persen dari seluruh biaya total secara ekonomi, sedangkan biaya benih secara finansial hanya 1.05 persen. Hal ini karena adanya subsidi harga benih sebesar Rp. 25 ribu per kg dari pemerintah daerah. Komponen biaya terkecil adalah pupuk NPK yaitu 1.30 persen dari total biaya.

Gambaran komponen biaya tersebut menunjukkan bahwa usahatani jagung merupakan usahatani yang sarat tenaga kerja (labor intensive). Selain itu, penggunaan pupuk kandang yang begitu besar dikarenakan lahan kering di lokasi penelitian yang miskin bahan organik dan relatif kurang subur. Menurut Subandi et al. (2005), tanah lahan kering di Kabupaten Tanah Laut bersifat: bereaksi masam (pH 5.1–5.4) dengan kejenuhan Al 29.5–43.9 persen, berkandungan bahan organik rendah sampai sedang (3.24–4.78%), berkadar N total rendah sampai sedang (0.16–0.23%) serta berkandungan P tersedia (Olsen) dan Kation basa K, Ca dan Mg tergolong rendah. Hal ini mengakibatkan petani mengeluarkan banyak biaya untuk membeli pupuk kandang guna meningkatkan kesuburan tanah.

Keuntungan finansial yang diperoleh dari usahatani jagung lebih besar daripada keuntungan secara ekonomi. Keuntungan finansial mencapai Rp.2.18 juta per hektar, sedangkan keuntungan secara ekonomi Rp 1.78 juta per hektar. Perbedaan ini terjadi karena harga privat input seperti benih dan pupuk urea lebih rendah daripada harga bayangannya.

Dilihat dari keuntungan finansial, dalam masa produksi sekitar 4 bulan, maka secara finansial pendapatan per hektar yang diperoleh petani adalah Rp.544.26 ribu per hektar per bulan. Jika lahan, tenaga kerja dan modal sendiri

tidak diperhitungkan maka akan diperoleh keuntungan atas biaya tunai sebesar 2.46 juta per hektar per musim atau Rp 614.53 ribu per hektar per bulan. Nilai pendapatan ini belum layak jika dibandingkan dengan UMSP (Upah Minimum Sektoral Provinsi) Kalimantan Selatan sebesar Rp 782.50 ribu per bulan. Dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 3.87 orang maka diperoleh pendapatan Rp 158.79 ribu per kapita per bulan. Nilai ini masih lebih lebih besar jika dibandingkan dengan garis kemiskinan (poverty line) menurut Badan Pusat Statistik (2006) yaitu sekitar Rp 131.26 ribu per kapita per bulan untuk daerah pedesaan.

Rata-rata petani reponden mengusahakan jagung pada luasan 2.22 hektar. Dengan luasan tersebut diperoleh pendapatan sebesar Rp 5.83 juta atau Rp. 1.46 juta per bulan, lebih tinggi daripada UMSP Kalimantan Selatan. Jadi, jika dibandingkan dengan nilai UMSP Kalimantan Selatan, usahatani jagung ini masih layak diusahakan jika luas lahan yang diusahakan minimal 1.5 hektar. Dengan luas lahan tersebut akan diperoleh pendapatan sekitar Rp.771.92 ribu per bulan atau Rp 199.46 ribu per kapita per bulan.

VI. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

Model fungsi produksi stochastic frontier yang digunakan di dalam analisis ini merupakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang terdiri dari delapan variabel penjelas, yaitu: luas lahan, benih, pupuk organik, pupuk N dan K, pupuk P, pestisida, tenaga kerja dan dummy olah tanah. Ringkasan data dapat dilihat pada Tabel 13 dan secara lengkap ditampilkan pada Lampiran 2.

Tabel 13. Ringkasan Data Pendugaan Fungsi Produksi

Variabel Simbol Rata-Rata Standar

Deviasi Minimum Maksimum Produksi (kg) Y 10681.17 7801.19 1500.00 50000.00

Luas lahan (ha) X1 2.22 1.42 0.50 10.00

Benih (kg) X2 38.21 24.07 10.00 160.00

P.organik (kg) X3 7751.71 6814.25 720.00 45000.00

Pupuk N+K (kg) X4 519.77 408.09 120.00 2710.00

Pupuk P (kg) X5 64.21 77.23 0.00 480.00

Pestisida (liter) X6 12.03 11.06 0.50 60.00

Tenaga Kerja (jam) X7 777.03 568.28 130.86 3770.00 Dummy olah tanah X8 X8=1 (24 responden)

X8=0 (52 responden)

Sumber: Analisis data primer, 2008

Penelitian ini menggunakan model stochastic frontier dengan metode pendugaan Maximum Likelihood (MLE) yang dilakukan melalui proses dua tahap. Tahap pertama menggunakan metode OLS untuk menduga parameter teknologi dan input-input produksi, dan tahap kedua menggunakan metode MLE untuk menduga keseluruhan parameter faktor produksi, intersep dan varians dari kedua komponen kesalahan vi dan ui. Dari analisis ini akan diketahui efisiensi tenis,

alokatif dan ekonomis dari petani responden, serta faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis. Selanjutnyaa akan dilakukan simulasi dengan menaikkan efisiensi alokatif sebagai dasar untuk melihat pengaruh peningkatan efisiensi terhadap daya saing.

6.1. Analisis Stochastic Frontier

Pembahasan mengenai efisiensi teknis dan faktor-faktor yang mempengaruhinya diuraikan berdasarkan hasil yang diperoleh dari analisis fungsi produksi stochastic frontier. Hasil analisis pendugaan model fungsi stochastic frontier ini dijadikan dasar untuk menganalisis efisiensi alokatif dan ekonomis dengan cara menurunkan fungsi produksi menjadi fungsi biaya frontier.

6.1.1.Pendugaan Fungsi Produksi Metode OLS

Pendugaan parameter fungsi produksi Cobb-Douglas dengan metode Ordinary Least Square (OLS) memberikan gambaran kinerja rata-rata dari proses produksi petani pada tingkat teknologi yang ada. Pada Tabel 14 disajikan parameter dugaan fungsi produksi rata-rata tanpa retriksi dan dengan retriksi, sedangkan hasil lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.

Tabel 14. Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode OLS

Tanpa Retriksi Retriksi Variabel Input Parameter

Dugaan t-rasio Parameter Dugaan t-rasio Intersep 5.260 8.210 5.386 8.238 Luas Lahan (X1) 0.450*) 3.466 - - Benih (X2) 0.139*) 1.566 0.117 1.291 Pupuk organik (X3) 0.102*) 2.303 0.101*) 2.214 Pupuk N dan K (X4) 0.005 0.089 -0.018 -0.348 Pupuk P (X5) 0.032*) 4.824 0.030*) 4.456 Pestisida (X6) 0.057*) 1.691 0.065*) 1.898 Tenaga Kerja (X7) 0.294*) 3.432 0.314*) 3.600

Dummy Olah Tanah (X8) 0.023 0.511 0.010 0.211

Adj-R Square 0.928 0.433

Sumber : Analisis data primer, 2008 *) Nyata pada taraf α 0.15

Hasil pendugaan menunjukkan bahwa, fungsi produksi rata-rata tanpa retriksi yang terbentuk cukup baik (best fit) yang menggambarkan perilaku petani di dalam proses produksi. Koefisien determinasi (R2) dari fungsi produksi rata- rata yang diperoleh bernilai 0.928. Artinya, input-input yang digunakan dalam

model tersebut dapat menjelaskan 92.8 persen dari variasi produksi jagung lahan kering di daerah penelitian.

Dari Tabel 14 diketahui bahwa semua tanda parameter pada fungsi produksi tanpa retriksi adalah positif sesuai dengan yang diharapkan. Variabel luas lahan (X1), benih (X2), pupuk organik (X3), pupuk P (X5), penggunaan

pestisida (X6) dan curahan tenaga kerja (X7) berpengaruh nyata terhadap

produksi jagung pada taraf

α

15 persen, sedangkan variabel Pupuk N dan K (X4)

dan dummy olah tanah (X8) tidak berpengaruh nyata.

Nilai parameter pada fungsi produksi Cobb-Douglas juga merupakan nilai elastisitasnya. Nilai parameter untuk luas lahan adalah 0.450, yang juga merupakan nilai elastisitasnya. Luas lahan memiliki elastisitas tertinggi dibandingkan variabel-variabel lainnya. Hal Ini menunjukkan bahwa perluasan lahan atau ekstensifikasi dapat dijadikan sebagai pilihan untuk meningkatkan produksi jagung. Nilai elastisitas terkecil adalah pupuk N dan K, dimana peningkatan pupuk N dan K sebesar 1 persen hanya dapat meningkatkan produksi jagung sebesar 0.002 persen. Hal ini diduga karena penggunaan pupuk N (dalam bentuk urea) sudah berlebihan.

Hasil pada Tabel 14 juga terlihat bahwa dengan retriksi lahan, koefisien determinasi (R2) dari fungsi produksi rata-rata yang terretriksi bernilai 0.433. Artinya, input-input yang digunakan dalam model tersebut dapat menjelaskan 43.3 persen dari variasi produksi jagung lahan kering di daerah penelitian. Variabel pupuk organik (X3), pupuk P (X5), pestisida (X6) dan tenaga kerja (X7)

berpengaruh nyata pada α 15 persen, sedangkan variabel benih (X2), pupuk N

dan K (X4) dan dummy olah tanah (X8) tidak berpengaruh nyata.

Untuk melihat apakah ada perbedaan antara kedua fungsi produksi tersebut maka dilakukan uji varians dengan rumus:

) 1 /( / ) ( 1 1 1 1 1 2 − − − = k n JKG k JKG JKG Fhit ... (6.1)

JKG1 = jumlah kuadrat galat fungsi produksi tanpa retriksi JKG2 = jumlah kuadrat galat fungsi produksi dengan retriksi n1 = jumlah pengamatan contoh

k1 = jumlah peubah bebas

Hasil pengujian terhadap kedua fungsi produksi tersebut menghasilkan nilai F hitung (0.556) lebih kecil daripada F0.05 = 2.51, sehingga secara statistik kedua

model tidak berbeda nilai parameter. Sehingga untuk analisis selanjutnya akan digunakan fungsi produksi tanpa retriksi.

6.1.2. Model Empiris Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Tabel 15 dan Lampiran 6 memperlihatkan hasil pendugaan stochastic frontier dengan menggunakan delapan variabel penjelas. Hasil pendugaan menggambarkan kinerja terbaik (best practice) dari petani responden pada tingkat teknologi yang ada. Fungsi produksi stochastic frontier ini akan digunakan sebagai dasar untuk mengukur efisiensi alokatif dan ekonomis yang diturunkan menjadi fungsi biaya dual. Pendugaan dilakukan dengan metode Maximum Likelihood (MLE).

Tabel 15. Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode MLE

Variabel Input Parameter Dugaan t-rasio

Intersep 5.412 8.189 Luas Lahan (X1) 0.448*) 3.632 Benih (X2) 0.144*) 1.841 Pupuk organik (X3) 0.087*) 1.802 Pupuk N dan K (X4) 0.003d) 0.077 Pupuk P (X5) 0.021*) 3.081 Pestisida (X6) 0.043*) 1.334 Tenaga Kerja (X7) 0.317*) 3.831

Dummy Olah Tanah (X8) 0.046*) 1.166

Log-likelihood OLS 33.815 Log-likelihood MLE 37.224

LR 6.818 Sumber : Analisis data primer, 2008

Variabel-variabel yang nyata berpengaruh terhadap produksi batas (frontier) petani responden ditemukan sama dengan fungsi produksi rata-rata, yaitu: variabel luas lahan (X1), variabel benih (X2), pupuk organik (X3), pupuk P

(X5), penggunaan pestisida (X6), tenaga kerja (X7) dan variabel dummy oleh

tanah (X8) berpengaruh nyata pada taraf

α

15 persen, sedangkan variabel pupuk

N dan K (X4) tidak berpengaruh nyata terhadap produksi jagung.

Parameter dugaan pada fungsi produksi stochastic frontier menunjukkan nilai elastisitas produksi batas dari input-input yang digunakan. Hasil pendugaan pada Tabel 15 menunjukkan bahwa elastisitas produksi batas dari variabel luas lahan ditemukan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung pada taraf

α

15 persen, dengan nilai sebesar 0.448. Angka ini menunjukkan bahwa penambahan lahan sebesar 10 persen dengan input lainnya tetap, masih dapat meningkatkan produksi jagung di daerah penelitian dengan tambahan produksi sebesar 4.48 persen. Selain itu hasil pendugaan di atas juga dapat menjelaskan bahwa elastisitas produksi luas lahan pada fungsi stochastic frontier lebih kecil dari elastisitas produksi luas lahan pada fungsi produksi rata-rata, yang bernilai 0.450. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan pada fungsi produksi stochastic frontier kurang elastis dibandingkan dengan fungsi produksi rata-rata. Dengan demikian, petani masih rasional jika mempunyai keinginan untuk menambah rata-rata penggunaan lahan.

Hasil ini menunjukkan bahwa usahatani jagung masih dapat ditambah luas lahannya dengan memanfaatkan lahan yang selama ini belum dimanfaatkan di Kabupaten Tanah Laut. Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Tanah Laut Tahun 2006, lahan kering yang selama ini belum dimanfaatkan mencapai 23.65 ribu hektar.

Sementara elastisitas produksi batas dari variabel pupuk P (X5) dan

curahan tenaga kerja (X7) ditemukan berpengaruh nyata terhadap produksi

jagung dengan nilai masing-masing 0.021 dan 0.317. Angka ini juga ditemukan berbeda nyata pada taraf

α

15 persen. Angka-angka ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah penggunaan pupuk P dan curahan tenaga kerja masing- masing sebesar 10 persen dengan input lainnya tetap, masih dapat meningkatkan produksi jagung di daerah penelitian dengan penambahan produksi sebesar 0.21 persen dan 3.17 persen.

Hasil ini juga dapat menjelaskan bahwa nilai elastisitas produksi pupuk P dan curahan tenaga kerja pada fungsi produksi stochastic frontier lebih besar daripada elastisitas produksi pada fungsi produksi rata-rata. Ini menunjukkan bahwa petani masih rasional untuk menambah penggunaan input penggunaan input pupuk P dan tenaga kerja untuk meningkatkan produksinya. Hal ini juga diperkuat fakta bahwa rata-rata penggunaan pupuk P (SP-36) ditingkat petani adalah 41.39 kg per hektar, sedangkan rekomendasi adalah 100 kg per hektar.

Benih (X2), pupuk organik (X3) dan penggunaan pestisida (X6) ditemukan

berpengaruh nyata pada

α

15 persen, dengan nilai masing-masing elastisitasnya adalah 0.144, 0.087 dan 0.043. Hal ini menunjukkan bahwa jika masing-masing input benih dan curahan tenaga kerja ini dinaikkan sebesar 10 persen sedangkan input lainnya tetap maka produksi jagung akan meningkat masing-masing sebesar 1.44 persen, 0.87 persen dan 0.43 persen.

Variabel dummy olah tanah (X8) ditemukan berpengaruh nyata pada taraf

α

15 persen. Jika dilakukan pembajakan sedangkan input lainnya tetap, maka produksi jagung akan meningkat sebesar 0.046 persen. Namun menurut petani, pembajakan sebaiknya tidak dilakukan pada setiap akan tanam jagung karena sifat lahan kering di lokasi penelitian yang hanya memiliki lapisan bahan organik

yang tipis pada permukaan tanah. Sehingga pembajakan hanya dilakukan antara 2 – 3 tahun sekali.

Variabel pupuk N dan K (X4) ditemukan tidak berpengaruh nyata terhadap

produksi jagung dan juga ditemukan bahwa elastisitas produksi pupuk N dan K pada fungsi produksi stochastic frontier lebih kecil dari elastisitas produksi pada fungsi produksi rata-rata. Ini diduga karena penggunaan pupuk N diduga sudah berlebihan. Menurut anjuran PPL, dosis penggunaan pupuk N per hektar adalah 180 kg (setara dengan 400 kg pupuk urea), sedangkan rata-rata penggunaan pupuk N per hektar oleh petani di daerah penelitian telah mencapai 201.38 kg (setara dengan 447.51 kg pupuk urea). Sebaliknya rata-rata penggunaan pupuk K ditingkat petani hanya 24.83 kg per hektar (setara dengan 41.39 kg pupuk KCl). Dosis ini masih lebih rendah dibandingkan dengan dosis anjuran PPL yaitu adalah 60 kg per hektar (setara dengan 100 kg pupuk KCl). Jadi agar lebih optimal penggunaan input-inputnya sebaiknya penggunaan pupuk urea dikurangi sedangkan penggunaan pupuk KCl ditambah.

Dokumen terkait