• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori kemitraan (agency theory) dinyatakan sebagai teori yang digunakan untuk menjelaskan hubungan-hubungan hirarkis, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk menjelaskan berbagai bentuk pertukaran atau exchanges (Eggerstsson, 1990). Secara khusus, teori kemitraan diarahkan untuk menjelaskan suatu hubungan kemitraan antara salah satu pihak (yaitu principal) yang mendelegasikan pekerjaan ke pihak lain (yaitu agents), dimana penjelasannya dilakukan dengan menganalisis kontrak yang mengatur hubungan kedua pihak tersebut (Jensen dan Meckling, 1986; Eisenhardt, 1989).

Hubungan kemitraan (agency relationship) adalah suatu kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) menugaskan orang lain (agents) untuk melakukan sebagian kewenangan principal dan meliputi juga pendelegasian sebagian wewenang untuk mengambil keputusan (Jensen dan Meckling, 1986). Hubungan kemitraan antara principal dan agents tersebut merupakan suatu pertukaran yang kompleks sehingga mempunyai berbagai potensi permasalahan.

Permasalahan hubungan kemitraan muncul dikarenakan : (i) principal dan

agents mempunyai perbedaan kepentingan, tujuan atau harapan; (ii) principal

kesulitan memverifikasi aktivitas agents secara lengkap (Eisenhardt, 1989; Gibbons, 1998; Maskin, 2001; Gibbons, 2005). Permasalahan dasarnya adalah ketidakyakinan

principal bahwa agents bertindak sesuai kepentingan principal, dan permasalahan pembagian resiko karena kedua pihak mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang berbeda terhadap resiko usaha. Karena unit analisisnya adalah kontrak maka teori kemitraan berfokus pada efisiensi dan keberlanjutannya dengan mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya manusia, organisasi, dan informasi (Eisenhardt, 1989).

Faktor manusia sebagai pelaku kemitraan adalah penting karena agency relationship sangat bergantung dari sifat dasar manusia terhadap adanya resiko (Nugroho, 2003), dan ciri-ciri yang melekat pada masyarakat yang diharapkan terlibat menjadi pelaku kemitraan (participants who had possibility to be the prospective actors). Ostrom (2005) mengungkapkan berbagai sifat peserta/pelaku kemitraan yang diperkirakan berpengaruh pada keberlangsungan kemitraan, yaitu: (i) norma perilaku yang secara umum diterima masyarakat, (ii) tingkat pemahaman umum peserta untuk memperoleh, memproses dan memanfaatkan dalam proses memilih dan menentukan jenis aksi, (iii) adanya homogenitas preferensi dari semua yang ada di masyarakat (iv) kepemilikan dan distribusi sumberdaya pada semua pelaku.

Karenanya, kesepakatan dan keberlangsungan suatu kontrak tergantung dari situasi aksi dan lingkungan kelembagaannya. Jika pengguna sumberdaya berasal dari berbagai komunitas berbeda dan tidak ada saling kepercayaan diantara mereka, maka tugas untuk menjaga keberlanjutan kemitraan dan penegakan aturan menjadi meningkat.

Nugroho (2003) menyatakan adanya satu kesepakatan kontrak yang disebut sebagai bahu-membahu (interlocking). Pada sistem bahu membahu maka principal

menyediakan seluruh atau sebagian dana, termasuk juga manajemen pengelolaan dan teknologi, sedangkan lahan dan tenaga kerja umumnya disediakan agents. Kondisi ini menyebabkan secara tidak langsung agents (merasa) mempunyai keterkaitan dengan

principal (tying of labour), sedangkan principal mendapat jaminan atas produksi komoditas yang dihasilkan agents (interlocked transaction). Kedua model tersebut (tying of labour dan interlocked transaction) biasanya dilakukan sebagai solusi terhadap kompleksitas hubungan dengan masyarakat yang masih berpola subsistence.

Pengaturan kontrak tertentu yang masuk akal dilakukan organisasi terhadap suatu faktor produksi untuk mencapai tujuan yang sudah digariskan dan dikoordinasikan oleh para pemiliknya. Organisasi menciptakan kondisi dimana setiap

pihak dapat berinteraksi dan melakukan pertukaran dengan pihak lain pada biaya transaksi dan pencarian informasi yang ekonomis dan efisien (Kasper dan Streit, 1998). Pertukaran ekonomi berkaitan kehidupan sosial kemasyarakatan berdasarkan pandangan ekonomi kelembagaan selalu mempunyai 2 (dua) atribut, yaitu adanya

asymmetric information (ketidaksepadanan informasi) dan kemungkinan perilaku oportunis (opportunistic behavior) dari para pelaku (Barney dan Ouchi, 1986).

Asymmetric information terjadi jika satu atau lebih pihak mempunyai informasi yang lebih baik mengenai kualitas suatu produk atau jasa yang dipertukarkan dibandingkan pihak lain, sehingga tidak terjadi proses komunikasi dan pertukaran informasi yang seimbang antara para pelaku kemitraan. Asymmetric information

bukan berarti tidak dimilikinya informasi, tetapi terkadang informasi tersebut tidak dapat diperoleh dan berbiaya tinggi sampai dengan pertukaran terjadi, atau terkadang diperoleh namun sudah sangat terlambat10. Munculnya asymmetric information dan adanya kepentingan pribadi yang tidak selalu sama antara para pelaku kemitraan, mempengaruhi tindakan yang dilakukan para pelaku (Gambar 1).

P

A

A sy m metr ic In fo rmatio n Kontrak Performa Kepentingan pribadi Kepentingan pribadi

Gambar 1. Ide dasar Agency Theory (sumber: Wikipedia)

 

Hal ini mengakibatkan pertukaran tersebut rawan terhadap resiko salah pilih mitra (adverse selection) pada ex ante (sebelum kejadian) dan bahaya ingkar janji (moral hazard) pada ex post (setelah kejadian), dan bahkan dalam suatu kemitraan terdapat kemungkinan terjadinya double moral hazard (Maskin, 2001). Salah satu

10 Fenomena ini tergambarkan dengan jelas dalam Lemons Tragedy dari Akerloff (1986) dimana

pembeli tidak mempunyai informasi sempurna tentang kualitas produk yang dibelinya disebabkan tidak semua barang di pasar berkualitas baik karena bercampur dengan barang berkualitas buruk (lemons).

Gambar 1 Ide dasar agency theory

bentuk moral hazard adalah munculnya perilaku oportunis dari salah satu pihak yang melakukan pertukaran. Perilaku oportunis umumnya terjadi pada situasi ex post atau disebut sebagai oportunis pasca kontrak (post-contractual opportunistic behavior). Perilaku oportunis adalah kegiatan yang dilakukan oleh salah satu pihak, dengan memanfaatkan informasi atau kelebihan lain yang dimiliki, untuk mengeksploitasi ekonomi pihak lain demi keuntungannya. Kartodihardjo (2006b) dan Yustika (2006) menyatakan bahwa perilaku oportunis adalah upaya untuk mendapatkan keuntungan melalui praktek yang tidak jujur dan tipu muslihat dalam kerjasama, yang seringkali diikuti oleh sifat menipu, mencuri, dan melalaikan kewajiban.

Dalam suatu hubungan kemitraan, kedua pihak (principal dan agents) akan berupaya memaksimumkan utilitasnya dengan asas saling menguntungkan. Namun karena salah satu pihak (khususnya agents) menguasai informasi yang lebih baik, sehingga terdapat resiko atau kemungkinan perilaku oportunis salah satu pihak untuk tidak selalu bertindak guna kepentingan pihak lain. Situasi ini menimbulkan munculnya insentif (godaan) bagi satu atau lebih pelaku (khususnya agents) untuk berperilaku menyimpang dalam rangka memaksimumkan kesejahteraan dan utilitasnya sendiri (Eisenhardt, 1989; Gibbons, 2005).

Permasalahannya adalah bahwa pada kenyataannya principal tidak pernah tahu dengan agents mana seharusnya hubungan kemitraan atau kontrak (kerjasama) dilakukan. Principal juga tidak dapat mencermati secara sempurna aksi dan perilaku yang dilakukan oleh agents, serta bagaimana isi kontrak seharusnya dibuat (Maskin, 2001). Solusinya adalah memformulasikan suatu mekanisme insentif berdasarkan ketersediaan dan keseimbangan informasi, manfaat dan nilai-nilai yang dimiliki

principal dan agents.

Insentif merupakan instrumen atau perangsang dalam pertukaran ekonomi yang berbentuk langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi keputusan dan mengubah perilaku para pelaku ekonomi dengan menggunakan pertimbangan finansial atau non-finansial11. Upaya menjamin agents melakukan tindakan optimal guna kepentingan principal adalah tidak mungkin tanpa biaya, sedangkan konflik

11 Pemahaman ini disarikan dari Webster’s Third New International Dictionary (1961), Kamus Umum

Bahasa Indonesia karya WJS Poerwadarminta (1976), Kamus Besar bahasa Indonesia (edisi ketiga), McNeely (1992), dan Webster’s New World College Dictionary 3rd Edition (1996).

kepentingan antara principal dan agents selalu terjadi12. Jika tidak tercapai trade off

antara para pelaku KIBARHUT (dan ini menjadi perhatian agency theory) maka konflik terus berlanjut.

Konflik berkelanjutan, bersamaan dengan mekanisme pemberian jasa dan pengawasan (yang dilakukan untuk mengurangi konflik) memerlukan biaya kemitraan atau agency costs (Jensen dan Meckling, 1986). Agency costs diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan para pelaku kemitraan untuk mengawasi atau meyakinkan pelaku lainnya dan mencakup biaya atas konflik kepentingan yang tidak terselesaikan antara para pelaku. Agency costs selalu muncul dalam setiap kegiatan yang melibatkan upaya kerjasama oleh dua atau lebih orang walaupun hubungan tersebut tidak dinyatakan sebagai suatu hubungan principal-agents.

Hubungan kemitraan (principal agents relationships) juga tidak terlepas dari hak kepemilikan individu yang harus ditegakkan sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Spesifikasi hak kepemilikan individu (individual property rights) menentukan bagaimana costs and rewards dialokasikan diantara para pelaku kerjasama. Kontrak juga harus mampu merinci dan mendefinisikan dengan baik hak ekonomi dari para pelaku, sehingga keuntungan yang diharapkan dapat tercapai; dan dapat menghindari sengketa yang memerlukan biaya untuk menyelesaikannya (Fama dan Jensen, 1986). Spesifikasi hak tersebut umumnya tergantung kontraktual (implisit atau eksplisit) sehingga perilaku individu atau pelaku kemitraan dalam suatu kerjasama sangat tergantung sifat alami dari suatu kontrak.

Gibbons (2005) mengajukan model insentif suatu hubungan kemitraan yang dapat menggambarkan transaksi penawaran suatu komoditas (transaksi supply) antara dua organisasi yang tidak terintegrasi. Analisa kontrak insentif tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi petani dan/atau pemilik lahan sebagai pihak hulu (upstream parties), INPAK sebagai pihak hilir (downstream parties) dan kepemilikan asset (lahan, tenaga kerja, modal, dan sebagainya). Pihak hulu dapat menggunakan asset miliknya untuk membuat produk (yaitu kayu bundar) yang dapat digunakan sebagai input dalam proses produksi oleh pihak hilir.Lebih lanjut, Gibbons (1998; 2005) mengungkapkan bahwa model insentif yang dapat diaplikasikan dalam suatu transaksi pasokan bahan baku (supply) adalah juga berdasarkan suatu kontrak formal

12 Hal ini terjadi karena selalu terdapat perbedaan antara keputusan agents dengan keputusan yang

atau kontrak relasional. Kontrak formal atau court-enforceable contract maupun kontrak relasional yang diterapkan dalam aplikasi transaksi supply, mempunyai 2 (dua) variasi yaitu kontrak kemitraan yang terintegrasi dan kontrak tidak terintegrasi. Pengingkaran terhadap suatu kontrak kemitraan sangat tergantung dari kepemilikan asset dari para pihak yang terlibat

Kepemilikan assets membedakan apakah transaksi ekonomi yang dilakukan adalah di antara (kontrak yang tidak terintegrasi) atau di dalam perusahaan (kontrak yang terintegrasi), karena dalam kepemilikan asset melekat pula kepemilikan terhadap barang (Gibbons, 2005). Artinya, jika pihak hulu adalah pemasok lepas sekaligus pemilik asset maka dapat menjual barangnya ke pihak hilir yang berbeda, sedangkan jika pihak hulu adalah pekerja maka pihak hilir adalah pemilik barang. Jika pihak hilir adalah pemilik barang maka pihak hilir dapat memiliki barang tersebut tanpa perlu membayar harga/bonus yang dijanjikan. Tetapi jika pihak hulu adalah pemilik barang maka (i) pihak hulu dapat mengancam menjual barangnya ke pembeli alternatif sehingga membatasi kemampuan pihak hilir untuk mengingkari pembayaran harga/bonus yang sudah dijanjikan, dan (ii) dengan pihak hulu menjadi pemilik barang maka menciptakan insentif bagi pihak hulu untuk menghasilkan barang berkualitas tinggi bagi pembeli alternatif, dan ini dilakukan untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining position) pihak hulu terhadap pihak hilir yang menjadi mitranya.

Pada berbagai situasi, godaan mengingkari adalah minimal di antara para pihak yang terintegrasi, namun terdapat situasi dimana godaan mengingkari adalah minimal diantara para pihak yang tidak terintegrasi. Gibbons (1998) menyatakan bahwa integrasi (pekerja di hulu) dapat dianggap sebagai solusi terhadap kemungkinan eksternalitas kemitraan, namun integrasi berdampak biaya terhadap dua hal yaitu pengadaan sumberdaya sebagai bahan baku produksi dan dimensi pilihan (kualitas) produksi.

Dengan demikian, insentif berkekuatan lebih besar terdapat pada keadaan non- integrasi (Gibbons, 2005), karena harga/bonus subyektif yang optimal dari memproduksi barang berkualitas baik adalah lebih tinggi bagi pemasok lepas dibandingkan pekerja. Jika pihak hulu memiliki barang, maka pihak hilir tidak dapat mengingkari harga/bonus yang dijanjikan kecuali telah memiliki barang tersebut (pemasok lepas di hulu dapat secara bebas mengembangkan komoditas yang

dibutuhkan pihak hilir mitranya, sekaligus juga berguna bagi pihak hilir alternatif yang bukan mitranya).

Hubungan petani dengan industri perkayuan juga menghadapi kendala yang sama. Pada situasi dimana petani kesulitan memperoleh pembeli kayu alternatif, maka secara tidak langsung kayu menjadi khusus sehingga harus dijual ke industri tertentu. Pembeli dapat mengingkari janji dengan memaksa petani menjual kayu pada nilai yang ditentukan di ex post oleh industri. Pada kondisi dimana penggunaan alternatif adalah memungkinkan, maka petani mempunyai kemungkinan menjual komoditas yang telah diperjanjikan ke pihak lain dengan harapan nilai imbalan yang lebih tinggi.

Hubungan kontraktual principalagents menjadi efisien jika tingkat harapan manfaat dan keuntungan (rewards) kedua pihak seimbang dengan korbanan masing– masing dan biaya yang minimal untuk pembuatan kontrak atau kesepakatan. Kontrak juga menjadi lebih efisien untuk ditegakkan jika pelaku tidak sepenuhnya bergantung ke pihak lain, karena apabila terjadi maka memudahkan adanya eksploitasi oleh pihak yang menjadi gantungannya. Secara umum bentuk kontrak mencirikan perbedaan di antara perusahaan dan mampu menjelaskan alasan bertahan dan berkelanjutannya suatu perusahaan dan kemitraan yang dilakukan (Fama dan Jensen, 1986). Kontrak perlu disusun dengan membuat aturan main yang dapat dikontrol dan diawasi secara seimbang dan menjadi aturan yang dipergunakan (rules-in-use) oleh para pelaku kemitraan, sehingga dapat ditegakkan secara sukarela (enforceable contract). Kontrak juga harus dapat menjamin bahwa keuntungan dari berbuat curang adalah lebih rendah dari manfaat mematuhi kontrak (Maskin, 2001, Ostrom, 2005; Yustika, 2006).