• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Kinerja Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa

3. Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif

Analisis melalui Policy Analysis Matrix (PAM) bertujuan mengkaji kinerja atau keunggulan kompetitif dan komparatif KIBARHUT di Pulau Jawa. Analisis PAM menggunakan asumsi dan data dasar yang sama dengan analisis finansial, sedangkan perhitungan harga paritas impor kayu disajikan pada Lampiran 10 dan dugaan harga sosial untuk output dan input tradable disajikan pada Lampiran 11. Hasil perhitungan analisis PAM kelembagaan KIBARHUT pada tingkat usaha tani (ut) di lokasi contoh terdapat pada Lampiran 17 dan secara ringkas disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25 menunjukkan bahwa kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa menghasilkan keuntungan privat yang positif (PP > 0) untuk semua tipe. PP bernilai positif membuktikan bahwa KIBARHUT adalah usaha yang memiliki efisiensi secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif sehingga mampu untuk berekspansi di Pulau Jawa. Hasil ini sejalan temuan analisis finansial bahwa kelembagaan KIBARHUT memiliki kelayakan finansial.

Tabel 25 Ringkasan PAM kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa PP (private profit) SP (social profit) OT (output transfer) IT (input transfer) FT (factor transfer) NT (net

transfer) PCR DRC NPCO NPCI PC Tipe 1 Bawang -1 tingkat 115.385.147 199.468.330 (74.223.417) 4.154.144 5.706.621 (84.083.183) 0,517 0,371 0,789 1,123 0,578 -2 tingkat 2.498.631 3.942.644 (964.836) 254.397 224.780 (1.444.013) 0,710 0,602 0,924 1,114 0,644 Tipe 2 Sukaraja -2 tingkat 2.672.323 4.563.818 (1.517.669) 28.921 344.904 (1.891.494) 0,670 0,530 0,875 1,014 0,591 Tipe 2 Krucil -1 tingkat 15.840.361 26.922.516 (8.002.976) 1.426.062 1.653.116 (11.082.155) 0,684 0,549 0,885 1,144 0,588 -2 tingkat 2.836.537 6.696.958 (3.008.470) 336.391 515.560 (3.860.420) 0,803 0,623 0,856 1,110 0,424 Tipe 3 Sukaraja -2 tingkat 3.699.251 5.092.709 (1.087.407) 51.117 254.934 (1.393.458) 0,567 0,474 0,902 1,036 0,726 Tipe 3 Krucil -2 tingkat 1.957.878 4.274.046 (1.392.713) 464.978 521.477 (2.316.168) 0,859 0,729 0,933 1,128 0,470 Rata-rata 0,701 0,572 0,891 1,083 0,577

Keterangan : PP = keuntungan privat (private profit); SP = keuntungan sosial (social profit); PCR = rasio biaya privat (private cost ratio); DRC = rasio biaya sumberdaya domestik (domestic resources cost ratio); NPCO = koefisien proteksi output nominal (nominal protection coeeficient on tradabale output); NPCI = koefisien proteksi input nominal (nominal protection coefficient on tradable input); PC = koefisien keuntungan (profitability koefisien)

   

Berdasarkan harga sosial, kelembagaan KIBARHUT menghasilkan keuntungan sosial positif (SP > 0) untuk semua tipe. SP bernilai positif berarti KIBARHUT memiliki keunggulan komparatif atau efisien secara ekonomi. Analisis keuntungan privat dan sosial83 tersebut menunjukkan bahwa KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai kelayakan ekonomis pada kondisi tidak ada divergensi, dan penerapan kebijakan berlangsung secara efisien.

Jika terjadi divergensi dan distorsi kebijakan maka keunggulan kompetitif dan komparatif dapat dikaji dengan nilai private cost ratio (PCR84) dan domestic resources cost ratio (DRC85). Tabel 25 menunjukkan bahwa semua tipe pada kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai PCR < 1 dengan nilai rata-rata 0,701. Nilai PCR tersebut menunjukkan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar 1 satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 0,701 atau secara rata-rata membutuhkan kurang dari satu satuan.

Rasio PCR < 1 tersebut memperlihatkan bahwa KIBARHUT di Pulau Jawa memiliki keunggulan secara kompetitif, dan keunggulan tersebut meningkat dengan semakin kecilnya nilai PCR yang berarti semakin efisien secara finansial. Berdasarkan kriteria tersebut maka Tipe 1 Bawang dengan hubungan 1 tingkat merupakan arena aksi yang mempunyai tingkat efisiensi finansial terbaik dibandingkan arena aksi lainnya dan diikuti oleh Tipe 3 Sukaraja.

Semua tipe kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai DRC < 1 dengan nilai rata-rata 0,572. Rasio DRC menunjukkan bahwa untuk menghasilkan komoditas kayu FGS melalui kelembagaan KIBARHUT membutuhkan biaya sumberdaya domestik rata-rata 57,2% terhadap biaya impor yang dibutuhkan. Dengan kata lain, untuk menghasilkan setiap US$ 1.00 dari hasil kayu jenis FGS maka KIBARHUT hanya membutuhkan biaya domestik sebesar US$ 0,572 untuk memproduksinya. DRC juga memperlihatkan bahwa kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa memiliki efisiensi secara sosial atau keunggulan secara komparatif. Keunggulan atau daya saing tersebut semakin meningkat dengan semakin kecilnya

83 Analisis ekonomis dengan harga sosial yang diestimasi (estimated social prices) meninjau aktivitas

ekonomi dari sudut pandang masyarakat keseluruhan dan menggambarkan nilai ekonomi/sosial sesungguhnya atau the true value of social or economic value (Gittinger, 1982; Pearson et al., 2005).

84 PCR adalah indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem usaha untuk

membayar biaya domestik dan tetap memiliki daya saing atau keunggulan kompetitif.

85 DRC adalah indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang

DRC, yang berarti mempunyai keunggulan komparatif yang semakin tinggi. Berdasarkan kriteria tersebut, maka Tipe 1 Bawang dengan hubungan 1 tingkat adalah arena aksi yang mempunyai keunggulan komparatif tertinggi dibandingkan tipe lainnya, dan diikuti Tipe 3 Sukaraja.

Selanjutnya, dampak adanya distorsi kebijakan (yaitu dalam bentuk larangan impor/ekspor, pemberian subsidi, pengenaan pajak) atau kegagalan pasar tergambarkan pada pengaruh divergensi (effects of divergences). Divergensi atau penyimpangan/perbedaan antara harga privat yang dicermati (actual market) dan harga sosial (yang diduga) memberikan kejelasan dampak distorsi kebijakan dan kegagalan pasar (effects of distorting policies and market failures). Divergensi dicermati dari 3 sisi yaitu output (output transfer), input (input transfer) dan output- input/transfer bersih (net transfer).

Transfer output (OT) merupakan selisih antara penerimaan berdasarkan harga privat dengan penerimaan berdasarkan harga sosial. OT pada semua tipe KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai nilai negatif. OT bernilai negatif berarti konsumen (INPAK atau principal) membeli, dan produsen menerima harga yang lebih rendah dari harga seharusnya sehingga seolah-olah (implisit) dibebani pajak/transfer sumberdaya yang mengurangi keuntungan sistem usaha KIBARHUT di Pulau Jawa.

Melengkapi analisis dari sisi output, maka pencermatan koefisien proteksi output nominal atau NPCO (nominal protection coefficient on tradable output) dilakukan guna menganalisis proteksi atau kebijakan pemerintah yang diberikan. kelembagaan KIBARHUT memiliki NPCO < 1 dengan rata-rata sebesar 0,891 (Tabel 25). Nilai tersebut menunjukkan harga domestik kayu Sengon di Pulau Jawa adalah lebih rendah dari harga paritasnya, dan tidak ada policy transfer atau proteksi yang diterima pelaku KIBARHUT.

Nilai insentif yang diberikan pemerintah terhadap input produksi dan dampaknya dapat dilihat dari besarnya nilai tradabale input transfer (IT), koefisien nominal proteksi input atau NPCI (nominal protection coefficient on tradable input) dan transfer input faktor domestik (factor transfer atau FT). Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa menghasilkan IT yang positif (IT > 0). IT positif terjadi karena harga privat untuk input-input tradable adalah lebih tinggi dibandingkan harga sosialnya. Rasio kedua nilai tersebut disebut sebagai NPCI, dan kelembagaan

   

KIBARHUT memiliki NPCI yang lebih dari satu. NPCI > 1 tersebut terjadi karena terjadinya kelangkaan pupuk sehingga harga pupuk urea yang dibayarkan petani adalah lebih tinggi (berkisar antara 16,7 – 33,3%) daripada harga pupuk subsidi pemerintah. Dampaknya adalah penggunaan input tradable (pupuk an-organik dan obat-obatan) sangat rendah dan terbatas, dan umumnya dipergunakan dalam proses produksi komoditas non kayu atau tanaman hortikultur yang ditanam secara tumpangsari pada awal-awal daur tanaman kayu.

Karenanya biaya-biaya yang dikeluarkan petani untuk memperoleh pupuk kimia dan obat-obatan adalah melebihi jumlah subsidi yang diterima atas input tradable

tersebut dan bahan bakar minyak. Hal tersebut banyak ditemukan pada berbagai kasus sistem usahatani yang dianalisis dengan PAM, sebagaimana diungkapkan Anapu et al., Aji, Budastra dan Dipokusumo, Pellokila et al., dan Zakaria et al. dalam Pearson

et al. (2005). Pada sisi lain, kondisi tersebut menunjukkan adanya penggunaan input domestik (sumberdaya lokal) yang tidak diperdagangkan di pasaran dunia (sumberdaya lokal) yang lebih besar oleh produsen.

Besaran yang menunjukkan perbedaan antara harga privat dan harga sosial yang diterima produsen untuk pembayaran faktor produksi yang tidak diperdagangkan disebut factor transfer (FT). Nilai FT pada berbagai tipe kelembagaan KIBARHUT mempunyai nilai positif, dan menunjukkan bahwa barang-barang domestik yang tidak diperdagangkan mempunyai harga privat yang lebih tinggi dibandingkan harga sesungguhnya. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan pembayaran sewa lahan, dan biaya modal pada harga sosial serta kewajiban-kewajiban yang dibebankan pemerintah kepada pelaku usaha termasuk pengenaan pajak dan subsidi bunga yang tidak dimasukkan dalam perhitungan harga sosial.

Analisis gabungan input–output dilakukan dengan mencermati nilai selisih antara penerimaan atau keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen, dengan keuntungan bersih berdasarkan harga sosialnya atau disebut net transfer (NT). Penerimaan sosial (SP) untuk berbagai tipe kelembagaan KIBARHUT adalah lebih tinggi dibandingkan PP, sehingga nilai NT yang diperoleh adalah negatif (NT < 0).

Net transfer negatif menyebabkan keuntungan rata-rata untuk perhitungan secara total atau semua komoditas yang diusahakan KIBARHUT sebesar 57,7% (setara dengan nilai rata-rata koefisien profit atau profitability coefficient (PC) yaitu

0,577) dari yang seharusnya. Artinya kebijakan pemerintah pada saat ini membuat keuntungan diterima produsen lebih kecil karena terdapat surplus 42,3% yang dinikmati oleh konsumen komoditas yang dihasilkan dari kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa.

Kebijakan pemerintah juga belum memberikan insentif bagi pelaksanaan KIBARHUT di Pulau Jawa dan tidak ada perlindungan diterima petani atau produsen kayu KIBARHUT. Kondisi ini ditunjukkan dengan nilai OT negatif dan NPCO < 1 yang berarti harga output (kayu Sengon) di pasar domestik masih lebih rendah dibandingkan harga dunianya. Harga kayu jenis Sengon di Pulau Jawa pada tingkat pabrik mencapai rata-rata US$ 70 per m³, sedangkan rata-rata harga dunia adalah US$ 109 atau harga paritasnya di pintu pabrik adalah sekitar US$ 86,8486. Terdapat perbedaan (disparitas) sebesar 35,8% antara harga dunia dibandingkan harga pasar domestik, atau selisih sekitar 25,5% antara harga pasar dibandingkan harga paritasnya di pintu pabrik.

Adanya selisih harga tersebut secara sederhana dianggap memadai untuk membiayai berbagai biaya-biaya terkait ekspor KB. Secara sederhana jika transaksi ekpor diperkenankan, maka terdapat kemungkinan bagi pemerintah mengenakan 12,75% tarif bea keluar. Tarif bea keluar tersebut dihitung berdasarkan disparitas di pintu pabrik (25,5%) dikurangi 12,75% pajak-pajak yang harus dibayar eksportir87, pada harga patokan eskpor sekitar US$ 109. Jika harga patokan ekspor ditetapkan lebih rendah dari US$109, maka tarif bea keluar dapat dikenakan lebih tinggi dari 12,75% dan begitu juga sebaliknya.

Pengenaan bea keluar sebesar tersebut masih dalam batas kewajaran, sebagaimana diungkapkan Astana (2005) bahwa tarif bea keluar optimal KB adalah berkisar 15–30% dari harga patokan ekspor. Besaran tarif bea keluar juga harus sudah memperhitungkan kemungkinan adanya biaya sertifikasi dan uji laboratorium yang

86 Penggunaan harga paritas impor/ekspor suatu komoditas yang tradable adalah harga sosial yang

diduga dari harga barang sejenis (comparable) di pasar internasional, yaitu harga impor (cost insurance

freight – CIF) untuk komoditas impor dan harga ekspor (free on board atau FOB) untuk komoditas

ekspor. Harga paritas berdasarkan harga internasional dengan memperhitungkan biaya kapal, asuransi, dan nilai kurs, serta biaya karantina, biaya pelabuhan dan angkutan ke pelabuhan, sehingga menjadi harga FOB di Indonesia. Artinya, harga paritas diperbandingkan pada lokasi, waktu, kualitas dan bentuk yang sama. Harga paritas tersebut belum menghitung tariff bea keluar dan pajak-pajak (Lampiran 19).

87 Beberapa biaya dan pungutan pada pemasaran ekspor adalah tariff bea ekspor, pajak/retribusi

(sekitar 12,75% dari harga di invoice, yaitu PPN=10%, PPH pasal 22=2,5%, dan PNBP Rp 50.000/ kontainer).

   

diwajibkan untuk transaksi internasional produk kayu (diantaranya adalah SPS dan fumigasi), biaya siluman (invicible cost) di pelabuhan, serta resiko pemasaran internasional seperti nilai tukar, krisis keuangan, dan tingginya nilai jaminan asuransi. Tarif bea keluar terlalu tinggi menyebabkan harga domestik kayu jenis FGS tertekan dan bernilai jauh dibawah harga dunianya.Tarif terlalu rendah menyebabkan harga kayu di dalam negeri melonjak terlampau tinggi sehingga mengganggu saluran pemasaran dan pasokan kayu bagi industri dalam negeri.