• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis finansial

Dalam dokumen HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 57-63)

B. Kinerja Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa 1. Analisis fungsi produksi

2. Analisis finansial

Analisis usahatani merupakan implementasi dari aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, khususnya pada pola tanam yang diterapkan dan jenis tanaman yang dipilih petani (Andayani, 2008). Kompleksitas analisis khususnya ditemui pada KIBARHUT pola tanam agroforestry (AF), yaitu pola tanam yang mengkombinasikan tanaman pokok (kayu jenis FGS), tanaman semusim/hortikultur dan tanaman keras/perkebunan yang sangat beragam sebagaimana pada Tabel 21. Berhadapan dengan beragamnya pola pertanaman (cropping pattern) dan jenis tanaman di lokasi contoh, maka analisis

80 Analisis fungsi produksi dalam penelitian ini hanya dilakukan pada produksi kayu sebagai hasil KIBARHUT (multi input-single output), tetapi tidak memasukkan perhitungan pemanfaatan tanaman non kehutanan dengan menggunakan faktor produksi yang sama (multi input-multi output).

dilakukan dengan menetapkan pola pertanaman yang menjadi ciri dan sifat umum di lokasi penelitian, sebagaimana disarankan Andayani (2008).

Tabel 21 Jenis tanaman keras pada pola tanam AF di lokasi contoh

Pola pertanaman Tipe 1 Bawang Tipe 2 Sukaraja

Jumlah Petani 21 petani 4 petani

Jenis tanaman keras diusahakan81

• Kopi, melinjo, lain-lain 11 petani (52,4%) • Melinjo, bambu, lain-lain 1 petani (4,8%) • Melinjo, nangka, lain-lain 3 petani (14,3%)

• Kopi 4 petani (19,0%)

• Melinjo, cengkeh, lain-lain 2 petani (9,5%)

• jengkol, kelapa, lain-lain 2 petani (50,0%)

• kelapa, pisang, lain-lain 1 petani (25,0%)

• kelapa, lain-lain 1 petani (25,0%)

Tabel 21 menunjukkan bahwa kombinasi tanaman keras yang diusahakan sebagian besar petani dengan pola tanam AF adalah kombinasi tanaman melinjo dan kopi pada Tipe 1 Bawang, dan jengkol dan kelapa pada Tipe 2 Sukaraja. Berdasarkan pola pikir tersebut diatas dan data sebagaimana disajikan pada Tabel 10 dan 11 (halaman 63–65), maka kemudian disusun pola tanam (cropping pattern) dan jenis tanaman yang dijadikan dasar untuk analisis sebagaimana pada Tabel 22.

Tabel 22 Luas usaha (ut), pola tanam dan jenis tanaman KIBARHUT di lokasi contoh

Tipologi Rata-rata luas

lahan usaha (ut)

Pola tanam

Jenis tanaman

Pokok (FGS) Hortikultur Keras/Kebun Tipe 1 Bawang

• 1 tingkat (1B1MS) 5,000 ha Murni Sengon Jagung --- • 2 tingkat (1B2MS) 0,272 ha Murni Sengon Jagung ---

2 tingkat (1B2AS) 0,203 ha AF Sengon Jagung Kopi, melinjo Tipe 2 Sukaraja

• 2 tingkat (2S2MS) 0,198 ha Murni Sengon Singkong --- 2 tingkat (2S2AS) 0,385 ha AF Sengon Singkong Jengkol, kelapa Tipe 2 Krucil

• 1 tingkat (2K1MS) 1,075 ha Murni Sengon Jagung --- • 2 tingkat (2K2MB) 0,396 ha Murni Balsa Jagung --- 2 tingkat (2K2MS) 0,372 ha Murni Sengon Jagung --- Tipe 3 Sukaraja

• 2 tingkat (3S2MS) 0,162 ha Murni Sengon Singkong --- Tipe 3 Krucil

• 2 tingkat (3K2MB) 0,353 ha Murni Balsa Jagung --- 2 tingkat (3K2CBS) 0,324 ha campur Balsa-Sengon Jagung ---

81 BPS mengklasifikasikan sebagai tanaman yang diusahakan jika memenuhi batas minimal usaha (BMU) yaitu berkisar antara 3–12 pohon per satuan unit usahatani (BPS dan Dephut, 2004). Dengan demikian tanaman yang kurang dari jumlah minimal tersebut dikategorikan sebagai “lain-lain”.

Analisis finansial kelayakan kelembagaan KIBARHUT di lokasi contoh dilakukan dengan metode aliran kas dari biaya dan pendapatan yang telah didiskonto (discounted cash flow analysis). Analisis menggunakan asumsi sebagai berikut: a. Tingkat diskonto atau suku bunga adalah 15%82

b. Sumber modal seluruhnya adalah modal sendiri milik para pelaku.

c. Periode waktu analisis adalah terbatas berdasarkan kontrak KIBARHUT yaitu 5–6 tahun. Jangka waktu pengusahaan (daur) tanaman pokok KIBARHUT tersebut dibedakan sesuai tipologinya.

d. Perekonomian negara dalam keadaan stabil selama jangka waktu analisis. e. Umur kelayakan usaha KIBARHUT dihitung selama daur tanaman pokok. f. Pendapatan dari tanaman dihitung sesuai periode panen.

g. Semua harga input dan output (dalam rupiah) berdasarkan harga yang berlaku pada tahun penelitian (2008), dengan asumsi harga konstan selama umur proyek.

h. Skala usaha dianalisis pada tingkat usahatani (ut) yaitu rata-rata luasan lahan petani yang dikerjasamakan dalam rangka KIBARHUT.

i. Jumlah tanaman KIBARHUT yang dipanen dihitung berdasarkan rata-rata jumlah pohon yang ada di lahan agents pada saat penelitian dilakukan (Lampiran 4).

Berdasarkan asumsi tersebut, disusun nilai dasar aktual (harga privat) sebagaimana Lampiran 11 dan Lampiran 12, dan hasil perhitungan analisis finansialnya terdapat pada Lampiran 13. Selanjutnya, ringkasan parameter ekonomi yang menjadi indikator kelayakan finansial untuk setiap tipologi KIBARHUT disajikan pada Tabel 23. Penyajian pada tabel tersebut berdasarkan perhitungan pada tingkat usahatani (per ut).

Tabel 23 memperlihatkan bahwa pada tingkat suku bunga 15% per tahun, pelaksanaan KIBARHUT di lokasi contoh adalah layak secara finansial. Kelayakan ditunjukkan dengan terpenuhinya kriteria keberterimaan kelayakan finansial secara total (secara keseluruhan komoditas yang dihasilkan melalui pelaksanaan KIBARHUT), yaitu memenuhi syarat NPV > 0, IRR > i% (berkisar 22% – 46%) dan B/C ratio > 1 (berkisar 1,31 – 2,88). Hasil tersebut menunjukkan bahwa KIBARHUT mampu memberikan keuntungan finansial sehingga menghasilkan kinerja yang dapat menjamin terwujudnya keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa.

82 Tingkat suku bunga ditentukan dari rata-rata suku bunga investasi di bank pemerintah/swasta, bank kredit desa (BKD), bunga simpan pinjam atas dana bergulir di desa, dan suku bunga tabungan pada tahun 2008 (http://www.bi.go.id/web/id/ Moneter/BI+Rate/). Pada sisi lain, Pearson et al. (2005) juga menyarankan penggunaan angka 15% sebagai tingkat diskonto kegiatan investasi yang wajar untuk negara berkembang seperti di Indonesia.

Tabel 23 Analisis kelayakan finansial KIBARHUT Tipe KIBARHUT Rerata luas

ut (ha)

Pola tanam

tanaman pokok/FGS

Parameter kelayakan finansial NPV, i =15% B/C ratio IRR Tipe 1 Bawang

- hub 1 tingkat (1B1MS) 5,000 murni Sengon 115.385.147 2,88 45% - hub 2 tingkat (1B2MS) 0,272 murni Sengon 2.739.596 1,98 35% hub 2 tingkat (1B2AS) 0,203 AF Sengon 2.257.667 2,11 36% hub 2 tingkat (rata-rata) 0,222 2.498.631 2,04 35% Tipe 2 Sukaraja

- hub 2 tingkat (2S2MS) 0,198 murni Sengon 2.159.675 1,59 29% hub 2 tingkat (2S2AS) 0,385 AF Sengon 3.184.972 1,59 29% hub 2 tingkat (rata-rata) 0,248 2.672.323 1,59 29% Tipe 2 Krucil

- hub 1 tingkat (2K1MS) 1,075 murni Sengon 15.840.361 2,02 35% - hub 2 tingkat (2K2MB) 0,396 murni Balsa 2.617.291 1,39 24% hub 2 tingkat (2K2MS) 0,372 murni Sengon 3.055.784 1,55 27% hub 2 tingkat (rata-rata) 0,384 2.836.537 1,47 25% Tipe 3 Sukaraja

- hub 2 tingkat (3S2MS) 0,162 murni Sengon 3.699.251 1,98 32% Tipe 3 Krucil

- hub 2 tingkat (3K2MB) 0,353 murni Balsa 1.834.327 1,31 22% hub 2 tingkat (3KSCBS) 0,324 campur Balsa–Sengon 2.081.428 1,42 24% hub 2 tingkat (rata-rata) 0,336 1.957.878 1,36 23%

Nilai kelayakan usaha tertinggi diperoleh pada Tipe 1 Bawang variasi hubungan 1 tingkat. Tetapi hasil tersebut tercapai dengan luasan lahan dimanfaatkan untuk usaha KIBARHUT adalah 5 ha per ut. Pada Tipe 3 Sukaraja, walaupun rata-rata luasan lahan yang dimanfaatkan adalah relatif lebih sempit (0,162 ha), tetapi mempunyai kinerja finansial yang relatif lebih baik (IRR = 32% dan B/C ratio = 1,98) dibandingkan rata-rata IRR dan B/C ratio tipe lainnya. Kinerja tersebut diperoleh karena Tipe 3 Sukaraja memiliki proporsi jumlah pohon siap panen lebih tinggi (rata-rata 76%).

Kinerja finansial juga dievaluasi berdasarkan imbalan yang diperoleh oleh masing-masing pelaku dari adanya hubungan kelembagaan (Nugroho, 2003). Analisis finansial berdasarkan sudut pandang masing-masing pelaku, telah memperhitungkan manfaat (keuntungan) yang kemungkinan diperoleh. Manfaat atau kemungkinan pendapatan tersebut dihitung berdasarkan volume kayu yang dipasok agents (komitmen penegakan kontrak) dan laba usaha per kubik bahan baku kayu tanaman.

Simulasi perhitungan berdasarkan laporan keuangan industri menunjukkan adanya laba bersih usaha per kubik bahan baku dipergunakan sekitar Rp 63.793,62 (Lampiran 14). Hasil serupa diungkapkan Nurendah (2006) yang menghitung laba usaha industri kayu lapis/blockboard/balok laminasi sekitar Rp 66.281,65 per kubik

bahan baku yang dipergunakan industri. Kemungkinan manfaat yang diperoleh para pelaku dengan terlaksananya hubungan kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa tersebut kemudian diperhitungkan dalam analisis finansial KIBARHUT.

Analisis finansial berdasarkan sudut pandang masing-masing pelaku menunjukkan bahwa KIBARHUT mempunyai kelayakan finansial untuk masing-masing pelaku (actors), sebagaimana terdapat pada Lampiran 15 dan secara ringkas pada Tabel 24. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa KIBARHUT mampu memberikan manfaat untuk semua pelaku yang terlibat sehingga mendukung terwujudnya keberlanjutan pembangunan hutan KIBARHUT di Pulau Jawa.

Tabel 24 Analisis kelayakan finansial berdasarkan sudut pandang pelaku Tipe

KIBARHUT Rerata luas ut (ha)

Pelaku

(actors) NPV, i=15%Parameter kelayakan finansial B/C ratio IRR Tipe 1 Bawang

- Hub 1 tingkat 5,000 Agents 56.498.262 2,89 47%

Principal 58.886.885 2,87 43%

- Hub 2 tingkat 0,222 Agents 3.251.669 2,78 45%

Principal 11.075 1,02 16%

Tipe 2 Sukaraja

- Hub 2 tingkat 0,248 Agents 2.608.176 1,85 35%

Mitra antara 92.401 1,45 28%

Principal 735.841 1,51 27%

Tipe 2 Krucil

- Hub 1 tingkat 1,075 Agents 21.265.440 2,90 47%

Principal 285.329 1,07 17%

- Hub 2 tingkat 0,372 Agents 4.278.494 2,04 35%

Mitra antara 205.075 1,32 23%

Principal 179.628 1,14 18%

Tipe 3 Sukaraja

- Hub 2 tingkat 0,162 Agents 1.076.129 1,98 36%

Mitra antara 1.886.571 2,14 38%

Principal 2.180.603 2,36 38%

Tipe 3 Krucil

- Hub 2 tingkat 0,336 Agents 134.792 1,25 35%

Mitra antara 2.646.309 1,91 35%

Principal 1.147.101 1,71 29%

Tabel 24 menunjukkan bahwa kelembagaan KIBARHUT Tipe 1 secara finansial adalah layak diusahakan oleh masing-masing pelakunya. Kelayakan finansial bagi semua pelaku tersebut juga diperoleh principal pada hubungan 2 tingkat walaupun principal tidak memperoleh bagi hasil kayu. Pada sisi lain, kelayakan finansial yang dinikmati masing-masing pelaku pada hubungan 1 tingkat ternyata tidak berdampak pada keberlanjutan hubungan kelembagaan. Hubungan hanya terlaksana dengan seorang agents di Desa Surjo, Bawang pada tahun tanam 2003/2004.

Pada KIBARHUT Tipe 1, jaminan pasokan kayu ditunjukkan dengan kesediaan sekitar 23,3% agents memasok kayu KIBARHUT ke principal. Pada sisi lain, principal juga memperoleh manfaat berupa (i) penghematan biaya kepala depo. Proses pembelian kayu dilakukan principal melalui NMS/SA, selanjutnya NMS menugaskan 1 Kepala Depo per wilayah Kecamatan, dengan sekitar 4–5 depo di tiap kecamatan. Principal dapat menghemat biaya dengan adanya kelembagaan KIBARHUT, karena cakupan wilayah kerja Kadep dapat ditambah atau dialihkan ke kecamatan lain; (ii) penghematan biaya pembuatan kontrak per depo/tahun. Adanya KIBARHUT menyebabkan principal tidak perlu mencari depo dan membuat/memperbaharui kontrak setiap tahun. Kontrak pengadaan kayu langsung dilakukan bersamaan penandatanganan kontrak KIBARHUT; dan (iii) menghapus kemungkinan penambahan harga secara sepihak oleh Kadep. Supplier/depo atau sawmill mengakui adanya kebiasaan menaikkan harga penjualan depo/sawmill sekitar Rp 10.000 per m³ KB sebagai harga titipan Kadep.

Pada Tipe 2 Sukaraja, petani (agents), mitra antara, dan principal memperoleh imbalan bagi hasil kayu sesuai proporsi yang ditetapkan dalam kontrak KIBARHUT, sehingga menguntungkan dan layak diusahakan oleh masing-masing pelakunya. KIBARHUT Tipe 2 Krucil pada hubungan kontraktual 1 tingkat dan 2 tingkat berdasarkan sudut pandang masing-masing pelaku juga layak diusahakan dan menguntungkan. Pada Tipe 2 Krucil, adanya komitmen sekitar 86,7% agents untuk memenuhi kontrak memberikan potensi keuntungan dari hasil pengolahan kayu KIBARHUT, sehingga menunjukkan kelayakan finansial bagi principal.

Pada sisi lain, adanya keterlibatan mitra antara (hubungan 2 tingkat) di Tipe 2 ternyata menghasilkan kelayakan finansial lebih baik bagi principal. Hasil tersebut ditunjukkan dengan nilai IRR dan B/C ratio yang lebih tinggi dibandingkan hubungan 1 tingkat (tanpa keterlibatan dan peran mitra antara). Pada hubungan 2 tingkat, sebagian pelaksanaan kegiatan KIBARHUT dilakukan oleh mitra antara, sehingga beban (biaya) principal menjadi berkurang. Hasil ini juga menunjukkan pentingnya peran dan keterlibatan mitra antara dalam pelaksanaan kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa.

Jika analisis finansial dilakukan berdasarkan sudut pandang para pelakunya, maka hasil analisis menunjukkan bahwa Tipe 3 Sukaraja layak diusahakan oleh agents, mitra antara dan principal. Para pelaku memperoleh imbalan bagi hasil kayu

sesuai proporsi yang ditetapkan dalam kontrak, sehingga memiliki parameter kelayakan finansial yang relatif merata yaitu B/C ratio berkisar 1,98 – 2,36 dan IRR berkisar 36% – 38%.

Pada Tipe 3 Krucil, analisis finansial menunjukkan bahwa KIBARHUT layak diusahakan dan menguntungkan bagi semua pelakunya. Walaupun tidak memperoleh bagi hasil kayu tetapi ada pendapatan agents dari biaya sewa lahan yang tidak perlu dibayarkan (atau merupakan pendapatan semu), sehingga kelembagaan KIBARHUT tetap menunjukkan kelayakan finansial bagi agents. Kesediaan agents untuk terlibat tersebut dicirikan adanya kesempatan memperoleh hijauan pakan ternak (hpt), menggarap lahan dan melakukan budidaya tanaman semusim (khususnya jagung). Sebagian hasil budidayanya dimanfaatkan juga sebagai hpt, dan menganggap transfer input produksi kayu yang dikeluarkan sebagai pengganti “biaya” sewa lahan sehingga merasa tidak dirugikan.

Dalam dokumen HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 57-63)