• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

D. Analisis Data

Kedua informan mengalami kecelakaan yang menyebabkan disabilitas fisik non-bawaan yaitu JMT memiliki kondisi paraplegia (kehilangan kapasitas gerak tubuh bagian bawah) dan EK harus melakukan amputasi pada bagian kedua siku tangannya.

“Paraplegia, jadi dari pinggang sini ke bawah mati rasa, jadi syaraf rusak kayak’e tulang.” (JMT, 99-101)

“Bar kuwi (kecelekaan) terus ndadak diamputasi tangane iki.” (EK, 178-179)

Sejak saat itu informan memiliki keterbatasan dalam seluruh kegiatan sehari-hari. Serta, kondisi disabilitas fisik non-bawaan menjadi faktor pengalaman insidental yang memberi dampak psikologis yang besar dalam hidup.

Dampak psikologis yang dirasakan oleh informan seperti memiliki emosi yang tidak stabil dan cenderung menutup diri terhadap lingkungan. Seperti yang dituangkan dalam penuturan informan sebagai berikut.

“Saya cuma harapannya itu dari awal kejadian sampai beberapa tahun terakhir itu harapannya pengen sembuh, itu aja. Di mana yang bisa nyembuhkan saya itu. Jadi gak ada kepikiran ke yang lain selain itu. Belum ada bayangan lain ya. Saya emang fokusnya, saya pengen sembuh, di mana yang bisa.” (JMT, 357-363) “Suatu ketika ki mengalami suatu kecelakaan, ya terus yaitu harus,harus kehilangan kedua tangan to. Kanggoku yo abot. Jadi ora seko lahir, nek dari kecelakaan nek penerimaan diri ki, yo maune sing nduwe tangan, opo-opo iso ngono kan.” (EK, 10-16)

“Terus emosi dalam diri pun emosiku labil ya. Labil, sangat emosi, maksudte, mulane sing iso opo-opo dewe, saiki menunggunggu bantuan dari orang lain. Terus opo yo, ee yo gampang emosi seperti itu.” (EK, 42-46)

“aktifitase yo neng omah tok, mbok ana kancaku sing do teko ngono kae, aku ra gelem nemoni ndisik. Dadi yowes ngurung neng kamar tok ngono kae, neng omah ngono kae wes ngono kuwi.” (EK, 201-205)

Selain itu informan juga merasakan kekecewaan atas kondisinya saat ini serta merasa putus asa terhadap cita-cita yang sebenarnnya ingin diwujudkan pada masa depan.

“Ya seperti putus asa begitu lho, aduh gimana ini, padahal ya, istilahnya kan sudah semangat ya, operasi, InsyaAllah ya Tapi ya dokternya itu, akhire ya gak operasi dari sana ya dikasih kursi roda itu. Tapi gak saya pakai.” (JMT, 215-219) “Ya pokoknya, ini termasuknya apa ya, rencana yang sebelumnya istilahnya waktu sehatnya itu ada, ya istilahnya gagal semua.” (JMT, 244-247)

“Tapi yo, siapapun wes sing mengalami, sing awale kondisine lengkap, dadi tidak, tidak opo, tidak lengkap lagi gitu. Jangankan fisik, wong sing maune usaha dadi ambrek kere ndak kuat njuk kentir ya to, edan, bunuh diri ya to. Yo ngono kuwi mas, yo kadang ngono kuwni nek aku lho, aku secara pribadi” (EK, 92-98)

“dan aku kadang yo ngono iki, wah aku nek ora ngene iki, kudune iso ngono yo, nyambut gawe enak” (EK, 113-115)

Pada informan JMT keputuasaan juga terlihat dalam pandangannya bahwa Ia merasa gagal dalam membina keluarga. JMT tidak lagi dapat bekerja sehingga merasa tidak mampu berperan sebagai kepala keluarga yang baik.

“Yang jelas saya dulunya kan sudah berkeluarga ya, kan ada pikiran beban juga kan dari dengan keluarga saya juga kan, aduh gimana ya kalau saya gak bisa sembuh kan gimana ee cari nafkah buat keluarga. ya banyak sih pikirannya yang berkecamuk di sini (menunjuk kepala dan dada).” (JMT, 226-231)

“Terus sampai akhirnya istri mutusin untuk kerja di Jakarta to, saya di rumah sama Bapak, sama Anak to dulu.” (JMT, 241-243)

“Cita-cita saya kan punya keluarga itu yang langgeng itu ya, gak seperti yang saya alami akhirnya ya to, setelah saya seperti ini kan berarti saya gagal kan itu ya. Ha itu, karena saya seperti ini, gagale dalam artian terus sekarang saya sudah tidak tinggal dengan keluarga, istri, anakku juga ikut istri (tersenyum kusam).” (JMT, 248-255)

“Kalau pas itu sebelum kenal yakum ya istilahnya kan, saya kan belum bisa apa-apa, ya istilahnya saya cuma diem di rumah aja. Saya cuma ada pikiran sekarang ini ya, gimana caranya saya bisa keluar kan. Ya itu aja, jadi mau kerja ya bagaimana, saya gak punya caranya, ehehe.” (JMT, 341-345)

Terlihat bahwa istri JMT yang harus bekerja menjadi tulang punggung keluarga. hingga akhrinya, istrinya memilih meninggalkan JMT dengan membawa anak mereka.

Selain memberikan dampak psikologis yang negatif, kondisi disabilitas fisik non-bawaan juga berpengaruh terhadap relasi informan dengan lingkungan. Saat itu, informan cenderung memiliki interaksi sosial yang cenderung negatif. informan mendapatkan gangguan dari sebagaian orang, seperti menerima teror dan mengalami bullying.

“Terus mungkin ada orang yang gak seneng ya sama saya ya. Saya itu di teror lho mas, dikasih tulisan gitu. Ya tulisane bikin sakit hatilah pokoke.” (JMT, 607-610) “Sekolah neng kene aku (YAKKUM). Males karo bocah-bocahe mbiyen. Mesti dieceni to mas.” (EK,244-245)

Selain itu informan juga merasa dijauhi oleh lingkungan sosialnya dan merasa jika masyarakat telah menganggap informan sudah tidak ada dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Mulane sing konco okeh, terus opo yo, ana sebagaian sing terus kepie ngono kan, istilahe ki, koyo rak kenal, ada yang seperti itu. Terus masyarakat juga seperti itu, kalau misalnya suatu komunitas orang-orang kan mesti, ora kabeh koyo sampeyan ngono lho, seperti memahami. Ana sing koyo wong jijik, koyo wong wedi. Yo itu sing, sing tak alami.(EK, 24-31)

“Ya memang, memang sebagian orang sudah menganggap saya gak ada ya, istilahnya kayak gitu.” (JMT, 389-390)

Kondisi lingkungan yang seperti itu membuat informan memilih untuk tidak terlibat dalam interaksi dengan lingkungan. Informan cenderung mengurung diri di dalam rumah dan tidak cenderung tidak memiliki interaksi dengan masyarakat yang mendalam.

Kita dapat merangkum bahwa bagi informan kondisi disabilitas fisik non-bawaan memberi dampak psikologis yang negatif dan adanya interaksi

lingkungan sosial yang negatif. Hal tersebut berpengaruh terhadap cara pandang diri informan. Informan cenderung memiliki pandangan negatif pada diri dan memunculkan konsep diri yang negatif. Konsep diri yang negatif ditandai dengan perasaan ketidakberdayaan atas kondisi diri.

“Saya itu delapan tahun hanya di tempat tidur, gak bisa kemana-mana.” (JMT, 349-350)

“ya mungkin ini sudah takdir ya, ya sudah jalan hidupe orang seperti saya ini, orang yang seperti saya dan mereka yang mengalami seperti saya ini kan. Mungkin udah jalan hidupnya kayak gitu mungkin. Terus ya mungkin ini yang gak bisa ditolak yang hal-hal kayak gini.” (JMT, 256-261)

“Yo mesti kok nganu, kok iso sing ngene iki. Kok iso ngene iki lho, ya ada pikiran koyo penyesalan, kok ndadak ngene to.” (EK, 75-77)

Informan merasakan kekecewaan dan menganggap bahwa menjadi disabilitas merupakan takdir bagi hidupnya. Serta informan merasa hanya mampu untuk berdiam diri di rumah dan tidak mampu untuk berbuat apa-apa.

Selain itu, informan juga berpikir jika hanya dia sendiri yang memiliki permasalahan disabilitas fisik non-bawaan. Hal tersebut terungkap dalam penuturan informan sebagai berikut.

“Saya, saya gak bisa apa ya, istilahnya belum bisa nerima kalau saya itu harus di kursi roda gitu. Gak bisa menerima, istilahnya kalau keadaan saya harus sepert ini itu, belum bisa nerima.” (JMT, 221-224)

“Ya saya dulu berpikirnya gini, saya itu ehm, gimana ya. Sebelum saya tau temen-temen yang di luaran ya to, istilahnya yang, kayak yang lain-lain (menunjukkan teman –teman difabel), saya merasa itu saya sendiri gitu lho, sendiri.” (JMT,382-385)

Informan tidak mampu menerima kondisi disabilitasnya dengan tidak ingin menggunakan kursi roda untuk membantu beraktifitas dan menganggap hanya dia seorang yang mengalami disabilitas fisik.

Konsep diri yang negatif juga ditandai dengan munculnya perasaan rendah diri atau minder. Serta informan juga memiliki perasaan trauma untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial.

“Terus dimasyarakat pun, ibarate kita berbaur itu lebih mudah ya, lebih mudah. Tapi setelah mengalami opo yo, istilahne ee disabilitas seperti ini, bedo banget bedane. Yo ora iso, maksudku ki, yo memang aduh banget. Istilahne iki sing tak alami, yo mbuh yo nek liyane, nek aku sih seperti itu.” (EK, 17-23)

“yo rodo isin-isin kae to aku, metu dimatke wong okeh.” (EK, 225-226)

“Ha yo maksudte wes mangkel kae neng njero ati ngono kae wes. Wes misuh-misuh, uasu ngono kuwi, bajingan, dikiro wong ngemis to, bar kuwi wegah, wes wegah meneh, bar kuwi pet ra tahu meneh gelem metu.” (EK, 235-239)

Informan merasa ditolak oleh lingkungan sosialnya dan menjadi kesulitan untuk bergaul dengan masyarakat. Informan juga merasa malu untuk keluar rumah bertemu dan berinteraksi dengan lingkungan.

Kondisi di atas bertahan selama beberapa lama, hingga akhirnya informan tergerak untuk mengikuti proses rehabilitasi di sebuah yayasan sosial. Menerima dukungan dari signficant others menjadi faktor penggerak informan untuk mau mengikuti rehabilitasi.

“Setelah ketemu Mbak Sri itu, awal 2016 itu, baru saya turun dari tempat tidur, bisa nyoba keluar.” (JMT, 352-353)

“Ya pokoknya setelah Mbak Sri itu bercerita bagaimana perjalananan, akhirnya mbak sri itu diceritakan semua to, dari adiknya juga, terus ya saya akhirnya ya ada, hehe tersentuhlah gampangnya gitu. Termotivasi. Dia cewek bisa, saya cowok kenapa gak harus bisa. hahahaiyaa itu. Apalagi dia juga sampai luar jawa juga to gak hanya pulau jawa.” (JMT, 438-445)

“Mulane aku wegah mulane. Tapi terus aku mesake ndelok wong tuwaku to nek aku neng omah terus. Terus akhrie aku gelem rene bar kuwi diterke kuwi, terus aku diceluk, ngisi-ngisi data, difoto, bar kuwi balik sek.” (EK, 381-385)

Kehadiran significant others memberi pengaruh yang sangat besar bagi informan. Informan menjadi mampu membuka pikiran dan mau untuk mengikuti proses rehabilitasi.

Secara garis besar, proses rehabilitasi berfungsi agar informan mampu melatih-melatih kemampuan baru dan beradaptasi dengan kondisi barunya. Informan melatih kemampuan baru seperti mengoperasikan komputer dan dalam bidang elektro.

“Tapikan kalau saya kan repot ya, otomatis kan tangan harus kerja, mata juga ke jarum to otomatis. Repot terus akhire milih ke elektro. Tapi kemaren sebelume ada jawaban dari mbak yuni to, nek memange elektrone gak ada, yaudah gakpapa ke jahitnya gakpapa. Enggak kok ini udah didaftarkan nanti tinggal tunggu aja.” (JMT, 702-708)

“Yo kuwi, saya seperti itu, terus belajar komputer, pertama nggo sikil, nulis nganggo sikil, wes ngono kuwi. Tak jalani, alon-alon to.” (EK, 193-195)

“Iya harapannya seperti itu, iya kan saya kan udah gak bisa kerja yang berat-berat kan, ya makanya kan saya di sini cari keterampilan ya, kalau misal itu nanti bisa di andalkan kan ya to, kan setidake kan bisa membantu dari ekonomi.” (JMT, 499-504)

“Yo seperti itu mas, awal aku teko neng kene yo belajar, podo. Aku belajar nulis nganggo sikil, terus belajar pie carane mangan dewe, pie carane berpakaian, neng kamar mandi, itu semua, yo kuwi belajar neng kene.” (EK, 188-192)

Pada akhirnya, kemampuan-kemampuan tersebut diharapkan dapat menunjang kehidupan informan ke depan. Informan berharap dapat menemukan pekerjaan sesuai dengan bidang-bidang yang didalami pada proses rehabilitasi.

Pada saat menjalani rehabilitasi, informan memiliki interaksi lingkungan sosial yang positif. Seluruh informan merasa mendapatkan lingkungan sosial yang suportif seperti penuturan informan di bawah ini.

“Cuma 3 orang. Dulu to yang daftar ada 7 orang tapi yang datang Cuma 4. Tapi yang satu ini pas hari itu gurunya gak datang, terus mutung to, terus gak ke sini lagi. Tapi kelase iki nyantai kokhehehe. Yo tadi udah rakit-rakit ampli, udah jajal jajal. Sampai jam 3 tadi ya full musik itu senengnya disitu ya, ketemu teman

tambah pengalaman. Ada yang bisa saling nyemangati gitu, tambah ilmu juga.” (JMT, 712-719)

“Nyatane yo dikei orang-orang yang baik. Yo ngono kuwi. Ya kan banyak teman banyak saudara. Tenan mas, aku ra nduwe sopo-sopo, tapi ketemu mas pt, mas wn, terus kanca-kanca yang lain. baik-baik semua, istilahnya opo yo, yo kuwi mau tidak opo yo tidak terus, opo yo istilahne, dewe tapi wes koyo sedulurlah.” (EK, 952-958)

Interaksi lingkungan yang positif dapat bersumber dari sesama difabel atau dengan pengurus rehabilitasi. Seluruh informan merasa memiliki keluarga baru bersama di dalam lingkungan rehabilitasinya.

Selain itu, interaksi lingkungan sosial yang positif juga didapatkan dari peran significant others. Informan merasa menemukan jalan untuk lebih mampu menghadapi kehidupan.

“Kebetulan ya mungkin Allah juga denger doa-doa ya, ya itu dari situ ketemu Mbak Sri itu ya, ya anu, terus dari situ ya istilahnya ada jalan ya, untuk saya bagamana-bagaimana yang seperti saya harapkan, seperti ada jalan gitu.” (JMT, 396-400)

Tenan mas, aku ra nduwe sopo-sopo, tapi ketemu mas pt, mas wn, terus kanca-kanca yang lain. baik-baik semua, istilahnya opo yo, yo kuwi mau tidak opo yo tidak terus, opo yo istilahne, dewe tapi wes koyo sedulurlah.” (EK, 954-958) “Saya nilai sih luar biasa juga, saya ya ibarat kata apa ya, ibarate kayak malaikat saya gitu lho, penolong saya gitu lho, Mbak Sri gitu lho, kalau bukan dia gak tau saya gimana.” (JMT, 460-463)

Sosok significant others sangat berarti bagi seluruh informan. Mereka (informan) sangat mengagumi sosok significant others, termotivasi, dan menjadikannya sebagai panutan dalam kehidupan.

Kemudian dalam proses rehabilitasi, perlahan informan memiliki pemaknaan positif atas pengalaman hidupnya. Informan telah lebih mampu memaknai positif kondisi disabilitas fisik non-bawaan sebagai bagian dari pengalaman hidup mereka.

“Jadi saya sekarang ini, saya batinnya aja, masalah yang dulu itu ya sudahlah. Sekarang saya pikirnya ya pengen kayak seperti yang lain lah kayak gitu. Kalau orang lain bisa kok saya gak bisa kan, ya gitu, maksudnya ya gitu. Sekalipun nanti saya gak bisa ya palingan udah mentok. Paling enggak sudah berusaha gitu. Tapi saya juga gak tau nantinya.” (JMT, 720-726)

“Yowes tak jalanilah, isane, nek saiki lho yo tak jalani wae. Yo nek opo yo kadang nek perasaane itu, terpintas, tapi ya mencoba opo yo istilahne, mencoba terus berpikir sing nganu, sing koyo positif. Dadi roso gelo ki iso paling ora ki, opo yo, ora koyo ndisik neh ngono, alon-alon. Nek ndisik, suwi, butuh waktu yang lama, tapi mungkin untuk saat ini, mung sedilit. Masih bisa, yo kuwi, positif, iso semangat meneh.” (EK, 99-107)

Saat ini informan ingin menjalani dan melanjutkan hidup dengan lebih baik seperti orang –orang pada umumnya.

Dengan begitu informan saat ini cenderung bersikap pasrah dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kesehariannya. Seperti yang tertuangkan dalam ungkapan informan di bawah ini.

terus opo yo, pasrah karo sing nduwe urip to. Istilahne aku terus ngene opo yo, nek misal dalanku ngene tak tompo, kan. Neng setidakne, istilahne opo yo, aku njaluk karo gusti nek opo yo, ada suatu kesulitan, atau apa, tolong berikan kemudahkan, opo yo istilahne ki, dalan sing nganu, dalan keluar sing baik. Yo ngono tok sih aku. (EK, 56-63)

gimana ya udahlah saya pasrah aja, mau istilah bagaimana mana, terserah yang di-Atas ya. Tapi setelah ketemu mbak sri ini kan saya terus termotivasi ya, istilahnya ya saya tersemangati oleh dia to. (JMT, 265-269)

Saat menghadapi menghadapi masalah, informan lebih berpasrah kepada Ilahi dengan memohon pertolongan dalam menjalani hidup.

Pemaknaan positif terhadap pengalaman hidup juga terlihat dari informan yang menganggap menutup diri adalah beban dan informan juga merasa mendapatkan kemudahan dalam menjalani hidup.

kadang ee aku mikire ngene iki, opo jenenge nek aku opo yo istilahne iki, ora ora opo yo istilahne iki, ana beban, aku masih seperti yang dulu, berapa tahun yang dulu. Kuwi rasane ora plong kuwi lho mas. Pikiran kuwi. Rasane kok koyo pie ngono. Gak nyaman ngono. (EK, 1011-1016)

Memang sudah saya tekatin ya. Tapi ya emang dari situ seperti dimudahkan gitu lho. Misale saya gak ada duwit ni, ya tiba-tiba ada, ya gak tau, pokoke jalan keluare itu selalu ada gitu lho, sekalipun apa namanya, kurangkan wajar ya, kurang itu wajar. Kan secara kan kebutuhan itu cukup, gak sampai minta-minta ke yang lain, ke saudara-saudara, gitu. (JMT, 595, 602)

Saat ini informan beranggapan bahwa menutup diri membuat informan merasa tidak nyaman dengan dirinya. Serta informan juga merasa bersyukur ia dapat bersikap mandiri meskipun dengan kondisi disabilitasnya.

Kita dapat melihat bahwa pada proses rehabilitasi, informan memiliki interaksi lingkungan sosial yang positif dan informan juga mampu memiliki pemaknaan positif terhadap pengalaman hidup. Hal tersebut berpengaruh terhadap cara pandang diri informan, saat ini informan cenderung mampu memadang positif dirinya sehingga mereka mampu memiliki konsep diri yang cenderung positif. Konsep diri yang positif ditandai dengan informan merasa mengalami perkembangan yang positif dalam diri.

“Ya tapi saya gak bisa menilai diri saya ya, yo kan orang lain yang bisa nilai saya tuh seperti apa tu, saya gak bisa menganggap saya itu semangat atau apa, tapi yang jelas, saya bedalah dari yang sebelume to 8 tahun sebelumnya.Memang yang kalau orang lain yang ngomentari sih, ya gitu, ho’o saya udah ada perubahan banyak gitu ya.” (JMT, 407-413)

“Yo nek sekarang yo opo yo, luweh paling ndak ana opo yo istilahne, ada kemajuan. Istilahne nek saiki aku iso luweh opo yo istilahne, luweh iso terbuka terus yo mau belajar juga dengan hal-hal yang baru.” (EK, 1036-1040)

Informan memandang dirinya kini lebih mampu menerima kondisi disabilitas fisik non-bawaannya dan lebih merasa nyaman dengan kondisi tersebut. Hal ini membuat EK dapat terbuka atau mudah bergaul terhadap lingkungan sosialnya. Selain itu EK juga ingin terus meningkatkan kualitas diri dengan selalu berusaha mengevaluasi diri.

“Nek saiki aku wes, nek sekarang-sekarang ini wes istilahne wes biasalah. Meh balik meh lungo-lungo dewe pun wes biasalah, wes wes opo yo, yo iso iso

nganulah, iso ngatasilah. Secara emosional, secara iki, anu wes paling ora wes isolah ngono kuwi. “ncet” wes iso opo yo, wes iso nerimo, ora koyo ndisik.” (EK, 641-647)

“Tapi aku juga, yaweslah mulai opo yo, mulai ee coba untuk opo yo bergaul, sing anu. Yo memang semua tidak seperti yang kita harapkan yang baik. Yo ana sing ora apik juga ngono kan. Tapi yo kuwi mau, proses dari situ, aku terus ngroso opo yo, nyaman gitu, plong, arana opo yo koyo ora ana beban ngono lho. Lha kuwi sampek sekarang. Awale pengen keluar tapi kok wedi-wedi pie opo, wedi ngono. Terus saya mencoba, sampai saat ini istilahnya. Mencoba sampai saat ini istilahnya. Mencoba untuk yo enjoy yo.” (EK, 1017-1027)

“Dadi emang abot sih mas, aku dewe ngrasake yo abot, samean ngerti dewe yo, sampek sekarang aku juga masih belajar, bukan berarti aku terus wes cengangas cengenges ngono kuwi, opo yo istilah wes kuat. Sebenere yo enggak juga, jenenge belajar, yo proses.” (EK, 64-69)

“Yo kadang di satu sing ra enak yo aku coba bersyukur dan aku coba intropeksi diri. Kok iso sih ngene-ngene, mungkin karena sayanya sing anu. Aku opo yo jenenge, yo kuwi, pasti ada sesuatu dari hal yang baik.” (EK, 1130-1134)

Saat ini informan juga tidak merasa sendiri lagi. Selain itu memandang dirinya kini lebih memiliki semangat dalam hidup. Hal tersebut ditunjukkan dengan berusaha untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu bangkit.

“Ya pertamanya gak ngerti ya, yakum itu apa, terus ya memang gak pernah kepikir ya, nek iso neng yakum, bisa sampai sini gak pernah terpikir to. Tapi ya memang ada dari teman-teman yang datang ke rumah itu kan saya, baru bisa ngerti. Terus ya sing tadinya saya berpikir saya itu sendiri seperti ini, ternyata yang seperti saya itu banyak juga.” (JMT, 680-687)

“Terus selainnya ya ketemu dengan informasi dan temen-temen yang lain kan gitu, seperti informasi-informasi dari mereka juga, kan saya istilahe kan ada semangat, saya sampai di sini kan juga membuktikan kalau saya ada semangat. Ternyata bisa. Maksudte yang dulu dalam pikiran, aku ki kiro-kiro iso ra tekan kono misale, iso ra melu kono, nyatane ya isa.” (JMT,270-277)

Dokumen terkait