• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan karakteristik dan kinerja ketiga tipe KIBARHUT

D. Keberlanjutan Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa

1. Perbandingan karakteristik dan kinerja ketiga tipe KIBARHUT

Ketiga tipologi kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa memiliki karakteristik kelembagaan (action arena) yang bervariasi sebagaimana diuraikan pada sub bab sebelumnya. Karakteristik tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor (kondisi umum dan aturan yang dipergunakan) dan berdampak pada kinerja yang juga berbeda untuk masing-masing tipe. Tabel 30 berikut ini memuat rangkuman (sintesa) perbandingan karakteristik utama pada ketiga tipologi kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa.

Hubungan principal-agents (Gibbons, 2005) pada KIBARHUT dicirikan dengan kesediaan INPAK (principal) mendelegasikan investasi membangun hutan ke agents

untuk memproduksi komoditas (yaitu kayu bundar). Komoditas tersebut ditransaksikan dengan didukung jaminan pasar dan kemampuan mengolah, serta melakukan proses produksi menggunakan komoditas tersebut sebagai bahan baku industrinya. Komoditas yang ditransaksikan adalah kayu KIBARHUT oleh agents, dan selanjutnya dipasok ke principal sebagai bahan baku proses produksinya.

Kelembagaan KIBARHUT dilaksanakan dengan kontrak non-formal (Tipe 1) dan kontrak formal (Tipe 2 dan Tipe 3). Kontrak formal tidak hanya mempunyai fungsi ekonomis tetapi juga mempunyai fungsi hukum atau yuridis (Salim, 2002), sehingga KIBARHUT dengan kontrak formal mempunyai jaminan pemenuhan hak dan kewajiban atau kepastian hukum yang lebih tinggi bagi para pelakunya dibandingkan kontrak non-formal.

Tabel 30 Karakteristik Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa

Karakteristik Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3

A Kondisi dan ciri umum

1 Lokasi contoh Bawang Sukaraja Krucil Sukaraja Krucil

2 Lahan Lahan milik

(perorangan, institusi)

Lahan milik

(perorangan, institusi)

Lahan milik

(perorangan, institusi)

Bukan lahan milik (hutan Negara)

Bukan lahan milik (HGU kebun) 3 Rerata luas lahan 1 tingkat (5 ha)

2 tingkat (0,222 ha) 2 tingkat (0,248 ha)

1 tingkat (1,075 ha) 2 tingkat (0,384 ha)

2 tingkat (0,162 ha) 2 tingkat (0,336 ha)

4 Hubungan

kontraktual

1 tingkat (3,3%);

2 tingkat (96,7%) 2 tingkat (100%)

1 tingkat (20%)

2 tingkat (80%) 2 tingkat (100%) 2 tingkat (100%)

B Aturan dan norma dipergunakan

5 Kontrak Non-formal (mitra

antaraprincipal)

Formal (mitra antara- principal)

Formal (mitra antara- principal)

Formal (mitra antara- principal)

Formal (mitra antara- principal)

Tidak ada kontrak (mitra antaraagents)

surat kuasa

(agentsmitra antara)

Formal

(agentsmitra antara)

surat kuasa

(agentsmitra antara)

Formal

(agentsmitra antara)

6 Mencegah oportunis 2 aturan 5 aturan 5 aturan 5 aturan 6 aturan

7 Sanksi Tidak ada/tidak diatur 5 aturan 3 aturan 6 aturan 5 aturan

8 Legalitas

kepemilikan lahan

Tidak harus dibuktikan oleh agents

Syarat keikutsertaan; legalitas kepemilikan lahan harus dibuktikan agents

Lahan/andil garapan dikuasai agents dan diakui mitra antara

9 Nilai sosial budaya --- Keterlibatan aktif tokoh warga/mitra antara;

Pohon titipan dan amanah, haram diambil tanpa seijin pemiliknya

Keterlibatan tokoh warga

Jika tidak mau memelihara tegakan maka lahan dialihkan ke penggarap lain

C Pelaku (Actors)

10 Principal Bahan baku KB Bahan baku KB - KGG Bahan baku KB - KGG Bahan baku KB - KGG Bahan baku KB - KGG

Div Bioforest – tidak terintegrasi ke div bahan baku/log supplier

BIL – terintegrasi ke div pengadaan bahan baku (log supplier)

Div P & L – terintegrasi ke div pengadaan bahan baku/log supplier

BIL– terintegrasi ke div pengadaan bahan baku (log supplier)

Div P & L – terintegrasi ke div pengadaan ba- han baku/log supplier ada petugas teknis tapi tidak

‘aktif’ di lapangan

ada petugas aktif di lapangan (teknis/lapangan, mandor tanaman)

Ada petugas aktif di lapangan (petugas teknis/ wasbun, mandor tanaman, dan staf)

11 Mitra antara Kelompok tani (Keltan)

Desa; Dikelola perangkat (aparat) desa

Kelompok dibentuk dan dikelola tokoh warga (Korwil)

Kelompok dibentuk dan dikelola oleh tokoh warga (KP)

Perusahaan/pengelola hutan negara; dikelola petugas khusus mitra

Perusahaan/pengelola lahan negara (HGU); dikelola petugas khusus tidak memiliki petugas

lapangan

ada petugas lapangan, petugas administrasi dan petugas tidak tetap lainnya

Memiliki organisasi formal; ada petugas lapangan, administrasi, dan pendukung lain

   

Tabel 30 (lanjutan)

Karakteristik Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3

Bawang Sukaraja Krucil Sukaraja Krucil

12 Agents Perorangan/warga desa ter-

daftar atau tidak di Keltan

Anggota kelompok secara sukarela (aktif dan inisiatif sendiri) mendaftarkan ke mitra antara

Petani/penggarap secara sukarela dan inisiatif sendiri menjadi anggota kelompok yang dibentuk mitra

- umur 48,1 tahun 48,1 tahun 37,6 tahun 51, 1 tahun 45,8 tahun

- pendidikan SD = 70%; SMP = 16,7% SMA = 13,3% SD = 80% SMP =20% SD = 80%; SMP = 13,3% D-2 = 0,7% SD = 100% SD = 73,3%, SMP=13,3% SMA = 13,3% D Deskripsi (situasi aksi) KIBARHUT

13 Invent tegakan Tidak ada Ada, setahun sekali Ada, setahun sekali Ada, setahun sekali Ada, setahun sekali

14 Pengawasan dan

pengamanan teg

Oleh agents; tidak ada kegiatan oleh principal

Secara bersama oleh agents, mitra antaradan principal

Secara bersama oleh agents, mitra antaradan principal

15 Komunikasi dan

informasi

Jarang dan sulit Mudah, sering; dilakukan aktif dan secara rutin oleh

mitra antaradan principal

Mudah, sering; dilakukan aktif dan secara rutin oleh

mitra antaradan principal

16 Balasan kontrak (bagi hasil) 1 tingkat = agents 50% principal 50%; 2 tingkat: agents 100% principal 20% mitra antara 5% + honor bulanan,agents 75% 1 tingkat (agents 100%); 2 tingkat (agents 90% mitra antara10%) principal 30%, mitra 50%,

agents 20% dan hak

garap tanpa sewa

principal 23%, mitra 77%,

agents dapat hak garap

tanpa sewa 17 Balasan kontrak

(pasokan kayu)

Kayu diharapkan dijual agents ke principal

Kayu dijual agentske principal; mitra antara ikut menghimbau

Prioritas ke principal wajib dipasok ke principal

18 Oportunis Agents : tinggi (76,7%)

Principal : tinggi (3) Agents: sedang (40%) Principal: rendah (1) Agents: rendah (13,3%) Principal: rendah (1) Agents: rendah (20%) Principal: rendah (1) Agents: rendah (33,3%) Principal: rendah (1) E. Kinerja KIBARHUT

19 Analisis Finansial Layak secara finansial Layak secara finansial Layak secara finansial Layak secara finansial Layak secara finansial

- secara total IRR 35-45% dan B/C ratio

1,98–2,88

IRR 29% dan B/C ratio 1,59

IRR 24-35% dan B/C ratio 1,39–2,02

IRR 32% dan B/C ratio 1,98

IRR 22–24% dan B/C ratio 1,31–1,42

- per pelaku IRR 16-47% dan B/C ratio

1,02 – 2,89 IRR 27-35% dan B/C ratio 1,45 – 1,85 IRR 17-47% dan B/C ratio 1,07 – 2,90 IRR 36-38% dan B/C ratio 1,98 – 2,36 IRR 29-35% dan B/C ratio 1,25 – 1,91

20 PAM Memiliki daya saing Memiliki daya saing Memiliki daya saing Memiliki daya saing Memiliki daya saing

- keunggulan kompetitif PP > 0, PCR < 1 berkisar 0,517 – 0,710 PP > 0, PCR < 1 yaitu 0,670 PP > 0, PCR < 1 ber- kisar 0,684 – 0,803 PP > 0, PCR < 1 yaitu 0,567 PP > 0, PCR < 1 yaitu 0,859 - keunggulan komparatif SP > 0, DRC < 1 berkisar 0,371 – 0,602 SP > 0, DRC < 1 yaitu 0,530 SP > 0, DRC < 1 ber- kisar 0,549 – 0,623 SP > 0, DRC < 1 yaitu 0,474 SP > 0, DRC < 1 yaitu 0,729 F Pemasaran KIBARHUT

21 Pemasaran Kewenangan agents; tidak

ada peran mitra antara dan principal; tidak ada afiliasi sawmill lokal

Kewenangan agents; ada saluran khusus; ada peran mitra antara dan principal terintegrasi dalam saluran pemasaran kayu; ada afiliasi dengan sawill lokal dan koperasi

Kewenangan mitra antara; satu saluran pemasaran (mitra antara ke principal); ada afiliasi dengan sawill lokal dan koperasi

22 Harga kayu Harga pasar Harga pasar dan ada bonus berbentuk tambahan

harga (premium price)

KIBARHUT secara mayoritas (72,28%) memanfaatkan lahan milik sebagaimana pada Tipe 1 dan Tipe 2. Sekitar 27,72% sisanya memanfaatkan lahan bukan milik (Negara) pada pelaksanaan di Tipe 3. KIBARHUT pada lahan milik mempunyai kepastian pemanfaatan/penggunaan lahan yang lebih tinggi dibandingkan pada lahan bukan milik. Perbedaan status lahan tersebut juga berdampak pada perbedaan kepastian hak agents atas kayu yang dihasilkan dari lahan tersebut. Agents

yang memanfaatkan lahan milik memperoleh bagi hasil (berkisar 50% – 100%) yang lebih besar dibandingkan agents yang menggarap lahan bukan milik (0% – 20%). Artinya kepemilikan asset produksi (lahan) berdampak pada kepemilikan dan pemanfaatan komoditas hasilnya sebagaimana juga diungkapkan Gibbons (2005) dan Yusran (2005). Pada sisi lain, sebagai imbalan (incentives) bagi hasil kayu yang rendah, maka agents di Tipe 3 memperoleh manfaat lain dalam bentuk hak garap lahan tanpa membayar sewa.

Penggunaan lahan untuk membangun hutan KIBARHUT dilakukan pada lahan dengan luasan yang relatif sempit yaitu sekitar ± 0,2 ha. Penggunaan lahan yang relatif sempit97 dan pendidikan petani relatif rendah (78,9% berpendidikan SD) dijadikan pendorong dan alasan pembenar bagi principal untuk memilih bekerjasama dengan melibatkan mitra antara (tokoh/elite warga)98 dan tenaga lokal.

Argumen tersebut dikuatkan temuan lapangan yang menunjukkan bahwa hubungan kemitraan secara langsung (hubungan kontraktual 1 tingkat antara principal

dan agents) adalah sangat sedikit kasusnya. Hasil analisis menunjukkan hanya terdapat 4,4% kasus KIBARHUT yang diklasifikasikan hubungan kontraktual 1 tingkat, dengan luas kepemilikan lahan yang dikerjasamakan sekitar 5 ha (1 agents) di Tipe 1 dan rata-rata seluas 1,08 ha (3 agents) di Tipe 2, khususnya di Krucil.

Pada sisi lain, principal memiliki kendala dalam mengorganisasikan agents pada pelaksanaan KIBARHUT. Kendala yang teridentifikasi adalah (i) tidak mempunyai petugas dalam jumlah memadai yang berhubungan dan mempunyai jalur langsung ke petani; (ii) pemilikan lahan yang sempit dan tersebar sehingga membutuhkan tenaga dan biaya lebih besar untuk memantau. Artinya, principal kesulitan menyediakan

97 Penguasaan lahan petani yang sempit juga diungkapkan Hardjanto (2003) dan Simon (2008). 98 Keterlibatan tokoh warga karena masih berlangsungnya hubungan patron-klien dalam kehidupan

warga desa. Patron merupakan tokoh informal yang menjadi panutan dan dipercaya oleh warga desa, serta merupakan bagian kepemimpinan desa yang sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan di desa (Korten (ed.), 1987; Hoff dan Sen, 2005; Ali, 2007).

   

organisasi lengkap dan personil memadai untuk mampu melakukan monitoring dan evaluasi keberhasilan tanaman yang tersebar di masing-masing petani, serta mengawasi tindakan sekian banyak agents guna menghindari perilaku oportunis. Kecenderungan tersebut menunjukkan dugaan sulitnya bekerjasama dengan petani secara perorangan, adalah sekaligus juga keengganan pengusaha direpotkan mengurusi hal-hal yang rumit dengan sangat banyak orang seperti juga diungkapkan Nugroho (2003) dan Yuwono (2006).

Principal mempunyai organisasi khusus pelaksanaan KIBARHUT tetapi hanya pada kontrak formal organisasi tersebut terintegrasi dengan divisi pengadaan bahan baku, sehingga memudahkan para pelaku dalam memasarkan kayu KIBARHUT atau terwujudnya jaminan pasar. KIBARHUT pada kontrak formal dicirikan adanya pengelolaan KIBARHUT yang lebih baik dibandingkan kontrak non-formal, dan adanya peranan mitra antara dalam membina kerjasama dan mengorganisasikan

agents, serta dukungan aktif petugas operasional principal dan mitra antara di lapangan.

Agents dengan kontrak formal adalah petani yang secara sukarela bekerjasama dan terdaftar pada kelompok yang diadministrasikan mitra antara. Pada kontrak formal di lahan negara (bukan lahan milik), mitra antara adalah lembaga formal yang mempunyai organisasi lengkap pelaksanaan kegiatan di lapangan, serta menguasai assets produksi lahan.

KIBARHUT dengan kontrak formal juga melibatkan tokoh (ellite) warga yang mempunyai pengaruh, dipercaya dan menjadi panutan di kalangan petani, bahkan pada kontrak formal di lahan milik, maka tokoh warga tersebut adalah juga berperan selaku mitra antara. Adanya keterlibatan tokoh warga diharapkan memberikan jaminan keamanan tanaman karena merupakan penduduk desa yang tinggal di sekitar, dikenal dan mengenal petani. Tokoh warga juga berperan sebagai “pengawas” (control that participants exercise) yang ditempatkan pada posisi sewajarnya, dan sekaligus sebagai upaya menyeimbangkan informasi dan mewujudkan komitmen penegakan kontrak. Adanya komitmen penegakan kontrak memberikan kepastian jaminan hak dan kewajiban setiap pelaku sebagaimana diatur dalam kontrak, sehingga para pelaku memperoleh jaminan manfaat sesuai pengorbanan yang dikeluarkan (get what you pay for) dari adanya hubungan kelembagaan KIBARHUT.

Pada kontrak non-formal, mitra antara merupakan kelompok yang dibentuk hanya sebagai pemenuhan syarat kemitraan. Mitra antara tidak mempunyai kegiatan (aksi) yang mendukung pelaksanaan KIBARHUT di lapangan, dan tidak memiliki petugas lapangan. Mitra antara mendistribusikan bantuan principal tidak hanya ke warga yang sudah mendaftar sebagai agents tetapi ke semua warga desa, sehingga sulit memastikan pohon di lahan petani berasal dari bantuan principal. Artinya, tidak ditemukan adanya pengelolaan dan pengadministrasian KIBARHUT pada kontrak non-formal.

Tabel 31 juga menunjukkan bahwa Kelembagaan KIBARHUT terbukti efisien dalam alokasi sumberdaya (input produksi) dan layak secara finansial. Kinerja secara finansial ditunjukkan dengan terpenuhinya kriteria keberterimaan kelayakan finansial yaitu NPV positif, IRR yang lebih besar dari tingkat bunga yang dipersyaratkan (IRR > i%), dan B/C ratio > 1 bagi masing-masing pelaku yang terlibat. Kelembagaan KIBARHUT juga memiliki keunggulan kompetitif (PP positif dan PCR < 1) dan komparatif (SP positif dan DRC < 1) untuk semua tipologi. Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya manfaat (insentif positif) yang dinikmati para pelaku kelembagaan KIBARHUT dibandingkan korbanan yang telah dikeluarkan oleh masing-masing.

Kelembagaan KIBARHUT juga mencakup kegiatan alokasi output (pemasaran) produk, dengan tidak mengganggu saluran pemasaran kayu yang sudah ada dan bekerja di lapangan sebagaimana karakteristik pemasaran kayu KIBARHUT pada Tabel 31. Pemasaran kayu KIBARHUT dilakukan dengan kewenangan agents pada kontrak di lahan milik dan kewenangan mitra antara pada kontrak di lahan negara. Hasil ini juga menunjukkan bahwa kewenangan pemanfaatan komoditas hasil oleh

agents pada kontrak di lahan milik adalah lebih tinggi dibandingkan pada kontrak di lahan negara. Dengan demikian, adanya kepemilikan terhadap sumberdaya memberikan hak (kewenangan) penggunaan dan kekuasaan terhadap komoditas yang ditransaksikan dalam proses pertukaran, sebagaimana juga diungkapkan Yustika (2006).

   

Tabel 31 Perbandingan pemasaran kayu KIBARHUT

Tipe kewenangan Saluran Pemasaran harga

Tipe 1 Agents - Saluran pemasaran yang sudah ada tetap bekerja

- ada usulan saluran pemasaran alternatif

- tidak ada peran mitra antara dan principal untuk meyakinkan dan memberikan jaminan pasar kayu

KIBARHUT ke agents

- tidak ada afiliasi dengan sawmill lokal/depo kayu oleh divisi KIBARHUT

Harga pasar

Tipe 2 Agents - saluran pemasaran yang sudah ada tetap bekerja

- ada sinergisitas antara divisi KIBARHUT dan divisi peng- adaan bahan baku dari principal. Sinergi didukung adanya afiliasi (dan kerjasama) dengan sawmill lokal dan koperasi sehingga memunculkan alternatif saluran pemasaran - ada peran mitra antara dan principal yang terintegrasi

dalam saluran pemasaran kayu

Harga pasar; ada bonus (premium price) Tipe 3 Mitra antara

- satu saluran dari mitra antara ke principal - ada afiliasi dengan sawmill lokal dan koperasi

HJD+ atau Harga pasar Perbedaan kewenangan pemasaran berdampak juga terhadap saluran pemasaran pada KIBARHUT di lahan milik dan di lahan negara. Pada lahan negara hanya ada satu saluran pemasaran yaitu dari mitra antara ke principal, sedangkan pada lahan milik terdapat lebih dari satu saluran pemasaran dari agents sampai ke

principal/INPAK. Pada kontrak formal di lahan milik terdapat alternatif pemasaran yang dapat memperbesar keuntungan agents yaitu dengan adanya kebijakan penambahan harga (premium price) oleh principal. Saluran khusus tersebut terwujud dengan adanya peran mitra antara dan petugas KIBARHUT principal yang terintegrasi dan bersinergi dengan divisi pengadaan bahan baku dari principal. Sinergi pemasaran kayu tersebut juga diperkuat dengan adanya afiliasi principal dengan sawmill lokal dan koperasi sebagai pelaku pemasaran di lapangan. Sinergi kebijakan

principal dengan sawmill lokal dan koperasi juga terdapat pada kontrak formal di lahan negara. Temuan ini menunjukkan bahwa kelembagaan KIBARHUT dengan kontrak formal mampu melarang penggunaan/pemanfaatan oleh non-pelaku (excludable) sehingga merupakan hubungan kemitraan yang dapat menegakkan hak- hak para pelakunya (enforceable).

Kelembagaan KIBARHUT merupakan hubungan kerjasama dimana para pelaku saling berbagi manfaat dan resiko. KIBARHUT juga mengatur hak dan kewajiban termasuk sanksi yang diatur dalam kontrak, karena tidak ada pelaku yang dapat mengamati tindakan pelaku lain sehingga memunculkan resiko terjadinya ingkar janji (moral hazard) atau perilaku oportunis. Dalam kerangka hubungan kemitraan (agency

relationship), terdapat sejumlah 2 aturan pada kontrak non-formal dan 5 – 6 aturan pada kontrak formal yang mengatur upaya mengatasi asymmetric information dan mencegah perilaku oportunis.

Kontrak formal juga memiliki aturan yang mengatur sanksi, sedangkan pada kontrak non formal tidak terdapat aturan tersebut (Tabel 32). Tidak adanya aturan yang mengatur sanksi dan terbatasnya aturan yang mengatur upaya mengatasi ketidakseimbangan informasi dapat menjadikan kelembagaan tidak bermakna karena tidak adanya resiko hukuman untuk berperilaku oportunis (ingkar janji).

Tabel 32 Indikasi perilaku oportunis

Aturan mengatur

sanksi dalam kontrak

Indikasi perilaku oportunis

agents Principal

Tipe 1 Bawang 0 aturan 76,7% (tinggi) 3 (tinggi)

Tipe 2

Sukaraja 5 aturan 40,0% (sedang) 1 (rendah)

Krucil 3 aturan 13,3% (rendah) 1 (rendah)

Tipe 3

Sukaraja 6 aturan 20,0% (rendah) 1 (rendah)

Krucil 5 aturan 33,3% (rendah) 1 (rendah)

Keterangan : (i) indikasi dihitung berdasarkan jumlah agents teridentifikasi berperilaku

oportunis (berdasarkan Gambar 17), dan diklasifikasikan menjadi rendah jika prosentasenya 0–33,3%, sedang 33,4–66,6%, dan tinggi > 66,7%; (ii) indikasi oportunis principal (berdasarkan informasi pada Tabel 19) dan diklasifikasikan menjadi rendah (1) jika ada 0 – 2 indikasi, sedang (2) jika ada 3 – 5 indikasi, dan tinggi (3) jika ada ≥ 6 indikasi

Terdapat juga ketentuan non-formal atau norma tidak tertulis yang melekat, yaitu (i) legalitas pemilikan lahan, yang pembuktiannya sudah menjadi kebiasaan dan diakui peserta sehingga pengaturan rincinya tidak ditulis dalam kontrak. Pada kontrak formal di lahan milik, agents dipersyaratkan oleh mitra antara untuk membuktikan legalitas kepemilikan lahannya sebelum terwujudnya kontrak antara kedua pelaku; (ii) adanya keterlibatan ellite atau tokoh karena dipercaya dan dihormati warga pada kontrak formal; (iii) nilai sosial/budaya pada kontrak formal bahwa pohon adalah titipan dan amanah sehingga haram diambil tanpa seijin pemiliknya (lahan milik), dan adanya sosialisasi bahwa lahan garapan akan dialihkan ke penggarap lain jika agents

tidak mau memelihara tegakan (lahan bukan milik) atau berperilaku oportunis.

Tidak adanya aturan yang mengatur sanksi, resiko terpapar yang rendah, tidak adanya pengawasan dan pengamanan tegakan, tidak dilakukannya monitoring dan evaluasi, tidak adanya inventarisasi tegakan secara berkala, serta tidak efektifnya jalinan informasi dan komunikasi berdampak tingginya resiko oportunis agents pada

   

kontrak non-formal (76,7%) dibandingkan pada kontrak formal. Perilaku oportunis tidak hanya dilakukan agents tetapi juga dilakukan principal sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 32. Perilaku ingkar janji principal pada kontrak non-formal (skor 3) terindikasi lebih tinggi dibandingkan pada kontrak formal.

Tingginya perilaku oportunis berdampak rendahnya komitmen untuk penegakan kontrak pada kontrak non-formal. Artinya, tidak adanya jaminan kepastian hak dan kewajiban para pelakunya menyebabkan hubungan kelembagaan menjadi tidak berarti dan tidak bermanfaat bagi semua pelaku yang terlibat, sehingga sulit mewujudkan keberlanjutan hubungan pada kelembagaan KIBARHUT dengan kontrak non-formal.

Upaya penegakan kontrak dan meminimalisir kemungkinan perilaku oportunis dapat juga dilakukan principal dengan mengalokasikan biaya untuk berbagai macam pengeluaran guna pemantauan, pengamanan, dan koordinasi (agency costs). Hasil analisis kepekaan (sensitivity analysis) dengan adanya agency costs (yang diasumsikan sebagai kenaikan biaya input-input produksi sebesar 5%) adalah disajikan pada Lampiran 16 dan secara ringkas disajikan pada Tabel 33.

Tabel 33 Hasil analisis kepekaan (sensitivity analysis) kelembagaan KIBARHUT Tipe

KIBARHUT

analisis kepekaan dengan kenaikan input 5% secara total m per pelaku m

B/C ratio IRR Pelaku B/C ratio IRR

Tipe 1 Bawang

- Hub 1 tingkat 2,57 41% Agents 2,43 41%

Principal 2,72 42%

- Hub 2 tingkat 1,92 34% Agents 2,61 43%

Principal 0,96 14%

Tipe 2 Sukaraja

- Hub 2 tingkat 1,47 27% Agents 1,75 33%

Mitra antara 1,37 26%

Principal 1,44 25%

Tipe 2 Krucil

- Hub 1 tingkat 1,90 34% Agents 2,72 45%

Principal 1,01 15%

- Hub 2 tingkat 1,38 24% Agents 1,92 33%

Mitra antara 1,23 21%

Principal 1,08 17%

Tipe 3 Sukaraja

- Hub 2 tingkat 1,88 31% Agents 1,93 35%

Mitra antara 2,02 36%

Principal 2,24 36%

Tipe 3 Krucil

- Hub 2 tingkat 1,28 21% Agents 1,19 30%

Mitra antara 1,79 33%

Principal 1,63 28%

Tabel 33 menunjukkan bahwa adanya agency costs ternyata masih memberikan kelayakan finansial berdasarkan analisis secara total. Jika analisis berdasarkan

masing-masing pelakunya, maka analisis finansial adalah tidak layak bagi principal di kontrak non-formal karena tidak adanya umpan balik (aksi balasan) memadai dari pelaku yang lainnya. Situasi ini berkaitan dengan tingginya perilaku oportunis antara para pelaku pada kelembagaan dengan kontrak non-formal. Kelembagaan menjadi tidak bermakna bagi para pelakunya sehingga peluang keberlanjutan menjadi terkendala.