• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODE PENELITIAN

F. Analisis Hasil

Parameter yang diukur dan dianalisis pada penelitian ini adalah komposisi fase gerak dan pengaruhnya terhadap kromatogram yang terbentuk dari rutin dengan melihat resolusi, standar deviasi relatif, kemampuan kolom untuk memisahkan komponen-komponen sampel, AUC, waktu retensi dan tailing factor untuk pnentuan fase gerak maupun uji kesesuaian sistem KCKT. Data cukup dibandingkan sesuai kriteria penerimaan, tidak perlu diolah dengan data statistik. Kriteria penerimaan untuk penentuan fase gerak yaitu resolusi > 1,5; tailing factor mendekati 1 dan waktu retensi tak lebih dari 10 menit dan kriteria penerimaan uji kesesuaian sistem yaitu CV < 2 % pada parameter resolusi, waktu retensi, tailing factor, theoretical plate, dan AUC (Snyder dkk., 2010; USP, 2020)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. DETERMINASI DAN PEMBUATAN SIMPLISIA BINAHONG

Penelitian ini diawali dengan melakukan determinasi terhadap binahong.

Determinasi dilakukan dengan membandingkan kriteria khas dari binahong dengan daun-daun yang diuji. Daun-daun tersebut dikatakan sebagai daun binahong jika berbentuk segitiga atau bulat telur atau seperti jantung, berujung runcing, agak tebal, berwarna hijau kecokelatan, berlekuk-lekuk pada pangkal dan tepi daun serta permukaannya licin dan halus (Depkes, 2017). Berdasarkan determinasi yang dilakukan, sampel yang digunakan adalah binahong. Hasil determinasi tercantum dalam surat keterangan determinasi nomor 11.23.10/UN1/FFA/BF/PT/2020.

Setelah proses determinasi dilakukan, maka daun binahong bisa dibuat menjadi simplisia. Langkah pertama yang dilakukan yaitu sortasi basah, dengan tujuan untuk membersihkan daun-daun binahong dari kotoran yang menempel (Dwitiyanti dkk., 2019). Kemudian, daun binahong dicuci dan dipotong-potong. Setelah itu, daun binahong dikeringkan di bawah sinar matahari dengan tampah dan ditutup kain hitam.

Daun binahong dikatakan benar-benar kering jika mudah patah dan mudah diremas.

Daun binahong yang sudah kering kemudian dibersihkan dari kotoran yang menempel dan dimasukkan ke dalam alat penyerbukan hingga halus. Hasil penyerbukan ini kemudian dimasukkan ke dalam wadah tertutup dan diberi silika gel untuk mencegah serbuk menjadi lembap (Depkes, 2017).

B. EKSTRAKSI BINAHONG

Ekstraksi terhadap simplisia binahong dilakukan dengan metode digesti.

Langkah pertama yang dilakukan yaitu mengayak simplisia binahong terlebih dahulu dengan tujuan untuk mencegah tulang daun yang tersisa ikut dalam proses ekstraksi.

Hasil ayakan kemudian ditimbang seksama sebanyak 30 gram. Hasil penimbangan yang didapatkan sebesar 30,0001 gram, dan hasil penimbangan tersebut masuk dalam

rentang penimbangan seksama (29,97-30,03 gram). Hasil penimbangan ini kemudian dilarutkan dengan etanol. Etanol digunakan sebagai pelarut karena memiliki sifat yang mudah melarutkan senyawa zat aktif bersifat polar, semi polar dan non polar, serta merupakan salah satu pelarut yang umum digunakan (Arifin, Wijaya, Rizal, 2014;

Ramawat, Merillon, 2013). Selain itu, etanol digunakan karena mudah mengekstrak metabolit pada tanaman karena mudah menembus membran seluler (Dwitiyanti dkk., 2019). Jumlah perbandingan yang dibutuhkan antara simplisia dengan etanol sebesar 1 : 10, sehingga hasil penimbangan simplisia tadi dilarutkan ke dalam 300 mL etanol (Santosa dkk., 2020). Proses pelarutan dipercepat dengan menggunakan hotplate stirrer dengan suhu 50 oC dan kecepatan 200 rpm selama 90 menit (Shah, Seth, 2010).

Setelah itu, larutan disaring dengan kertas saring dan diuapkan menggunakan rotary vacuum evaporator hingga didapatkan sisa ekstrak sebanyak 25 %.

C. PREPARASI BAKU DAN EKSTRAK ETANOL DAUN BINAHONG Baku disiapkan dengan cara menimbang kurang lebih baku rutin hidrat sebanyak 10 mg. Hasil penimbangan tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL dan dilarutkan metanol hingga batas tanda dan diaduk sehingga didapatkan konsentrasi baku sebesar 1000 ppm. Metanol digunakan sebagai pelarut karena dianggap mampu memberikan hasil pemisahan yang baik dibanding pelarut lain seperti asetonitril (Yang et al., 2013). Kemudian, larutan induk diambil sebanyak 0,02 mL dan dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL, dan ditambahkan pelarut hingga batas tanda dan diaduk hingga didapatkan konsentrasi 2 ppm. Baku dengan konsentrasi 2 ppm ini kemudian disaring menggunakan millipore dengan tujuan untuk mengurangi dan mencegah kemungkinan partikel yang terlalu besar masuk dan menyumbat fase diam (Yang et al., 2013).

Setelah disaring, larutan baku diawaudarakan untuk menghilangkan gelembung udara.

Selain baku yang disiapkan, ekstrak etanol daun binahong juga disiapkan.

Ekstrak etanol daun binahong dimasukkan ke dalam corong pisah, dan ditambahkan n-heksan dalam jumlah yang sama dengan etanol. Kedua cairan ini kemudian dicampurkan bersama di dalam corong pisah hingga membentuk dua lapisan. Lapisan

bawah adalah lapisan etanol, karena lapisan etanol memiliki massa jenis sebesar 0,789 g/mL yang lebih berat dibandingkan dengan massa jenis n-heksan sebesar 0,659 g/mL, sehingga lapisan etanol berada di bawah (Sigma Aldrich, 2021). N-heksan yang ditambahkan memiliki fungsi untuk menghilangkan klorofil dari daun binahong (Leliqia dkk., 2017). Etanol ini kemudian dikeluarkan dari corong pisah, dan ditampung dalam labu Erlenmeyer. Larutan diambil sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL, disaring dan diawaudarakan.

D. OPTIMASI PANJANG GELOMBANG MAKSIMUM

Tujuan dari optimasi panjang gelombang maksimum yaitu mengetahui panjang gelombang senyawa rutin yang memberikan respon berupa absorbansi yang maksimal. Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan cara scanning larutan baku rutin yang dalam tiga konsentrasi berbeda (0,5 ppm, 1 ppm, dan 1,5 ppm) dengan rentang panjang gelombang 200-400 nm menggunakan spektrofotometer UV double beam. Hasil yang diperoleh disajikan dalam tabel dan gambar berikut

Tabel I. Pengamatan panjang gelombang maksimum dari baku rutin Konsentrasi Baku

Gambar 3. Spektra 3 Seri Konsentrasi Rutin pada Panjang Gelombang 200-400 nm (Sumbu x = panjang gelombang, sumbu y = absorbansi)

Berdasarkan tabel dan hasil scan panjang gelombang tersebut, panjang gelombang maksimum yang digunakan adalah 272 nm. Panjang gelombang maksimum yang didapatkan dari hasil pengukuran sangat sesuai dengan hasil pengukuran panjang gelombang maksimum pada penelitian yang dilakukan oleh Seal tahun 2016, dengan panjang gelombang maksimum yang didapatkan dari penelitian tersebut sebesar 272 nm. Panjang gelombang tersebut bisa mengalami pergeseran akibat sifat dari pelarut yang digunakan. Pelarut yang digunakan adalah metanol yang memiliki sifat polar.

Pelarut bersifat polar akan cenderung meningkatkan energi eksitasi molekul senyawa.

Peningkatan energi tersebut berbanding terbalik dengan panjang gelombang, karena semakin besar energi yang diperlukan, maka panjang gelombang akan semakin pendek.

Akibatnya, terjadi pergeseran panjang gelombang pada senyawa (Pavia, Lampman, Kriz, Vyvyan, 2017). Maka, panjang gelombang yang didapatkan oleh Seal pada tahun 2016 bisa menjadi tolok ukur untuk panjang gelombang maksimum yang didapatkan.

0,5 ppm

1 ppm

1,5 ppm y

x

Adapun panjang gelombang maksimum yang digunakan adalah 272 nm. Nilai absorbansi yang dihasilkan pada panjang gelombang tersebut memenuhi rentang nilai absorbansi yang ditetapkan, yaitu 0,2-0,8 (Gandjar dkk, 2015; Pavia dkk., 2017).

Gambar 4. Gugus Kromofor dan Auksokrom pada Rutin (keterangan : = gugus kromofor, = gugus auksokrom)

Senyawa rutin bisa menghasilkan absorbansi pada panjang gelombang maksimum sebesar 272 nm yaitu adanya gugus kromofor dan auksokrom pada senyawa rutin.

Gugus kromofor adalah ikatan rangkap berselang-seling pada senyawa, sementara gugus auksokrom adalah gugus yang berikatan dengan gugus kromofor dan membantu meningkatkan penyerapan cahaya. Gugus kromofor dan auksokrom ditunjukkan dengan gambar 4. Gugus kromofor inilah yang bertanggungjawab terhadap absorbansi yang dihasilkan. Semakin panjang gugus kromofor yang ada, maka semakin besar pula

nilai panjang gelombang suatu senyawa (Pavia dkk., 2017). Nilai panjang gelombang ini juga dapat meningkat dengan adanya gugus auksokrom. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap absorbansi yang dihasilkan.

E. PENENTUAN FASE GERAK

Optimasi fase gerak dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi fase gerak yang bisa digunakan agar parameter dari kromatogram yang dihasilkan memenuhi kriteria penerimaan (Snyder dkk., 2010). Hasil optimasi tersebut digunakan untuk menentukan komposisi fase gerak dan laju alir yang optimal. Penentuan komposisi fase gerak dan laju alir dilakukan dengan cara membandingkan hasil resolusi dan tailing factor yang didapat antara baku dengan sampel pada komposisi fase gerak, laju alir, serta waktu retensi yang sama dengan kriteria penerimaan. Hasil yang didapatkan pada optimasi fase gerak terhadap baku dan sampel dijelaskan dalam tabel dan kromatogram berikut

Gambar 5. Kromatogram Baku Rutin dengan Komposisi Fase Gerak Metanol, Asetonitril, Akuabides (30 : 10 : 60), Flow rate 0,7 mL/menit

Rutin

Gambar 6. Kromatogram Ekstrak Etanol Daun Binahong dengan Komposisi Fase Gerak Metanol, Asetonitril, Akuabides (30 : 10 : 60), Flow rate 0,7

mL/menit

Tabel II. Hasil optimasi fase gerak (keterangan : abc = fase gerak terpilih)

Komposisi Laju alir

Hasil yang didapatkan dinyatakan memenuhi kriteria penerimaan apabila nilai resolusi baku dan sampel sama-sama > 1,5 dan nilai tailing factor baku dan sampel sama-sama mendekati 1 (Gandjar dkk., 2015; Snyder dkk., 2010). Pada komposisi pertama dengan laju alir 0,6 mL/menit, hasil pada baku memenuhi kriteria penerimaan, tetapi hasil pada sampel memiliki resolusi kurang dari 1,5 dan tailing factor tidak terbaca pada sistem.

Lalu, ketika laju alir dinaikkan menjadi 0,7 mL/menit, waktu retensi yang dihasilkan pada baku dan sampel menjadi lebih cepat, tetapi resolusi pada sampel juga kurang dari 1,5. Kemudian pada laju alir 0,8 mL/menit, waktu retensi yang dihasilkan lebih cepat dibanding dua laju alir sebelumnya, namun resolusi dari sampel masih kurang dari 1,5 serta tailing factor yang diberikan tidak terbaca pada sistem. Selanjutnya, dilakukan uji terhadap komposisi fase gerak kedua. Pada komposisi kedua dengan laju alir 0,6 mL/menit, waktu retensinya lebih dari 10 menit dan resolusi dari sampel kurang dari 1,5. Saat laju alirnya dinaikkan menjadi 0,7 mL/menit, semua parameter pada baku dan sampel memenuhi kriteria penerimaan. Lalu ketika laju alirnya dinaikkan menjadi 0,8 mL/menit, waktu retensinya lebih cepat dibanding dua laju alir sebelumnya, tetapi resolusi dari sampel kurang dari 1,5. Maka, berdasarkan kriteria tersebut, komposisi fase gerak dan laju alir yang terpilih adalah metanol : asetonitril : akuabides dengan perbandingan 30 : 10 : 60 dengan laju alir sebesar 0,7 mL/menit. Komposisi fase gerak dan laju alir tersebut terpilih karena hasil yang diberikan oleh baku dan sampel semuanya memenuhi kriteria penerimaan, sementara komposisi fase gerak dan laju alir lainnya hanya memberikan hasil yang memenuhi kriteria penerimaan pada baku saja (Snyder dkk., 2010). Lalu, pada kromatogram yang ditunjukkan gambar 5 dan 6, AUC rutin pada baku terlihat lebih besar dibandingkan rutin pada sampel. Hal ini terjadi karena perbedaan skala antara baku dengan sampel, ditunjukkan oleh skala pada baku lebih besar dibandingkan skala pada sampel.

Pada saat baku dan sampel dibawa oleh fase gerak ke dalam fase diam, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Ketika suatu senyawa yang dibawa fase gerak masuk ke dalam fase diam (kolom), maka ada perbedaan sifat antara senyawa dengan fase diam yang memiliki sifat lebih non polar dibandingkan dengan senyawa

yang dibawa oleh fase gerak. Hal yang dapat dilakukan yaitu mengatur komposisi fase gerak agar tidak memiliki perbedaan polaritas yang besar dengan kolom, karena jika terjadi perbedaan polaritas yang besar antara kolom dan fase gerak, maka senyawa yang dibawa fase gerak akan tertahan lama di dalam kolom, sehingga senyawa akan keluar dari kolom dalam waktu yang lama dan waktu retensinya menjadi lebih lama (Snyder dkk., 2010). Pada penelitian ini, fase gerak yang digunakan adalah metanol, asetonitril, dan akuabides. Metanol memiliki rumus molekul CH3OH merupakan senyawa golongan alkohol dan dapat berinteraksi hidrogen dengan gugus -OH yang banyak dimiliki oleh senyawa rutin (Pubchem, 2021; Taraba, Szymczyk, 2019). Selain metanol, ada juga asetonitril yang dapat larut dalam air, dan juga akuabides yang memiliki sifat polar (Pubchem, 2021). Di antara ketiga pelarut ini, akuabides memiliki rasio komposisi yang terbesar. Hal ini karena akuabides mampu melarutkan baku rutin dan sampel, apalagi baku rutin yang digunakan merupakan baku rutin hidrat. Rutin hidrat memiliki kemiripan struktur dengan rutin, hanya saja memiliki tambahan molekul air, dan struktur ini meningkatkan kelarutannya dalam air berdasar prinsip like dissolves like (Pubchem, 2021). Selain itu, karena rutin memiliki banyak gugus -OH, maka lebih mudah untuk berinteraksi hidrogen dengan akuabides. Akuabides juga memiliki polaritas yang lebih tinggi dibandingkan metanol dan asetonitril, dengan nilai polaritas sebesar 10,2 (Ramawat dkk., 2013; Snyder dkk., 2010). Polaritas yang lebih tinggi ini diperlukan agar rutin tidak terlalu lama tertinggal dalam fase diam akibat sifat yang sama. Maka, rasio komposisi yang bisa diubah adalah rasio metanol dengan rasio asetonitril. Berdasarkan indeks polaritasnya, metanol memiliki polaritas sebesar 5,1 dan asetonitril memiliki polaritas sebesar 5,8. Ketika rasio metanol diperbanyak, otomatis polaritas dari fase gerak akan berkurang, sehingga perbedaan polaritas antara fase gerak dan fase diam juga berkurang dan rutin akan keluar lebih lama dari fase diam (Snyder dkk., 2010). Hal ini telah dibuktikan pada penelitian ini dengan hasil berupa komposisi fase gerak yang memiliki rasio metanol : asetonitril : akuabides sebesar 30 : 10 : 60 memiliki waktu retensi yang lebih lama dibanding rasio metanol : asetonitril : akuabides sebesar 20 : 20 : 60.

Gambar 7. Interaksi Rutin dengan Fase Gerak Keterangan : (….. = interaksi)

Interaksi yang digambarkan pada gambar 7 merupakan interaksi yang dapat terjadi.

Interaksi antara asetonitril dan rutin dapat terjadi dengan atom N pada asetonitril yang lebih elektronegatif akan cenderung menarik atom H pada rutin. Kemudian, interaksi antara metanol dan rutin dapat terjadi dengan atom H pada gugus -OH di metanol akan berinteraksi hidrogen dengan atom O pada rutin.

Metanol Asetonitril Akuabides

Rutin dapat pula berinteraksi dengan fase diam melalui interaksi Van der Waals. Interaksi Van der Waals ini terjadi pada bagian non-polar dari rutin dengan gugus -CH3 pada fase diam, digambarkan sebagai berikut

Gambar 8. Interaksi Rutin dengan Fase Diam Keterangan : (….. = interaksi)

Adapun fase diam yang digunakan adalah C18 yang terikat pada siloksan dan dikenal dengan nama oktadesilsilan. Fase diam ini memiliki struktur alifatik dan kepolaran serta elektronegativitas yang rendah, sehingga fase diam akan lebih mudah berinteraksi dengan bagian non-polar pada rutin. Tetapi, interaksi ini menimbulkan gaya yang tidak

C18

sekuat gaya yang ditimbulkan oleh interaksi rutin dengan komposisi fase gerak, sehingga rutin masih bisa keluar dari kolom.

Selain komposisi fase gerak, faktor yang mempengaruhi penentuan fase gerak adalah laju alir. Laju alir yang lebih cepat menyebabkan rutin yang dibawa fase gerak menjadi lebih cepat keluar dari fase diam. Tetapi, hal ini tidak menjamin bahwa pemisahan senyawa bisa berjalan dengan baik. Hal ini terjadi karena laju alir juga mempengaruhi lebar sempitnya puncak yang terbentuk pada kromatogram. Semakin kecil laju alir, maka puncak yang terbentuk menjadi lebih landai akibat senyawa keluar sedikit demi sedikit dari fase diam. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya tailing yang lebih besar pada puncak. Sebaliknya, semakin besar laju alir, maka puncak yang terbentuk menjadi lebih tajam akibat senyawa keluar dengan cepat dari fase diam.

Keadaan semacam ini bisa menimbulkan kondisi puncak belum sampai ke garis nol, tetapi sudah diikuti puncak lainnya, sehingga pemisahan komponen senyawa tidak bagus. Maka, laju alir dapat dikatakan memiliki hubungan dengan parameter waktu retensi, resolusi dan tailing factor. Hal ini terbukti pada penelitian dengan hasil berupa laju alir optimal sebesar 0,7 mL/menit dari fase gerak metanol : asetonitril : akuabides sebesar 30 : 10 : 60 dengan dasar pemilihan sesuai kriteria penerimaan terhadap parameter-parameter dari KCKT (Meurs, 2016; Snyder dkk., 2010).

F. UJI KESESUAIAN SISTEM

Uji kesesuaian sistem dilakukan dengan tujuan mengetahui kemampuan sistem KCKT fase terbalik tersebut dalam memberikan hasil yang sama atau mendekati pada tiap injeksi yang diberikan (Bose, 2014). Uji kesesuaian sistem ini memberikan hasil berupa 6 kali repetisi injeksi baku rutin beserta parameter yang diperlukan (waktu retensi, AUC, resolusi, tailing factor, dan theoretical plate). Uji kesesuaian sistem ini dikatakan berhasil apabila parameter-parameter tersebut memenuhi kriteria yang ada, yaitu CV pada waktu retensi dan AUC < 1 % (untuk jumlah injeksi > 5), resolusi > 2, tailing factor < 2, dan theoretical plate (N) > 2000 (Snyder dkk., 2010). Hasil uji kesesuaian sistem disajikan dalam tabel berikut

Tabel III. Hasil uji kesesuaian sistem

Rerata 9,4617 41489,6667 7,753 1,3058 4315,0068

SD 0,0240 411,8309 0,1319 0,0212 65,5452

CV 0,25 0,99 1,70 1,63 1,52

Berdasarkan hasil di atas, maka semua parameter yang ada memenuhi kriteria, yaitu nilai CV pada waktu retensi dan AUC < 1 %, resolusi lebih dari 2, nilai tailing factor kurang dari 2 dan nilai N lebih dari 2000. Selain itu, jika dilihat dari CV yang dihasilkan semua parameter, maka semua parameter mememenuhi kriteria dari USP pada tahun 2020, yaitu < 2 %. Parameter yang sudah memenuhi kriteria menunjukkan bahwa sistem KCKT fase terbalik ini bisa memberikan hasil yang sama atau mendekati.

BAB V KESIMPULAN

A. KESIMPULAN

Penelitian ini melakukan optimasi terhadap panjang gelombang maksimum serta komposisi dan laju alir fase gerak. Panjang gelombang maksimum yang didapatkan sebesar 272 nm, sementara fase gerak yang memenuhi kriteria penerimaan adalah metanol : asetonitril : akuabides dengan perbandingan 30 : 10 : 60 dengan laju alir 0,7 mL/menit dengan waktu retensi pada sampel 9,978 menit, resolusi 1,676 dan tailing factor 1,076. Selain itu, dilakukan uji kesesuaian sistem untuk memastikan kemampuan sistem memberikan hasil yang sama. Hasil dari uji kesesuaian sistem yaitu CV <2 % pada parameter resolusi, waktu retensi, tailing factor, theoretical plate, dan AUC.

B. SARAN

Jika penelitian ini dilakukan kembali, maka saran yang dapat diberikan yaitu perlu dilakukan validasi terhadap metode analisis yang dilakukan. Validasi diperlukan untuk memastikan kembali bahwa sistem KCKT mampu memberikan hasil yang akurat, reprodusibel, dan selektif.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H., Wijaya, R.J., Rizal, Z. 2014. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap pH dan Tukak Lambung pada Tikus Putih Betina. Jurnal Farmasi Higea, Vol 6 (1), 33.

Bose, A. 2014. HPLC Calibration Process Parameters in Terms of System Suitability Test. Austin Chromatography, Vol 1 (2), 2.

Cabi, 2021. Anredera cordifolia, diakses pada 20 Juli 2021.

Chen, et al. 2020. Effects of Rutin on Wound Healing in Hyperglycemic Rats. MDPI Antioxidants, Vol 9 (1122), 6-10.

Ciric, A., Stankov, M.J., Cvijovic, M., Djudjevic, P. 2017. Statistical Optimization of An RP-HPLC Method for the Determination of Selected Flavonoids in Berry Juices and Evaluation of Their Antioxidant Activities. Biomed Chromatogr.

2017 Apr, 2-3.

Depkes. 2017. Farmakope Herbal Indonesia Edisi 2. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.

Dwitiyanti, Harahap, Y., Elna, B., Bahtiar, A. 2019. Impact of Solvent of the Characteristics of Standarized Binahong Leaf (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis). Pharmacognosy Journal Vol 11 (6), 1463-1465.

Farsi, E., et al. 2017. Standarized Extract of Ficus deltoidea Stimulates Insulin Secretion and Blocks Hepatic Glucose Production by Regulating the Expression of Glucose-Metabolic Genes in Streptozitocin-Induced Diabetic Rats. BMC Complementary and Alternative Medicine Vol 14 (20), 10.

Gandjar, I. G., Rohman, A. 2015. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, p. 378-416, 460.

Ghorbani, A. 2017. Mechanisms of Antidiabetic Effects of Flavonoid Rutin. Biomed Pharmacother. 2017 Dec, 306-309.

Indriani, L., Zunnaita, O., Khairi, M.R. 2019. Optimasi Efek Analgesik Daun Binahong dengan Penambahan Jahe dan Kunyit secara In-Vivo. Fitofarmaka Jurnal Ilmiah Farmasi Vol 9 (2), 146.

Jang, D. et al. 2019. Developing and Validating A Method for Separating Flavonoid Isomers in Common Buckwheat Sprouts Using HPLC-PDA. Foods Vol (8), 6-7.

Kintoko, et al. 2017. Pengaruh Kondisi Diabetes pada Pemberian Topikal Fraksi Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) dalam Proses Penyembuhan Luka. Traditional Medicine Journal Vol 22 (2), 104.

Klitou, P., Rosbottom, I., Simone, E. 2019. Synthonic Modellinfg of Quercetin and Its Hydrates : Explaining Crystallization Behavior in Terms of Molecular Confomation and Crystal Packing. Cryst Growth Des Vol 19, 4780.

Leliqia, N. P. E., Sukandar, E.Y., Fidrianny, I. 2017, Antibacterial Activities of Anredera cordifolia (Ten.) V. Steenis Leaves Extracts and Fractions. Asian Journal of Pharmaceutial and Clinical Research Vol 10 (2), 175.

Lindon, J.C., Tranter, G.E. Koppenaal, D.W. 2017. Encyclopedia of Spectroscopy and Spectrometry Third Edition. Elsevier, London.

Merck. 2013. The Merck Index. Royal Society of Chemistry, UK.

Meurs, J. 2016. Flow Rates in Liquid Chromatography, Gas Chromatography and Supercritical Fluid Chromatography : A Tool for Optimization. Journal of Open Research Software Vol 4 (32), 1-3.

Mulia, K., Muhammad, F., Kristanti, E. 2018. Extraction of Vitexin from Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) Leaves using Betaine-1,4 Butanediol Natural Deep Eutectic Solvent (NADES). AIP Conference Proceedings, 1.

Naveen, P., Lingaraju, H.B., Anitha, Prasad, K.S. 2017. Simultaneous Determination of Rutin, Isoquercetin, and Quercetin Flavonoids in Nelumbo nucifera by High Performance Liquid Chromatography Method. International Journal of Pharmaceutical Investigation Vol 7 (2), 95.

Pavia, D. L., Lampman, G. M., Kriz, G. S., Vyvyan, J. R. 2017. Introduction to Spectroscopy. Brooks/Cole Cengage Learning, USA, p. 386-400, 406.

Perkeni, 2011, Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Perkeni, Jakarta, p. 11.

Pubchem. 2021. Acetonitrile, www.pubchem.ncbi.nlm.nih.gov, diakses pada tanggal 17 Mei 2021.

Pubchem. 2021. Methanol, www.pubchem.ncbi.nlm.nih.gov, diakses pada tanggal 17 Mei 2021.

Pubchem. 2021. Rutin, www.pubchem.ncbi.nlm.nih.gov, diakses pada tanggal 25 April 2021.

Pubchem. 2021. Rutin Hydrate, www.pubchem.ncbi.nlm.nih.gov,diakses pada tanggal 17 Mei 2021.

Purba, N.B.R., Rohman, A., Martono, S. 2019. Validation and Application of Reversed-Phase High-Performance Liquid Chromatography for Quantitative Analysis of Acid Orange 7 and Sudan II in Blusher Products. Journal of Applied Pharmaceutical Science Vol 9(07), 11.

Ramawat, K.G., Merillon, J.M. 2013. Natural Products : Phytochemistry, Botany and Metabolism of Alkaloids, Phenolics, and Terpenes. Springer, p. 2115-2117.

Rana, A. C., Gulliya, B. 2018. Chemistry and Pharmacology of Flavonoids-A Review.

Indian Journal of Pharmaceutical Education and Research Vol 53 (1), 8, 10, 13.

Reuhs, B. L., Rounds, M. A. 2010. High-Performance Liquid Chromatography. Food Analysis Springer Science, 488-489.

Santosa, O. B., Gani, M. R., Yuliani, S H. 2020. Chemometric Assisted Quantitative Determination of Vitexin in Ethanolic Extract of Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) Leaves. International Journal of Applied Pharmaceutics Vol 12 (6), 69-70.

Seal, T. 2016. Quantitative HPLC Analysis of Phenolic Acids, Flavonoids and Ascorbic Acid in Four Different Solvent Extracts of Two Wild Edible Leaves,

Sonchus arvensis and Oenanthe linearis of North Eastern Region in India.

Journal of Applied Pharmaceutical Science Vol 6 (2), 159-160.

Shah, B., Seth, A.K. 2010. Textbook of Pharmacognosy & Phytochemistry. Elsevier,

Shah, B., Seth, A.K. 2010. Textbook of Pharmacognosy & Phytochemistry. Elsevier,

Dokumen terkait