• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODE PENELITIAN

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

2. Definisi operasional

a. Bahan untuk fase gerak. Bahan untuk fase gerak seperti metanol dan asetonitrilmemiliki kualitas untuk analisis kromatografi cair (LC grade) dari Merck.

b. Daun binahong. Daun binahong yang digunakan untuk ekstrak yaitu daun binahong yang tumbuh di daerah Sleman dan sekitarnya, mengikuti kriteria dari Farmakope Herbal Indonesia Edisi 2.

c. Tailing factor. Tailing factor adalah jarak dari kemiringan depan puncak ke kemiringan belakang dibagi dua kali jarak dari garis tengah puncak ke kemiringan depan, dengan semua pengukuran dilakukan pada 5 % dari ketinggian puncak maksimal. Nilai tailing factor yang dijadikan syarat untuk hasil yang baik dan bisa digunakan adalah mendekati 1 (Snyder dkk., 2010).

d. Waktu retensi. Waktu retensi adalah waktu yang dibutuhkan komponen untuk melalui kolom dan mencapai detektor, mulai dari tertahan di fase diam hingga bisa dideteksi oleh detektor.

e. Resolusi. Resolusi adalah daya pemisahan komponen sampel satu dengan komponen lainnya. Nilai resolusi yang dijadikan syarat untuk hasil yang baik dan bisa digunakan adalah lebih dari 1,5 (Gandjar dkk., 2015).

f. Theoretical plate. Theoretical plate merupakan suatu bentuk representatif yang melambangkan kesetimbangan partisi dari zat terlarut di antara fase diam dan fase gerak (Lindon, Tranter, Koppenaal, 2017).

g. Sistem KCKT. Sistem KCKT adalah sistem pemisahan suatu senyawa yang dibawa oleh fase gerak dan dipompa menuju kolom sebagai fase diam, dan komponen sampel akan keluar dari kolom secara berurutan berdasarkan perbedaan sifat komponen dengan fase diam untuk kemudian dibaca oleh detektor dan ditampilkan sebagai kromatogram (Snyder dkk., 2010). Sistem KCKT yang digunakan adalah KCKT fase terbalik, dengan fase diam C18 dan fase gerak berupa kombinasi metanol.

asetonitril, dan akuabides.

C. BAHAN

Bahan yang diperlukan yaitu daun binahong dari Kecamatan Sleman, baku rutin hidrat (Sigma), metanol for liquid chromatography (Merck), acetonitrile for liquid chromatography (Merck), n-heksan pro analysis (Merck), akuabides, membran filter Whatmann dengan diameter 45 mm dan etanol 96 % (Merck).

D. ALAT

Alat yang diperlukan yaitu instrumen KCKT Shimadzu (seri LC-2010C HT) dengan kolom C-18 Phenomenex berukuran 250 x 4,6 mm 100 Ǻ dengan diameter internal 5 mikrometer, wadah fase gerak, instrumen UV-Spektrofotometer double beam Shimadzu seri UV-1800 dan kuvet, vial KCKT, millipore, blender, mikrotube, mikropipet Socorex 10-100 dan 100-1000 mikroliter, labu ukur 5 mL, 10 mL dan 25 mL, labu Erlenmeyer, gelas beker 100 dan 500 mL, pipet volume 1 mL dan 100 mL, pipet pump, pipet tetes, alat penyerbukan, ayakan mesh nomor 40, kertas saring, corong pisah, alumunium foil, timbangan Scaltec SBC 22 (max 210 g min 0,00001 g), hot plate stirrer, dan rotary vacuum evaporator BUCHI R-210.

E. CARA KERJA PENELITIAN

Secara garis besar, penelitian yang akan dilakukan kurang lebih mengikuti alur di bawah ini

Gambar 2. Skema Kerja

1. Determinasi daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)

Binahong yang dideterminasi berasal dari Kecamatan Sleman, dengan menggunakan keseluruhan bagian tanaman untuk kemudian dideterminasi di Departemen Biologi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) yang memenuhi kriteria dari Farmakope Herbal Indonesia Edisi 2 adalah daun yang berbentuk segitiga atau bulat telur atau seperti jantung, berujung runcing, agak tebal, berwarna hijau kecokelatan, memiliki lekuk pada pangkal dan tepi daun serta permukaannya licin dan halus. Adapun daun yang diambil memiliki panjang 4-7 cm.

2. Pembuatan simplisia binahong

Daun binahong yang telah dideterminasi dikumpulkan sebanyak 3 kg dan dilakukan proses sortasi basah untuk memisahkan daun dari kotoran. Daun kemudian dicuci bersih, dipotong-potong dan dikeringkan menggunakan tampah serta ditutup

Determinasi daun

kain hitam di bawah sinar matahari. Hasil pengeringan dikatakan benar-benar kering jika mudah diremas dan mudah patah. Hasil pengeringan tersebut disortasi kering untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel. Setelah itu hasil pengeringan dijadikan serbuk dengan alat penyerbukan hingga halus untuk menjadi serbuk simplisia. Serbuk simplisia disimpan dalam wadah tertutup rapat dan diberi silika gel.

3. Ekstraksi binahong

Serbuk simplisia diayak dengan ayakan nomor 40, ditimbang - sebanyak 30 gram. Hasil penimbangan tersebut kemudian dilarutkan menggunakan etanol dengan perbandingan tiap 1 bagian serbuk dilarutkan dengan 10 bagian pelarut, sehingga hasil penimbangan dilarutkan dengan etanol sebanyak 300 mL dan diaduk menggunakan stirrer pada hotplate dengan suhu 50 oC untuk mempercepat proses larutnya binahong dalam etanol selama 90 menit. Kemudian disaring dengan kertas saring dan diuapkan menggunakan vacuum evaporator hingga didapatkan ekstrak hingga tersisa 25 % (Depkes, 2017; Santosa, Gani, Yuliani, 2020).

4. Penyusunan komposisi dan laju alir fase gerak

Komposisi fase gerak yang akan digunakan untuk optimasi ada 2 komposisi.

Komposisi pertama terdiri dari metanol, asetonitril, dan akuabides dengan perbandingan 20 : 20 : 60, dengan laju alir yang dioptimasi adalah 0,6, 0,7, dan 0,8 mL/min. Komposisi kedua terdiri dari metanol, asetonitril, dan akuabides dengan perbandingan 30 : 10 : 60, dengan laju alir yang dioptimasi adalah 0,6, 0,7, dan 0,8 mL/min. Semua komposisi dibuat dengan mengambil metanol, asetonitril, dan akuabides masing-masing sebanyak 500 mL menggunakan pipet volume dan diletakkan dalam gelas beker terpisah, disaring dan dituang ke dalam wadah fase gerak untuk kemudian diawaudarakan. Setelah itu, wadah fase gerak tersebut dihubungkan dengan instrumen KCKT dengan cara memasukkan selang fase gerak ke dalam wadah, dan diatur komposisinya pada layar yang menampilkan proses analisis.

5. Preparasi baku rutin

Baku rutin ditimbang kurang lebih sebanyak 10 mg, kemudian dimasukkan dalam labu ukur 10 mL dan ditambah metanol hingga batas tanda, lalu diaduk. Baku tersebut diambil sebanyak 0,02 mL dan dimasukkan dalam labu ukur 10 mL dan ditambah metanol hingga batas tanda dan didapatkan konsentrasi sebesar 2 ppm, kemudian disaring dengan millipore sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke dalam vial KCKT untuk kemudian diawaudarakan selama 10 menit.

6. Preparasi ekstrak etanol daun binahong

Ekstrak etanol daun binahong dimasukkan ke dalam corong pisah dan ditambahkan n-heksan untuk menghilangkan klorofil pada binahong. Proses tersebut akan membentuk 2 larutan, dan larutan etanol akan berada di bawah. Larutan tersebut dikeluarkan dan larutan ditampung dalam Erlenmeyer. Ekstrak yang ada diambil sebanyak 1 mL, kemudian dilarutkan dalam labu takar 10 mL. Setelah itu, hasil pengenceran diambil sebanyak 1 mL lalu disaring dengan millipore dan dimasukkan ke dalam vial KCKT kemudian diawaudarakan selama 10 menit (Indriani, Zunnaita, Khariri, 2019; Leliqia, Sukandar, Fidrianny, 2017).

7. Optimasi panjang gelombang maksimal senyawa rutin

Larutan baku yang telah dibuat diambil sebanyak 0,25; 0,5; dan 0,75 mL dan masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL serta ditambahkan metanol hingga batas tanda, sehingga didapatkan rutin dengan 3 konsentrasi berbeda (0,5 ppm;

1 ppm; dan 1,5 ppm). Ketiga konsentrasi tersebut discan di spektrofotometer UV double beam dari konsentrasi terendah pada rentang panjang gelombang 200-400 nm.

8. Pengukuran menggunakan instrumen KCKT

Larutan blanko (metanol), baku rutin dengan konsentrasi 2 ppm, dan ekstrak etanol daun binahong yang sudah masuk ke dalam vial diinjeksikan ke dalam KCKT dengan laju alir sebesar 0,6 mL/menit menggunakan komposisi fase gerak yang

pertama. Injeksi dilakukan secara berurutan mulai dari blanko pelarut, baku rutin hingga ekstrak etanol daun binahong. Setelah itu, kromatogram yang terbentuk diamati dan dilihat pada bagian waktu retensi, resolusi, dan tailing factor. Injeksi larutan ke dalam sistem KCKT diulangi dengan urutan yang sama menggunakan komposisi fase gerak pertama dengan laju alir sebesar 0,7 mL/menit dan diamati ketiga parameter tersebut. Proses injeksi larutan dilakukan hingga komposisi fase gerak kedua dengan laju alir 0,8 mL/menit selesai. Setelah itu, parameter resolusi, tailing factor, dan waktu retensi dibandingkan dan dipilih fase gerak yang optimal berdasarkan kriteria yang ada.

9. Uji kesesuaian sistem

Uji kesesuaian sistem dilakukan dengan menginjeksikan baku rutin dengan konsentrasi 20 mikrogram/mL dalam 6 kali repetisi. Hasil replikasi tersebut dilihat berdasarkan parameternya (waktu retensi, resolusi, tailing factor, theoretical plate dan AUC). Parameter-parameter tersebut akan dihitung nilai standar deviasinya, dengan nilai standar deviasi yang baik yaitu kurang dari 2 persen.

F. ANALISIS HASIL

Parameter yang diukur dan dianalisis pada penelitian ini adalah komposisi fase gerak dan pengaruhnya terhadap kromatogram yang terbentuk dari rutin dengan melihat resolusi, standar deviasi relatif, kemampuan kolom untuk memisahkan komponen-komponen sampel, AUC, waktu retensi dan tailing factor untuk pnentuan fase gerak maupun uji kesesuaian sistem KCKT. Data cukup dibandingkan sesuai kriteria penerimaan, tidak perlu diolah dengan data statistik. Kriteria penerimaan untuk penentuan fase gerak yaitu resolusi > 1,5; tailing factor mendekati 1 dan waktu retensi tak lebih dari 10 menit dan kriteria penerimaan uji kesesuaian sistem yaitu CV < 2 % pada parameter resolusi, waktu retensi, tailing factor, theoretical plate, dan AUC (Snyder dkk., 2010; USP, 2020)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. DETERMINASI DAN PEMBUATAN SIMPLISIA BINAHONG

Penelitian ini diawali dengan melakukan determinasi terhadap binahong.

Determinasi dilakukan dengan membandingkan kriteria khas dari binahong dengan daun-daun yang diuji. Daun-daun tersebut dikatakan sebagai daun binahong jika berbentuk segitiga atau bulat telur atau seperti jantung, berujung runcing, agak tebal, berwarna hijau kecokelatan, berlekuk-lekuk pada pangkal dan tepi daun serta permukaannya licin dan halus (Depkes, 2017). Berdasarkan determinasi yang dilakukan, sampel yang digunakan adalah binahong. Hasil determinasi tercantum dalam surat keterangan determinasi nomor 11.23.10/UN1/FFA/BF/PT/2020.

Setelah proses determinasi dilakukan, maka daun binahong bisa dibuat menjadi simplisia. Langkah pertama yang dilakukan yaitu sortasi basah, dengan tujuan untuk membersihkan daun-daun binahong dari kotoran yang menempel (Dwitiyanti dkk., 2019). Kemudian, daun binahong dicuci dan dipotong-potong. Setelah itu, daun binahong dikeringkan di bawah sinar matahari dengan tampah dan ditutup kain hitam.

Daun binahong dikatakan benar-benar kering jika mudah patah dan mudah diremas.

Daun binahong yang sudah kering kemudian dibersihkan dari kotoran yang menempel dan dimasukkan ke dalam alat penyerbukan hingga halus. Hasil penyerbukan ini kemudian dimasukkan ke dalam wadah tertutup dan diberi silika gel untuk mencegah serbuk menjadi lembap (Depkes, 2017).

B. EKSTRAKSI BINAHONG

Ekstraksi terhadap simplisia binahong dilakukan dengan metode digesti.

Langkah pertama yang dilakukan yaitu mengayak simplisia binahong terlebih dahulu dengan tujuan untuk mencegah tulang daun yang tersisa ikut dalam proses ekstraksi.

Hasil ayakan kemudian ditimbang seksama sebanyak 30 gram. Hasil penimbangan yang didapatkan sebesar 30,0001 gram, dan hasil penimbangan tersebut masuk dalam

rentang penimbangan seksama (29,97-30,03 gram). Hasil penimbangan ini kemudian dilarutkan dengan etanol. Etanol digunakan sebagai pelarut karena memiliki sifat yang mudah melarutkan senyawa zat aktif bersifat polar, semi polar dan non polar, serta merupakan salah satu pelarut yang umum digunakan (Arifin, Wijaya, Rizal, 2014;

Ramawat, Merillon, 2013). Selain itu, etanol digunakan karena mudah mengekstrak metabolit pada tanaman karena mudah menembus membran seluler (Dwitiyanti dkk., 2019). Jumlah perbandingan yang dibutuhkan antara simplisia dengan etanol sebesar 1 : 10, sehingga hasil penimbangan simplisia tadi dilarutkan ke dalam 300 mL etanol (Santosa dkk., 2020). Proses pelarutan dipercepat dengan menggunakan hotplate stirrer dengan suhu 50 oC dan kecepatan 200 rpm selama 90 menit (Shah, Seth, 2010).

Setelah itu, larutan disaring dengan kertas saring dan diuapkan menggunakan rotary vacuum evaporator hingga didapatkan sisa ekstrak sebanyak 25 %.

C. PREPARASI BAKU DAN EKSTRAK ETANOL DAUN BINAHONG Baku disiapkan dengan cara menimbang kurang lebih baku rutin hidrat sebanyak 10 mg. Hasil penimbangan tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL dan dilarutkan metanol hingga batas tanda dan diaduk sehingga didapatkan konsentrasi baku sebesar 1000 ppm. Metanol digunakan sebagai pelarut karena dianggap mampu memberikan hasil pemisahan yang baik dibanding pelarut lain seperti asetonitril (Yang et al., 2013). Kemudian, larutan induk diambil sebanyak 0,02 mL dan dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL, dan ditambahkan pelarut hingga batas tanda dan diaduk hingga didapatkan konsentrasi 2 ppm. Baku dengan konsentrasi 2 ppm ini kemudian disaring menggunakan millipore dengan tujuan untuk mengurangi dan mencegah kemungkinan partikel yang terlalu besar masuk dan menyumbat fase diam (Yang et al., 2013).

Setelah disaring, larutan baku diawaudarakan untuk menghilangkan gelembung udara.

Selain baku yang disiapkan, ekstrak etanol daun binahong juga disiapkan.

Ekstrak etanol daun binahong dimasukkan ke dalam corong pisah, dan ditambahkan n-heksan dalam jumlah yang sama dengan etanol. Kedua cairan ini kemudian dicampurkan bersama di dalam corong pisah hingga membentuk dua lapisan. Lapisan

bawah adalah lapisan etanol, karena lapisan etanol memiliki massa jenis sebesar 0,789 g/mL yang lebih berat dibandingkan dengan massa jenis n-heksan sebesar 0,659 g/mL, sehingga lapisan etanol berada di bawah (Sigma Aldrich, 2021). N-heksan yang ditambahkan memiliki fungsi untuk menghilangkan klorofil dari daun binahong (Leliqia dkk., 2017). Etanol ini kemudian dikeluarkan dari corong pisah, dan ditampung dalam labu Erlenmeyer. Larutan diambil sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL, disaring dan diawaudarakan.

D. OPTIMASI PANJANG GELOMBANG MAKSIMUM

Tujuan dari optimasi panjang gelombang maksimum yaitu mengetahui panjang gelombang senyawa rutin yang memberikan respon berupa absorbansi yang maksimal. Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan cara scanning larutan baku rutin yang dalam tiga konsentrasi berbeda (0,5 ppm, 1 ppm, dan 1,5 ppm) dengan rentang panjang gelombang 200-400 nm menggunakan spektrofotometer UV double beam. Hasil yang diperoleh disajikan dalam tabel dan gambar berikut

Tabel I. Pengamatan panjang gelombang maksimum dari baku rutin Konsentrasi Baku

Gambar 3. Spektra 3 Seri Konsentrasi Rutin pada Panjang Gelombang 200-400 nm (Sumbu x = panjang gelombang, sumbu y = absorbansi)

Berdasarkan tabel dan hasil scan panjang gelombang tersebut, panjang gelombang maksimum yang digunakan adalah 272 nm. Panjang gelombang maksimum yang didapatkan dari hasil pengukuran sangat sesuai dengan hasil pengukuran panjang gelombang maksimum pada penelitian yang dilakukan oleh Seal tahun 2016, dengan panjang gelombang maksimum yang didapatkan dari penelitian tersebut sebesar 272 nm. Panjang gelombang tersebut bisa mengalami pergeseran akibat sifat dari pelarut yang digunakan. Pelarut yang digunakan adalah metanol yang memiliki sifat polar.

Pelarut bersifat polar akan cenderung meningkatkan energi eksitasi molekul senyawa.

Peningkatan energi tersebut berbanding terbalik dengan panjang gelombang, karena semakin besar energi yang diperlukan, maka panjang gelombang akan semakin pendek.

Akibatnya, terjadi pergeseran panjang gelombang pada senyawa (Pavia, Lampman, Kriz, Vyvyan, 2017). Maka, panjang gelombang yang didapatkan oleh Seal pada tahun 2016 bisa menjadi tolok ukur untuk panjang gelombang maksimum yang didapatkan.

0,5 ppm

1 ppm

1,5 ppm y

x

Adapun panjang gelombang maksimum yang digunakan adalah 272 nm. Nilai absorbansi yang dihasilkan pada panjang gelombang tersebut memenuhi rentang nilai absorbansi yang ditetapkan, yaitu 0,2-0,8 (Gandjar dkk, 2015; Pavia dkk., 2017).

Gambar 4. Gugus Kromofor dan Auksokrom pada Rutin (keterangan : = gugus kromofor, = gugus auksokrom)

Senyawa rutin bisa menghasilkan absorbansi pada panjang gelombang maksimum sebesar 272 nm yaitu adanya gugus kromofor dan auksokrom pada senyawa rutin.

Gugus kromofor adalah ikatan rangkap berselang-seling pada senyawa, sementara gugus auksokrom adalah gugus yang berikatan dengan gugus kromofor dan membantu meningkatkan penyerapan cahaya. Gugus kromofor dan auksokrom ditunjukkan dengan gambar 4. Gugus kromofor inilah yang bertanggungjawab terhadap absorbansi yang dihasilkan. Semakin panjang gugus kromofor yang ada, maka semakin besar pula

nilai panjang gelombang suatu senyawa (Pavia dkk., 2017). Nilai panjang gelombang ini juga dapat meningkat dengan adanya gugus auksokrom. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap absorbansi yang dihasilkan.

E. PENENTUAN FASE GERAK

Optimasi fase gerak dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi fase gerak yang bisa digunakan agar parameter dari kromatogram yang dihasilkan memenuhi kriteria penerimaan (Snyder dkk., 2010). Hasil optimasi tersebut digunakan untuk menentukan komposisi fase gerak dan laju alir yang optimal. Penentuan komposisi fase gerak dan laju alir dilakukan dengan cara membandingkan hasil resolusi dan tailing factor yang didapat antara baku dengan sampel pada komposisi fase gerak, laju alir, serta waktu retensi yang sama dengan kriteria penerimaan. Hasil yang didapatkan pada optimasi fase gerak terhadap baku dan sampel dijelaskan dalam tabel dan kromatogram berikut

Gambar 5. Kromatogram Baku Rutin dengan Komposisi Fase Gerak Metanol, Asetonitril, Akuabides (30 : 10 : 60), Flow rate 0,7 mL/menit

Rutin

Gambar 6. Kromatogram Ekstrak Etanol Daun Binahong dengan Komposisi Fase Gerak Metanol, Asetonitril, Akuabides (30 : 10 : 60), Flow rate 0,7

mL/menit

Tabel II. Hasil optimasi fase gerak (keterangan : abc = fase gerak terpilih)

Komposisi Laju alir

Hasil yang didapatkan dinyatakan memenuhi kriteria penerimaan apabila nilai resolusi baku dan sampel sama-sama > 1,5 dan nilai tailing factor baku dan sampel sama-sama mendekati 1 (Gandjar dkk., 2015; Snyder dkk., 2010). Pada komposisi pertama dengan laju alir 0,6 mL/menit, hasil pada baku memenuhi kriteria penerimaan, tetapi hasil pada sampel memiliki resolusi kurang dari 1,5 dan tailing factor tidak terbaca pada sistem.

Lalu, ketika laju alir dinaikkan menjadi 0,7 mL/menit, waktu retensi yang dihasilkan pada baku dan sampel menjadi lebih cepat, tetapi resolusi pada sampel juga kurang dari 1,5. Kemudian pada laju alir 0,8 mL/menit, waktu retensi yang dihasilkan lebih cepat dibanding dua laju alir sebelumnya, namun resolusi dari sampel masih kurang dari 1,5 serta tailing factor yang diberikan tidak terbaca pada sistem. Selanjutnya, dilakukan uji terhadap komposisi fase gerak kedua. Pada komposisi kedua dengan laju alir 0,6 mL/menit, waktu retensinya lebih dari 10 menit dan resolusi dari sampel kurang dari 1,5. Saat laju alirnya dinaikkan menjadi 0,7 mL/menit, semua parameter pada baku dan sampel memenuhi kriteria penerimaan. Lalu ketika laju alirnya dinaikkan menjadi 0,8 mL/menit, waktu retensinya lebih cepat dibanding dua laju alir sebelumnya, tetapi resolusi dari sampel kurang dari 1,5. Maka, berdasarkan kriteria tersebut, komposisi fase gerak dan laju alir yang terpilih adalah metanol : asetonitril : akuabides dengan perbandingan 30 : 10 : 60 dengan laju alir sebesar 0,7 mL/menit. Komposisi fase gerak dan laju alir tersebut terpilih karena hasil yang diberikan oleh baku dan sampel semuanya memenuhi kriteria penerimaan, sementara komposisi fase gerak dan laju alir lainnya hanya memberikan hasil yang memenuhi kriteria penerimaan pada baku saja (Snyder dkk., 2010). Lalu, pada kromatogram yang ditunjukkan gambar 5 dan 6, AUC rutin pada baku terlihat lebih besar dibandingkan rutin pada sampel. Hal ini terjadi karena perbedaan skala antara baku dengan sampel, ditunjukkan oleh skala pada baku lebih besar dibandingkan skala pada sampel.

Pada saat baku dan sampel dibawa oleh fase gerak ke dalam fase diam, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Ketika suatu senyawa yang dibawa fase gerak masuk ke dalam fase diam (kolom), maka ada perbedaan sifat antara senyawa dengan fase diam yang memiliki sifat lebih non polar dibandingkan dengan senyawa

yang dibawa oleh fase gerak. Hal yang dapat dilakukan yaitu mengatur komposisi fase gerak agar tidak memiliki perbedaan polaritas yang besar dengan kolom, karena jika terjadi perbedaan polaritas yang besar antara kolom dan fase gerak, maka senyawa yang dibawa fase gerak akan tertahan lama di dalam kolom, sehingga senyawa akan keluar dari kolom dalam waktu yang lama dan waktu retensinya menjadi lebih lama (Snyder dkk., 2010). Pada penelitian ini, fase gerak yang digunakan adalah metanol, asetonitril, dan akuabides. Metanol memiliki rumus molekul CH3OH merupakan senyawa golongan alkohol dan dapat berinteraksi hidrogen dengan gugus -OH yang banyak dimiliki oleh senyawa rutin (Pubchem, 2021; Taraba, Szymczyk, 2019). Selain metanol, ada juga asetonitril yang dapat larut dalam air, dan juga akuabides yang memiliki sifat polar (Pubchem, 2021). Di antara ketiga pelarut ini, akuabides memiliki rasio komposisi yang terbesar. Hal ini karena akuabides mampu melarutkan baku rutin dan sampel, apalagi baku rutin yang digunakan merupakan baku rutin hidrat. Rutin hidrat memiliki kemiripan struktur dengan rutin, hanya saja memiliki tambahan molekul air, dan struktur ini meningkatkan kelarutannya dalam air berdasar prinsip like dissolves like (Pubchem, 2021). Selain itu, karena rutin memiliki banyak gugus -OH, maka lebih mudah untuk berinteraksi hidrogen dengan akuabides. Akuabides juga memiliki polaritas yang lebih tinggi dibandingkan metanol dan asetonitril, dengan nilai polaritas sebesar 10,2 (Ramawat dkk., 2013; Snyder dkk., 2010). Polaritas yang lebih tinggi ini diperlukan agar rutin tidak terlalu lama tertinggal dalam fase diam akibat sifat yang sama. Maka, rasio komposisi yang bisa diubah adalah rasio metanol dengan rasio asetonitril. Berdasarkan indeks polaritasnya, metanol memiliki polaritas sebesar 5,1 dan asetonitril memiliki polaritas sebesar 5,8. Ketika rasio metanol diperbanyak, otomatis polaritas dari fase gerak akan berkurang, sehingga perbedaan polaritas antara fase gerak dan fase diam juga berkurang dan rutin akan keluar lebih lama dari fase diam (Snyder dkk., 2010). Hal ini telah dibuktikan pada penelitian ini dengan hasil berupa komposisi fase gerak yang memiliki rasio metanol : asetonitril : akuabides sebesar 30 : 10 : 60 memiliki waktu retensi yang lebih lama dibanding rasio metanol : asetonitril : akuabides sebesar 20 : 20 : 60.

Gambar 7. Interaksi Rutin dengan Fase Gerak Keterangan : (….. = interaksi)

Interaksi yang digambarkan pada gambar 7 merupakan interaksi yang dapat terjadi.

Interaksi antara asetonitril dan rutin dapat terjadi dengan atom N pada asetonitril yang lebih elektronegatif akan cenderung menarik atom H pada rutin. Kemudian, interaksi antara metanol dan rutin dapat terjadi dengan atom H pada gugus -OH di metanol akan berinteraksi hidrogen dengan atom O pada rutin.

Metanol Asetonitril Akuabides

Rutin dapat pula berinteraksi dengan fase diam melalui interaksi Van der Waals. Interaksi Van der Waals ini terjadi pada bagian non-polar dari rutin dengan gugus -CH3 pada fase diam, digambarkan sebagai berikut

Gambar 8. Interaksi Rutin dengan Fase Diam Keterangan : (….. = interaksi)

Adapun fase diam yang digunakan adalah C18 yang terikat pada siloksan dan dikenal dengan nama oktadesilsilan. Fase diam ini memiliki struktur alifatik dan kepolaran

Adapun fase diam yang digunakan adalah C18 yang terikat pada siloksan dan dikenal dengan nama oktadesilsilan. Fase diam ini memiliki struktur alifatik dan kepolaran

Dokumen terkait