• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP DIRI PADA DISABILITAS FISIK NON-BAWAAN DEWASA AWAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP DIRI PADA DISABILITAS FISIK NON-BAWAAN DEWASA AWAL"

Copied!
215
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP DIRI PADA DISABILITAS FISIK

NON-BAWAAN DEWASA AWAL

SKRIPSI

DiajukanuntukMemenuhi Salah SatuSyarat MemperolehGelarSarjanaPsikologi

Program StudiPsikologi

Disusunoleh: Guritno Kuntoroyakti

NIM : 119114141

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Katakan pada hati Anda bahwa ketakutan

untuk menderita itu lebih buruk ketimbang

menderita dan tidak ada hati yang pernah

menderita ketika sedang mengejar mimpi.

Paulo Coelho

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Terima kasih untuk Semua,

Saya persembahkan ini untuk Keluarga

terkhusus Orang Tuadan Rekan-rekan yang selalu

Memperkuat dan Meneguhkan.

Karya ini juga Saya persembahan bagi Diri ini

Sebagai momentum untuk menghargai Waktu dan

(6)
(7)

vii

KONSEP DIRI PADA DISABILITAS FISIK NON-BAWAAN DEWASA AWAL

Guritno Kuntoroyakti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri pada disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal. Masa perkembangan dewasa awal adalah masa di mana seorang mengalami puncak prestasi dalam hidup (Flint, 1977; dalam Hurlock, 1980). Seorang dewasa awal yang hidup dengan kondisi disabilitas fisik non-bawaan memunculkan berbagai macam dinamika dalam menunjang kesejahteraan hidup. Konsep diri merupakan salah satu faktor penting untuk meraih prestasi tinggi dan untuk menunjang kesejahteraan hidup (Hurlock, 1980). Penelitian ini melibatkan dua orang informan dengan kondisi disabilitas fisik non-bawaan dan sedang dalam masa perkembangan dewasa awal, 18 – 40 tahun. Metode pengumpulan data melalui metode wawancara semi-terstruktur dengan pendekatan Analisis Fenomenologi Interpretatif (AFI). Penelitian ini menemukan dua karakteristik konsep diri yaitu konsep diri negatif dan konsep diri positif. Konsep diri dipengaruhi oleh dampak psikologis akibat memiliki kondisi disabilitas fisik non-bawaan serta munculnya interaksi sosial yang negatif. Sedangkan konsep diri positif dipengaruhi oleh saat rehabilitasi informan memiliki interaksi sosial yang positif serta informan mampu memaknai positif pengalaman hidup.

(8)

viii

SELF CONCEPT IN THE PHYSICAL DISABILITY NON-CONGETINAL OF YOUNG ADULTS

Guritno Kuntoroyakti

ABSTRACT

Young adult development is the time where a person experiences the top of achievement in his life (Flint, 1977 in Hurlock, 1980). A young adult lives with a condition of non-congenital physical disabilitybrings up various kinds of dynamics in supporting the welfare of life. Self-concept is one of the important factors to achieve high accomplishment and to support the welfare (Hurlock, 1980). This research aims to know the dynamics of self-concept on non-congenital physical disability. This study involved two participants with conditions of non-congenital physical disability and being in their early adult development, 18-40 year old. The data collecting method that is used in this study is semi-structured interview with the Interpretative Phenomenology Analysis (AFI) approach. There are two findings of concept in this study. First, negative self-concept that is influenced by non-innate physical disability has a psychological impact and a negative social environment.Second, self-concept tends to be positive because during rehabilitation, informants have a positive social environment and informants are able to interpret positive life experiences.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Memiliki keterbatasan fisik adalah tanggung jawab yang berat bagi seseorang. Tanggungjawab untuk membuat hidupnya tetap memiliki makna yang indah. Pengalaman reflektif bertemu dan mendengar kisah seorang rekan yang menjalani kehidupan dengan kondisi disabilitas fisik non-bawaan membuat peneliti terdorong untuk menuliskan kisah mereka. Kisah yang penuh dengan gejolak diri, penolakan, keputusasaan dan diakhiri dengan penerimaan, rasa syukur, serta kebangkitan diri.Karya ini peneliti peruntukan bagi mereka yang terpuruk dan berani memilih bangkit untuk mensejahterakan hidup dan lingkungannya.

Begitu banyak dinamika yang terjadi saat penulisan karya ilmiah ini. Kondisi yang begitu negatif hingga kondisi yang begitu positif muncul silih berganti. Oleh karena itu, penelitian ini tidak akan selesai jika tidak ada bantuan dari beberapa pihak. Pada kesempatan ini dengan setulus hati, peneliti menyampaikan banyak terima kasih pada berbagai pihak yang telah rela membantu dan berkorban sehingga penelitian ini dapat terwujud. Peneliti haturkan ucapan terima kasih kepada :

1. Allah Yang Maha Esa atas penyertaan dan berkat kuasa-Nya sehingga peneliti mampu menyelesaikan tanggungjawabnya.

2. Keluarga yang berani untuk harmonis, Bapak Agus Maryono, Ibu Ninik Sudiyanti, Mas Arya Yudhistira, Dek Raras Anggita, dan anggota baru

(11)

xi

keluarga kami Mbak Fransisca Kurnianingsih serta penyemangat Kecil Teresa Chalinda Lethisa

3. Bapak Dr. YB. Cahya Widiyanto, M. Si. Selaku dosen pembimbing yang telah membuat peneliti berkembang bukan hanya dalam akademis namun juga secara pribadi. Terima kasih atas perhatian, kelembutan, ketegasan, serta pembelajaran akan tanggung jawab sebagai seorang mahluk hidup yang berdikari.

4. Bu Monic selaku ketua Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan juga selaku Dosen Pembimbing Akademik yang berkorban untuk memberi kesempatan kepada kami mahasiswa psikologi angkatan 2011 untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi.

5. Dosen dan karyawan Fakultas Psikologi. Terima kasih sudah memberi pembelajaran dan pengembangan diri peneliti. Semoga apa yang telah bapak dan ibu ajarkan mampu menjadi bekal untuk kehidupan mendatang dan dapat peneliti bagikan pada orang lain.

6. Para Informan yang telah bersedia untuk membagikan pengalaman memiliki kondisi disabilitas fisik non-bawaan. Terima kasih pula telah memberi arti pada penelitian ini tentang kebangkitan diri atas kelamnya masa lalu.

7. Mas Patrick dan Mas Ucil yang telah memberi semangat dan jembatan bagi peneliti untuk memperoleh Informan dalam penelitian ini.

8. Teruntuk sedulur “Scooterist 9114”, David Kuncoro, Bonivasios Dwi, Randy Leo Kemi, Adolfus Aditya, Awang Adhi, Chrisna Yudha, Bayu

(12)

xii

Mahendra, Gregorius Dwi, Benedictus Wicaksana, Septian Panji, Alexander Widyawan, Vico Pradipta, Thedosius Kristanto, Ivander Harlison, Vianey Yona, Albertus Gunam, Benerdiktus Aditya, Daniel Rizky, Adhi Nugroho, Carolus Aji, Michael Pandu, David Gracenda, dan Made Pasek. Suwun banget wes dipantau terusss Lurrr!!!

9. The Last Warrior yang begitu intim dan saling bersemangat dititik-titik darah penghabisan. Yoo Yoo Ayooo isoo isooo!!! Terkhusus Benedikta Elsa yang mau membimbing dan begitu percaya bahwa peneliti mampu menyelesaikan skripsiya.

10. Untuk keluarga NURI ADVENTURIA, atas pengalamannya dan kepercayaannya menjadikanku fasilitator serta dukungan moral yang selalu muncul dalam setiap event-event.

11. Satu lingkungan seperguruan anak bimbingan Bapak Cahya, yang berkenang menjadi teman bicara bertukar pikiran mengenai tema-tema yang dibahas dalam penelitian ini.

12. Kepada-nya, Wanita yang begitu terasa hadirnya di bulan Juni hingga saat ini dan semoga selamanya. Terima kasih atas motivasi semangat, dan keyakinan kebulatan hati yang terus Kau kumandangkan. Semoga aku segera memberi Nyali mengabarkan sesuatu yang pasti.

13. Segala pihak yang pernah ikut berdinamika dalam penelitian ini. Saya, peneliti mengucapkan banyak terima kasih untuk segala bantuan, motivasi, dan pengorbanan yang telah mereka hadirkan.

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR SKEMA ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 9 C. Tujuan Penelitian ... 9 D. Manfaat Penelitian ... 9 1) Manfaat Praktis ... 9

(14)

xiv

2) Manfaat Teoritis ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. KONSEP DIRI ... 11

1) Pengertian Konsep Diri ... 11

2) Perkembangan Konsep Diri ... 13

3) Karakteristik Konsep Diri ... 15

B. DEWASA AWAL ... 18

1) Pengertian Dewasa Awal ... 18

2) Tugas-tugas Perkembangan Dewasa Awal ... 19

3) Ciri-ciri Dewasa Awal ... 21

C. DISABILITAS FISIK ... 26

1) Pengertian Disabilitas Fisik ... 26

2) Sebab dan Jenis Disabilitas Fisik ... 27

3) Keterbatasan Aktivitas ... 29

4) Dampak Disabilitas Fisik terhadap Aspek Sosio-Emosi ... 31

D. DINAMIKA DISABILITAS FISIK NON-BAWAAN DAN KONSEP DIRI ... 33

BAB III METODE PENELITIAN ... 37

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 37

B. Fokus Penelitian ... 38

C. Informan Penelitian ... 39

(15)

xv

E. Metode Analisis Data ... 40

F. Kualitas Penelitian ... 42

G. Pedoman Wawancara ... 44

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 46

A. Pelaksanaan Penelitian ... 46

B. Profil Informan ... 47

1) Demografi Informan ... 47

2) Latar Belakang Informan ... 47

C. Hasil Penelitian ... 50

1) Informan JMT ... 50

2) Informan EK ... 52

D. Analisis Data ... 57

E. Pembahasan ... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Keterbatasan Penelitian ... 80

C. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 83

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Pelaksanaan Penelitian... 46

(17)

xvii

DAFTAR SKEMA

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lembar persetujuan (Inform Concent) JMT ... 87

Lembar persetujuan (Inform Concent) EK ... 88

Verbatim Informan JMT ... 89

Verbatim Informan EK ... 116

Clustering Tematik Informan JMT ... 193

Clustering Tematik Informan EK... 196

(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap harinya, jumlah penyandang disabilitas atau Different Abled People (Difabel) terus bertambah, entah disebabkan terkena penyakit, kecelakaan, ataupun bencana alam. Di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012 mendapatkan bahwa penduduk indonesia yang mengalami disabilitas sebesar 2,45%. Angka tersebut juga mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2006 yang berjumlah sebesar 1,38%. Badan Pusat Statistik juga menerbitkan statistik disabilitas di Indonesia dengan jumlah total sebanyak 2.126.785 jiwa,di mana jenis disabilitas fisik menunjukkan persentase yang tertinggi dibandingkan jenis disabilitas yang lain, yaitu sebesar 33,75%.

Disabilitas fisik merupakan kerusakan, kecacatan, atau ketidaknormalan pada tubuh, seperti kelainan pada tulang atau gangguan pada otot dan sendi yang menyebabkan berkurangnya kapasitas normal individu untuk bergerak dan melakukan aktivitas sehari-hari (Damayanti & Rostiana dalam Machan & Hartini, 2012). Menurut Somantri (2006) disabilitas fisik terbagi menjadi cerebral palsy dan tunadaksa. Cerebral palsy merupakan kondisi cedera pada otak yang mempengaruhi pengendalian sistem motorik akibat dari jaringan yang tidak normal dalam otak (Illingworth dalam

(20)

Somantri, 2006). Sedangkan tunadaksa merupakan gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsi normalnya. Koening dalam Somantri (2006) tunadaksa dapat diklasifikasikan menjadi enam bagian, yaitu kerusakan yang dibawa sejak lahir (keturunan dan pendarahan), kerusakan pada saat kelahiran (penggunaan alat bantu pembantu kelahiran), infeksi (tuberkolosis tulang, poliomyelitis dan lainnya), kondisi atau kerusakan traumatik (amputasi, luka bakar, dan patah tulang), tumor (tumor tulang), serta kondisi-kondisi lainnya (scilosis, lordosis, dan lainnya).

Kita melihat dalam kasus-kasus tertentu kondisi disabilitas fisik bukan muncul sejak bawaan lahir tetapi juga bisa akibat dari kecelakaan yang menyebabkan amputasi pada anggota tubuh atau anggota tubuh yang tidak dapat lagi berfungsi dengan normal, dalam penelitian ini akan menggunakan istilah disabilitas fisik non-bawaan. Terdapat perbedaan karakteristik dalam segi psikologis berdasarkan usia munculnya disabilitas fisik. Somantri (2006) menjelaskan disabilitas fisik non-bawaan yang terjadi pada usia lebih besar akan memberi sedikit pengaruh terhadap laju perkembangan namun akan menunjukkan pengaruh yang besar terhadap permasalahan psikologis. Lalu dalam perihal emosional, disabilitas fisik non-bawaan akan menunjukkan adanya gangguan emosi yang besar yakni menolak kondisinya saat ini.

Tarsidi (2016) menambahkan bahwa seseorang yang sebelumnya mempunyai fisik normal akan menghadapi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan peristiwa yang mengakibatkan penurunan atau hilangnya fungsi tubuh secara permanen. Hal ini dianggap sebagai suatu kemunduran

(21)

dan akan sangat sulit diterima bagi individu yang bersangkutan. Hal tersebut selaras dengan temuan Aminah (2015) yaitu individu disabilitas fisik non-bawaan akan memiliki kesehatan psikologis yang lebih rendah jika dibandingkan dengan individu yang mengalami disabilitas fisik bawaan.

Selain itu, Senra (2011) menyatakan bahwa rata-rata individu dengan kondisi disabilitas fisik non-bawaan akan memiliki dampak psikologis yaitu, merasa depresi;muncul perasaan trauma seperti mengalami periode kesedihan dan frustasi dalam usaha mencapai kesejahteraan; munculnya perasaan marah, menyesal atas kejadian yang telah dialami serta kurang dapat berpikir rasional;shock dengan munculnya perasaan sedih dan tidak menyangka tentang kondisi barunya dan merasa membutuhkan banyak bantuan dari lain pihak;individu disabilitas fisik non-bawaan belum dapat menerima keadaan dan beradaptasi dengan kondisi barunya;hingga munculnya perasaan ingin bunuh diri. Hurlock (1980) menambahkan bahwa difabel sangat rentan memiliki perkembangan psikologis yang tidak baik dan juga cenderung memiliki rasa percaya diri yang rendah hingga menjurus pada konsep diri yang cenderung negatif.

Somantri (2006) menyebutkan individu disabilitas fisik non-bawaan akan merasakan penolakan yang besar oleh lingkungan. Murugami (2009) juga menjabarkan bahwa kesulitan individu disabilitas fisik untuk mengatasi keterbatasan, melakukan kegiatan praktis, dan mengatur emosional disebabkan karena kurangnya dukungan untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam menghadapi hambatan atau tantangan sehingga disabilitas

(22)

fisik sulit untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah. Maka dari itu, dalam berbagai bidang individu disabilitas fisik juga sering berada dalam posisi yang kurang menguntungkan dalam kehidupan masyarakat yang cenderung kompetitif.

Interaksi dengan lingkungan juga memberi pengaruh yang besar bagi individu disabilitas fisik. Hurlock (1980) menyebutkan bahwa disabilitas fisik cenderung memiliki pandangan diri yang negatif yaitu perasaan malu dan rendah diri. Pandangan tersebut juga muncul karena adanya interaksi negatif dengan lingkungan, di mana lingkungan masih cenderung memiliki stigmatisasi cenderung negatif terhadap difabel (Darling, 2013). Interaksi lingkungan yang negatif dirasakan oleh informan EK, Ia memilih untuk putus sekolah menengah pertama setelah mengalami disabilitas fisik non-bawan karena sering mengalami bullying dari lingkungan sekolahnya.

Interaksi sosial yang negatif akan memunculkan pandangan diri yang negatif sehingga dapat memunculkan konsep diri negatif (Burns, 1993). Hal tersebut sesuai dengan penemuan Tentama (2010) yang menyebutkan bahwa kondisi lingkungan yang negatif akan membuat individu disabilitas fisik non-bawaan sering berpikir negatif pada dirinya.

Namun dalam penelitian-penelitian baru, terdapat penemuan yang menyatakan bahwa difabel memiliki konsep diri positif. Swan (2000, dalam Darling, 2013) menuturkan bahwa dalam beberapa hasil studi terdapat difabel yang memiliki konsep kebanggaan atas kondisinya. Terdapat individu-individu disabilitas yang tidak menggabungkan kondisi disabilitas dalam cara

(23)

pandang terhadap diri. Individu disabilitas tersebut mampu mengatasi gangguan dan merumuskan cara pandang diri berdasarkan apa yang dia dapat lakukan, dan bukan bagaimana hal itu dilakukan (Murugami, 2009).

Darling (2013) menambahkan bahwa terdapat masyarakat yang sadar untuk menggunakan cara pandang model perspektif sosial di mana difabel dipandang sebagai bentuk normal keberagaman manusia. Serta cenderung meninggalkan model perspektif medis yang memandang difabel sebagai kondisi patologis seseorang. Kelly (2013) mengungkapkan bahwa dengan memiliki interaksi sosial yang positif seperti menerima dukungan sosial akan membantu mengatasi masalah kepercayaan diri bagi disabilitas. Oleh karena itu difabel yang tinggal di dalam lingkungan dengan model perspektif sosial akan cenderung lebih mudah memiliki konsep diri yang positif.

Kita dapat melihat bahwa terdapat individu disabilitas fisik non-bawaan yang memiliki konsep diri yang negatif dan juga yang memiliki konsep diri yang positif.Konsep diri merupakan suatu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan tentang pendapat lingkungan terhadap diri kita dan diri seperti apa yang kita inginkan (Burns, 1993). Konsep diri adalah gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya meliputi karakteristik fisik, psikologi, sosial, emosional, harapan, dan prestasi (Hurlock, 1980).

Fitts, (1971 dalam Agustiani, 2006) mengungkapkan bahwa konsep diri sangat dipengaruhi oleh interaksi individu dengan lingkungannya. Lingkungan yang mampu menghargai keberadaan seseorang akan membuat individu tersebut lebih bisa menghargai dirinya. Selain itu konsep diri juga

(24)

bersifat dinamis berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dialami, yang sifatnya dapat berubah-ubah serta menjadi karakteristik personal yang stabil (Snygg & Combs, 1949 dalam Epstein, 1973). Konsep diri akan terus berkembang dan individu akan terus menerus menyusun ulang diri melalui banyak identitas, waktu, ruang, dan relasionalitas yang semuanya penting untuk pembentukan konsep diri (Murugami, 2009).

Shahnasarian (2001) berpendapat bahwa konsep diri dan tantangan kehidupan yang akan dihadapi individu disabilitas saling berkaitan dan dapat memiliki implikasi luas untuk pengembangan pribadi dalam hal pendidikan, karir, dan kehidupan masyarakat. Kegagalan dalam menguasai tantangan dalam hidup akan menyebabkan individu disabilitas memiliki harga diri yang rendah, citra diri yang buruk sehingga muncul konsep diri yang negatif.

Seseorang dengan konsep diri yang positif akan membuat ia memiliki rasa percaya diri, teguh, dan semakin merasa sejahtera dalam menjalani hidup (Hurlock, 1980). Ketika individu disabilitas fisik non-bawaan memiliki konsep diri yang positif, ia akan mampu mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi (Childa, 2009). Hurlock (1980) menyatakan bahwa keberhasilan dalam menghadapi masalah dalam hidup akan mempengaruhi perkembangan kepribadian konsep diri seseorang. Semakin berhasil seseorang mengatasi permasalahan maka konsep dirinya akan semakin menyenangkan, penuh rasa percaya diri, dan teguh, serta semakin merasa tentram dalam menjalani hidup. Pada masa perkembangan dewasa awal, seseorang dengan hambatan fisik atau kondisi disabilitas fisik non-bawaan tidak dapat mencapai

(25)

keberhasilan maksimal dalam pekerjaan dan dunia sosialnya. Hal tersebut akan berpengaruh pada kegagalan sebagian atau secara total penguasaan tugas-tugas perkembangannya (Hurlock, 1980). Selain itu, kondisi disabilitas fisik juga dapat menyebabkan seseorang merasa mudah frustasi dalam upaya mereka untuk berprestasi (Dariyo, 2003). Masa perkembangan dewasa awal adalah periode untuk mencapai puncak prestasi dalam hidup. Jika sesesorang tidak dapat menunjukkan prestasi yang penting dalam hidup, maka kesempatannya untuk berprestasi menjadi sangat kecil (Flint, 1977; dalam Hurlock, 1980).

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa individu dengan kondisi disabilitas memiliki kesempatan untuk membangun konsep diri yang tidak didasari oleh kondisi disabilitas, dengan mampu menerima penurunan kapasitas gerak tubuh sehingga tidak kehilangan rasa akan diri (Murugami, 2009). Ittyerah & Kumar (2007) menjelaskan kesesuaian antara diri aktual dan diri ideal menunjukkan bahwa difabel mampu memiliki konsep diri yang baik untuk berintegrasi dengan tantangan hidup. Namun individu dengan disabilitas non-bawaan memiliki konsep diri dan kepuasan terhadap hidup yang lebih rendah jika dibandingkan individu dengan disabilitas bawaan (Bogart, 2014). Kehilangan fungsi tubuh pada anggota badan akan membuat konsep diri seseorang mengalami perubahan (Senra, 2011). Beberapa hal yang dapat mempengaruhi konsep diri pada difabel adalah tingkat kecemasan yang tinggi untuk dapat memperoleh pekerjaan yang baik (Machan & Hartini, 2012); pengalaman berprestasi yang kurang dan penemenuhan kebutuhan

(26)

yang tidak memadai (Murugami, 2009); serta difabel dapat memiliki konsep diri, kesejahteraan, dan kualitas hidup yang baik jika mereka memiliki peluang yang lebih besar untuk beriteraksi dengan lingkungan sosial (Pestana, 2014).

Banyaknya penelitian pada konsep diri pada individu disabilitas (Murugami, 2009; Ittyerah & Kumar, 2007; Bogart, 2014; Senra, 2011; Machan & Hartini, 2012; Pestana, 2014) tidak diimbangi dengan penelitian yang secara spesifik pada individu disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal. Padahal berdasarkan penelitian-penelitian yang berkembang dan data di lapangan, disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal rentan memiliki konsep diri yang negatif. Celah ini yang coba diambil oleh peneliti.

Berdasarkan paparan sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa konsep diri merupakan faktor penting dan berpengaruh dalam usaha pemenuhan tugas-tugas perkembangan seseorang, khususnya pada masa dewasa awal di mana akan berlangsung puncak prestasi dalam kehidupan seseorang. Snygg & Combs dalam Epstein (1973) mengungkapkan bahwa konsep diri merupakan inti dari kepribadian yang berisi pengalaman-pengalaman yang dialami, dengan sifat dinamis namun juga akan membentuk karakter personal yang stabil. Pengalaman mengalami disabilitas fisik non-bawaan merupakan faktor insidental yang akan mempengaruhi konsep diri yang ia yakini. Oleh karena itu tentu menarik untuk mengetahui bagaimana konsep diri pada disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal. Belum terlihat penelitian yang secara spesifik membahas konsep diri pada disabilitas fisik

(27)

non-bawaan dewasa awal. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat konsep diri pada disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, pernyataan penelitian dalam penelitian ini adalah bagaimanakonsep diri pada disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep diri pada disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis

a. Bagi pembaca terutama pihak yang mempunyai atau menangani kerabat individu disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal, penelitian ini dapat membantu faktor yang mendukung dan menghambat perkembangan konsep diri.

b. Bagi orang awam maupun paramedis, hasil penelitian ini membantu menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan konsep diri. c. Hasil penelitian juga meningkatkan kualitas proses rehabilitasi di

panti-panti untuk perkembangan konsep diri pada disabilitas fisik non-bawan dewasa awal.

(28)

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu Psikologi Sosial dan Psikologi Perkembangan. Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan mengenai konsep diri pada disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal.

(29)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep diri

1. Pengertian Konsep Diri

Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki oleh seseorang tentang dirinya untuk melakukan interaksi dengan lingkungannya (Fitts, 1971 dalam Agustiani, 2006). Menurut William (1910, dalam Epstein, 1973) yang merupakan psikolog pertama yang membicarakan tentang diri, menyebutkan bahwa diri atau self diidentifikasi melalui dua pendekatan fundamental, yaitu diri sebagai objek berpengetahuan dan memiliki fungsi pelaksana“The I”, serta diri di mana ia dianggap sebagai objek renungan “The me”. Diri sebagai objek berpengetahuan dan pelaksana terdiri dari berbagai pandangan individu yang membuat individu mempunyai karakteristik untuk dirinya sendiri. Karakteristik tersebut meliputi diri material, diri sosial, dan diri spiritual. Diri material adalah diri yang berisi disamping tubuh individu, juga terdapat keluarga dan harta benda. Diri sosial adalah pandangan orang lain terhadap individu. Sedangkan diri spiritual adalah emosi dan keinginan individu. Semua aspek diri dalam karakteristik tersebut mampu membangkitkan harga diri dan kesejahteraan, namun juga dapat sebaliknya.

Senada dengan William, menurut Burns (1993) konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan tentang pendapat lingkungan mengenai diri kita dan diri seperti apa kita yang kita inginkan.Konsep diri muncul dalam interaksi sosial sebagai hasil dari perhatian mereka masing-masing tentang

(30)

bagaimana orang lain bereaksi terhadap dirinya. Individu akan mengantisipasi reaksi dari orang lain agar ia dapat berperilaku sesuai. Di sini individu belajar untuk melihat dunia dengan menggabungkan perkiraan tentang bagaimana “reaksi umum lainnya” dalam menanggapi tindakan tertentu, individu memperoleh sumber peraturan internal yang berfungsi untuk membimbing dan menstabilkan perilakunya dengan tidak adanya tekanan eksternal (Mead, 1934 dalam Epstein, 1973).

Sullivan dalam Epstein (1973) menambahkan bahwa konsep diri muncul dari interaksi sosial, namun menekankan interaksi individu dengan significant others.Contohnya selayaknya interaksi anak dengan sosok ibunya. Sistem konsep diri sebagai sebuah organisasi pengalaman edukatif muncul oleh keharusan untuk menghindari kecemasan. Seorang anak menginternalisasi nilai-nilai dan larangan yang memudahkan pencapaian kepuasan dengan cara yang disetujui oleh ibu sebagai significant others. Dengan begitu akan terwujud dalam kerangka “saya yang baik” atau “saya yang buruk” sehingga kebutuhan untuk menghindari kecemasan dan hal-hal yang tidak disenangi muncul sebagai fungsi utama dari sistem konsep diri.

Berdasarakan penjabaran di atas, peneliti memiliki kesimpulan bahwa konsep diri merupakan gambaran diri dari pikirkan kita mengenai pendapat lingkungan terhadap diri kita dan diri seperti apa yang ingin kita wujudkan. Konsep diri terbentuk berdasarkan pengalaman yang berasal dari interaksi individu dengan lingkungan di mana significant others memberi pengaruh yang lebih dominan. Maka dari itu konsep diri bersifat dinamis dan akan menjadi

(31)

karekteristik personal yang stabil sesuai dengan pengalaman-pengalaman signifikan yang dialami individu.

2. Perkembangan Konsep Diri

Perkembangan konsep diri merupakan proses yang terus berjalan sepanjang kehidupan manusia. Symonds (1951, dalam Agustiani 2006) mengatakan bahwa persepsi tentang diri tidak langsung muncul pada saat kelahiran, namun mulai berkembang secara bertahap dengan kemampuan perseptif. Seiring bertambahnya usia, kemampuan perseptif tersebut mulai dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diperoleh dari hasil interaksi dengan orang lain (Agustiani, 2006).

Epstein (1973) mewujudkan konsep diri sebagai teori bahwa individu tanpa disadari telah dibentuk tentang dirinya sebagai individu yang berpengalaman dan berfungsi, dan itu adalah bagian dari pengalaman yang lebih luas yang ia pegang sehubungan dengan keseluruhan pengalamannya yang signifikan.

Cooley (1902, dalam Rakhmat 2008) berargumen tentang konsep diri yang terbentuk karena kita mebayangkan diri kita sebagai orang lain; dalam benak kita. Cooley menyebutnya dengan looking-glass self yaitu bayangan-bayangan yang muncul melalui kehadiran kita bagi orang lain dan bayangan penilaian orang lain dari kehadiran itu, dan perasaan diri seperti bangga atau malu. Gambaran bayang-bayang tersebut berfungsi sebagai cermin bagi individu untuk dapat menyadari kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya sehingga dapat melakukan penilaian terhadap diri sendiri.

(32)

Sullivan (1953, dalam Rakhmat, 2008) menjelaskan bahwa jika kita diterima oleh orang lain, dihormati, dan disenangi karena keberadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya, bila orang lain sering meremehkan, menyalahkan, dan menolak keberadaan kita, kita akan cenderung tidak akan menyenangi atau menerima diri kita.

Konsep diri terbentuk melalui pengalaman individu berinteraksi dengan orang lain, yaitu keluarga, teman sebaya, dan masyarakat. Dalam Rakhmat (2008) terdapat dua faktor yang mempengaruhi konsep diri. Kedua faktor tersebut mayoritas lebih kepada pengaruh lingkungan eksternal terhadap individu namun memiliki perbedaan pada sisi kelekatan relasi. Pertama “orang lain”, tentang tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap konsep diri seseorang. Orang-orang lain yang mempunyai pengaruh besar disebut dengan significant others.Kedua “kelompok rujukan”, seseorang pasti akan pernah mengikuti sebuah kelompok yang akan mengikatnya secara emosional dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri. Dengan melihat kelompok tersebut, orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya.

Lecky (1945) mengidentifikasi konsep diri merupakan inti dari kepribadian yang bersifat dinamis. Fungsi konsep diri untuk menentukan konsep seperti apa yang diterima untuk asimilasi terus menerus mengenai ide-ide baru dan penolakan atau memodifikasi ide-ide lama ke dalam organisasi kepribadian secara utuh. Pandangan Snygg & Combs (1949, dalam Epstein, 1973) serupa dengan Leckykonsep diri merupakan inti dari kepribadian yang berisi insidental

(33)

berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dialami, yang sifatnya dapat berubah-ubah serta menjadi karakteristik personal yang stabil.Rasa akan diri akan terus berkembangan dan individu akan terus menerus menyusun ulang diri melalui banyak identitas, waktu, ruang, dan relasionalitas yang semuanya penting untuk pembentukan konsep diri (Murugami, 2009).

3. Karateristik Konsep Diri

Menurut Brooks & Emmert (1976) dalam Rakhmat (2008) menyatakan bahwa konsep diri terdiri dari dua karakteristik, yaitu konsep diri negatif dan konsep diri positif. Seseorang dengan konsep diri negatif ditandai dengan;Pertama, mereka peka terhadap kritik dari orang lain. Mereka tidak tahan dengan kritik yang diterima karena menurutnya kritik dapat menurunkan harga diri. Sehingga ia cenderung mudah marah ketika mendapatkan kritik.

Kedua, mereka cenderung responsif ketika mendapatkan pujian. Meskipun ia mungkin berpura-pura untuk menghindari pujian, ia tidak dapat memanipulasi antusiasmenya pada saat menerima pujian. Segala hal yang memungkinkan untuk meningkatkan harga dirinya menjadi pusat perhatiannya.

Ketiga, perilaku cenderung responsif terhadap pujian juga diikuti dengan sikap hiperkritis terhadap orang lain. Seorang dengan konsep diri negatif menjadi sering mengeluh, mencela, atau meremehkan apapun dan siapa pun. Ia tidak sanggup dan tidak pandai untuk melihat, memberi penghargaan, dan pengakuan terhadap kelebihan orang lain.

(34)

Keempat, mereka merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan sehingga ia bereaksi terhadap orang lain sebagai musuh terutama dengan orang-orang yang baru dikenalnya. Perilaku tersebut berujung pada seorang dengan konsep diri yang negatif tidak dapat menjalin kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak akan mempersalahkan dirinya, namun akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak baik.

Kelima, mereka cenderung bersikap pesimis terhadap kompetisi. Hal ini terungkap dalam keenggangannya melakukan kompetisi dengan orang lain. ia menganggap dirinya tidak akan berdaya melawan persaingan yang nantinya justru akan merugikan dirinya.

Sebaliknya, orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan memiliki sikap yakin akan kemampuannya dalam mengatasi masalah; Merasa setara dengan orang lain; Menerima pujian tanpa rasa malu; Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat; Mampu memperbaiki dirinya karena orang dengan konsep diri positif mampu mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha mengubahnya.

Menurut Hamachek dalam Rakhmat (2008) menjelaskan lebih mendalam tentang bagaimana karakteristik seseorang dengan konsep diri positif yaitu meyakini nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menerima gangguan atau pengaruh yang menggoyahkan dari lingkungan. Namun, ia juga mampu untuk mengubah prinsip dan nilainya ketika pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan bahwa ia

(35)

salah. Mereka juga mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya. Sebab itu, mereka tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang terjadai esok, masa lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang. Berdasarkan hal tersebut, mereka juga memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi permasalahan, bahkan ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran.

Karakteristik orang dengan konsep diri positif selanjutnya adalah mereka merasa setara dengan orang lain meskipun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya. Mereka sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling tidak bagi kerabat dekat atau keluarganya. Mereka juga peka pada kebutuhan orang lain dan ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain.

Karakteristik lainnya yaitu mereka cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya. Selain itu mereka mampu untuk mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula. Mereka mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekedar, mengisi waktu. Terakhir adalah mereka dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa rasa bersalah.

(36)

B. Dewasa Awal 1. Pengertian Dewasa Awal

Tahap perkembangan dewasa merupakan salah satu masa perkembangan yang cukup panjang dalam masa hidup individu. Seseorang akan mengalami perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikologis yang memerlukan penyesuaian diri sesuai dengan masalah-masalah yang muncul akibat tekanan terhadap harapan yang baru dalam masyarakat (Dariyo, 2003). Masa dewasa biasanya terbagi menjadi beberapa periode, yaitu masa dewasa awal, masa dewasa madya, serta masa dewasa lanjut (lanjut usia). Masa dewasa awal dimulai sekitar umur 18 tahun sampai dengan umur 40 tahun. Selanjutnya dilanjutkan masa dewasa madya pada kisaran umur 40 tahun sampai umur 60 tahun. Masa perkembangan terakhir seseorang adalah dewasa lanjut yang dimulai sekitar umur 60 tahun hingga meninggal (Hurlock, 1980). Selanjutnya peneliti akan berfokus pada masa perkembangan dewasa awal yang digunakan sebagai standart informan dalam penelitian ini.

Seorang yang telah memasuki masa dewasa memiliki peran dan tanggung jawab yang juga semakin besar. Seorang dewasa tak lagi harus bergantung secara ekonomis, sosiologis ataupun psikologis pada orang tuanya. Mereka akan dengan senang hati untuk berusaha membuktikan dirinya sebagai seorang pribadi dewasa yang mandiri. Segala urusan dan permasalahan akan sebisa mungkin untuk ditangani sendiri. Berbagai pengalaman baik berhasil atau gagal dalam menghadapi sesuatu akan membantu seseorang untuk membentuk pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab (Dariyo, 2003). Oleh sebab itu, pembuatan

(37)

keputusan sangatlah penting bagi dewasa awal untuk melanjutkan masa depannya. Membuat keputusan dalam hal ini adalah mengenai karir, nilai-nilai, keluarga, dan hubungan bermasyarakat, serta gaya hidup (Hurlock, 1980).

Masa perkembangan dewasa awal adalah periode untuk mencapai puncak prestasi dalam hidup. Jika sesesorang tidak dapat menunjukkan prestasi yang penting dalam hidup, maka kesempatannya untuk berprestasi menjadi sangat kecil (Flint, 1977; dalam Hurlock, 1980). Dariyo (2003) juga menambahkan bahwa ketika seseorang beranjak menjadi dewasa awal, ia akan mencapai puncak dari pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis. Seorang dewasa muda akan memiliki daya tahan dan taraf kesehatan yang prima sehingga memiliki kemampuan inisiatif, kreatif, energik, cepat, dan proaktif. Kemampuan yang baik dalam membuat keputusan serta didukung dengan kematangan seorang dewasa muda dalam segi daya tahan dan taraf kesehatan, membuat seseorang dewasa muda memiliki kesempatan untuk menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dewasa awal.

2. Tugas – tugas Perkembangan Dewasa Awal

Kehidupan dewasa awal akan lebih rumit dibandingkan dengan tahap remaja. Seorang dewasa muda seusai menyesaikan pendidikannya akan segera menentukan karier dalam dunia kerja. Selain itu mereka akan mencari pasangan hidup, membentuk keluarga baru, mempunyai dan memeliharanya namun tetap harus memperhatikan orang tuannya, serta akan lebih memiliki tanggung jawab pada lingkungan sosialnya.

(38)

Menurut Turner dan Helms (1995, dalam Dariyo, 2003) mengemukakan tugas – tugas perkembangan dewasa awal, di antaranya yang pertama, individu dewasa muda akan mencari dan menemukan calon pasangan hidup. Mereka dewasa muda semakin memiliki kematangan fisiologis (seksual) sehingga mereka siap untuk melakukan tugas reproduksi sesuai dengan norma yang berlaku. Dalam menentukan calon pasangan hidup, mereka akan menentukan criteria usia, pendidikan, pekerjaan, atau suku bangsa tertentu yang sesuai dengan dirinya.

Berkaitan dengan tugas perkembangan yang pertama, tugas perkembangan kedua mengenai membina kehidupan rumah tangga. Dewasa awal yang telah menyelesaikan pendidikan dan mencoba memantapkan karier dalam dunia kerja. Hal tersebut berkaitan dengan tuntutan hidup mandiri dalam ekonomi yang diharapkan tidak bergantungan lagi pada sosok orang tua. Sikap mandiri ini sebagai langkah yang baik untuk persiapan memasuki kehidupan rumah tangga yang baru agar dapat membentuk suatu tatanan keluarga yang bahagia. Mereka harus dapat menyesuaikan diri dan bekerja sama dengan pasangan masing – masing. Mereka juga harus dapat melahirkan, membesarkan, mendidik, dan membina anak – anak dalam keluarga. Selain itu, tetap menjalin hubungan baik dengan orang tua ataupun saudara – saudara.

Tugas perkembangan yang ketiga, mempunyai karier yang matang untuk menunjang kehidupan keluarga. Sebagian besar dewasa muda akan memilih karier yang dapat menghasilkan ekonomi yang baik dan stabil, entah apakah dalam bidang yang sesuai dengan pendidikan yang dulu telah ditempuh atau justru tidak. Masa dewasa muda merupakan masa untuk mencapai puncak prestasi. Jika

(39)

prestasi yang diraih baik, mereka juga akan memberikan kehidupan yang sejahtera bagi keluarganya.

Menjadi warga Negara yang bertanggung jawab merupakan tugas perkembangan terakhir yang harus dilaksanakan pada perkembangan dewasa awal. Warga Negara yang baik adalah warga yang taat dan patuh pada tata aturan yang ada. Hal yang perlu diwujudkan seperti Memiliki identitas yang lengkap sebagai warga negara, membayar pajak, menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, serta mampu menyesuaikan diri daam pergaulan sosial di masyarakat. Semua tugas – tugas perkembangan tersebut merupakan tuntutan yang harus dipenuhi sesuai dengan norma – norma sosial yang berlaku.

3. Ciri –ciri Dewasa Awal

Masa dewasa awal merupakan periode untuk melakukan penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial yang baru. Artinya seorang dewasa muda diharapkan dapat memainkan peran sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya. Terdapat banyak kesulitaan yang dialami seorang dewasa awal dalam proses penyesuaian diri tersebut. Hal ini terjadi karena seorang dewasa awal harus bersikap mandiri yang sebisa mungkin tanpa adanya bantuan dari pihak lain. Di bawah ini terdapat beberapa ciri yang muncul dalam tahap dewasa awal menurut Hurlock (1980), yaitu :

a. Masa dewasa awal sebagai masa pengaturan

Dimana seorang dewasa awal melepaskan masa kebebasan mereka untuk menjadi bertanggung jawab secara mandiri. Di sini juga termasuk

(40)

pada kemantapan dalam memilih karier yang sesuai baginya yang juga akan berpengaruh pada proses pemilihan pasangan hidup berumah tangga.

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi cepat-lambatnya seseorang untuk memulai hidup berumah tangga yaitu, pertama cepat tidaknya seseorang mampu menemukan pola hdup yang memenuhi kebutuhan mereka kini dan masa depan. Faktor kedua mengenai profesi seseorang untuk mencapai suatu profesi yang dituju. Jika profesi tersebut membutuhkan jangka waktu yang lama untuk mencapainya, maka individu itu juga akan mengulur waktu untuk membina rumah tangga.

b. Masa dewasa awal sebagai masa reproduksi

Menjadi orang tua merupakan salah satu peran penting pada tahap dewasa awal. Sepasang suami istri biasanya akan menjadi orang tua saat berusia dua puluhan atau pada awal tiga puluhan sesuai dengan perundingan pasangan serta kekuatan dan kematangan pribadi untuk reprosuksi.

c. Masa dewasa awal sebagai masa bermasalah

Pada tahap dewasa awal, seseorang akan dihadapkan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan penyesuaian diri dalam berbagai aspek kehidupan sebagai orang dewasa. Secara umum terdapat tiga faktor penyebab banyaknya permasalahan yang muncul di tahap dewasa awal. Satu, sedikit dari mereka yang mempunyai persiapan matang untuk menghadapai jenis-jenis permasalahan yang perlu diatasi pada tahap dewasa.

(41)

Kedua, beberapa dari mereka mencoba untuk menguasai beberapa keterampilan dalam waktu bersamaan. Hal ini berakibat hasil yang diperoleh menjadi tidak maksimal. Oleh karena itu, laki-laki biasanya memantapkan karier mereka terlebih dulu, kemudian baru memikirkan untuk menjalin hubungan pernikahan dan berkeluarga.

Ketiga, mereka mencoba untuk hidup mandiri dalam kehidupan dewasa awalnya. Alhasil, terdapat keengganan mereka untuk meminta bantuan orang lain. Hal ini juga menjadi faktor sulitnya menyelesaikan permasalahan pada dewasa awal.

d. Masa dewasa awal sebagai masa ketegangan emosional

Sekitar umur tiga-puluhan, kebanyakan seseorang telah mampu memecahkan masalah-masalah dengan baik sehingga memiliki pribadi yang stabil dan tenang secara emosional. Memang pada awal tahap dewasa muda seseorang memiliki ciri emosi yang menggebu-gebu, namun hal tersebut pada umur tiga-puluhan justru menjadi tanda bahwa penyesuaian diri terhadap kehidupan orang-orang dewasa belum terlaksana dengan memuaskan. jika ketegangan emosi ini terus berlanjut, hal itu akan nampak dalam bentuk keresahan yang dirasakan dalam kesehariannya. Keresahan yang muncul biasanya dalam masalah pekerjaan, perkawinan, serta peran sebagai orang tua.

e. Masa dewasa awal sebagai masa keterasingan sosial

Pada tahap dewasa awal biasanya seseorang akan menyelesaikan seluruh pendidikan formalnya dan terjun ke dalam pola kehidupan orang

(42)

dewasa, yaitu karir, perkawinan dan rumah tangga sehingga waktu bersama dengan teman kelompok menjadi berkurang, begitu pula dengan keterlibatan dalam kegiatan kelompok di luar rumah. Sebagai akibatnya seseorang akan merasakan keterpencilan social atau keterasingan. Namun kondisi tersebut justru akan memunculkan semangat bersaing dan hasrat yang besar dalam berkarir.

f. Masa dewasa awal sebagai masa komitmen

Pada tahap dewasa awal, orang-orang muda mengalami perubahan tanggung jawab yang sepenuhnya menjadi mandiri. Oleh sebab itu mereka menentukan pola hidup baru, tanggung jawab baru, dan membuat komitmen-komitmen baru dalam kehidupannya. Meskipun nantinya komitmen tersebut mengalami perubahan, namun seorang dewasa muda pola tersebut akan menjadi landasan untuk membentuk hidup yang lebih baik.

g. Masa dewasa awal sebagai masa ketergantungan

Meskipun dewasa awal dituntut untuk memiliki kehidupan yang mandiri, terdapat sebagian dari mereka masih memiliki ketergantungan terhadap orang tua atau lembaga pendidikan yang memberikan beasiswa untuk membiayai jenjang pendidikan mereka. Namun di sini orang, mereka juga menuntut untuk memiliki otonomi yang sama dengan orang dewasa awal yang telah membiayai kehidupan mereka secara mandiri. Keadaan ketergantungan ini akan berakhir pada usia dua puluhan atau awal usia tiga puluhan.

(43)

h. Masa dewasa awal sebagai masa perubahan nilai

Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan perubahan nilai pada tahap dewasa awal. Pertama, jika orang dewasa awal ingin diterima oleh anggota kelompok dewasa, mereka harus memiliki nilai-nilai yang sama dengan kelompok dewasa tersebut. Kedua, mereka dewasa awal semakin menyadari bahwa kelompok sosial berpedoman pada nilai-nilai konvesional dalam hal keyakinan, perilaku, dan juga penampilan. Ketiga, orang dewasa awal yang menjadi orang tua lebih cepat untuk mengubah nilai-nilai menjadi lebih konservatif dan lebih tradisional yang cenderung bersifat sosial.

i. Masa dewasa awal sebagai masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru Masa dewasa awal merupakan periode yang paling banyak mengalami perubahan. Dalam masa ini, gaya hidup baru yang paling menonjol, yaitu di bidang perkawinan dan peran sebagai orang tua termasuk perceraian, orang tau tunggal serta berbagai perubahan di tempat pekerjaan.

j. Masa dewasa awal sebagai masa kreatif

Seorang dewasa awal dapat menjadi lebih kreatif karena mereka memiliki kebebasan untuk berbuat apa yang mereka inginkan. Bentuk kreatif yang muncul dipengaruhi oleh minat dan kemampuan individu, kesempatan untuk mewujudkan dengan memberikan kepuasan yang besar. Mereka biasanya mencapai puncak kreatif pada usia setengah baya melalui kegiatan-kegiatan hobi dan produk karier mereka.

(44)

C. Disabilitas fisik 1. Pengertian Disabilitas fisik

Disabilitas fisik memiliki dua klasifikasi umum yaitu cerebral palsy dan tunadaksa. Guna memperjelas arah penelitian, pada bagian ini peneliti akan terlebih dulu menjabarkan tentang perbedaan antara cerebral palsy dengan disabilitas fisik. Soemantri (2006) mengungkapkan cerebral palsy adalah salah satu bentuk dari kerusakan pada otak. Cerebral palsy merupakan kondisi yang mempengaruhi pengendalian sistem motorik akibat terjadinya lesi dalam otak, atau penyakit neuromuskular yang disebabkan adanya gangguan perkembangan atau kerusakan sebagian dari otak yang berhubungan dengan pengendalian fungsi motorik.

Sedangkan tunadaksa merupakan suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat dari gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsi normalnya. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. Individu dengan tunadaksa sama sekali tidak dapat menggerakan bagian tubuh yang mengalami gangguan atau kerusakan. Sedangkan individu dengan cerebral pasly masih dapat menggerakkan anggota tubuh yang terserang meskipun gerakannya terganggu karena adanya kelainan pada tonus atau tegangan otot (Somantri, 2006). Penelitian ini akan menggunakan istilah disabilitas fisik agar memiliki cakupan yang luas, terkhusus disabilitas fisik non bawaan yang akan dijelaskan pada poin berikutnya.

(45)

Disabilitas fisik mempunyai pengertian yang cukup luas, secara umum dapat dikatakan sebagai ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal (Mangunsong, 1998). Damayanti dan Rostiana menjelaskan disabilitas fisik sebagai kerusakan, kecacatan, atau ketidaknormalan pada tubuh, seperti kelainan pada tulang atau gangguan pada otot dan sendi yang menyebabkan kurangnya kapasitas normal individu untuk bergerak dan melakukan aktivitas sehari-hari (Machdan & Hartini, 2012). Sedangkan menurut Booth (2000, dalam Murugami, 2009) disabilitas fisik dalam konteks sosio-kultural dapat didefinisikan sebagai hambatan untuk berpartisipasi pada individu dengan gangguan atau penyakit kronis yang timbul akibat dari interaksi gangguan atau penyakit dengan sikap, budaya, kebijakan, dan praktik institusional yang diskriminatif.

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa penyandang disabilitas fisik merupakan setiap orang yang memiliki kondisi ketunaan secara fisik sehingga menghambat kapasitas normal individu untuk bergerak dan melakukan aktivitas sehari-hari. Dimana individu disabilitas fisik kadang masih menerima perilaku-perilaku diskrimatif dari masyarakat.

2. Sebab dan Jenis Disabilitas Fisik

Bakwin dalam Soemantri (2006) menyebutkan cerebral palsy dapat dibedakan menjadi lima yaitu, Spasticity kerusakan pada cortex cerebri yang dapat menyebabkan muncul gangguan paralegia (gangguan pada kedua tungkai),

(46)

Quadriplegia (gangguan pada kedua lengan dan kedua tungkai), dan Hemiplegia (gangguan pada pada satu lengan dan satu tungkai yang terletak pada sisi yang sama). Kedua, Athetosis kerusakan pada basal banglia yang mengakibatkan gerakan-gerakan pada anggota tubuh tertentu menjadi tidak terkedali. Ketiga, ataxia kersusakan pada cerebellum yang mengakitkan seseorang mengalami gangguan keseimbangan. Keempat, tremor kerusakan pada basal ganglia yang berakibat muncul getaran-getaran pada anggota tubuh tertentu baik yang bertujuan maupun tidak bertujuan. Kelima, rigidity kerusakan pada basal ganglia yang mengakibatkan kekakuan pada otot.

Sedangkan tunadaksa menurut Koening dalam Soemantri (2006)dapat diklasifikasikan menjadi enam, yaitu pertama, kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang akibat faktor keturunan. Dalam klasifikasi ini gangguan biasa disebabkan oleh faktor keturunan, trauma dan infeksi pada waktu kehamilan, usia ibu yang sudah lanjut usia, pendarahan pada waktu kehamilan, keguguran yang dialami. Contoh gangguan pada klasifikasi ini meliputi club-foot (kaki seperti tongkat), club-hand (tangan seperti tongkat), cretinism (kerdil), congenital amputation (bayi lahir tanpa anggota tertentu), dan lain-lain.

Klasifikasi kedua adalah kerusakan pada waktu kelahiran. Dalam klasifikasi ini gangguan biasa disebabkan oleh penggunaan alat-alat bantu kelahiran (tang, tabung, vacuum, dan lain-lain) yang tidak lancar serta penggunaan obat-obat bius pada waktu kelahiran. Contoh gangguan pada klasifikasi ini meliputi erb’s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tarikan pada saat kelahiran) dan fragilitas osium (tulang rapuh).

(47)

Klasifikasi ketiga adalah kerusakan akibat infeksi. Contoh gangguan pada klasifikasi ini meliputi tuberkolosis tulang (sendi menjadi kaku), osteomylities (radang pada sumsum tulang akibat bakteri), poliomyelis (infeksi virus yang menyebabkan kelumpuhan), pott’s disease (tuberkolosis tulang belakang), still’s disease (kerusakan tulang permanen akibat terkena radang tulang), dan lain-lain.

Klasikasi keempat adalah kondisi traumatik atau kerusakan akibat traumatik. Contoh gangguan pada klasifikasi ini meliputi amputasi yang biasanya akibat mengalami kecelakaan, gangguan motorik akibat luka bakar, dan patah tulang. Klasifikasi kelima adalah kerusakan anggota tubuh akibat tumor. Contoh gangguan pada klasifikasi ini meliputi oxostosis (tumor tulang), osteosis fibrosa cystica (kista pada tulang).

Klasifikasi keenam adalah kondisi-kondisi lainnya. Contoh gangguan pada klasifikasi ini adalah scilosis (tulang belakang tidak lurus, bahu tidak sejajar), rickets (tulang lunak karena kekurangna nutrisi), perthe’s disease (sendi paha rusak), lordosis (bagian muka sumsum tulang belakang yang mencekung), kyphosis (bagian belakang sumsum tulang belakang mencekung), dan lain-lain. Selanjutnya menurut Soemantri (2006) dari klasifikasi diatas, klasifikasi cerebral palsy, klasifikasi infeksi, traumatik, dan tumor termasuk dalam penyebab-penyebab disabilitas fisik sesudah kelahiran atau non-bawaan.

3. Keterbatasan Aktivitas

Disabilitas fisik adalah seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, dan

(48)

pertumbuhan yang tidak sempurna, baik terjadi saat di dalam kandungan maupun setelah kelahiran karena peristiwa-peritstiwa tertentu seperti kecelakaan. Penyakit dan pertumbuhan yang tidak sempurna, seperti kelainan, kelumpuhan pada tulang dan / atau sendi anggota gerak, tidak lengkapnya anggota atas atau bawah, sehingga mengakibatkan penurunan kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu (Efendi, 2006). Dalam Soemantri (2006) menyebutkan meskipun secara umum perkembangan fisik individu disabilitas fisik dapat dikatakan hampir sama kecuali potensi-potensi pada individu disabilitas fisik menjadi tidak utuh karena ada bagian dari tubuh yang menghilang.

Keadaan disabilitas tubuh menyebabkan gangguan dan hambatan dalam keterampilan motorik suatu individu. Keterbatasan ini sangat membatasi ruang gerak kehidupan seseorang. Menurut Piaget dalam Soemantri (2006), individu tersebut kesulitan untuk memperoleh skema baru dalam beradaptasi pada suatu laju perkembangan yang normal. Keterlambatan perkembangan ini diawali dengan hambatan dalam fungsi motorik sederhana yang akan berpengaruh terhadap kegiatan eksplorasi sehingga perkembangan kognitif individu disabilitas fisik pun juga menjadi terhambat. Akibatnya, kesenjangan antara individu tanpa disabilitas fisik dengan invidu dengan disabilitas fisik semakin terlihat dengan bertambahnya usia individu tersebut. Hambatan-hambatan diatas menyebabkan individu disabilitas tubuh mengalami deprivasi pengalaman dan eksplorasi.

Soemantri (2006) juga menerangkan bila disabilitas tubuh terjadi pada usia yang sangat muda, individu tersebut akan mengalami hambatan yang besar untuk menguasi keterampilan dan juga menghambat fungsi-fungsi normal secara

(49)

keseluruhan. Sedangkan, bila disabilitas tubuh terjadi pada usia yang lebih tua, maka setidaknya individu tersebut dapat menguasai keterampilan tertentu dan fungsi-fungsi sudah berkembangan sampai titik perkembangan tertentu. Walaupun demikian, perlu diingat bahwa keadaan seperti ini bagi seseorang merupakan suatu kemunduran. Individu tersebut pernah mengalami keadaan sebelum disabilitas tubuh dan merupakan suatu hal yang sulit untuk menyesuaikan diri dengan kondisi disabilitas tubuh tersebut. Kita dapat merangkumnya, kondisi disabilitas tubuh yang dialami pada usia lebih besar akan menimbulkan efek yang lebih kecil terhadap perkembangan fisik, tetapi menimbulkan efek yang lebih besar pada perkembangan psikologis. Peneliti meletakan penjelasan lebih lanjut pada bagian dampak psikologis disabilitas tubuh.

4. Dampak Disabilitas fisik Terhadap Aspek Sosioemosional

Kondisi disabilitas yang diterima seseorang tidak hanya mempengaruhi aktivitas fisik, namun juga berdampak pada kondisi psikologis individu tersebut. Memiliki keterbatasan akibat disabilitas fisik memungkinkan untuk mengalami keadaan psikologis yang tidak stabil, seperti shok, kaget, marah, kecewa bahkan rasa malu (Mangunsong, 1998). Selain itu, masyarakat masih cenderung memiliki pandangan yang menyoroti pada ketidakmampuan atau kegagalan, bentuk disabilitas, atau kerusakan tentang disabilitas. Kecenderungan ini menciptakan hambatan bagi difabel untuk berpartisipasi dalam kesetaraan sehingga tidak memiliki kapasitas untuk mencapai otonominya (Michailakis, dalam Murugami, 2009).

(50)

Soemantri (2006) menjelaskan perkembangan kepribadian individu disabilitas tubuh dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu pertama, tingkat ketidakmampuan yang ditimbulkan kondisi disabilitas fisik.Seseorang merumuskan respon terhadap kondisi disabilitasnya sesuai dengan gaya hidupnya. Gaya hidup yang dimaksud tentang bagaimana seseorang mengatasi hambatan dari diri pribadi dan lingkungan serta pengalaman yang terbentuk dari proses tersebut. Dengan demikian, bukan hanya faktor pembawaan dan faktor lingkungan yang memperngaruhi, tetapi juga bagaimana individu tersebut mengartikan kedua faktor tersebut.

Kedua,usia ketika disabilitas tubuh terjadi, sampai batas tertentu berpengaruh terhadap laju perkembangan individu.Dalam perkembangan sosialnya individu yang mengalami disabilitas fisik ketika kecil (usia sekolah dasar) merasa tidak begitu ditolak jika dibandingkan dengan mereka yang yang mengalami disabilitas tubuh pada jenjang sekolah yang lebih tinggi. Selain itu, dalam perkembangan emosi individu disabilitas fisik sejak kecil akan mengalami perkembangan emosi secara bertahap. Sedangkan individu yang mengalami disabilitas fisik pada usia lanjut mengalami disabilitas tubuh secara tiba-tiba, dimana ia pernah menjalani kehidupan tanpa disabilitas tubuh sehingga keadaannya kini dianggap sebagai suatu kemunduran dan sulit untuk diterima.

Ketiga, nampak atau tidaknya kondisi disabilitas tubuh, terutama mengenai gambaran tubuhnya (body image).Faktor nampak tidaknya kondisi disabilitas yang dimiliki akan berpengaruh besar dalam menentukan sikap lingkungan terhadap indvidu disabilitas dan juga sebaliknya (Soemantri, 2006).Bagaimana

(51)

seorang difabel beradaptasi terhadap kondisi kini merupakan problema yang menimbulkan stressor. Hal ini dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada perkembangan emosi pada difabel (Mangunsong, 1998).

Keempat, dukungan keluarga dan dukungan masyarakat terhadap individu disabilitas fisik.Kemampuan keluarga dan lingkungan untuk menghargai dan menerima kondisi disabilitas seseorang akan membuat individu tersebut merasa dirinya ada sebagai suatu pribadi yang utuh sehingga memiliki self respect yang baik.Purnaningtyas (2013) juga menyebutkan bahwa dukungan dari orang-orang yang memiliki makna emosional yang dalam akan membuat difabel merasa diperhatikan, dihargai dan disayangi sehingga akan memunculkan sikap penerimaan diri yang baik.

Kelima, pandangan masyarakat kini yang memandang ukuran keberhasilan seseorang dari prestasi yang dicapainya. Pada individu disabilitas tubuh, hal tersebut dapat menimbulkan rasa tidak aman dan kecemasan untuk melakukan eksplorasi terhadap potensi-potensi yang dimiliki ketika masyarakat meletakan standart prestasi yang tinggi.individu disabilitas tubuh tentu memiliki keterbatasan kemampuan yang sering kali menyebabkan mereka memilih untuk menarik diri dari masyarakat yang mempunyai prestasi atau keberhasilan yang jauh di luar jangkauanya.

D. Dinamika Disabilitas Fisik Non-bawaan Dewasa Awal dan Konsep Diri

Penelitian ini berfokus pada seseorang yang mengalami disabilitas fisik non-bawaan. Senra (2011) mengungkapkan kondisi disabilitas fisik non-bawaan akan

(52)

membuat seseorang mengalami depresi, trauma, marah, menyesal, shock, tidak mampu menerima keadaan, dan muncul perasaan ingin bunuh diri. Hal tersebut disebabkan karena sebelumnya mereka memiliki kondisi fisik yang normal dan akan menghadapi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan hilangnya fungsi tubuh secara permanen. Akhirnya, itu membuat seorang disabilitas fisik non-bawaan akan lebih rentan memiliki kesehatan psikologis yang lebih rendah jika dibandingkan dengan seorang yang mengalami disabilitas bawaan (Aminah, 2015). Bogart (2014) juga mengungkapkan bahwa individu yang memiliki kondisi disabilitas non-bawaan cenderung mempunyai konsep diri dan kepuasan terhadap hidup yang rendah jika dibandingkan dengan individu dengan disabilitas bawaan.

Hurlock (1980) mengatakan bahwa disabilitas fisik cenderung memiliki perasaa malu dan rendah diri. Pandangan tersebut muncul karena adanya interaksi negatif dengan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, seorang disabilitas fisik non-bawaan kurang mampu untuk berpikir positif pada dirinya (Tentama, 2010). Hal ini mengakibatkan mereka cenderung memiliki pandangan diri atau konsep diri yang cenderung negatif (Rakhmat, 2008).

Namun pada penelitian-penelitian lainnya terdapat individu disabilitas fisik yang mampu memiliki konsep diri yang positif. Darling (2013) menjelaskan bahwa individu disabilitas fisik akan cenderung mampu memiliki konsep diri yang positif jika cara pandang masyarakat di sekitarnya dapat menganggap disabilitas sebagai bentuk normal keberagaman manusia. Kelly (2013) menambahkan menerima dukungan dalam interaksi sosial akan membantu

(53)

mengatasi masalah identitas dan kepercayaan diri dan intervensi awal untuk kegelisahan dan depresi yang dirasakan difabel.

Konsep diri merupakan gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan tentang pendapat lingkungan terhadap kehadiran diri kita dan tentang diri seperti apa yang kita inginkan (Burns, 1993). Konsep diri meliputi gambaran diri mengenai karakteristik fisik, psikologi, sosial, emosional, aspirasi, dan prestasi.

Konsep diri yang positif akan membuat seseorang memiliki rasa percaya diri, teguh, dan semakin merasa sejahtera dalam hidup (Hurlock, 1980). Konsep diri yang positif akan membantu seorang disabilitas fisik non-bawaan memiliki motivasi berprestasi yang tinggi (Childa, 2009). Hal ini sangat berguna bagi seorang dewasa awal karena pada masa itu seseorang akan mencapai periode puncak prestasinya (Flint, 1977; dalam Hurlock, 1980).

Konsep diri juga saling berpengaruh terhadap proses pemenuhan tugas-tugas perkembangan dewasa awal yang meliputi mencari dan menemukan calon pasangan hidup, membina kehidupan rumah tangga, mempunyai karier untuk menunjang kehidupan keluarga, serta menjadi warga Negara yang bertanggung jawab (Dariyo, 2003). Seseorang yang berhasil mencapai prestasi dalam mengatasi masalah, maka ia dapat memunculkan konsep diri yang positif dengan ditandai dengan memiliki diri yang menyenangkan, penuh rasa percaya diri, teguh, dan semakin merasa sejahtera dalam menjalani hidup (Hurlock, 1980).

Seperti yang diungkapkan di atas, konsep diri saling berpengaruh dalam usaha seseorang mewujudkan kehidupan yang sejahtera. Namun penelitian-penelitian mengenai konsep diri belum ada yang secara spesifik mengacu pada

(54)

disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal. Padahal disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal sangat rentan memiliki kesehatan psikologis yang rendah sehingga sulit untuk mencapai puncak prestasi hidupnya. Oleh karena itu penelitian ini mencoba melihat konsep diri pada disabilitas fisik non-bawaan dewasa awal.

(55)

37

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode kualitatif dengan menggunakan pendekatanAnalisis Fenomenologi Interpretatif (AFI). Penelitian kualitatif menghasilkan data yang bersifat deskriptif yang diperoleh dari data tertulis atau tulisan informan, selain itu juga data juga dapat diambil melalui perilaku informan yang dapat diamati. Pendekatan tersebut memudahkan peneliti menafsirkan fenomena yang terjadi secara lebih mendalam (Denzin & Lincoln, 1987 dalam Moleong, 2006).

Pendekatan fenomenologi memiliki kelebihan dalam berupaya menjaga keutuhan dan keaslian suatu gejala yang muncul dengan tidak mereduksi gejala menjadi variabel yang terkontrol (Smith, 2008). Selain itu, pendekatan fenomenologi juga bertujuan agar penelitian sebisa mungkin tetap selaras dengan gejala dan konteks dimana gejala itu muncul. Hal tersebut berarti dimana individu yang menjadi informan mengalami sendiri pengalamannyasebagai realitas sehingga mereka bisa menggambarkan seperti yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan mereka. Menurut Husserl (Smith, 2006) pengalaman adalah sistem yang terdiri atas makna-makna yang saling berhubungan – suatu gestalt - yang terjalin dalam suatu kesatuan yang disebut dengan dunia hidup (lifeworld)

(56)

Peneliti memilih menggunakan pendekatan kualitif juga dikarenakan penelitian kualitatif mampu mengungkap secara mendalam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang informan dan mampu menelaah mengenai motivasi, peranan nilai, sikap dan persepsi informan. Penelitian kualitatif juga mampu melihat sebuah fenomena dari segi prosesnya (Moleong, 2006).Dalam hal ini, pendekatan kualitatif dianggap sangat sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu melihat gambaran pembentukan konsep diri pada dewasa awal disabilitas fisik non-bawaan. Mengalami disabilitas fisik merupakan salah satu pengalaman individu yang menjadi isu sensitif di masyarakat dan sangat cocok ditinjau menggunakan metode kualitatif yang mampu mengungkap isu-isu rumit suatu proses, situasi, dan kenyataan yang dihadapi seseorang (moleong, 2006)

B. Fokus Penelitian

Guna memperjelas konsep penelitian, maka ditegaskan kembali berkaitan dengan tujuan penelitian ini untuk melihat konsep diri pada dewasa awal disabilitas fisik non-bawaan. Konsep diri bersifat dinamis sesuai dengan faktor insidental berdasarkan pengalaman hidup seseorang. Kondisi disabilitas fisik akibat kecelakaan yang muncul secara tiba-tiba merupakan salah satu contoh faktor insidental, di mana hal tersebut akan mengubah konsep diri dan jalan kehidupan seseorang (Epstein, 1973). Oleh karena itu fokus dalam wawancara adalah pengalaman individu

Gambar

Tabel 4.1 Pelaksanaan Penelitian................................................................................

Referensi

Dokumen terkait

Jika dilihat dari tingkat homogenitas dari produksi pulp Indonesia berada pada kondisi increasing return to scale seperti ditunjukkan dengan penjumahan elastisitas

Misalnya tidak ditemukan kasus yang relevan dengan sistem pembakaran injeksi, maka HDOs bisa mencoba untuk mengganti sistem pembakaran tersebut dengan sistem pembakaran

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan anugrah-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berujudl “STUDI AWAL KARAKTERISTIK

Jumlah timbulan sampah tersebut dihitung dengan asumsi bahwa setiap jiwa menghasilkan 2,5 liter sampah dengan jumlah penduduk 1.642.875 jiwa pada tahun 2000 (BPS Kab.

Begitupun dengan fluida dingin yang keluar pada bagian atas alat heat exchanger type shell and tube juga terdapat sensor temperature untuk mengetahui suhu

Pada ujung kantong diikat dengan tali untuk menjaga agar hasil tangkapan tidak mudah lolos (terlepas). 2) Badan (Body), merupakan bagian jaring terbesar, terletak

Dari keempat jenis pakan tersebut, tiga jenis pakan berasal dari tumbuhan spesifik (getah Acacia decurrens , nektar bunga Calliandra calothyrsus , dan bunga

ANALISIS PROBABILISTIC FRACTURE MECHANICS PADA EVALUASI KEANDALAN BEJANA TEKAN REAKTOR SECARA 3-D.. Analisis integritas material sangat diperlukan