i
OPTIMASI METODE KCKT UNTUK ANALISIS KADAR RUTIN DALAM EKSTRAK ETANOL DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Chelsia Devina Maryanto NIM : 178114074
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2021
ii
Persetujuan Pembimbing
OPTIMASI METODE KCKT UNTUK ANALISIS KADAR RUTIN DALAM EKSTRAK ETANOL DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)
Skripsi yang diajukan oleh : Chelsia Devina Maryanto
NIM : 178114074
telah disetujui oleh
Pembimbing
(apt. Michael Raharja Gani, M. Farm.) tanggal
iii
Pengesahan Skripsi Berjudul
OPTIMASI METODE KCKT UNTUK ANALISIS KADAR RUTIN DALAM EKSTRAK ETANOL DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)
Oleh :
Chelsia Devina Maryanto NIM : 178114074
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma pada tanggal 19 Juli 2021
Mengetahui Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Dekan
Dr. apt. Yustina Sri Hartini
Panitia Penguji : Tanda Tangan
Dr. apt. Christine Patramurti ………
Dr. apt. Erna Tri Wulandari ………
apt. Michael Raharja Gani, M.Farm. ………
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Jika rasanya seakan-akan Anda sedang melawan dunia, kemungkinannya adalah bahwa Anda sedang melawan diri Anda sendiri”
(Mark Manson, 2018).
Karya ini dipersembahkan kepada mereka yang sedang berjuang untuk menggapai cita dan asa
vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, dengan mengkaji ketentuan sebagaimana layaknya karya ilmiah. Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yogyakarta, 14 Juni 2021 Penulis
Chelsia Devina Maryanto
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Chelsia Devina Maryanto
Nomor Mahasiswa : 178114074
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Uni- versitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Optimasi Metode KCKT untuk Analisis Kadar Rutin dalam Ekstrak Etanol Daun Bi- nahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-nga- lihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mem- berikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Atas kemajuan teknologi informasi, saya tidak berkeberatan jika nama, tanda tangan, gambar atau image yang ada di dalam karya ilmiah saya terindeks oleh mesin pencari (search engine), misalnya google.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 19 Agustus 2021
Yang menyatakan
( Chelsia Devina Maryanto )
v PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat- Nya, skripsi yang berjudul “Optimasi Metode KCKT untuk Analisis Kadar Rutin dalam Ekstrak Etanol Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)” bisa selesai dengan baik dan waktu yang tepat. Skripsi ini dibuat dalam rangka memperoleh gelar sarjana farmasi (S. Farm.) di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Skripsi ini juga merupakan bagian dari penelitian dosen berjudul “Chemometric Assisted Quantitative Determination of Apigenin in Ethanolic Extract of Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis).
Pada kesempatan kali ini, penulis hendak mengucapkan terimakasih kepada : 1. Ibu Dr. apt. Yustina Sri Hartini selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ibu Dr. apt. Christine Patramurti selaku Kepala Program Studi S1 Farmasi sekaligus dosen penguji yang telah memberikan masukan agar skripsi ini memberikan hasil yang maksimal
3. Ibu Dr. apt. Erna Tri Wulandari selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan agar skripsi ini dapat memberikan hasil yang maksimal.
4. Bapak apt. Michael Raharja Gani, M. Farm., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.
5. Bapak apt. Christianus Heru Setiawan, M.Sc., selaku dosen pembimbing akademik.
6. Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya.
7. Mas Bimo (laboran Laboratorium Kimia Analisis Instrumen), pak Agung (laboran Laboratorium Kimia Fisika) dan pak Wagiran (laboran Laboratorium Farmakognosi Fitokimia) atas bantuan yang diberikan pada saat proses pengambilan data untuk skripsi ini.
vi
8. Rekan satu penelitian penulis, yaitu Go Andrew Purnomo dan Theodorus Rexa Handoyo atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan dalam proses penyusunan skripsi ini.
9. Papa, mama, dan adik atas doa dan semangat yang diberikan selama skripsi ini disusun.
10. Kakak dan adik KTB penulis, yaitu Tabita Davinia Utomo dan Eunike Dian Swastoko, atas waktu, dukungan, dan perhatian yang diberikan.
11. Teman-teman “Keluarga Intishary”, “PemCo”, “Kita Spesial”, dan “Valencia”
atas semangat yang diberikan dalam proses penyusunan naskah skripsi ini.
12. Rekan-rekan FSMB 2017, Angkatan 2017 Farmasi Universitas Sanata Dharma, serta beberapa adik tingkat yang telah memberikan motivasi dalam penyusunan naskah skripsi ini.
13. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.
viii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….. ii
HALAMAN PENGESAHAN………. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN……….. iv
PRAKATA……….. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. vii
DAFTAR ISI……… viii
DAFTAR TABEL….………... x
DAFTAR GAMBAR………... xi
DAFTAR LAMPIRAN….………... xii
ABSTRAK………... xiii
ABSTRACT……… xiv
BAB I. PENDAHULUAN………... 1
A. Latar Belakang……… 1
B. Rumusan Masalah………... 4
C. Keaslian Penelitian……….. 4
D. Tujuan Penelitian………. 5
E. Manfaat Penelitian………... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………. 6
A. Tinjauan Pustaka………. 6
1. Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) ……….. 6
2. Rutin………... 7
3. Kromatografi cair kinerja tinggi………...……… 8
4.Optimasi metode analisis dan uji kesesuaian sistem………... 9 B. Landasan Teori……… 10
C. Hipotesis……….. 10
BAB III. METODE PENELITIAN…….………..……….. 11
A. Jenis dan Rancangan Penelitian………... 11
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional……….. 11
1. Variabel penelitian………... 11
2. Definisi operasional………. 12
C. Alat……….. 13
D. Bahan……….. 13
E. Cara Kerja……… 13
1. Determinasi daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)……… 14 2 Pembuatan simplisia binahong………. 14
3. Ekstraksi binahong………... 15
4. Penyusunan komposisi dan laju alir fase gerak……… 15
ix
5. Preparasi baku rutin………. 16
6. Preparasi ekstrak etanol daun binahong……… 16
7. Optimasi panjang gelombang maksimal senyawa rutin……… 16
8. Pengukuran menggunakan instrumen KCKT………. 16
9. Uji kesesuaian sistem……… 17
F. Analisis Hasil………... 17
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………. 18
A. Determinasi dan Pembuatan Simplisia Binahong……… 18
B. Ekstraksi Binahong……….. 18
C. Preparasi Baku dan Ekstrak Etanol Daun Binahong………. 19
D. Optimasi Panjang Gelombang Maksimum……….. 20
E. Penentuan Fase Gerak……….. 23
F. Uji Kesesuaian Sistem……….. 29
BAB V. KESIMPULAN………….………. 31
A. Kesimpulan……….……… 31
B. Saran………..……….. 31
DAFTAR PUSTAKA……….. 32
LAMPIRAN………. 35
BIOGRAFI PENULIS………. 59
x
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel I. Pengamatan panjang gelombang maksimum dari baku rutin.. 20 Tabel II. Hasil optimasi fase gerak……….……….. 24 Tabel III. Hasil uji kesesuaian sistem……… 30
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Struktur Rutin Hidrat………. 8
Gambar 2. Skema Kerja………... 14
Gambar 3. Spektra 3 Seri Konsentrasi Rutin pada Panjang Gelombang 200-400 nm………. ………
21 Gambar 4. Gugus Kromofor dan Auksokrom pada Rutin……… 22 Gambar 5. Kromatogram Baku Rutin dengan Komposisi Fase Gerak
Metanol, Asetonitril, Akuabides (30 : 10 : 60), Flow rate 0,7 mL/menit………...
23
Gambar 6. Kromatogram Ekstrak Etanol Daun Binahong dengan Komposisi Fase Gerak Metanol, Asetonitril, Akuabides (30 : 10 : 60), Flow rate 0,7 mL/menit………
24
Gambar 7. Interaksi Rutin dengan Fase Gerak……… 27 Gambar 8. Interaksi Rutin dengan Fase Diam……… 28
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil Determinasi Binahong………..……… 35
Lampiran 2. Certificate of Analysis Baku Rutin Hidrat………. 36
Lampiran 3. Absorbansi Rutin 0,5 ppm ………. 37
Lampiran 4. Absorbansi Rutin 1 ppm ...…,,………. 38
Lampiran 5. Absorbansi Rutin 1,5 ppm ………. 39
Lampiran 6. Kromatogram Baku Fase Gerak Metanol : ACN : Akuabides 20 : 20 : 60, flow rate 0,6 mL/menit………… 40 Lampiran 7. Kromatogram Sampel Fase Gerak Metanol : ACN : Akuabides 20 : 20 : 60, flow rate 0,6 mL/menit………….. 41 Lampiran 8. Kromatogram Baku Fase Gerak Metanol : ACN : Akuabides 20 : 20 : 60, flow rate 0,7 mL/menit………… 42 Lampiran 9. Kromatogram Sampel Fase Gerak Metanol : ACN : Akuabides 20 : 20 : 60, flow rate 0,7 mL/menit………….. 43 Lampiran 10. Kromatogram Baku Fase Gerak Metanol : ACN : Akuabides 20 : 20 : 60, flow rate 0,8 mL/menit………….. 44 Lampiran 11. Kromatogram Sampel Fase Gerak Metanol : ACN : Akuabides 20 : 20 : 60, flow rate 0,8 mL/menit………… 45 Lampiran 12. Kromatogram Baku Fase Gerak Metanol : ACN : Akuabides 30 : 10 : 60, flow rate 0,6 mL/menit………… 46 Lampiran 13. Kromatogram Sampel Fase Gerak Metanol : ACN : Akuabides 30 : 10 : 60, flow rate 0,6 mL/menit………… 47 Lampiran 14. Kromatogram metanol fase gerak metanol : ACN : akuabides 30 : 10 : 60, flow rate 0,7 mL/menit………… 48 Lampiran 15. Kromatogram Baku Fase Gerak Metanol : ACN : Akuabides 30 : 10 : 60, flow rate 0,7 mL/menit………… 49 Lampiran 16. Kromatogram Sampel Fase Gerak Metanol : ACN : Akuabides 30 : 10 : 60, flow rate 0,7 mL/menit………… 50 Lampiran 17. Kromatogram Baku Fase Gerak Metanol : ACN : Akuabides 30 : 10 : 60, flow rate 0,8 mL/menit………… 51 Lampiran 18. Kromatogram Sampel Fase Gerak Metanol : ACN : Akuabides 30 : 10 : 60, flow rate 0,8 mL/menit………… 52 Lampiran 19. Kromatogram Uji Kesesuaian Sistem 1………... 53
Lampiran 20. Kromatogram Uji Kesesuaian Sistem 2………... 54
Lampiran 21. Kromatogram Uji Kesesuaian Sistem 3………... 55
Lampiran 22. Kromatogram Uji Kesesuaian Sistem 4………... 56
Lampiran 23. Kromatogram Uji Kesesuaian Sistem 5………... 57
Lampiran 24. Kromatogram Uji Kesesuaian Sistem 6………... 58
xiii ABSTRAK
Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) adalah tanaman yang memiliki kandungan rutin. Kandungan rutin sudah diteliti berpotensi sebagai penyembuh luka pada penderita diabetes melitus, sehingga mendorong perlunya standardisasi yang bisa dimanfaatkan sebagai obat herbal terstandar. Standardisasi dilakukan terhadap senyawa rutin dalam sampel ekstrak etanol daun binahong menggunakan metode analisis KCKT fase terbalik. Metode analisis ini dioptimasi dulu untuk mendapatkan kondisi optimal yang diterapkan pada baku rutin dan sampel sehingga hasil yang didapat memenuhi kriteria penerimaan. Ada dua komposisi gerak yang dioptimasi, yaitu kombinasi metanol, asetonitril, akuabides dengan perbandingan 20:20:60 dan dengan perbandingan 30:10: 60. Kedua komposisi fase gerak dioptimasi dengan laju alir 0,6; 0,7; dan 0,8 mL/menit. Metode analisis yang optimal dipilih berdasarkan analisis terhadap parameter resolusi, tailing factor, dan waktu retensi yang dibandingkan dengan kriteria penerimaan, kemudian dilakukan uji kesesuaian sistem setelah didapatkan metode yang optimal dan dibandingkan dengan kriteria penerimaan.
Hasil yang didapat yaitu waktu retensi rutin pada sampel sebesar 9,978 menit dengan resolusi 1,676 dan tailing factor 1,076 dengan fase gerak metanol, asetonitril, akuabides (30:10:60), laju alir 0,7 mL/menit dengan panjang gelombang 272 nm.
Sementara uji kesesuaian sistem menghasilkan CV < 2 % pada parameter resolusi, waktu retensi, tailing factor, theoretical plate dan AUC.
Kata kunci : binahong, komposisi fase gerak, rutin
xiv ABSTRACT
Madeira vine (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) is a plant that contains rutin which has been researched as wound healing agent for diabetes melitus patient. It must be standardized in terms of its development as standardized herbal medicine. We used rutin in madeira vine leaves’ ethanolic extract as sample with reversed-phase HPLC method. This method was optimized to get optimum condition for rutin standard and sample, so we could get results that fulfill the criteria. There were two mobile phase compositions which were optimized; combination of methanol, acetonitrile, aquabidest with 20:20:60 and 30:10:60 ratio. These mobile phase compositions were optimized with flow rate 0,6; 0,7; and 0,8 mL/min. We chose optimal method based on result of resolution, tailing factor, and retention time. These parameters were compared with the criteria after we got optimal method. Then, system suitability test was done and its result must be compared with the criteria. We got rutin from sample at 9,978 minute, with resolution 1,676 and tailing factor 1,076 used methanol, acetonitrile, aquabidest (30:10:60) and flow rate 0,7 mL/min at 272 nm; and all of parameters for system suitability test fulfill RSD < 2 % criteria for resolution, retention time, tailing factor, theoretical plate, and AUC.
Keywords : madeira vine, mobile phase, rutin
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki flora atau aneka jenis tumbuhan. Tumbuhan yang ada di bumi Indonesia ini bisa digunakan untuk banyak hal, seperti berfungsi sebagai hiasan, bahan pangan, bahan pakaian, hingga menyembuhkan penyakit. Salah satu tumbuhan yang dikenal berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit adalah binahong atau (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis).
Binahong diketahui memiliki beragam khasiat yang berasal dari senyawa-senyawa flavonoid di dalamnya. Senyawa-senyawa flavonoid tersebut bermanfaat untuk kesehatan, antara lain sebagai antioksidan, obat untuk penyakit stroke, asam urat, kanker, agen antibakteri (Mulia, Muhammad, Kristanti, 2018), dan berperan dalam mengendalikan gula darah (Dwitiyanti, Harahap, Elna, Bahtiar, 2019) dan penyembuhan luka pada penderita diabetes (Kintoko et al., 2017).
Salah satu senyawa flavonoid yang dinilai berperan dalam khasiat yang ada pada daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) adalah rutin. Rutin yang memiliki rumus molekul C27H30O16 ini tergolong dalam kelas flavonoid (Pubchem, 2021; Rana, Ghulliya, 2018). Adapun senyawa ini secara umum bekerja dengan cara mencegah pembentukan gula sorbitol dan peningkatan jumlah senyawa sitokin yang dapat memicu inflamasi pada luka penderita diabetes (Farsi et al., 2017; Ghorbani, 2017). Rutin dianalisis karena merupakan senyawa identitas dari daun binahong (Depkes, 2017). Selain itu, rutin dianalisis karena merupakan zat aktif untuk berbagai macam penyakit. Senyawa ini dipercaya sebagai suatu senyawa yang bisa mengobati berbagai penyakit lainnya, mulai dari antioksidan hingga memberikan efek neuroprotektif (Ghorbani, 2017). Senyawa flavonoid ini juga dipercaya mampu berperan sebagai antidepresan (Rana dkk., 2018). Selain itu, rutin juga berperan dalam penyembuhan luka pada pasien diabetes melitus, dibuktikan dengan penyembuhan luka
yang lebih cepat pada tikus penderita DM yang diberikan senyawa rutin daripada tikus yang tidak menerima rutin (Chen, et al. 2020).
Salah satu metode analisis yang dapat digunakan dalam rangka standardisasi senyawa rutin adalah kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) fase terbalik.
Kromatografi jenis ini banyak digunakan karena mampu memisahkan komponen sampel dengan cepat, bisa divariasikan dengan berbagai macam fase diam, resolusi dan sensitivitas yang lebih baik daripada kromatografi cair lainnya, dan juga mudah untuk mendapatkan recovery dari sampel (Reuhs, Rounds, 2010). Selain komposisi fase gerak, hal lain yang dapat mempengaruhi proses pemisahan dengan KCKT yaitu laju alir dari fase gerak pada saat membawa sampel menuju fase diam dan keluar dari fase diam. Semakin besar laju alir, maka kecepatan fase gerak membawa komponen sampel menjadi lebih cepat, sehingga sampel bisa lebih cepat terdeteksi dan membentuk kromatogram (Snyder, Kirkland, Dolan, 2010).
Untuk mendapatkan hasil yang memenuhi kriteria, maka diperlukan suatu optimasi terhadap metode KCKT fase terbalik. Optimasi metode analisis merupakan suatu kegiatan yang diperlukan sebagai langkah awal dalam melakukan analisis terhadap suatu senyawa (Wosch, Santos, Imig, Santos, 2017). Optimasi metode analisis memiliki tujuan untuk mendapatkan kondisi penelitian yang memungkinkan agar mendapatkan hasil yang memenuhi syarat hasil analisis yang optimal (Jang et al., 2019). Optimasi terhadap suatu metode analisis biasanya dilakukan dengan melakukan penelitian dalam berbagai variabel yang berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu.
Penelitian terdahulu menjadi dasar untuk mempertahankan atau mengubah variabel yang digunakan terhadap penelitian (Ciric, Stankov, Cvijovic, Djurdjevic, 2017).
Setelah hal tersebut dilakukan, maka akan dilihat berdasarkan parameter yang disesuaikan terhadap instrumen yang digunakan. Pada penelitian ini, parameter yang digunakan mengacu pada parameter instrumen KCKT, antara lain waktu retensi, resolusi, tailing factor, dan theoretical plate. Suatu metode dikatakan optimal apabila nilai resolusi lebih dari 1,5; waktu retensi tergolong cepat, dan puncak yang terbentuk
tidak memiliki tailing factor yang besar (mendekati 1) serta theoretical plate lebih dari 2000 (Snyder dkk., 2010).
Setelah didapatkan komposisi fase gerak yang optimal, maka parameter- parameter yang menjadi pertimbangan penentuan tersebut digunakan lagi untuk uji kesesuaian sistem. Uji kesesuaian sistem adalah uji yang dilakukan untuk menguji kesesuaian metode analisis yang ditetapkan optimal terhadap sistem instrumen. Uji ini memiliki tujuan untuk memastikan performa dari metode analisis dalam hal kemampuan memberikan hasil yang memenuhi syarat optimal (Purba, Rohman, Martono, 2019). Uji kesesuaian sistem dilakukan dengan cara menginjeksikan baku dalam konsentrasi tertentu ke instrumen yang digunakan dalam jumlah repetisi tertentu.
Hasil injeksi tersebut akan diamati berdasarkan parameter-parameter yang ada, antara lain waktu retensi, resolusi dan tailing factor untuk dibandingkan dengan kriteria penerimaan (Bose, 2014; Purba dkk., 2019).
Berdasarkan poin-poin yang disampaikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa metode analisis yang optimal diperlukan dalam menganalisis senyawa rutin ini.
Metode analisis yang optimal akan mendukung terciptanya hasil penelitian yang memenuhi kriteria. Hasil penelitian yang optimal akan mempermudah proses standardisasi senyawa rutin.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana kondisi optimal untuk analisis rutin dalam ekstrak etanol daun binahong dengan metode KCKT fase terbalik?
C. KEASLIAN PENELITIAN
Penelitian pada senyawa rutin ini tergolong asli, karena diketahui sudah dilakukan, tetapi sampel yang digunakan bukanlah sampel daun binahong dan atau menggunakan komposisi fase gerak yang berbeda. Penelitian sebelumnya menggunakan sampel yang berasal dari dua jenis tanaman yang berbeda dan menggunakan KCKT sebagai instrumen analisis dengan hasil berupa waktu retensi
sebesar 16,8 menit (CV 0,061 %) serta menggunakan fase gerak berupa campuran asetonitril dan asam asetat 1 %. (Seal, 2016). Penelitian lainnya juga menggunakan KCKT fase terbalik terhadap senyawa rutin yang didapatkan dari tanaman lain, yaitu tanaman raspberi, ceri dan bluberi (Ciric dkk., 2017). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Wang, Wang, Liu pada tahun 2011 mencoba untuk menganalisis rutin dengan komposisi fase gerak yang terdiri dari tetrahidrofuran, asetonitril dan asam fosfat 0,05 % dan memberikan hasil berupa waktu retensi rutin sebesar 13 menit.
Adapun penelitian dari Naveen, Lingaraju, Anitha, Prasad (2017) menganalisis rutin dalam tanaman seroja (Nelumbo nucifera) dengan komposisi fase gerak yang terdiri dari asetonitril dan asam asetat 0,5 %, menghasilkan waktu retensi rutin sebesar 3,7 menit. Lalu, penelitian dari Yang (2013) juga menganalisis rutin dalam tanaman akasia dengan komposisi fase gerak salin buffer fosfat dalam akuabides dan metanol, dan menghasilkan waktu retensi rutin sebesar 4,6 menit. Penelitian yang hampir mirip dengan penelitian yang dilakukan yaitu penelitian dari Santosa, Gani, Yuliani pada tahun 2020, tetapi perbedaan dengan penelitian ini yaitu penelitian tersebut menggunakan vitexin sebagai objek penelitian.
D. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi optimal untuk analisis rutin dalam ekstrak etanol daun binahong dengan metode KCKT fase terbalik.
E. MANFAAT PENELITIAN
1. Penelitian ini bermanfaat secara teoritis untuk pengembangan ilmu tentang analisis dengan KCKT dengan melihat parameter yang dianalisis.
2. Penelitian ini bermanfaat secara metodologis untuk mendapatkan kondisi yang optimal untuk analisis rutin dalam proses standardisasi binahong dengan metode KCKT fase terbalik.
3. Penelitian ini bermanfaat secara praktis yaitu mendapatkan metode KCKT yang optimal untuk analisis rutin dalam binahong untuk mendukung standardisasi binahong dalam fungsinya sebagai penyembuh luka pada penderita diabetes melitus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)
Di masa sekarang, orang mengenal istilah “back to nature”. Istilah ini menjadi suatu acuan bagi masyarakat untuk kembali menjadikan bahan alam sebagai potensi yang bisa dikembangkan untuk obat. khususnya dalam hal ini yaitu obat untuk mengobati luka pada penderita diabetes. Salah satu bahan alam yang digunakan untuk pengembangan obat tersebut yaitu binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis).
Binahong merupakan tanaman yang berasal dari suku Basselaceae, dan memiliki nama ilmiah Anredera cordifolia (Depkes, 2017). Secara morfologi, binahong berbentuk seperti segitiga terbalik, mempunyai ujung runcing, cenderung tebal dan berwarna hijau. Selain itu, binahong memiliki panjang 7,5-9,5 cm dan diameter 5,1-7 cm (Dwitiyanti dkk., 2019). Binahong dapat tumbuh di dataran tinggi maupun dataran rendah, dan ada banyak metabolit sekunder yang terkandung dalam daun binahong.
Metabolit sekunder tersebut berupa alkaloid, saponin. fenol, triterpenoid, sterol, dan flavonoid (Utami, Hastuti, Hastuti, 2015). Binahong diketahui memiliki beragam khasiat yang berasal dari senyawa-senyawa flavonoid di dalamnya. Senyawa-senyawa flavonoid tersebut bermanfaat untuk kesehatan, antara lain sebagai antioksidan, obat untuk penyakit stroke, asam urat, kanker, agen antibakteri (Mulia dkk., 2018). Untuk penderita diabetes, flavonoid berperan dalam mengendalikan gula darah (Dwitiyanti dkk., 2019) dan penyembuhan luka pada penderita diabetes (Kintoko et al., 2017).
Binahong memiliki taksonomi sebagai berikut Domain : Eukaryota
Kingdom : Plantae
Filum : Spermatophyta Subfilum : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae Ordo : Caryophyllales Famili : Bassellaceae Genus : Anredera
Spesies : Anredera cordifolia
(Cabi, 2021)
2. Rutin
Flavonoid yang berperan dalam penyembuhan luka pada penderita diabetes adalah rutin. Rutin merupakan salah satu flavonoid dengan rumus molekul C27H30O16
(Pubchem, 2021). Rutin diketahui memiliki nama lain kuersetin 3-rutinoside dan rutoside. Lalu, rutin terbentuk dari aglikon kuersetin yang mensubstitusi gugus hidroksi pada C-3 dengan glukosa. Kemudian secara organoleptis, rutin memiliki bentuk seperti jarum, berwarna kuning. Rutin juga mempunyai bobot molekul 610,5, meleleh pada suhu 125 oC dan kelarutannya dalam air sebesar 125 mg/L. Rutin memiliki kelarutan 5000 mg/L dalam air mendidih serta 142857 mg/L dalam metanol panas (Pubchem, 2021 dan Merck, 2013). Rutin yang merupakan senyawa identitas dari binahong diketahui memiliki peran sebagai antidepresan, antidiabetes dan juga antioksidan dengan mekanisme penghambatan enzim xanthin (Depkes, 2017; Ghorbani, 2017;
Rana dkk., 2018).
Adapun rutin yang digunakan adalah rutin hidrat. Rutin hidrat memiliki struktur yang serupa dengan rutin, hanya saja memiliki tambahan molekul air (ditunjukkan oleh gambar 1). Rutin hidrat berwujud serbuk berwarna kuning dan ketika dilarutkan dalam pelarut berwarna kunng serta jernih. Rutin hidrat memiliki bobot molekul 628,5 dan donor ikatan hidrogen yang lebih banyak dibanding rutin, sehingga lebih mudah untuk larut dalam air. Rutin hidrat memiliki kelarutan 50 mg/L dalam piridin serta dapat diukur dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 257,5 nm (Pubchem, 2021 dan Sigma Aldrich, 2016). Rutin hidrat digunakan karena molekul air mampu berikatan dengan gugus polar pada rutin, sehingga struktur yang dihasilkan
lebih planar dan memiliki kerapatan yang lebih besar, sehingga stabilitasnya juga meningkat (Klitou, Rosbottom, Simone, 2019)
Gambar 1. Struktur Rutin Hidrat
3. Kromatografi cair kinerja tinggi
Dalam perkembangan suatu obat herbal, tentunya harus memenuhi standar melalui analisis yang dilakukan di dalamnya. Standarisasi analisis ini bisa digunakan dengan berbagai alat, baik itu KLT, LC-MS, KCKT. Adapun alat yang digunakan adalah KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi). Kromatografi jenis ini banyak digunakan karena cepat, bisa divariasikan dengan berbagai macam fase diam, resolusi dan sensitivitas yang lebih baik daripada kromatografi cair lainnya, dan juga mudah untuk mendapatkan recovery dari sampel. Adapun bagian-bagian dari KCKT terdiri dari pompa, injektor, kolom, detektor, dan sistem data. Pompa akan mengalirkan fase gerak sesuai laju alir yang ditentukan ke dalam sistem, lalu fase gerak tersebut akan
bertemu dengan sampel yang telah diinjeksikan ke sistem oleh injektor. Sampel yang dibawa oleh fase gerak akan bermigrasi menuju fase diam berupa kolom, untuk kemudian diubah oleh detektor menjadi sinyal elektrik yang dibaca oleh sistem data KCKT dalam bentuk kromatogram (Reuhs, Rounds, 2010).
Instrumen KCKT ini menggunakan prinsip pemisahan dengan perbedaan polaritas pada fase diam berupa kolom dan fase gerak berupa cairan. Sampel yang memiliki sifat yang sama dengan fase diam akan tertahan lebih lama pada fase diam berupa kolom, sementara senyawa yang sudah keluar dari fase diam akan dideteksi oleh detektor pada KCKT, untuk kemudian ditampilkan hasil pemisahannya dalam bentuk AUC atau Area Under Curve. Kromatografi cair kinerja tinggi yang digunakan dibedakan menjadi dua berdasarkan perbedaan polaritas fase diam dan fase gerak, yaitu fase normal dan fase terbalik. Pada penelitian ini, jenis KCKT yang digunakan adalah KCKT fase terbalik dengan fase gerak yang digunakan bersifat lebih polar daripada fase diam (Gandjar, Rohman, 2015). Kelebihan dan cara kerja dari instrumen ini akan sangat membantu proses analisis standarisasi binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis).
4. Optimasi metode analisis dan uji kesesuaian sistem
Optimasi metode analisis merupakan suatu kegiatan yang diperlukan sebagai langkah awal dalam melakukan analisis terhadap suatu senyawa (Wosch dkk., 2017).
Optimasi metode analisis dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kondisi penelitian yang memungkinkan untuk mendapatkan hasil yang memenuhi syarat hasil analisis yang optimal (Jang et al., 2019). Optimasi terhadap suatu metode analisis biasanya dilakukan dengan melakukan penelitian dalam berbagai variabel berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian terdahulu menjadi dasar untuk mempertahankan atau mengubah variabel yang digunakan terhadap penelitian (Ciric dkk., 2017). Setelah hal tersebut dilakukan, maka akan dilihat berdasarkan parameter yang disesuaikan terhadap instrumen yang digunakan. Pada penelitian ini, parameter yang digunakan mengacu pada parameter instrumen KCKT, antara lain waktu retensi,
resolusi, dan tailing factor. Suatu metode dikatakan optimal apabila nilai resolusi lebih dari 1,5; waktu retensi tergolong cepat, dan puncak yang terbentuk tidak memiliki tailing factor yang besar (mendekati 1) (Snyder dkk., 2010).
Setelah didapatkan hasil yang optimal, maka parameter-parameter yang menjadi pertimbangan penentuan tersebut digunakan lagi untuk uji kesesuaian sistem.
Uji kesesuaian sistem merupakan suatu langkah yang dilakukan untuk menguji kesesuaian metode analisis yang ditetapkan optimal terhadap sistem instrumen. Selain itu, uji yang diwajibkan oleh FDA ini juga bertujuan untuk memastikan performa dari metode analisis dalam hal kemampuan memberikan hasil yang memenuhi syarat optimal (Purba dkk., 2019). Uji ini dilakukan dengan cara menginjeksikan baku dalam konsentrasi tertentu ke instrumen yang digunakan. Setelah itu, hasil injeksi tersebut akan diamati berdasarkan parameter-parameter yang ada, antara lain waktu retensi, resolusi dan tailing factor, dan akan dilihat apakah memenuhi syarat optimal atau tidak (Bose, 2014; Purba dkk., 2019).
B. LANDASAN TEORI
Dari kajian pustaka yang ada, maka hasil pengukuran rutin dalam ekstrak etanol daun binahong dengan KCKT fase terbalik dipengaruhi oleh komposisi fase gerak dan laju alir yang digunakan, yang akan berpengaruh terhadap resolusi, waktu retensi, dan tailing factor yang dihasilkan dari senyawa rutin. Hasil pengukuran rutin ini tentu akan berpengaruh dalam hal pengembangan daun binahong ini sebagai bahan baku obat herbal terstandar. Untuk itu, optimasi metode analisis rutin dalam ekstrak etanol daun binahong diperlukan berdasarkan kriteria penerimaan yang ada.
C. HIPOTESIS
Hipotesis yang digunakan yaitu didapatkan komposisi fase gerak yang optimal untuk analisis rutin dalam ekstrak etanol daun binahong dengan metode KCKT fase terbalik.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental. Jenis ini dipilih karena adanya perlakuan pada subjek uji yang diteliti dan melihat pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Penelitian eksperimental yang akan dilakukan pada penelitian ini menggunakan baku rutin sebagai senyawa penanda. Sementara itu, ekstrak etanol daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) berperan sebagai sampel. Kemudian, rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian eksperimental murni yang hanya melihat kesamaan waktu retensi yang dihasilkan antara baku rutin dengan ekstrak etanol daun binahong pada saat diukur dengan KCKT.
B. VARIABEL PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
1. Variabel penelitian
a. Variabel bebas. Variabel bebas pada penelitian yaitu komposisi pelarut atau fase gerak yang digunakan dan laju alir untuk optimasi.
b. Variabel terikat. Variabel terikat pada penelitian yaitu proses pemisahan yang dinyatakan dengan resolusi, waktu retensi, bentuk kromatogram yang dinyatakan dengan tailing factor dan theoretical plate rutin yang dihasilkan pada KCKT.
c. Variabel tak terkontrol. Variabel tak terkontrol pada penelitian yaitu kondisi fisiologis tanaman binahong.
d. Variabel terkontrol. Variabel terkontrol pada penelitian yaitu kondisi tempat tumbuh binahong, umur dan waktu panen tanaman binahong, suhu kolom yang digunakan pada penelitian.
2. Definisi operasional
a. Bahan untuk fase gerak. Bahan untuk fase gerak seperti metanol dan asetonitrilmemiliki kualitas untuk analisis kromatografi cair (LC grade) dari Merck.
b. Daun binahong. Daun binahong yang digunakan untuk ekstrak yaitu daun binahong yang tumbuh di daerah Sleman dan sekitarnya, mengikuti kriteria dari Farmakope Herbal Indonesia Edisi 2.
c. Tailing factor. Tailing factor adalah jarak dari kemiringan depan puncak ke kemiringan belakang dibagi dua kali jarak dari garis tengah puncak ke kemiringan depan, dengan semua pengukuran dilakukan pada 5 % dari ketinggian puncak maksimal. Nilai tailing factor yang dijadikan syarat untuk hasil yang baik dan bisa digunakan adalah mendekati 1 (Snyder dkk., 2010).
d. Waktu retensi. Waktu retensi adalah waktu yang dibutuhkan komponen untuk melalui kolom dan mencapai detektor, mulai dari tertahan di fase diam hingga bisa dideteksi oleh detektor.
e. Resolusi. Resolusi adalah daya pemisahan komponen sampel satu dengan komponen lainnya. Nilai resolusi yang dijadikan syarat untuk hasil yang baik dan bisa digunakan adalah lebih dari 1,5 (Gandjar dkk., 2015).
f. Theoretical plate. Theoretical plate merupakan suatu bentuk representatif yang melambangkan kesetimbangan partisi dari zat terlarut di antara fase diam dan fase gerak (Lindon, Tranter, Koppenaal, 2017).
g. Sistem KCKT. Sistem KCKT adalah sistem pemisahan suatu senyawa yang dibawa oleh fase gerak dan dipompa menuju kolom sebagai fase diam, dan komponen sampel akan keluar dari kolom secara berurutan berdasarkan perbedaan sifat komponen dengan fase diam untuk kemudian dibaca oleh detektor dan ditampilkan sebagai kromatogram (Snyder dkk., 2010). Sistem KCKT yang digunakan adalah KCKT fase terbalik, dengan fase diam C18 dan fase gerak berupa kombinasi metanol.
asetonitril, dan akuabides.
C. BAHAN
Bahan yang diperlukan yaitu daun binahong dari Kecamatan Sleman, baku rutin hidrat (Sigma), metanol for liquid chromatography (Merck), acetonitrile for liquid chromatography (Merck), n-heksan pro analysis (Merck), akuabides, membran filter Whatmann dengan diameter 45 mm dan etanol 96 % (Merck).
D. ALAT
Alat yang diperlukan yaitu instrumen KCKT Shimadzu (seri LC-2010C HT) dengan kolom C-18 Phenomenex berukuran 250 x 4,6 mm 100 Ǻ dengan diameter internal 5 mikrometer, wadah fase gerak, instrumen UV-Spektrofotometer double beam Shimadzu seri UV-1800 dan kuvet, vial KCKT, millipore, blender, mikrotube, mikropipet Socorex 10-100 dan 100-1000 mikroliter, labu ukur 5 mL, 10 mL dan 25 mL, labu Erlenmeyer, gelas beker 100 dan 500 mL, pipet volume 1 mL dan 100 mL, pipet pump, pipet tetes, alat penyerbukan, ayakan mesh nomor 40, kertas saring, corong pisah, alumunium foil, timbangan Scaltec SBC 22 (max 210 g min 0,00001 g), hot plate stirrer, dan rotary vacuum evaporator BUCHI R-210.
E. CARA KERJA PENELITIAN
Secara garis besar, penelitian yang akan dilakukan kurang lebih mengikuti alur di bawah ini
Gambar 2. Skema Kerja
1. Determinasi daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)
Binahong yang dideterminasi berasal dari Kecamatan Sleman, dengan menggunakan keseluruhan bagian tanaman untuk kemudian dideterminasi di Departemen Biologi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) yang memenuhi kriteria dari Farmakope Herbal Indonesia Edisi 2 adalah daun yang berbentuk segitiga atau bulat telur atau seperti jantung, berujung runcing, agak tebal, berwarna hijau kecokelatan, memiliki lekuk pada pangkal dan tepi daun serta permukaannya licin dan halus. Adapun daun yang diambil memiliki panjang 4-7 cm.
2. Pembuatan simplisia binahong
Daun binahong yang telah dideterminasi dikumpulkan sebanyak 3 kg dan dilakukan proses sortasi basah untuk memisahkan daun dari kotoran. Daun kemudian dicuci bersih, dipotong-potong dan dikeringkan menggunakan tampah serta ditutup
Determinasi daun binahong (Anredera
cordifolia (Ten.) Steenis)
Pembuatan simplisia
binahong Ekstraksi binahong
Penyusunan komposisi dan laju
alir fase gerak
Preparasi baku rutin Preparasi ekstrak etanol daun binahong
Optimasi panjang gelombang maksimal
senyawa rutin
Pengukuran dengan instrumen KCKT
Uji kesesuaian sistem
kain hitam di bawah sinar matahari. Hasil pengeringan dikatakan benar-benar kering jika mudah diremas dan mudah patah. Hasil pengeringan tersebut disortasi kering untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel. Setelah itu hasil pengeringan dijadikan serbuk dengan alat penyerbukan hingga halus untuk menjadi serbuk simplisia. Serbuk simplisia disimpan dalam wadah tertutup rapat dan diberi silika gel.
3. Ekstraksi binahong
Serbuk simplisia diayak dengan ayakan nomor 40, ditimbang - sebanyak 30 gram. Hasil penimbangan tersebut kemudian dilarutkan menggunakan etanol dengan perbandingan tiap 1 bagian serbuk dilarutkan dengan 10 bagian pelarut, sehingga hasil penimbangan dilarutkan dengan etanol sebanyak 300 mL dan diaduk menggunakan stirrer pada hotplate dengan suhu 50 oC untuk mempercepat proses larutnya binahong dalam etanol selama 90 menit. Kemudian disaring dengan kertas saring dan diuapkan menggunakan vacuum evaporator hingga didapatkan ekstrak hingga tersisa 25 % (Depkes, 2017; Santosa, Gani, Yuliani, 2020).
4. Penyusunan komposisi dan laju alir fase gerak
Komposisi fase gerak yang akan digunakan untuk optimasi ada 2 komposisi.
Komposisi pertama terdiri dari metanol, asetonitril, dan akuabides dengan perbandingan 20 : 20 : 60, dengan laju alir yang dioptimasi adalah 0,6, 0,7, dan 0,8 mL/min. Komposisi kedua terdiri dari metanol, asetonitril, dan akuabides dengan perbandingan 30 : 10 : 60, dengan laju alir yang dioptimasi adalah 0,6, 0,7, dan 0,8 mL/min. Semua komposisi dibuat dengan mengambil metanol, asetonitril, dan akuabides masing-masing sebanyak 500 mL menggunakan pipet volume dan diletakkan dalam gelas beker terpisah, disaring dan dituang ke dalam wadah fase gerak untuk kemudian diawaudarakan. Setelah itu, wadah fase gerak tersebut dihubungkan dengan instrumen KCKT dengan cara memasukkan selang fase gerak ke dalam wadah, dan diatur komposisinya pada layar yang menampilkan proses analisis.
5. Preparasi baku rutin
Baku rutin ditimbang kurang lebih sebanyak 10 mg, kemudian dimasukkan dalam labu ukur 10 mL dan ditambah metanol hingga batas tanda, lalu diaduk. Baku tersebut diambil sebanyak 0,02 mL dan dimasukkan dalam labu ukur 10 mL dan ditambah metanol hingga batas tanda dan didapatkan konsentrasi sebesar 2 ppm, kemudian disaring dengan millipore sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke dalam vial KCKT untuk kemudian diawaudarakan selama 10 menit.
6. Preparasi ekstrak etanol daun binahong
Ekstrak etanol daun binahong dimasukkan ke dalam corong pisah dan ditambahkan n-heksan untuk menghilangkan klorofil pada binahong. Proses tersebut akan membentuk 2 larutan, dan larutan etanol akan berada di bawah. Larutan tersebut dikeluarkan dan larutan ditampung dalam Erlenmeyer. Ekstrak yang ada diambil sebanyak 1 mL, kemudian dilarutkan dalam labu takar 10 mL. Setelah itu, hasil pengenceran diambil sebanyak 1 mL lalu disaring dengan millipore dan dimasukkan ke dalam vial KCKT kemudian diawaudarakan selama 10 menit (Indriani, Zunnaita, Khariri, 2019; Leliqia, Sukandar, Fidrianny, 2017).
7. Optimasi panjang gelombang maksimal senyawa rutin
Larutan baku yang telah dibuat diambil sebanyak 0,25; 0,5; dan 0,75 mL dan masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL serta ditambahkan metanol hingga batas tanda, sehingga didapatkan rutin dengan 3 konsentrasi berbeda (0,5 ppm;
1 ppm; dan 1,5 ppm). Ketiga konsentrasi tersebut discan di spektrofotometer UV double beam dari konsentrasi terendah pada rentang panjang gelombang 200-400 nm.
8. Pengukuran menggunakan instrumen KCKT
Larutan blanko (metanol), baku rutin dengan konsentrasi 2 ppm, dan ekstrak etanol daun binahong yang sudah masuk ke dalam vial diinjeksikan ke dalam KCKT dengan laju alir sebesar 0,6 mL/menit menggunakan komposisi fase gerak yang
pertama. Injeksi dilakukan secara berurutan mulai dari blanko pelarut, baku rutin hingga ekstrak etanol daun binahong. Setelah itu, kromatogram yang terbentuk diamati dan dilihat pada bagian waktu retensi, resolusi, dan tailing factor. Injeksi larutan ke dalam sistem KCKT diulangi dengan urutan yang sama menggunakan komposisi fase gerak pertama dengan laju alir sebesar 0,7 mL/menit dan diamati ketiga parameter tersebut. Proses injeksi larutan dilakukan hingga komposisi fase gerak kedua dengan laju alir 0,8 mL/menit selesai. Setelah itu, parameter resolusi, tailing factor, dan waktu retensi dibandingkan dan dipilih fase gerak yang optimal berdasarkan kriteria yang ada.
9. Uji kesesuaian sistem
Uji kesesuaian sistem dilakukan dengan menginjeksikan baku rutin dengan konsentrasi 20 mikrogram/mL dalam 6 kali repetisi. Hasil replikasi tersebut dilihat berdasarkan parameternya (waktu retensi, resolusi, tailing factor, theoretical plate dan AUC). Parameter-parameter tersebut akan dihitung nilai standar deviasinya, dengan nilai standar deviasi yang baik yaitu kurang dari 2 persen.
F. ANALISIS HASIL
Parameter yang diukur dan dianalisis pada penelitian ini adalah komposisi fase gerak dan pengaruhnya terhadap kromatogram yang terbentuk dari rutin dengan melihat resolusi, standar deviasi relatif, kemampuan kolom untuk memisahkan komponen-komponen sampel, AUC, waktu retensi dan tailing factor untuk pnentuan fase gerak maupun uji kesesuaian sistem KCKT. Data cukup dibandingkan sesuai kriteria penerimaan, tidak perlu diolah dengan data statistik. Kriteria penerimaan untuk penentuan fase gerak yaitu resolusi > 1,5; tailing factor mendekati 1 dan waktu retensi tak lebih dari 10 menit dan kriteria penerimaan uji kesesuaian sistem yaitu CV < 2 % pada parameter resolusi, waktu retensi, tailing factor, theoretical plate, dan AUC (Snyder dkk., 2010; USP, 2020)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. DETERMINASI DAN PEMBUATAN SIMPLISIA BINAHONG
Penelitian ini diawali dengan melakukan determinasi terhadap binahong.
Determinasi dilakukan dengan membandingkan kriteria khas dari binahong dengan daun-daun yang diuji. Daun-daun tersebut dikatakan sebagai daun binahong jika berbentuk segitiga atau bulat telur atau seperti jantung, berujung runcing, agak tebal, berwarna hijau kecokelatan, berlekuk-lekuk pada pangkal dan tepi daun serta permukaannya licin dan halus (Depkes, 2017). Berdasarkan determinasi yang dilakukan, sampel yang digunakan adalah binahong. Hasil determinasi tercantum dalam surat keterangan determinasi nomor 11.23.10/UN1/FFA/BF/PT/2020.
Setelah proses determinasi dilakukan, maka daun binahong bisa dibuat menjadi simplisia. Langkah pertama yang dilakukan yaitu sortasi basah, dengan tujuan untuk membersihkan daun-daun binahong dari kotoran yang menempel (Dwitiyanti dkk., 2019). Kemudian, daun binahong dicuci dan dipotong-potong. Setelah itu, daun binahong dikeringkan di bawah sinar matahari dengan tampah dan ditutup kain hitam.
Daun binahong dikatakan benar-benar kering jika mudah patah dan mudah diremas.
Daun binahong yang sudah kering kemudian dibersihkan dari kotoran yang menempel dan dimasukkan ke dalam alat penyerbukan hingga halus. Hasil penyerbukan ini kemudian dimasukkan ke dalam wadah tertutup dan diberi silika gel untuk mencegah serbuk menjadi lembap (Depkes, 2017).
B. EKSTRAKSI BINAHONG
Ekstraksi terhadap simplisia binahong dilakukan dengan metode digesti.
Langkah pertama yang dilakukan yaitu mengayak simplisia binahong terlebih dahulu dengan tujuan untuk mencegah tulang daun yang tersisa ikut dalam proses ekstraksi.
Hasil ayakan kemudian ditimbang seksama sebanyak 30 gram. Hasil penimbangan yang didapatkan sebesar 30,0001 gram, dan hasil penimbangan tersebut masuk dalam
rentang penimbangan seksama (29,97-30,03 gram). Hasil penimbangan ini kemudian dilarutkan dengan etanol. Etanol digunakan sebagai pelarut karena memiliki sifat yang mudah melarutkan senyawa zat aktif bersifat polar, semi polar dan non polar, serta merupakan salah satu pelarut yang umum digunakan (Arifin, Wijaya, Rizal, 2014;
Ramawat, Merillon, 2013). Selain itu, etanol digunakan karena mudah mengekstrak metabolit pada tanaman karena mudah menembus membran seluler (Dwitiyanti dkk., 2019). Jumlah perbandingan yang dibutuhkan antara simplisia dengan etanol sebesar 1 : 10, sehingga hasil penimbangan simplisia tadi dilarutkan ke dalam 300 mL etanol (Santosa dkk., 2020). Proses pelarutan dipercepat dengan menggunakan hotplate stirrer dengan suhu 50 oC dan kecepatan 200 rpm selama 90 menit (Shah, Seth, 2010).
Setelah itu, larutan disaring dengan kertas saring dan diuapkan menggunakan rotary vacuum evaporator hingga didapatkan sisa ekstrak sebanyak 25 %.
C. PREPARASI BAKU DAN EKSTRAK ETANOL DAUN BINAHONG Baku disiapkan dengan cara menimbang kurang lebih baku rutin hidrat sebanyak 10 mg. Hasil penimbangan tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL dan dilarutkan metanol hingga batas tanda dan diaduk sehingga didapatkan konsentrasi baku sebesar 1000 ppm. Metanol digunakan sebagai pelarut karena dianggap mampu memberikan hasil pemisahan yang baik dibanding pelarut lain seperti asetonitril (Yang et al., 2013). Kemudian, larutan induk diambil sebanyak 0,02 mL dan dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL, dan ditambahkan pelarut hingga batas tanda dan diaduk hingga didapatkan konsentrasi 2 ppm. Baku dengan konsentrasi 2 ppm ini kemudian disaring menggunakan millipore dengan tujuan untuk mengurangi dan mencegah kemungkinan partikel yang terlalu besar masuk dan menyumbat fase diam (Yang et al., 2013).
Setelah disaring, larutan baku diawaudarakan untuk menghilangkan gelembung udara.
Selain baku yang disiapkan, ekstrak etanol daun binahong juga disiapkan.
Ekstrak etanol daun binahong dimasukkan ke dalam corong pisah, dan ditambahkan n- heksan dalam jumlah yang sama dengan etanol. Kedua cairan ini kemudian dicampurkan bersama di dalam corong pisah hingga membentuk dua lapisan. Lapisan
bawah adalah lapisan etanol, karena lapisan etanol memiliki massa jenis sebesar 0,789 g/mL yang lebih berat dibandingkan dengan massa jenis n-heksan sebesar 0,659 g/mL, sehingga lapisan etanol berada di bawah (Sigma Aldrich, 2021). N-heksan yang ditambahkan memiliki fungsi untuk menghilangkan klorofil dari daun binahong (Leliqia dkk., 2017). Etanol ini kemudian dikeluarkan dari corong pisah, dan ditampung dalam labu Erlenmeyer. Larutan diambil sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL, disaring dan diawaudarakan.
D. OPTIMASI PANJANG GELOMBANG MAKSIMUM
Tujuan dari optimasi panjang gelombang maksimum yaitu mengetahui panjang gelombang senyawa rutin yang memberikan respon berupa absorbansi yang maksimal. Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan cara scanning larutan baku rutin yang dalam tiga konsentrasi berbeda (0,5 ppm, 1 ppm, dan 1,5 ppm) dengan rentang panjang gelombang 200-400 nm menggunakan spektrofotometer UV double beam. Hasil yang diperoleh disajikan dalam tabel dan gambar berikut
Tabel I. Pengamatan panjang gelombang maksimum dari baku rutin Konsentrasi Baku
Rutin (ppm)
Panjang Gelombang Maksimum (nm)
Absorbansi
0,5 272 0,339
1,0 272 0,471
1,5 272 0,649
Gambar 3. Spektra 3 Seri Konsentrasi Rutin pada Panjang Gelombang 200-400 nm (Sumbu x = panjang gelombang, sumbu y = absorbansi)
Berdasarkan tabel dan hasil scan panjang gelombang tersebut, panjang gelombang maksimum yang digunakan adalah 272 nm. Panjang gelombang maksimum yang didapatkan dari hasil pengukuran sangat sesuai dengan hasil pengukuran panjang gelombang maksimum pada penelitian yang dilakukan oleh Seal tahun 2016, dengan panjang gelombang maksimum yang didapatkan dari penelitian tersebut sebesar 272 nm. Panjang gelombang tersebut bisa mengalami pergeseran akibat sifat dari pelarut yang digunakan. Pelarut yang digunakan adalah metanol yang memiliki sifat polar.
Pelarut bersifat polar akan cenderung meningkatkan energi eksitasi molekul senyawa.
Peningkatan energi tersebut berbanding terbalik dengan panjang gelombang, karena semakin besar energi yang diperlukan, maka panjang gelombang akan semakin pendek.
Akibatnya, terjadi pergeseran panjang gelombang pada senyawa (Pavia, Lampman, Kriz, Vyvyan, 2017). Maka, panjang gelombang yang didapatkan oleh Seal pada tahun 2016 bisa menjadi tolok ukur untuk panjang gelombang maksimum yang didapatkan.
0,5 ppm
1 ppm
1,5 ppm y
x
Adapun panjang gelombang maksimum yang digunakan adalah 272 nm. Nilai absorbansi yang dihasilkan pada panjang gelombang tersebut memenuhi rentang nilai absorbansi yang ditetapkan, yaitu 0,2-0,8 (Gandjar dkk, 2015; Pavia dkk., 2017).
Gambar 4. Gugus Kromofor dan Auksokrom pada Rutin (keterangan : = gugus kromofor, = gugus auksokrom)
Senyawa rutin bisa menghasilkan absorbansi pada panjang gelombang maksimum sebesar 272 nm yaitu adanya gugus kromofor dan auksokrom pada senyawa rutin.
Gugus kromofor adalah ikatan rangkap berselang-seling pada senyawa, sementara gugus auksokrom adalah gugus yang berikatan dengan gugus kromofor dan membantu meningkatkan penyerapan cahaya. Gugus kromofor dan auksokrom ditunjukkan dengan gambar 4. Gugus kromofor inilah yang bertanggungjawab terhadap absorbansi yang dihasilkan. Semakin panjang gugus kromofor yang ada, maka semakin besar pula
nilai panjang gelombang suatu senyawa (Pavia dkk., 2017). Nilai panjang gelombang ini juga dapat meningkat dengan adanya gugus auksokrom. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap absorbansi yang dihasilkan.
E. PENENTUAN FASE GERAK
Optimasi fase gerak dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi fase gerak yang bisa digunakan agar parameter dari kromatogram yang dihasilkan memenuhi kriteria penerimaan (Snyder dkk., 2010). Hasil optimasi tersebut digunakan untuk menentukan komposisi fase gerak dan laju alir yang optimal. Penentuan komposisi fase gerak dan laju alir dilakukan dengan cara membandingkan hasil resolusi dan tailing factor yang didapat antara baku dengan sampel pada komposisi fase gerak, laju alir, serta waktu retensi yang sama dengan kriteria penerimaan. Hasil yang didapatkan pada optimasi fase gerak terhadap baku dan sampel dijelaskan dalam tabel dan kromatogram berikut
Gambar 5. Kromatogram Baku Rutin dengan Komposisi Fase Gerak Metanol, Asetonitril, Akuabides (30 : 10 : 60), Flow rate 0,7 mL/menit
Rutin
Gambar 6. Kromatogram Ekstrak Etanol Daun Binahong dengan Komposisi Fase Gerak Metanol, Asetonitril, Akuabides (30 : 10 : 60), Flow rate 0,7
mL/menit
Tabel II. Hasil optimasi fase gerak (keterangan : abc = fase gerak terpilih)
Komposisi Laju alir
(mL/min) Objek
Waktu retensi (Tr) (menit)
Resolusi (Rs)
Tailing factor
(Tf)
Keterangan (Kriteria :
Rs > 1,5 dan Tf mendekati
1)
Metanol : Asetonitril
: Akuabides
= 20 : 20 : 60
0,6
Baku 7,140 5,024 1,513 Tidak memenuhi
kriteria
Sampel 7,202 1,378 0
0,7
Baku 6,255 4,689 1,599 Tidak memenuhi
kriteria Sampel 6,387 0,769 1,103
0,8
Baku 5,551 3,023 1,691 Tidak memenuhi
kriteria
Sampel 5,629 1,098 0
Metanol : Asetonitril
: Akuabides
= 30 : 10 : 60
0,6
Baku 11,732 11,673 1,417 Tidak memenuhi
kriteria Sampel 11,799 1,132 0
0,7 Baku 10,042 11,435 1,361 Memenuhi kriteria Sampel 9,978 1,676 1,076
0,8
Baku 8,879 11,179 1,496 Tidak memenuhi
kriteria Sampel 8,831 0,969 1,0
Rutin
Hasil yang didapatkan dinyatakan memenuhi kriteria penerimaan apabila nilai resolusi baku dan sampel sama-sama > 1,5 dan nilai tailing factor baku dan sampel sama-sama mendekati 1 (Gandjar dkk., 2015; Snyder dkk., 2010). Pada komposisi pertama dengan laju alir 0,6 mL/menit, hasil pada baku memenuhi kriteria penerimaan, tetapi hasil pada sampel memiliki resolusi kurang dari 1,5 dan tailing factor tidak terbaca pada sistem.
Lalu, ketika laju alir dinaikkan menjadi 0,7 mL/menit, waktu retensi yang dihasilkan pada baku dan sampel menjadi lebih cepat, tetapi resolusi pada sampel juga kurang dari 1,5. Kemudian pada laju alir 0,8 mL/menit, waktu retensi yang dihasilkan lebih cepat dibanding dua laju alir sebelumnya, namun resolusi dari sampel masih kurang dari 1,5 serta tailing factor yang diberikan tidak terbaca pada sistem. Selanjutnya, dilakukan uji terhadap komposisi fase gerak kedua. Pada komposisi kedua dengan laju alir 0,6 mL/menit, waktu retensinya lebih dari 10 menit dan resolusi dari sampel kurang dari 1,5. Saat laju alirnya dinaikkan menjadi 0,7 mL/menit, semua parameter pada baku dan sampel memenuhi kriteria penerimaan. Lalu ketika laju alirnya dinaikkan menjadi 0,8 mL/menit, waktu retensinya lebih cepat dibanding dua laju alir sebelumnya, tetapi resolusi dari sampel kurang dari 1,5. Maka, berdasarkan kriteria tersebut, komposisi fase gerak dan laju alir yang terpilih adalah metanol : asetonitril : akuabides dengan perbandingan 30 : 10 : 60 dengan laju alir sebesar 0,7 mL/menit. Komposisi fase gerak dan laju alir tersebut terpilih karena hasil yang diberikan oleh baku dan sampel semuanya memenuhi kriteria penerimaan, sementara komposisi fase gerak dan laju alir lainnya hanya memberikan hasil yang memenuhi kriteria penerimaan pada baku saja (Snyder dkk., 2010). Lalu, pada kromatogram yang ditunjukkan gambar 5 dan 6, AUC rutin pada baku terlihat lebih besar dibandingkan rutin pada sampel. Hal ini terjadi karena perbedaan skala antara baku dengan sampel, ditunjukkan oleh skala pada baku lebih besar dibandingkan skala pada sampel.
Pada saat baku dan sampel dibawa oleh fase gerak ke dalam fase diam, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Ketika suatu senyawa yang dibawa fase gerak masuk ke dalam fase diam (kolom), maka ada perbedaan sifat antara senyawa dengan fase diam yang memiliki sifat lebih non polar dibandingkan dengan senyawa
yang dibawa oleh fase gerak. Hal yang dapat dilakukan yaitu mengatur komposisi fase gerak agar tidak memiliki perbedaan polaritas yang besar dengan kolom, karena jika terjadi perbedaan polaritas yang besar antara kolom dan fase gerak, maka senyawa yang dibawa fase gerak akan tertahan lama di dalam kolom, sehingga senyawa akan keluar dari kolom dalam waktu yang lama dan waktu retensinya menjadi lebih lama (Snyder dkk., 2010). Pada penelitian ini, fase gerak yang digunakan adalah metanol, asetonitril, dan akuabides. Metanol memiliki rumus molekul CH3OH merupakan senyawa golongan alkohol dan dapat berinteraksi hidrogen dengan gugus -OH yang banyak dimiliki oleh senyawa rutin (Pubchem, 2021; Taraba, Szymczyk, 2019). Selain metanol, ada juga asetonitril yang dapat larut dalam air, dan juga akuabides yang memiliki sifat polar (Pubchem, 2021). Di antara ketiga pelarut ini, akuabides memiliki rasio komposisi yang terbesar. Hal ini karena akuabides mampu melarutkan baku rutin dan sampel, apalagi baku rutin yang digunakan merupakan baku rutin hidrat. Rutin hidrat memiliki kemiripan struktur dengan rutin, hanya saja memiliki tambahan molekul air, dan struktur ini meningkatkan kelarutannya dalam air berdasar prinsip like dissolves like (Pubchem, 2021). Selain itu, karena rutin memiliki banyak gugus -OH, maka lebih mudah untuk berinteraksi hidrogen dengan akuabides. Akuabides juga memiliki polaritas yang lebih tinggi dibandingkan metanol dan asetonitril, dengan nilai polaritas sebesar 10,2 (Ramawat dkk., 2013; Snyder dkk., 2010). Polaritas yang lebih tinggi ini diperlukan agar rutin tidak terlalu lama tertinggal dalam fase diam akibat sifat yang sama. Maka, rasio komposisi yang bisa diubah adalah rasio metanol dengan rasio asetonitril. Berdasarkan indeks polaritasnya, metanol memiliki polaritas sebesar 5,1 dan asetonitril memiliki polaritas sebesar 5,8. Ketika rasio metanol diperbanyak, otomatis polaritas dari fase gerak akan berkurang, sehingga perbedaan polaritas antara fase gerak dan fase diam juga berkurang dan rutin akan keluar lebih lama dari fase diam (Snyder dkk., 2010). Hal ini telah dibuktikan pada penelitian ini dengan hasil berupa komposisi fase gerak yang memiliki rasio metanol : asetonitril : akuabides sebesar 30 : 10 : 60 memiliki waktu retensi yang lebih lama dibanding rasio metanol : asetonitril : akuabides sebesar 20 : 20 : 60.
Gambar 7. Interaksi Rutin dengan Fase Gerak Keterangan : (….. = interaksi)
Interaksi yang digambarkan pada gambar 7 merupakan interaksi yang dapat terjadi.
Interaksi antara asetonitril dan rutin dapat terjadi dengan atom N pada asetonitril yang lebih elektronegatif akan cenderung menarik atom H pada rutin. Kemudian, interaksi antara metanol dan rutin dapat terjadi dengan atom H pada gugus -OH di metanol akan berinteraksi hidrogen dengan atom O pada rutin.
Metanol Asetonitril Akuabides
Rutin dapat pula berinteraksi dengan fase diam melalui interaksi Van der Waals. Interaksi Van der Waals ini terjadi pada bagian non-polar dari rutin dengan gugus -CH3 pada fase diam, digambarkan sebagai berikut
Gambar 8. Interaksi Rutin dengan Fase Diam Keterangan : (….. = interaksi)
Adapun fase diam yang digunakan adalah C18 yang terikat pada siloksan dan dikenal dengan nama oktadesilsilan. Fase diam ini memiliki struktur alifatik dan kepolaran serta elektronegativitas yang rendah, sehingga fase diam akan lebih mudah berinteraksi dengan bagian non-polar pada rutin. Tetapi, interaksi ini menimbulkan gaya yang tidak
C18
sekuat gaya yang ditimbulkan oleh interaksi rutin dengan komposisi fase gerak, sehingga rutin masih bisa keluar dari kolom.
Selain komposisi fase gerak, faktor yang mempengaruhi penentuan fase gerak adalah laju alir. Laju alir yang lebih cepat menyebabkan rutin yang dibawa fase gerak menjadi lebih cepat keluar dari fase diam. Tetapi, hal ini tidak menjamin bahwa pemisahan senyawa bisa berjalan dengan baik. Hal ini terjadi karena laju alir juga mempengaruhi lebar sempitnya puncak yang terbentuk pada kromatogram. Semakin kecil laju alir, maka puncak yang terbentuk menjadi lebih landai akibat senyawa keluar sedikit demi sedikit dari fase diam. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya tailing yang lebih besar pada puncak. Sebaliknya, semakin besar laju alir, maka puncak yang terbentuk menjadi lebih tajam akibat senyawa keluar dengan cepat dari fase diam.
Keadaan semacam ini bisa menimbulkan kondisi puncak belum sampai ke garis nol, tetapi sudah diikuti puncak lainnya, sehingga pemisahan komponen senyawa tidak bagus. Maka, laju alir dapat dikatakan memiliki hubungan dengan parameter waktu retensi, resolusi dan tailing factor. Hal ini terbukti pada penelitian dengan hasil berupa laju alir optimal sebesar 0,7 mL/menit dari fase gerak metanol : asetonitril : akuabides sebesar 30 : 10 : 60 dengan dasar pemilihan sesuai kriteria penerimaan terhadap parameter-parameter dari KCKT (Meurs, 2016; Snyder dkk., 2010).
F. UJI KESESUAIAN SISTEM
Uji kesesuaian sistem dilakukan dengan tujuan mengetahui kemampuan sistem KCKT fase terbalik tersebut dalam memberikan hasil yang sama atau mendekati pada tiap injeksi yang diberikan (Bose, 2014). Uji kesesuaian sistem ini memberikan hasil berupa 6 kali repetisi injeksi baku rutin beserta parameter yang diperlukan (waktu retensi, AUC, resolusi, tailing factor, dan theoretical plate). Uji kesesuaian sistem ini dikatakan berhasil apabila parameter-parameter tersebut memenuhi kriteria yang ada, yaitu CV pada waktu retensi dan AUC < 1 % (untuk jumlah injeksi > 5), resolusi > 2, tailing factor < 2, dan theoretical plate (N) > 2000 (Snyder dkk., 2010). Hasil uji kesesuaian sistem disajikan dalam tabel berikut
Tabel III. Hasil uji kesesuaian sistem
Repetisi
Waktu retensi (Tr) (menit)
Area (AUC)
Resolusi (Rs)
Tailing factor (Tf)
Theoretical plate (N)
1 9,42 41495 7,823 1,311 4429,427
2 9,464 42191 7,779 1,323 4320,184
3 9,462 40898 7,805 1,269 4333,446
4 9,464 41444 7,673 1,3 4279,154
5 9,465 41483 7,532 1,329 4291,446
6 9,495 41427 7,906 1,303 4236,384
Rerata 9,4617 41489,6667 7,753 1,3058 4315,0068
SD 0,0240 411,8309 0,1319 0,0212 65,5452
CV 0,25 0,99 1,70 1,63 1,52
Berdasarkan hasil di atas, maka semua parameter yang ada memenuhi kriteria, yaitu nilai CV pada waktu retensi dan AUC < 1 %, resolusi lebih dari 2, nilai tailing factor kurang dari 2 dan nilai N lebih dari 2000. Selain itu, jika dilihat dari CV yang dihasilkan semua parameter, maka semua parameter mememenuhi kriteria dari USP pada tahun 2020, yaitu < 2 %. Parameter yang sudah memenuhi kriteria menunjukkan bahwa sistem KCKT fase terbalik ini bisa memberikan hasil yang sama atau mendekati.
BAB V KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
Penelitian ini melakukan optimasi terhadap panjang gelombang maksimum serta komposisi dan laju alir fase gerak. Panjang gelombang maksimum yang didapatkan sebesar 272 nm, sementara fase gerak yang memenuhi kriteria penerimaan adalah metanol : asetonitril : akuabides dengan perbandingan 30 : 10 : 60 dengan laju alir 0,7 mL/menit dengan waktu retensi pada sampel 9,978 menit, resolusi 1,676 dan tailing factor 1,076. Selain itu, dilakukan uji kesesuaian sistem untuk memastikan kemampuan sistem memberikan hasil yang sama. Hasil dari uji kesesuaian sistem yaitu CV <2 % pada parameter resolusi, waktu retensi, tailing factor, theoretical plate, dan AUC.
B. SARAN
Jika penelitian ini dilakukan kembali, maka saran yang dapat diberikan yaitu perlu dilakukan validasi terhadap metode analisis yang dilakukan. Validasi diperlukan untuk memastikan kembali bahwa sistem KCKT mampu memberikan hasil yang akurat, reprodusibel, dan selektif.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, H., Wijaya, R.J., Rizal, Z. 2014. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap pH dan Tukak Lambung pada Tikus Putih Betina. Jurnal Farmasi Higea, Vol 6 (1), 33.
Bose, A. 2014. HPLC Calibration Process Parameters in Terms of System Suitability Test. Austin Chromatography, Vol 1 (2), 2.
Cabi, 2021. Anredera cordifolia, diakses pada 20 Juli 2021.
Chen, et al. 2020. Effects of Rutin on Wound Healing in Hyperglycemic Rats. MDPI Antioxidants, Vol 9 (1122), 6-10.
Ciric, A., Stankov, M.J., Cvijovic, M., Djudjevic, P. 2017. Statistical Optimization of An RP-HPLC Method for the Determination of Selected Flavonoids in Berry Juices and Evaluation of Their Antioxidant Activities. Biomed Chromatogr.
2017 Apr, 2-3.
Depkes. 2017. Farmakope Herbal Indonesia Edisi 2. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
Dwitiyanti, Harahap, Y., Elna, B., Bahtiar, A. 2019. Impact of Solvent of the Characteristics of Standarized Binahong Leaf (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis). Pharmacognosy Journal Vol 11 (6), 1463-1465.
Farsi, E., et al. 2017. Standarized Extract of Ficus deltoidea Stimulates Insulin Secretion and Blocks Hepatic Glucose Production by Regulating the Expression of Glucose-Metabolic Genes in Streptozitocin-Induced Diabetic Rats. BMC Complementary and Alternative Medicine Vol 14 (20), 10.
Gandjar, I. G., Rohman, A. 2015. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, p. 378-416, 460.
Ghorbani, A. 2017. Mechanisms of Antidiabetic Effects of Flavonoid Rutin. Biomed Pharmacother. 2017 Dec, 306-309.
Indriani, L., Zunnaita, O., Khairi, M.R. 2019. Optimasi Efek Analgesik Daun Binahong dengan Penambahan Jahe dan Kunyit secara In-Vivo. Fitofarmaka Jurnal Ilmiah Farmasi Vol 9 (2), 146.
Jang, D. et al. 2019. Developing and Validating A Method for Separating Flavonoid Isomers in Common Buckwheat Sprouts Using HPLC-PDA. Foods Vol (8), 6-7.
Kintoko, et al. 2017. Pengaruh Kondisi Diabetes pada Pemberian Topikal Fraksi Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) dalam Proses Penyembuhan Luka. Traditional Medicine Journal Vol 22 (2), 104.
Klitou, P., Rosbottom, I., Simone, E. 2019. Synthonic Modellinfg of Quercetin and Its Hydrates : Explaining Crystallization Behavior in Terms of Molecular Confomation and Crystal Packing. Cryst Growth Des Vol 19, 4780.
Leliqia, N. P. E., Sukandar, E.Y., Fidrianny, I. 2017, Antibacterial Activities of Anredera cordifolia (Ten.) V. Steenis Leaves Extracts and Fractions. Asian Journal of Pharmaceutial and Clinical Research Vol 10 (2), 175.