• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DIRI

memiliki implikasi luas untuk pengembangan pribadi dalam hal pendidikan, karir, dan kehidupan masyarakat. Kegagalan dalam menguasai tantangan dalam hidup akan menyebabkan individu disabilitas memiliki harga diri yang rendah, citra diri yang buruk sehingga muncul konsep diri yang negatif.

Seseorang dengan konsep diri yang positif akan membuat ia memiliki rasa percaya diri, teguh, dan semakin merasa sejahtera dalam menjalani hidup (Hurlock, 1980). Ketika individu disabilitas fisik non-bawaan memiliki konsep diri yang positif, ia akan mampu mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi (Childa, 2009). Hurlock (1980) menyatakan bahwa keberhasilan dalam menghadapi masalah dalam hidup akan mempengaruhi perkembangan kepribadian konsep diri seseorang. Semakin berhasil seseorang mengatasi permasalahan maka konsep dirinya akan semakin menyenangkan, penuh rasa percaya diri, dan teguh, serta semakin merasa tentram dalam menjalani hidup. Pada masa perkembangan dewasa awal, seseorang dengan hambatan fisik atau kondisi disabilitas fisik non-bawaan tidak dapat mencapai

keberhasilan maksimal dalam pekerjaan dan dunia sosialnya. Hal tersebut akan berpengaruh pada kegagalan sebagian atau secara total penguasaan tugas-tugas perkembangannya (Hurlock, 1980). Selain itu, kondisi disabilitas fisik juga dapat menyebabkan seseorang merasa mudah frustasi dalam upaya mereka untuk berprestasi (Dariyo, 2003). Masa perkembangan dewasa awal adalah periode untuk mencapai puncak prestasi dalam hidup. Jika sesesorang tidak dapat menunjukkan prestasi yang penting dalam hidup, maka kesempatannya untuk berprestasi menjadi sangat kecil (Flint, 1977; dalam Hurlock, 1980).

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa individu dengan kondisi disabilitas memiliki kesempatan untuk membangun konsep diri yang tidak didasari oleh kondisi disabilitas, dengan mampu menerima penurunan kapasitas gerak tubuh sehingga tidak kehilangan rasa akan diri (Murugami, 2009). Ittyerah & Kumar (2007) menjelaskan kesesuaian antara diri aktual dan diri ideal menunjukkan bahwa difabel mampu memiliki konsep diri yang baik untuk berintegrasi dengan tantangan hidup. Namun individu dengan disabilitas non-bawaan memiliki konsep diri dan kepuasan terhadap hidup yang lebih rendah jika dibandingkan individu dengan disabilitas bawaan (Bogart, 2014). Kehilangan fungsi tubuh pada anggota badan akan membuat konsep diri seseorang mengalami perubahan (Senra, 2011). Beberapa hal yang dapat mempengaruhi konsep diri pada difabel adalah tingkat kecemasan yang tinggi untuk dapat memperoleh pekerjaan yang baik (Machan & Hartini, 2012); pengalaman berprestasi yang kurang dan penemenuhan kebutuhan

yang tidak memadai (Murugami, 2009); serta difabel dapat memiliki konsep diri, kesejahteraan, dan kualitas hidup yang baik jika mereka memiliki peluang yang lebih besar untuk beriteraksi dengan lingkungan sosial (Pestana, 2014).

Banyaknya penelitian pada konsep diri pada individu disabilitas (Murugami, 2009; Ittyerah & Kumar, 2007; Bogart, 2014; Senra, 2011; Machan & Hartini, 2012; Pestana, 2014) tidak diimbangi dengan penelitian yang secara spesifik pada individu disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal. Padahal berdasarkan penelitian-penelitian yang berkembang dan data di lapangan, disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal rentan memiliki konsep diri yang negatif. Celah ini yang coba diambil oleh peneliti.

Berdasarkan paparan sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa konsep diri merupakan faktor penting dan berpengaruh dalam usaha pemenuhan tugas-tugas perkembangan seseorang, khususnya pada masa dewasa awal di mana akan berlangsung puncak prestasi dalam kehidupan seseorang. Snygg & Combs dalam Epstein (1973) mengungkapkan bahwa konsep diri merupakan inti dari kepribadian yang berisi pengalaman-pengalaman yang dialami, dengan sifat dinamis namun juga akan membentuk karakter personal yang stabil. Pengalaman mengalami disabilitas fisik non-bawaan merupakan faktor insidental yang akan mempengaruhi konsep diri yang ia yakini. Oleh karena itu tentu menarik untuk mengetahui bagaimana konsep diri pada disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal. Belum terlihat penelitian yang secara spesifik membahas konsep diri pada disabilitas fisik

non-bawaan dewasa awal. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat konsep diri pada disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, pernyataan penelitian dalam penelitian ini adalah bagaimanakonsep diri pada disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep diri pada disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis

a. Bagi pembaca terutama pihak yang mempunyai atau menangani kerabat individu disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal, penelitian ini dapat membantu faktor yang mendukung dan menghambat perkembangan konsep diri.

b. Bagi orang awam maupun paramedis, hasil penelitian ini membantu menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan konsep diri. c. Hasil penelitian juga meningkatkan kualitas proses rehabilitasi di

panti-panti untuk perkembangan konsep diri pada disabilitas fisik non-bawan dewasa awal.

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu Psikologi Sosial dan Psikologi Perkembangan. Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan mengenai konsep diri pada disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal.

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep diri

1. Pengertian Konsep Diri

Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki oleh seseorang tentang dirinya untuk melakukan interaksi dengan lingkungannya (Fitts, 1971 dalam Agustiani, 2006). Menurut William (1910, dalam Epstein, 1973) yang merupakan psikolog pertama yang membicarakan tentang diri, menyebutkan bahwa diri atau self diidentifikasi melalui dua pendekatan fundamental, yaitu diri sebagai objek berpengetahuan dan memiliki fungsi pelaksana“The I”, serta diri di mana ia dianggap sebagai objek renungan “The me”. Diri sebagai objek berpengetahuan dan pelaksana terdiri dari berbagai pandangan individu yang membuat individu mempunyai karakteristik untuk dirinya sendiri. Karakteristik tersebut meliputi diri material, diri sosial, dan diri spiritual. Diri material adalah diri yang berisi disamping tubuh individu, juga terdapat keluarga dan harta benda. Diri sosial adalah pandangan orang lain terhadap individu. Sedangkan diri spiritual adalah emosi dan keinginan individu. Semua aspek diri dalam karakteristik tersebut mampu membangkitkan harga diri dan kesejahteraan, namun juga dapat sebaliknya.

Senada dengan William, menurut Burns (1993) konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan tentang pendapat lingkungan mengenai diri kita dan diri seperti apa kita yang kita inginkan.Konsep diri muncul dalam interaksi sosial sebagai hasil dari perhatian mereka masing-masing tentang

bagaimana orang lain bereaksi terhadap dirinya. Individu akan mengantisipasi reaksi dari orang lain agar ia dapat berperilaku sesuai. Di sini individu belajar untuk melihat dunia dengan menggabungkan perkiraan tentang bagaimana “reaksi umum lainnya” dalam menanggapi tindakan tertentu, individu memperoleh

sumber peraturan internal yang berfungsi untuk membimbing dan menstabilkan perilakunya dengan tidak adanya tekanan eksternal (Mead, 1934 dalam Epstein, 1973).

Sullivan dalam Epstein (1973) menambahkan bahwa konsep diri muncul dari interaksi sosial, namun menekankan interaksi individu dengan significant others.Contohnya selayaknya interaksi anak dengan sosok ibunya. Sistem konsep diri sebagai sebuah organisasi pengalaman edukatif muncul oleh keharusan untuk menghindari kecemasan. Seorang anak menginternalisasi nilai-nilai dan larangan yang memudahkan pencapaian kepuasan dengan cara yang disetujui oleh ibu sebagai significant others. Dengan begitu akan terwujud dalam kerangka “saya yang baik” atau “saya yang buruk” sehingga kebutuhan untuk menghindari kecemasan dan hal-hal yang tidak disenangi muncul sebagai fungsi utama dari sistem konsep diri.

Berdasarakan penjabaran di atas, peneliti memiliki kesimpulan bahwa konsep diri merupakan gambaran diri dari pikirkan kita mengenai pendapat lingkungan terhadap diri kita dan diri seperti apa yang ingin kita wujudkan. Konsep diri terbentuk berdasarkan pengalaman yang berasal dari interaksi individu dengan lingkungan di mana significant others memberi pengaruh yang lebih dominan. Maka dari itu konsep diri bersifat dinamis dan akan menjadi

karekteristik personal yang stabil sesuai dengan pengalaman-pengalaman signifikan yang dialami individu.

2. Perkembangan Konsep Diri

Perkembangan konsep diri merupakan proses yang terus berjalan sepanjang kehidupan manusia. Symonds (1951, dalam Agustiani 2006) mengatakan bahwa persepsi tentang diri tidak langsung muncul pada saat kelahiran, namun mulai berkembang secara bertahap dengan kemampuan perseptif. Seiring bertambahnya usia, kemampuan perseptif tersebut mulai dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diperoleh dari hasil interaksi dengan orang lain (Agustiani, 2006).

Epstein (1973) mewujudkan konsep diri sebagai teori bahwa individu tanpa disadari telah dibentuk tentang dirinya sebagai individu yang berpengalaman dan berfungsi, dan itu adalah bagian dari pengalaman yang lebih luas yang ia pegang sehubungan dengan keseluruhan pengalamannya yang signifikan.

Cooley (1902, dalam Rakhmat 2008) berargumen tentang konsep diri yang terbentuk karena kita mebayangkan diri kita sebagai orang lain; dalam benak kita. Cooley menyebutnya dengan looking-glass self yaitu bayangan-bayangan yang muncul melalui kehadiran kita bagi orang lain dan bayangan penilaian orang lain dari kehadiran itu, dan perasaan diri seperti bangga atau malu. Gambaran bayang-bayang tersebut berfungsi sebagai cermin bagi individu untuk dapat menyadari kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya sehingga dapat melakukan penilaian terhadap diri sendiri.

Sullivan (1953, dalam Rakhmat, 2008) menjelaskan bahwa jika kita diterima oleh orang lain, dihormati, dan disenangi karena keberadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya, bila orang lain sering meremehkan, menyalahkan, dan menolak keberadaan kita, kita akan cenderung tidak akan menyenangi atau menerima diri kita.

Konsep diri terbentuk melalui pengalaman individu berinteraksi dengan orang lain, yaitu keluarga, teman sebaya, dan masyarakat. Dalam Rakhmat (2008) terdapat dua faktor yang mempengaruhi konsep diri. Kedua faktor tersebut mayoritas lebih kepada pengaruh lingkungan eksternal terhadap individu namun memiliki perbedaan pada sisi kelekatan relasi. Pertama “orang lain”, tentang tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap konsep diri seseorang. Orang-orang lain yang mempunyai pengaruh besar disebut dengan significant others.Kedua “kelompok rujukan”, seseorang pasti akan pernah mengikuti sebuah kelompok yang akan mengikatnya secara emosional dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri. Dengan melihat kelompok tersebut, orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya.

Lecky (1945) mengidentifikasi konsep diri merupakan inti dari kepribadian yang bersifat dinamis. Fungsi konsep diri untuk menentukan konsep seperti apa yang diterima untuk asimilasi terus menerus mengenai ide-ide baru dan penolakan atau memodifikasi ide-ide lama ke dalam organisasi kepribadian secara utuh. Pandangan Snygg & Combs (1949, dalam Epstein, 1973) serupa dengan Leckykonsep diri merupakan inti dari kepribadian yang berisi insidental

berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dialami, yang sifatnya dapat berubah-ubah serta menjadi karakteristik personal yang stabil.Rasa akan diri akan terus berkembangan dan individu akan terus menerus menyusun ulang diri melalui banyak identitas, waktu, ruang, dan relasionalitas yang semuanya penting untuk pembentukan konsep diri (Murugami, 2009).

3. Karateristik Konsep Diri

Menurut Brooks & Emmert (1976) dalam Rakhmat (2008) menyatakan bahwa konsep diri terdiri dari dua karakteristik, yaitu konsep diri negatif dan konsep diri positif. Seseorang dengan konsep diri negatif ditandai dengan;Pertama, mereka peka terhadap kritik dari orang lain. Mereka tidak tahan dengan kritik yang diterima karena menurutnya kritik dapat menurunkan harga diri. Sehingga ia cenderung mudah marah ketika mendapatkan kritik.

Kedua, mereka cenderung responsif ketika mendapatkan pujian. Meskipun ia mungkin berpura-pura untuk menghindari pujian, ia tidak dapat memanipulasi antusiasmenya pada saat menerima pujian. Segala hal yang memungkinkan untuk meningkatkan harga dirinya menjadi pusat perhatiannya.

Ketiga, perilaku cenderung responsif terhadap pujian juga diikuti dengan sikap hiperkritis terhadap orang lain. Seorang dengan konsep diri negatif menjadi sering mengeluh, mencela, atau meremehkan apapun dan siapa pun. Ia tidak sanggup dan tidak pandai untuk melihat, memberi penghargaan, dan pengakuan terhadap kelebihan orang lain.

Keempat, mereka merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan sehingga ia bereaksi terhadap orang lain sebagai musuh terutama dengan orang-orang yang baru dikenalnya. Perilaku tersebut berujung pada seorang dengan konsep diri yang negatif tidak dapat menjalin kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak akan mempersalahkan dirinya, namun akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak baik.

Kelima, mereka cenderung bersikap pesimis terhadap kompetisi. Hal ini terungkap dalam keenggangannya melakukan kompetisi dengan orang lain. ia menganggap dirinya tidak akan berdaya melawan persaingan yang nantinya justru akan merugikan dirinya.

Sebaliknya, orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan memiliki sikap yakin akan kemampuannya dalam mengatasi masalah; Merasa setara dengan orang lain; Menerima pujian tanpa rasa malu; Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat; Mampu memperbaiki dirinya karena orang dengan konsep diri positif mampu mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha mengubahnya.

Menurut Hamachek dalam Rakhmat (2008) menjelaskan lebih mendalam tentang bagaimana karakteristik seseorang dengan konsep diri positif yaitu meyakini nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menerima gangguan atau pengaruh yang menggoyahkan dari lingkungan. Namun, ia juga mampu untuk mengubah prinsip dan nilainya ketika pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan bahwa ia

salah. Mereka juga mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya. Sebab itu, mereka tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang terjadai esok, masa lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang. Berdasarkan hal tersebut, mereka juga memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi permasalahan, bahkan ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran.

Karakteristik orang dengan konsep diri positif selanjutnya adalah mereka merasa setara dengan orang lain meskipun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya. Mereka sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling tidak bagi kerabat dekat atau keluarganya. Mereka juga peka pada kebutuhan orang lain dan ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain.

Karakteristik lainnya yaitu mereka cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya. Selain itu mereka mampu untuk mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula. Mereka mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekedar, mengisi waktu. Terakhir adalah mereka dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa rasa bersalah.

B. Dewasa Awal

Dokumen terkait