• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Gender dalam Pengembangan Organisasi Koperasi

BAB II TINJAUAN TEORITIS

2.8 Analisis Gender dalam Pengembangan Organisasi Koperasi

Organisasi yang responsif gender adalah sebuah organisasi yang kebijakan/program/kegiatan atau kondisinya sudah memperhitungkan kepentingan laki-laki dan perempuan. Didalam sebuah organisasi yang responsif gender terdapat relasi gender. Relasi gender adalah menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan dalam kerjasama saling bersaing satu sama lain. Kepentingan- kepentingan strategis gender muncul dan berkembang karena relasi perempuan dan laki-laki yang timpang, dimana perempuan berada pada posisi tersubordinasi memenuhi kepentingan-kepentingan strategis (perempuan) adalah upaya jangka panjang dan berkaitan dengan upaya memperbaiki posisi sosial perempuan.

Menurut Departemen Kehutanan, buta gender (Gender-blind) adalah kondisi/keadaan seseorang yang tidak memahami tentang pengertian atau konsep gender (ada perbedaan kepentingan laki-laki dan perempuan). Sadar gender (Gender-aware) adalah mengenali perbedaan antara prioritas dan kebutuhan

Gambar 1. Skema Perubahan Kawasan Belajar (Kognitif, Afektif, Psikomotorik)

Responsif Gender Sensitif Gender Buta Gender

Bias Gender Netral Gender

perempuan dan laki-laki. Bias gender adalah pandangan dan sikap yang lebih mengutamakan salah satu jenis kelamin daripada jenis kelamin lain sebagai akibat pengaturan kepercayaan budaya yang lebih berpihak kepada laki-laki daripada kepada perempuan dan sebaliknya. Netral gender adalah kebijakan/program/kegiatan atau kondisi yang tidak memihak pada salah satu jenis kelamin. Sensitif gender adalah kemampuan dan kepekaan seseorang dalam melihat dan menilai hasil pembangunan dan aspek kehidupan lainnya dari perspektif gender (disesuaikan dengan kepentingan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan).

Responsif gender adalah kebijakan/program/kegiatan atau kondisi yang sudah memperhitungkan kepentingan laki-laki dan perempuan. Peka gender adalah selalu mempertanyakan apakah suatu kebijakan, program, proyek, atau kegiatan organisasi adalah adil dan berdampak sama terhadap perempuan dan laki-laki dan hasilnya juga sama-sama dinikmati oleh perempuan dan laki-laki. Perspektif gender adalah menggunakan aspek gender untuk membahas atau menganalisis isu-isu dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, psikologi untuk memahami bagaimana aspek gender tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan, program, proyek dan dalam kegiatan- kegiatan pembahasan tersebut dipelajari bagaimana faktor gender menumbuhkan diskriminasi dan menjadi perintang bagi kesempatan dan pengembangan diri seseorang. Apa gender? Siapa? Peran gender? Diskriminatif? Mengapa ada perbedaan? Ada masalah apa? Mengapa ? Buta Gender (Gender Blind) Sadar Gender (Gender Awareness Peka Gender (Gender Sensitive) Mawas Gender (Gender Perspective Peduli Gender (Gender Responsive)

Gambar 2. Skema Perubahan Perilaku

Kerangka Analisis Perencanaan Gender (Gender Planning Frameworks) menurut Jonatan A. Lassa7, yaitu kerangka analisis Harvard, kerangka analisis Moser, kerangka analisis Longwe, dan kerangka analisis “Relasi Sosial”. Kerangka analisis gender Harvard lebih concern dengan membuat pembagian kerja gender (division of labour), peran dalam pengambilan keputusan, tingkat kontrol atas sumberdaya yang kelihatan. Sebagai konsep dan alat, ini dibutuhkan data detail bagi perencanaan gender. Implikasi perencanaan program terhadap gender perempuan adalah diperlukan analisis yang menutupi gaps pada level beban kerja, pengambilan keputusan, dan sebagainya antara perempuan dan laki- laki.

Tiga data set utama yang diperlukan: Siapa melakukan apa, kapan, dimana, dan berapa banyak alokasi waktu yang diperlukan? (Profil Aktivitas), Siapa yang memiliki akses dan kontrol (seperti pembuatan kebijakan) atas sumber daya tertentu (Profil Akses dan Kontrol), Siapa yang memiliki akses dan kontrol atas “benefit” seperti produksi pangan, uang dan sebagainya, Faktor yang mempengaruhi perbedaan dalam pembagian kerja berbasis gender, serta akses dan kontrol yang ada pada “profil aktivitas” dan “profil akses dan kontrol”. Tujuan dari alat analisis ini adalah untuk membedah alokasi sumberdaya ekonomis terhadap laki-laki dan perempuan, dan membantu perencana proyek untuk lebih efisien dan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan.

Kerangka Moser (The Gender Roles Framework) menawarkan pembedaan antara kebutuhan praktis dan strategis dalam perencanaan pemberdayaan komunitas dan berfokus pada beban kerja perempuan. Kerangka ini tidak berfokus pada kelembagaan tertentu tetapi lebih berfokus pada rumah tangga. Tiga konsep utama dari kerangka ini adalah: Peran lipat tiga (triple roles) perempuan pada tiga aras: kerja reproduksi, kerja produktif dan kerja komunitas yang berguna untuk pemetaan pembagian kerja gender dan alokasi kerja, Berupaya untuk membedakan antara kebutuhan yang bersifat praktis dan strategis bagi perempuan dan laki-laki dimana kebutuhan strategis berelasi dengan kebutuhan transformasi status dan posisi perempuan (seperti subordinasi), pendekatan analisis kebijakan –

7

dari fokus pada kesejahteraan (welfare), kesamaan (equity), anti kemiskinan, efisiensi, dan pemberdayaan atau dari WID ke GAD.

Kerangka Longwe berfokus langsung pada penciptaan situasi/pengkondisian dimana masalah kesenjangan, diskriminasi dan subordinasi diselesaikan. Longwe menciptakan jalan untuk mencapai tingkat pemberdayaan dan kesederajatan (equality) dimana ditunjukan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar-praktis perempuan tidak pernah sama dengan, pemberdayaan maupun sederajat (equal). Pengambilan keputusan (kontrol) merupakan puncak dari pemberdayaan dan kesederajatan (equality).

Kerangka analisis ”Relasi Sosial” didasarkan pada ide bahwa tujuan pembangunan adalah pada kesejahteraan manusia (human well-being), yang terdiri atas survival, security, dan otonomi. Relasi gender adalah salah satu tipe relasi sosial. Tujuan dari kerangka ini adalah untuk menganalisis ketimpangan gender yang ada di dalam distribusi sumber daya, tanggung jawab dan kekuasaan, menganalisis relasi antara orang, relasi mereka dengan sumber daya, aktivitas dan bagaimana posisi mereka melalui lensa kelembagaan, menekankan kesejahteraan manusia (human well-being) sebagai tujuan utama dalam pembangunan. Lima dimensi relasi sosial kelembagaan yang relevan dengan analisis gender:

1. Aturan (rules), bagaimana aturan main yang terjadi; apakah memperkuat atau menghambat? Aturan tertulis atau tidak (informal).

2. Aktivitas (activities), yakni siapa melakukan apa, siapa mendapatkan apa, siapa berhak mengklaim atas apa. Aktivitas bisa saja yang bersifat produktif, regulatif, dan distributif.

3. Sumber daya, yakni yang yang digunakan, apa yang diproduksikan, termasuk input SDM (tenaga kerja, pendidikan), material (pangan, capital asset, dan sebagainya), ataupun yang tidak kelihatan seperti kehendak baik, informasi dan jaringan.

4. Orang (people), yakni siapa yang terlibat, siapa yang pergi, siapa melakukan apa? Kelembagaan relatif selektif dalam masukan atau mengeluarkan orang, menugaskan mereka pada sumber daya dan tanggung jawab, memposisikan mereka dalam hierarkis, dan sebagainya.

5. Kekuatan (power), yakni siapa mengontrol, memutuskan dan kepentingan siapa yang dilayani.

Kerangka analisis relasi sosial menekankan pada akar masalah ketimpangan gender dengan memetakan secara jelas apa sebab langsung (immediate), faktor kontributif (underlying), dan yang bersifat struktural. Analisis kelembagaan ini menyingkapkan buta gender dan berbagai jenis kesenjangan/ketimpangan diproduksi dan direproduksi ulang.

Dokumen terkait