BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
E. Penentuan Fase Gerak
Optimasi fase gerak dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi fase gerak yang bisa digunakan agar parameter dari kromatogram yang dihasilkan memenuhi kriteria penerimaan (Snyder dkk., 2010). Hasil optimasi tersebut digunakan untuk menentukan komposisi fase gerak dan laju alir yang optimal. Penentuan komposisi fase gerak dan laju alir dilakukan dengan cara membandingkan hasil resolusi dan tailing factor yang didapat antara baku dengan sampel pada komposisi fase gerak, laju alir, serta waktu retensi yang sama dengan kriteria penerimaan. Hasil yang didapatkan pada optimasi fase gerak terhadap baku dan sampel dijelaskan dalam tabel dan kromatogram berikut
Gambar 5. Kromatogram Baku Rutin dengan Komposisi Fase Gerak Metanol, Asetonitril, Akuabides (30 : 10 : 60), Flow rate 0,7 mL/menit
Rutin
Gambar 6. Kromatogram Ekstrak Etanol Daun Binahong dengan Komposisi Fase Gerak Metanol, Asetonitril, Akuabides (30 : 10 : 60), Flow rate 0,7
mL/menit
Tabel II. Hasil optimasi fase gerak (keterangan : abc = fase gerak terpilih)
Komposisi Laju alir
Hasil yang didapatkan dinyatakan memenuhi kriteria penerimaan apabila nilai resolusi baku dan sampel sama-sama > 1,5 dan nilai tailing factor baku dan sampel sama-sama mendekati 1 (Gandjar dkk., 2015; Snyder dkk., 2010). Pada komposisi pertama dengan laju alir 0,6 mL/menit, hasil pada baku memenuhi kriteria penerimaan, tetapi hasil pada sampel memiliki resolusi kurang dari 1,5 dan tailing factor tidak terbaca pada sistem.
Lalu, ketika laju alir dinaikkan menjadi 0,7 mL/menit, waktu retensi yang dihasilkan pada baku dan sampel menjadi lebih cepat, tetapi resolusi pada sampel juga kurang dari 1,5. Kemudian pada laju alir 0,8 mL/menit, waktu retensi yang dihasilkan lebih cepat dibanding dua laju alir sebelumnya, namun resolusi dari sampel masih kurang dari 1,5 serta tailing factor yang diberikan tidak terbaca pada sistem. Selanjutnya, dilakukan uji terhadap komposisi fase gerak kedua. Pada komposisi kedua dengan laju alir 0,6 mL/menit, waktu retensinya lebih dari 10 menit dan resolusi dari sampel kurang dari 1,5. Saat laju alirnya dinaikkan menjadi 0,7 mL/menit, semua parameter pada baku dan sampel memenuhi kriteria penerimaan. Lalu ketika laju alirnya dinaikkan menjadi 0,8 mL/menit, waktu retensinya lebih cepat dibanding dua laju alir sebelumnya, tetapi resolusi dari sampel kurang dari 1,5. Maka, berdasarkan kriteria tersebut, komposisi fase gerak dan laju alir yang terpilih adalah metanol : asetonitril : akuabides dengan perbandingan 30 : 10 : 60 dengan laju alir sebesar 0,7 mL/menit. Komposisi fase gerak dan laju alir tersebut terpilih karena hasil yang diberikan oleh baku dan sampel semuanya memenuhi kriteria penerimaan, sementara komposisi fase gerak dan laju alir lainnya hanya memberikan hasil yang memenuhi kriteria penerimaan pada baku saja (Snyder dkk., 2010). Lalu, pada kromatogram yang ditunjukkan gambar 5 dan 6, AUC rutin pada baku terlihat lebih besar dibandingkan rutin pada sampel. Hal ini terjadi karena perbedaan skala antara baku dengan sampel, ditunjukkan oleh skala pada baku lebih besar dibandingkan skala pada sampel.
Pada saat baku dan sampel dibawa oleh fase gerak ke dalam fase diam, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Ketika suatu senyawa yang dibawa fase gerak masuk ke dalam fase diam (kolom), maka ada perbedaan sifat antara senyawa dengan fase diam yang memiliki sifat lebih non polar dibandingkan dengan senyawa
yang dibawa oleh fase gerak. Hal yang dapat dilakukan yaitu mengatur komposisi fase gerak agar tidak memiliki perbedaan polaritas yang besar dengan kolom, karena jika terjadi perbedaan polaritas yang besar antara kolom dan fase gerak, maka senyawa yang dibawa fase gerak akan tertahan lama di dalam kolom, sehingga senyawa akan keluar dari kolom dalam waktu yang lama dan waktu retensinya menjadi lebih lama (Snyder dkk., 2010). Pada penelitian ini, fase gerak yang digunakan adalah metanol, asetonitril, dan akuabides. Metanol memiliki rumus molekul CH3OH merupakan senyawa golongan alkohol dan dapat berinteraksi hidrogen dengan gugus -OH yang banyak dimiliki oleh senyawa rutin (Pubchem, 2021; Taraba, Szymczyk, 2019). Selain metanol, ada juga asetonitril yang dapat larut dalam air, dan juga akuabides yang memiliki sifat polar (Pubchem, 2021). Di antara ketiga pelarut ini, akuabides memiliki rasio komposisi yang terbesar. Hal ini karena akuabides mampu melarutkan baku rutin dan sampel, apalagi baku rutin yang digunakan merupakan baku rutin hidrat. Rutin hidrat memiliki kemiripan struktur dengan rutin, hanya saja memiliki tambahan molekul air, dan struktur ini meningkatkan kelarutannya dalam air berdasar prinsip like dissolves like (Pubchem, 2021). Selain itu, karena rutin memiliki banyak gugus -OH, maka lebih mudah untuk berinteraksi hidrogen dengan akuabides. Akuabides juga memiliki polaritas yang lebih tinggi dibandingkan metanol dan asetonitril, dengan nilai polaritas sebesar 10,2 (Ramawat dkk., 2013; Snyder dkk., 2010). Polaritas yang lebih tinggi ini diperlukan agar rutin tidak terlalu lama tertinggal dalam fase diam akibat sifat yang sama. Maka, rasio komposisi yang bisa diubah adalah rasio metanol dengan rasio asetonitril. Berdasarkan indeks polaritasnya, metanol memiliki polaritas sebesar 5,1 dan asetonitril memiliki polaritas sebesar 5,8. Ketika rasio metanol diperbanyak, otomatis polaritas dari fase gerak akan berkurang, sehingga perbedaan polaritas antara fase gerak dan fase diam juga berkurang dan rutin akan keluar lebih lama dari fase diam (Snyder dkk., 2010). Hal ini telah dibuktikan pada penelitian ini dengan hasil berupa komposisi fase gerak yang memiliki rasio metanol : asetonitril : akuabides sebesar 30 : 10 : 60 memiliki waktu retensi yang lebih lama dibanding rasio metanol : asetonitril : akuabides sebesar 20 : 20 : 60.
Gambar 7. Interaksi Rutin dengan Fase Gerak Keterangan : (….. = interaksi)
Interaksi yang digambarkan pada gambar 7 merupakan interaksi yang dapat terjadi.
Interaksi antara asetonitril dan rutin dapat terjadi dengan atom N pada asetonitril yang lebih elektronegatif akan cenderung menarik atom H pada rutin. Kemudian, interaksi antara metanol dan rutin dapat terjadi dengan atom H pada gugus -OH di metanol akan berinteraksi hidrogen dengan atom O pada rutin.
Metanol Asetonitril Akuabides
Rutin dapat pula berinteraksi dengan fase diam melalui interaksi Van der Waals. Interaksi Van der Waals ini terjadi pada bagian non-polar dari rutin dengan gugus -CH3 pada fase diam, digambarkan sebagai berikut
Gambar 8. Interaksi Rutin dengan Fase Diam Keterangan : (….. = interaksi)
Adapun fase diam yang digunakan adalah C18 yang terikat pada siloksan dan dikenal dengan nama oktadesilsilan. Fase diam ini memiliki struktur alifatik dan kepolaran serta elektronegativitas yang rendah, sehingga fase diam akan lebih mudah berinteraksi dengan bagian non-polar pada rutin. Tetapi, interaksi ini menimbulkan gaya yang tidak
C18
sekuat gaya yang ditimbulkan oleh interaksi rutin dengan komposisi fase gerak, sehingga rutin masih bisa keluar dari kolom.
Selain komposisi fase gerak, faktor yang mempengaruhi penentuan fase gerak adalah laju alir. Laju alir yang lebih cepat menyebabkan rutin yang dibawa fase gerak menjadi lebih cepat keluar dari fase diam. Tetapi, hal ini tidak menjamin bahwa pemisahan senyawa bisa berjalan dengan baik. Hal ini terjadi karena laju alir juga mempengaruhi lebar sempitnya puncak yang terbentuk pada kromatogram. Semakin kecil laju alir, maka puncak yang terbentuk menjadi lebih landai akibat senyawa keluar sedikit demi sedikit dari fase diam. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya tailing yang lebih besar pada puncak. Sebaliknya, semakin besar laju alir, maka puncak yang terbentuk menjadi lebih tajam akibat senyawa keluar dengan cepat dari fase diam.
Keadaan semacam ini bisa menimbulkan kondisi puncak belum sampai ke garis nol, tetapi sudah diikuti puncak lainnya, sehingga pemisahan komponen senyawa tidak bagus. Maka, laju alir dapat dikatakan memiliki hubungan dengan parameter waktu retensi, resolusi dan tailing factor. Hal ini terbukti pada penelitian dengan hasil berupa laju alir optimal sebesar 0,7 mL/menit dari fase gerak metanol : asetonitril : akuabides sebesar 30 : 10 : 60 dengan dasar pemilihan sesuai kriteria penerimaan terhadap parameter-parameter dari KCKT (Meurs, 2016; Snyder dkk., 2010).