• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Keberlanjutan Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa

2. Evaluasi keberlanjutan KIBARHUT

Keberlanjutan hubungan kelembagaan terwujud jika terdapat insentif positif yang dinikmati pelaku terhadap keterlibatannya dalam suatu kelembagaan sebagaimana diungkapkan Jensen dan Meckling (1986), Kasper dan Streit (1998), Maskin (2001), Gibbons (1998; 2005), Ostrom (2005). Berdasarkan kriteria dimaksud, hipotesis utama penelitian adalah kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa berlangsung secara berkelanjutan dengan 3 hipotesis pendukung sebagai berikut.

a. Kesatu: Adanya komitmen pelaku KIBARHUT untuk menegakkan kontrak sehingga menjamin diperolehnya manfaat sesuai korbanan (biaya) yang dikeluarkan

Penegakan aturan merupakan upaya menjaga kepatuhan, keteraturan dan keberlanjutan hubungan (Ostrom, 2005). Penegakan kontrak KIBARHUT dan sekaligus upaya meminimalisir perilaku oportunis dilakukan melalui aturan formal yang mengatur sanksi dalam kontrak formal (Tipe 2 dan Tipe 3). Secara informal, penegakan kontrak formal didukung adanya mitra antara yang berperan secara aktif di lapangan. Penegakan juga terlaksana dengan adanya petugas lapangan (mitra antara dan principal) yang berada dan tinggal di sekitar lokasi, sehingga dapat teratur dan terus menerus menjalin komunikasi dengan agents. Khusus pada kontrak formal di lahan milik (Tipe 2), penegakan kontrak secara informal juga dilakukan melalui keterlibatan tokoh (ellite) warga yang sekaligus menjadi mitra antara pelaksanaan KIBARHUT. Pelaku tersebut berperan membina hubungan kerjasama, memotivasi

agents dalam pelaksanaan KIBARHUT, menyampaikan informasi dan menjalin komunikasi, serta menjadi penghubung principal dan agents.

Tidak adanya aturan yang mengatur sanksi, tidak efektifnya pengawasan dan jalinan komunikasi, serta resiko terpapar (hukuman karena berperilaku oportunis) adalah rendah sehingga munculnya dorongan atau aksi para pelaku untuk berperilaku oportunis atau tidak mematuhi kontrak. Situasi aksi tersebut berdampak pada

   

tingginya indikasi oportunis agents (76,7%) di Tipe 1 (kontrak non-formal) dibandingkan Tipe 2 dan Tipe 3 (Tabel 33). Perilaku oportunis tidak hanya dilakukan

agents tetapi juga dilakukan principal sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 33. Perilaku ingkar janji principal pada kontrak non-formal (skor 3) terindikasi lebih tinggi dibandingkan pada kontrak formal.

Tingginya perilaku oportunis berdampak rendahnya komitmen untuk penegakan kontrak pada kontrak non-formal. Artinya, tidak adanya jaminan kepastian hak dan kewajiban para pelaku menyebabkan hubungan menjadi tidak berarti dan tidak bermanfaat bagi semua pelaku yang terlibat (actors), sehingga sulit mewujudkan keberlanjutan kontrak di KIBARHUT dengan kontrak non-formal (Tipe 1).

Temuan tersebut diatas menunjukkan bahwa para pelaku di KIBARHUT Tipe 1 mempunyai kecenderungan tidak mematuhi komitmen awal yang telah diatur dalam kontrak, yang tercermin dari tingginya indikasi perilaku oportunis pasca kontrak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis kesatu adalah tidak sesuai dugaan semula pada kontrak non-formal. Pada KIBARHUT dengan kontrak formal (Tipe 2 dan Tipe 3) maka dugaan “adanya komitmen pelaku KIBARHUT untuk menegakkan kontrak sehingga menjamin diperolehnya manfaat sesuai korbanan (biaya) yang dikeluarkan” adalah sesuai.

b. Kedua: kelembagaan KIBARHUT menghasilkan manfaat (benefit) bagi pelakunya yang dapat menjadi insentif (positif) untuk keberlangsungan investasi pembangunan hutan KIBARHUT

Kajian terhadap manfaat yang dihasilkan kelembagaan KIBARHUT bagi para pelakunya menunjukkan bahwa fungsi produksi dari para pelaku KIBARHUT dapat diturunkan dua kali dan memenuhi syarat negatif terbatas (Tabel 20) sehingga disimpulkan bahwa pelaku telah berperilaku efisien dalam mengalokasikan input- input produksinya. Berdasarkan analisis finansial, KIBARHUT terbukti memiliki kelayakan secara finansial berdasarkan analisis secara total (Tabel 23) dan berdasarkan sudut pandang masing-masing pelakunya (Tabel 24). Kelayakan finansial ditunjukkan dengan NPV yang bernilai positif, B/C ratio > 1 dan tingkat pengembalian investasi (IRR) > i% (tingkat bunga yang dipersyaratkan). KIBARHUT juga memiliki keunggulan kompetitif (PP positif dan PCR < 1) dan keunggulan komparatif (SP positif dan DRC < 1) sebagaimana pada Tabel 25. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis kedua diterima kebenarannya, sehingga dugaan

“adanya manfaat diperoleh para pelaku yang dapat menjadi insentif untuk keberlangsungan investasi pembangunan hutan KIBARHUT” adalah sesuai pada semua Tipe KIBARHUT di Pulau Jawa.

c. Ketiga: output produksi (kayu) dialokasikan pada pasar kayu yang kompetitif sehingga mendukung kesediaan pelaku untuk terus membangun hutan KIBARHUT

Kajian terhadap alokasi komoditas yang dihasilkan (output) atau pasar kayu KIBARHUT menunjukkan bahwa motivasi pelaku untuk memproduksi kayu tercermin dari upaya membangun hutan KIBARHUT yang terus berlangsung sejak 2001/2002 di Krucil, dan sejak tahun tanam 2003/2004 di Bawang dan Sukaraja. Kegiatan KIBARHUT terus berlangsung sampai dengan sekarang, dan telah mencapai sekitar 14.537,12 ha tersebar di 20 kabupaten pada 4 provinsi di Pulau Jawa.

Para pelaku KIBARHUT juga termotivasi untuk membangun hutan dengan adanya kemudahan pemasaran kayu KIBARHUT. Kemudahan pasar kayu dan jaminan harga pasar didukung adanya saluran pemasaran khas sebagai jaminan pasar yang merupakan komitmen principal pada pelaksanaan KIBARHUT. Mekanisme tersebut pada kontrak formal dilakukan melalui KUP (sawmill afiliasi) di Sukaraja, melalui koperasi KAMkti dan sawmill afiliasi di Krucil, dan khusus pada kontrak formal di lahan milik dilengkapi adanya pemberian tambahan harga (premium price). Pada kontrak non-formal pun terdapat saluran pemasaran melalui koperasi GMS di Bawang walaupun belum terealisasi di lapangan. Mekanisme tersebut ternyata mampu memotivasi para pelaku untuk memproduksi (menanam), dan membangun hutan secara terus menerus, serta dapat memasarkan kayu (tanaman) hasil KIBARHUT secara efektif dan mudah.

Namun demikian, upaya membangun hutan KIBARHUT di Tipe 1 (kontrak non-formal) dengan hubungan 1 tingkat tidak berkelanjutan. Hubungan kelembagaan tersebut terjalin dengan hanya satu orang petani (agents) di Desa Surjo, Bawang dan hanya terjadi pada tahun 2004. Agents tidak bersedia melanjutkan hubungan kemitraan pada periode selanjutnya karena menganggap adanya sebagian dana/bantuan principal yang tidak disalurkan atau disalurkan petugas lapangan, tetapi jumlahnya tidak sesuai yang dijanjikan. Pada sisi lain, principal menyatakan sulitnya mencari mitra kerjasama, yaitu petani perorangan (agents) yang memiliki atau

   

menguasai lahan dalam satu hamparan yang relatif luas99, sebagai argumen tidak adanya keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT dengan kontrak non-formal.

 Upaya memotivasi para pelaku melalui keteraturan hubungan adalah juga upaya menegakkan kontrak untuk meminimalkan resiko gagalnya tujuan kelembagaan KIBARHUT. Upaya tersebut dapat juga dilakukan principal dengan mengalokasikan biaya untuk berbagai macam pengeluaran guna pemantauan, pengamanan, dan koordinasi (agency costs). Hasil analisis kepekaan (sensitivity analysis) pada Tabel 34 menunjukkan bahwa, adanya agency costs (diasumsikan sebagai kenaikan biaya input produksi sebesar 5%) masih memberikan kelayakan finansial berdasarkan analisis secara total. Jika analisis berdasarkan masing-masing pelakunya, maka analisis finansial adalah tidak layak bagi principal di kontrak non-formal karena tidak adanya umpan balik (aksi balasan) memadai dari pelaku yang lainnya. Situasi ini berkaitan dengan tingginya perilaku oportunis antara para pelaku pada kelembagaan dengan kontrak non-formal. Kelembagaan menjadi tidak bermakna bagi para pelakunya sehingga peluang keberlanjutan menjadi terkendala.

Berdasarkan temuan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol pada hipotesis ketiga adalah tidak sesuai dugaan semula pada KIBARHUT dengan kontrak non-formal. Pada KIBARHUT dengan kontrak formal, hipotesis ketiga yaitu dugaan “pasar kayu KIBARHUT kompetitif dicirikan adanya motivasi para pelaku untuk terus memproduksi (menanam) dan memasarkan komoditas yang dihasilkan KIBARHUT secara efektif dan mudah” adalah sesuai.

d. Sintesis hipotesis utama: kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa berlangsung secara berkelanjutan.

Berdasarkan hasil kajian dan temuan ketiga hipotesis pendukung diketahui bahwa pada kontrak non-formal (Tipe 1) terdapat dua hipotesis pendukung yang tidak sesuai dugaan semula yaitu hipotesis kesatu dan hipotesis ketiga, serta satu hipotesis yang sesuai dugaan semula yaitu hipotesis kedua. Dengan demikian dapat

99 Walau tidak ada aturan tertulis, petugas

principal mengakui bahwa KIBARHUT dapat dilaksanakan

jika agents mempunyai lahan cukup luas (sekitar 5 ha) yang siap dikerjasamakan. Lahan tersebut sedapat mungkin terhampar dalam satu kawasan yang tidak terlampau terpencar dan siap dikerjasamakan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dan menekan biaya distribusi bibit, pemantauan, dan pengorganisasian KIBARHUT. Hal ini cukup sulit dipenuhi agents secara perorangan, karena pengusahaan lahan milik petani di Kec. Bawang relatif sempit yaitu sekitar ± 0,2 ha. Dengan demikian, KIBARHUT pada hubungan 2 tingkat adalah menjadi solusinya, yaitu beberapa

disimpulkan bahwa hipotesis utama penelitian pada KIBARHUT dengan kontrak non- formal di lahan milik adalah tidak sesuai dugaan semula. Pada KIBARHUT dengan kontrak formal di lahan milik (Tipe 2) dan di lahan negara (Tipe 3) maka ketiga hipotesis pendukung adalah sesuai dugaan semula, sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis utama dalam penelitian ini adalah sesuai dugaan semula sehingga kelembagaan KIBARHUT dengan kontrak formal mempunyai peluang untuk berlangsung secara berkelanjutan.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya kepastian hak kepemilikan yang dilengkapi adanya kesepakatan dan kejelasan kontrak memberikan jaminan kepastian hak yang dinikmati (menjadi manfaat) dan jaminan pelaksanaan kewajiban dari para pelakunya. Jaminan disertai adanya aturan yang mengatur sanksi guna meminimalkan dorongan pelaku melanggar kesepakatan (komitmen) kontrak atau berperilaku oportunis yang dapat mengganggu keberlanjutan hubungan kemitraan. Dengan demikian, hak kepemilikan yang tidak diimbangi kepastian hukum (atau lengkapnya kesepakatan yang diatur dalam kontrak) menjadikan para pelaku tidak memiliki insentif memadai untuk terus menerus bersedia berinvestasi membangun hutan, sehingga hubungan kemitraan (kelembagaan KIBARHUT) menjadi terkendala dan tidak berkelanjutan.