HASIL DAN PEMBAHASAN
B. Pelaksanaan Penelitian 1.Deskripsi 1.Deskripsi
5. Analisis Hasil Wawancara Informan 2 a. Gambaran Pengalaman Kehilangan
Informan berusia 58 tahun, ayah dari tiga orang anak. Anak pertamanya seorang laki-laki berusia 21 tahun, saat ini sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi. Anak kedua berusia 20 tahun, saat ini juga sedang menempuh pendidikan diperguruan tinggi semester 4. Sedangkan anak ketiga berusia 16 tahun, saat ini sedang menempuh pendidikan sekolah menengah atas. Informan adalah seorang sarjana pendidikan yang berkerja sebagai guru di salah satu instansi pendidikan. Setiap harinya selain bekerja, informan berkegiatan untuk mengurus keperluan anak dan menghabiskan waktunya untuk bersosialisasi dengan masyarakat tempat ia tinggal.
Informan menjalani peran ayah sebagai orang tua tunggal sejak 4,5 tahun yang lalu semenjak kematian almarhumah istrinya. Istri informan meninggal akibat menderita kanker payudara yang diketahuinya setelah dilakukan pemeriksaan pada april 2011. Istri informan meninggalkan tiga orang anak yang pada saat itu yang masih duduk dibangku sekolah dan masih berusia remaja.
“Pertengahan April 2011 itu almarhumah memberi tahu saya kalau badannya, terutama payudaranya sebelah kiri tu,, ee rasa sakit dan ada benjolan. Kemudian, ee tiga hari berikutnya itu saya periksakan di dokter ternyata hasil diagnosanya dokter itu memang positif kena kanker.” (Informan 2, 3-7)
Terdiagnosa bahwa istrinya menderita kanker payudara dirasakan sebagai sesuatu hal yang mengejutkan bagi informan. Hal ini disebabkan karena istrinya yang jarang mengeluhkan sakit. Oleh karena itu, beberapa upaya dilakukan guna mendapatkan kesembuhan bagi istri informan. Setelah mendapatkan hasil dan berkonsultasi dengan dokter, istri informan memutuskan untuk siap menjalani operasi pengangkatan sel kanker.
“Istri saya siap untuk dioperasi, menerima keadaan apapun. Itu sekitar tanggal berapa ya, kalau gak salah tanggal 27 Mei eh April, 20 April. Jadi pertengahan April, jadi 20 April operasi. Setelah dioperasi itu kan diangkat karena stadiumnya 2b jadi harus diangkat.” (Informan 2, 10-13)
Kematian istri informan akibat kanker payudara tidak dirasakan sebagai sesuatu yang mengejutkan bagi informan. Hal ini karena informan sudah mencurigai kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada istrinya. Tindakan medis yang dilakukan secara ekstra dan itensif diberikan dari pihak dokter dan rumah sakit, menambahkan keyakinan informan untuk semakin siap dengan segala kemungkinan terburuk.
“Itu kemoterapi yang pertama, terus itu kami sambil izin “pak, nanti yang kedua boleh kami kembalikan di kota Madiun kan ?, karena saran dari dokter Madiun gitu. Tapi kata dokter tidak boleh, akhirnya dokter tu gini, apa bapak yakin kalau ibu dibawa pulang ke Madiun bisa sembuh ?, ya ndak dok. Ya sudahlah akhirnya kami nurut dokter. Sebetulnya dari situ saya sudah curiga, biasanya kalau memang boleh, yang kedua dan ketiga dan seterusnya itu dikembalikan ke kota Madiun. Tapi itu ndak boleh, berarti kan saya menduga apa yang dialami oleh alamarhumah itu harus ditangani secara intens oleh dokter-dokter ahli. Karena memang yang menangani, ahli semua itu. Ahli penyakit dalam, dosen semua itu dokter dan dosen.” (Informan 2, 20-30)
Peningkatan stadium kanker yang semula 2b menjadi stadium 4 semakin mempertegas kemunduran kesehatan istri informan. Tanda-tanda kesehatan yang memburuk semakin ditunjukkan oleh istri informan. Muntah yang berulang hingga harus dilarikan ke rumah sakit terdekat, setelah itu istri informan 2 tidak sadarkan diri selama 1 hari sebelum meninggal.
“Setelah kemo yang keduabelas, itu muntah-muntah akhirnya saya bawa ke merpati (rumah sakit Madiun). Terus ya sudah, masuk hari kedua itu, hari ketiga itu sudah ndak sadar. Meninggalnya itu sabtu malam minggu jadi ndak sadarnya tu dua hari.” (Informan 2, 41-45)
Kemunduran kesehatan istri informan, membuatnya semakin siap dan pasrah dengan kemungkinan terburuk yang akan menimpa istrinya. Meskipun demikian, informan mengaku sudah mengupayakan pengobatan yang terbaik bagi istrinya. Begitu juga dengan kegiatan religius seperti berdoa yang juga dilakukan sebagai upaya penunjang kesembuhan istrinya. Meskipun usaha yang sudah dilakukannya tidak mendapatkan hasil seperti yang diharapkannya, hal tersebut tidak lantas membuat informan tidak menerima kematian istrinya. Kondisi sebaliknya, informan merasa kalah dengan kuasa Tuhan hingga pada akhirnya mengikhlaskan yang sudah diputuskan oleh Tuhan.
“Itu jadi memang intinya kami sekeluarga sudah secara medis juga sudah berdoa tapi memang semua kalah oleh yang maha kuasa. Ya akhirnya ya mengikhlaskan.” (Informan 2, 45-47)
Mengikhlaskan kepergian istrinya tidak lantas membuat informan merasa tidak sedih atas istrinya yang meninggal.
Informan mengaku hanya memendam perasaan sedihnya dan tidak menceritakan maupun menunjukkan kepada orang lain terutama pada keluarga dan anak-anaknya. Kesiapan diri akan hilangnya peran istri ditunjukkan dengan tidak banyak menangis saat istri meninggal. Hal ini diyakini oleh informan bahwa dengan tidak menangis yang berlebihan bukan berarti dirinya tidak merasakan kesedihan. Kesiapan diri untuk mendapatkan kemungkinan yang terburuk dapat dilakukan informan dengan baik. Hal ini ditunjukkan melalui ungkapan sayang yang diwujudkan dengan memberikan pendampingan dan rencana tindakan perawatan yang baik untuk istrinya.
“Sebetulnya ketika dioperasi ketika saya omong-omong itu di
Surabaya dan di Madiun di Madiun itu ee sebulan setelah dioperasi saya sudah mendapat info dari dokter, tapi saya pendam sendiri. Dan itu tidak saya ceritakan pada siapa-siapa termasuk pada anak seperti ini, jadi ketika almarhumah itu meninggal, saya tidak banya menangis. Saya sudah siap betul, saya harus pikirkan saya sudah pikirkan, sebetulnya. Kalau almarhumah kemanapun saya tu sayangnya luar biasa. Kemana saja saya antar tanpa mendahului kehendak Tuhan ya. Karena kan sudah diagnose dokter itu, tingkat signifikannya kan tinggi sekali karena penalaman sakit sakit ini dengan kondisi ini penyakit pendampingnya ini, kanada gula dan sebagainya kan sudah bisa mendiagnosa. Jadi begitu almarhumah meninggal itu, ya tetep jadi menangis tapi tidak seperti anak-anak saya. Tidak berarti tidak sedih, ya sedih
maka saya kan harus sendiri, sendiri dan sendiri.”(Informan
2, 239-252)
b. Pengalaman Berperan sebagai Orang Tua Tunggal
Bersamaan dengan berlanjutnya masa dukacita yang dialami, informan juga mengalami beberapa reaksi lain pada awal istrinya meninggal. Kesedihan akan menghilangnya peran istri
hingga penerimaan diri untuk hidup sendiri dan menjalankan peran ganda turut dirasakan oleh informan. Meskipun demikian, ia tetap berusaha beradaptasi mengatasi rasa tidak percaya akan kondisi terbarunya tersebut.
“Ya memang, untuk adaptasi saya bisa tegar sendiri itu sekitar 7 bulan, baru tegar itu saya. Bulan itu saya seperti ndak percaya, tapi setelah tujuh bulan itu karena ditempa oleh mau ndak mau harus nerima kondisi seperti ini saya harus nerima. Jadi tujuh bulan, jadi istilahnya tu ya sudahlah mau diapakan.” (Informan 2, 252-257)
Berperan sebagai orang tua tunggal selama kurang lebih 4,5 tahun tidak dirasakan sebagai sesuatu hal yang menegangkan bagi informan. Ia mengaku menerima dengan ikhlas perubahan peran yang dijalaninya tersebut. Hal tersebut dilakukannya sebagai upaya dari kepeduliannya terhadap anak-anaknya.
“Ya dibawa santai aja mbak, kalau sepaneng kan saya sadar mbak kalo nanti kan kasian anak-anak masih butuh biasa semua.” (Informan 2, 279-280)
Dalam menerima keputusan Tuhan menjadi seorang ayah sebagai orang tua tunggal, tidak membuat informan mampu menjalani peran tersebut dengan mudah. Hal ini dirasakan informan dengan munculnya beberapa perubahan dan masalah ketika menjalani peran ayah sebagai orang tua. Masalah utama yang dialami informan ketika menjalankan peran barunya yaitu ayah sebagai orang tua tunggal ialah masalah menangani keperluan anak. Ia mengaku bahwa salah satu anaknya tersebut seringkali membuat masalah terutama dengan hal keuangan.
“Masalah yang paling muncul tu, anak saya yang nomor satu. Anak saya yang nomor satu itu memang sejak sekolah, itu sering membuat masalah kan masalah itu hubungannya
terutama dengan uang.” (Informan 2, 100-102)
Memenuhi kebutuhan secara finansial dan psikologis anak dirasakan sebagai sesuatu tekanan ketika menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Perasaan akan ketidakpercayaan bahwa orang lain mampu memahami psikologis anak menjadi perasaan dominan yang sering muncul. Informan merasa tidak mampu merelakan anaknya kepada orang lain. Ketakutan yang dirasakan informan ini ketika anak wanitanya harus menikah nanti. Ia tidak merasa yakin untuk melepaskan anak wanitanya kepada mertuanya. Ketakutan akan masalah psikologis anak dirasakannya ketika anaknya akan menikah. Ia memikirkan perasaan anaknya jika harus dititipkan kepada orang yang bukan merupakan ibu kandungnya.
“Ya itu tadi, jadi perasaan dominan yang sering muncul itu yang paling sering saya pikirkan itu ketika nanti anak saya yang ragil itu kan cewek, kan harus menikah. Nah, dalam menikah itu nek wong jowo kan kudu gak bisa ngeculne cul opo omongane morotuwo, calon morotuwo kan mbak. Kan saya harus ini loh yang saya pikir bukan hanya masalah biaya, tapi masalah psikologis yang saya pikirkan. Nanti saya harus minta ibunya, tapi bukan ibunya sendiri ini nanti
bagaimana perasaannya.” (Informan 2, 118-204)
Menangani permasalahan terkait dengan kebutuhan anak-anak terasa semakin sulit tanpa kehadiran istrinya. Kehadiran istrinya yang selama ini dirasakan sebagai teman untuk berbagi pengalaman suka maupun duka tidak lagi bisa dirasakan olehnya. Begitu juga dengan kondisi dimana informan diharuskan untuk memutuskan suatu pertimbangan. Keadaan tersebut memaksanya
untuk bisa secara mandiri memecahkan permasalahan yang dirasakannya seorang diri. Beberapa perubahan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal tersebut harus dijalaninya seorang diri bersama dengan ketiga orang anaknya.
“Ya, ya repotnya kalau dulu masih ada ibunya kan berbagi rasa berbagi cerita memecahkan masalah barang-bareng. Sekarang kan sudah ndak bisa. (Informan 2, 218-220)
Kecemasan dalam memikirkan pendapat orang lain juga menjadi hal yang menjadi tekanan bagi informan. Informan memikirkan pendapat orang lain ketika ia harus mengadakan acara pernikahan anaknya seorang diri. Ketiadaan seorang istri dalam mengadakan acara pernikahan dinilai sebagai sesuatu yang tidak pantas bagi informan. Meskipun demikian, ia tidak merasa mendapatkan masalah ketika harus menjalaninya sendiri tanpa adanya pasangan..
“Nanti kalau saya punya gawe sendiri, dilihat orang itu kok dhewe opo. Tapi sebetulnya sendiri pun ndak masalah.” (Informan 2, 206-207)
Meskipun ketika berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal, informan merasakan adanya beberapa tekanan dalam hal finansial dan urusan anak. Namun, tidak sama halnya dengan urusan rumah tangga. Informan merasa mampu untuk mengurus keperluan hariannya seorang diri. Ia mengaku memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah rumah tangga seperti memasak, mencuci, hingga membersihkan rumah. Ketrampilan melakukan pekerjaan rumah tersebut ia sudah miliki sejak dirinya
duduk di bangku sekolah dasar. Sehingga tidak sulit baginya untuk menyesuaikan perubahan terutama pada urusan rumah tangga yang harus dijalaninya seorang diri.
“Oh ndak, ndak masalah rumah tanga saya hadapi sendiri. Sejak SD saya sudah diajari masak dengan bapak ibu saya. Apalagi sekarang ada rice cooker, ada kompor gas, halah sipil. Kok ada masalah keluarga yang menyangkut keperluan rumah tangga, menyangkut kebersihan rumah, menyangkut macem-macem itu saya kira insyallah gak ada.(Informan 2,
104-108)
c. Cara Informan Menangani Masalah
Hari-hari setelah kematian istrinya, informan berhadapan dengan beberapa perubahan dan masalah yang terkait dengan peran barunya yaitu ayah sebagai orang tua tunggal. Masalah dukacita akan meninggalnya istri, masalah kepengurusan anak hingga masalah finansial juga dirasakan oleh informan. Meskipun demikian, kondisi tersebut tidak membuatnya terpuruk dan pasif. Keadaan yang sebaliknya dilakukan oleh informan bahwa ia berusaha untuk bangkit dan mengatasi masalah yang ia dapatkan. Kemampuan untuk tenang dan mengontrol diri ia terapkan dalam menghadapi masalah. Sehingga, ketika ia menerima hasil yang tidak sesuai dengan usaha yang ia dapatkan, informan mampu memiliki kontrol diri yang cukup baik untuk meresponnya.
“Dalam menghadapi hidup itu, harus tenang dan kalau orang
jawa mengatakan sumeleh artinya sumeleh itu ya pasrah. Jadi kalau kita sudah berusaha dan ketika dan usaha itu sudah kita lakukan dengan maksimal dan gak menggapai hasil yang maksimal kan ya sudah sehingga tidak menyebabkan perang batin, kan ketika orang itu sudah perang batin susah menderita kan ujung-ujungnya kan ya sakit. (Informan 2,
Meskipun demikian, bukan berarti informan tidak merasa terganggu atas masalah yang dimilikinya. Beberapa kali ketika menghadapi masalah dirasakan oleh informan sebagai sesuatu yang mengganggu. Namun, ia mengakui bahwa dalam menghadapi masalah, informan membutuhkan waktu untuk bisa beradaptasi dan mengatasinya.
“Iya mengganggu tapi tidak lama. Namanya kena masalah kan harus kembali ke kenangannya, sebab ketika menghadapi masalah itu kan ada fasenya kan perlu waktu kan. Ketika sudah selesei ya sudah, normal.” (Informan 2, 228-230)
Kemampuannya untuk menangani masalah ketika berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal ditunjukkan dengan mengurus segala keperluannnya dan rumah tangga seorang diri. Meskipun pada awal ia beradaptasi menjalani peran barunya, ia menggunakan jasa pembantu rumah tangga untuk membantu. Secara berulang dalam wawancara, informan menekankan kemampuannya untuk menangani kebutuhannya sehari-hari dapat ia lakukan sendiri.
“Ndak ada, kalau dulu pernah punya dua tahun tapi kalau pembantu itu kan kalau jam empat pulang ke rumahnya. Sekarang sudah dua setengah tahun ndak saya pakai, yak arena saya bisa sendiri, bisa sendiri.”(Informan 2, 112-115)
Kemampuan informan untuk secara mandiri mengatasi keperluan rumah tangga secara baik juga diterapkan pada masalah-masalah lain yang ia alami. Begitu juga dengan kemampuannya untuk memecahkan masalah seorang diri tanpa adanya bantuan dari orang lain. Meskipun ia kehilangan teman berbagi, kondisi tersebut
tidak lantas membuatnya secara bebas mampu mencari sosok lain untuk berbagi cerita. Informan membatasi dirinya untuk berbagi cerita dan permasalahan kepada teman maupun pihak keluarga. Hal ini bukan disebabkan oleh ketidakpedulian informan dengan lingkungan sekitar, namun lebih disebabkan karena kurangnya rasa percaya terhadap orang lain.
“Kalau sekarang ada masalah anak saya mau saya ceritakan pada siapa ?. Pada kakak kandung saya, iya kalau bisa menerima, ngko malah diseneni ya ti, saya ceirtakan pada temen saya, curhat ya kalau dia bisa nerima. Iya nanti kalau diomong-omongkan ke orang lain malah dadi gak menguntungkan diri saya sendiri, ya saya atasi sendiri semampu saya. (Informan 2, 220-225)
Kemampuan informan dalam mengontrol diri dilkukan dengan baik saat menangani masalah selama berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Ia menyatakan tidak pernah meluapkan emosi secara berlebihan, seperti marah pada saat
mengalami masalah. Ia cenderung untuk bersabar dan
menyelesaikan masalah dengan baik.
“Saya tu, masalah seberat apapun saya gak pernah marah apalagi pada anak saya nomor dua, nomor tiga itu blas gak pernah saya marahi. Saya tu kueras, tapi sabar pada anak. Betul, dulu tu pernah, tapi tu ketika nah gini mbak sesuai dengan perjalanan waktu yang itu akan menemukan jati diri. Ternyata kalau saya musti harus marah, saya harus bentak harus ini kan endingnya hanya ingin memperbaiki kenapa harus dengan marah kalau samama bisa dengan baik. Jadi akhirnya bisa jadi orang yang sabar. “ (informan 2,283-290) d. Rencana Informan untuk Kehidupan Selanjutnya
Menjalani peran ayah sebagai orang tua tunggal selama 4,5 tahun tidak membuatnya untuk tergesa-gesa dalam mencari pasangan baru. Hal ini dinyatakan oleh informan, karena selama
menjalani status barunya banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum mengambil sebuah tindakan. Salah satunya adalah kemungkinan bagi informan untuk menikah kembali. Keberadaan anak dirasa menjadi alasan utama untuk menunda rencananya dalam mencari calon pendamping. Ketakutan akan perbedaan prinsip antara anak dengan ibu barunya dirasa menjadi bahan pertimbangan ketika menikah nantinya. Selain itu, informan menyatakan bahwa keberadaaan anak menjadi prioritas utama dalam hidupnya.
“Beda lagi kalau nanti, misalnya itu nanti maaf mungkin itu ibu yang kedua dari anak-anak saya kan apa yang saya harapkan kan tidak sesuai dengan anak-anak saya harapkan. Itu yang saya pegang, karena ada perbedaan prinsip. “ (Informan 2, 67-70)
“Tapi bagaimanapun juga, yang namanya anak itu nomor
satu bagi saya.” (Informan 2, 80-81)
Informan menyatakan kesulitannya dalam mengambil suatu keputusan ketika diharuskan untuk hidup sendiri yaitu menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Selain disebabkan oleh ketakutan akan terjadinya perbedaan prinsip, alasan lain yang dirasa memperkuat pernyataan informan adalah keberadaan anaknya yang masih menempuh pendidikan. Pendidikan dirasa sangat penting bagi kehidupan informan, oleh karena itu ia ingin semua anaknya bisa lulus dalam pendidikan dengan baik. Ia menyatakan bahwa ketika seseorang berhasil menempuh pendidikan, berarti ia sudah mampu untuk menyelesaikan hampir seluruh perjalanan hidupnya. Meskipun informan memutuskan untuk tidak menikah, akan tetapi
hal tersebut tidak lantas membuat dirinya untuk membatasi diri untuk menemukan calon pendamping yang tepat bagi dirinya.
“Kami bertahan sampai empat setengah tahun itu, sebetulnya kan untuk menyelamatkan anak saya yang kuliah ini. Jadi kalau sebagai ketika saya hidup sendiri itu berpikir sebagai seorang bapak maka tidak mudah untuk menikah lagi. Jadi tidak berarti untuk tidak menikah lo ya, tau tidak mudah untuk menikah kembali karena mikirnya seorang bapak yang masih punya anak perlu lolos dalam studi dulu. Minimal, ini kan sudah kuliah maka perjalanannya sudah hampir 90%.“ (Informan 2, 71-78)
Kepercayaan akan kuasa Tuhan sangat melekat dalam hidup informan. Ia mempercayai bahwa izin Tuhan akan membawanya pada kehidupan yang baru. Hal ini ia terapkan dengan menunjukkan sikap pasrah atas kemungkinannya untuk menikah kembali. Ia menyatakan akan menerima dengan ikhlas, takdir untuk menikah ataupun melakukan tangggung jawab sebagai seorang ayah tanpa adanya pendamping.
“Lha nanti kalu anak saya sudah lulus, ya insyallah kalau Tuhan mengizinkan ya kami akan menata kehidupan yang baru. Tidak berarti saya itu apa namanya melawan takdir tidak, kalaupun diberi jodoh ya saya terima kalau saya tetep harus membesarkan anak dalam kesendirian ya saya terima. Yang penting, yang penting anak saya sudah bisa lolos dari pendidikan dan punya kerja nantinya. Jadi siapa sih yang mau ditinggal sama istrinya, kan gak ingin, tapi kalau tidak takdir yang kita harus menerima ya asalkan dengan penuh ikhlas dan tanggung jawab. Saya kira itu, yang saya jadikan filosofi hidup itu harus apa namanya harus seneng bersyukur.”(Informan 2, 78-88)
Berbeda dengan pertimbangan dirinya untuk menunda rencana pernikahan, keluarga besar informan maupun keluarga istri memintanya untuk segera memiliki pendamping hidup. Sikap terbuka yang dimiliki oleh keluarga istri informan, justru membuatnya dalam kondisi yang tidak nyaman. Desakan dari
pihak keluarga yang memintanya untuk segera menikah membuat ia merasa tidak mampu menjalankan perannya seorang diri. Informan merasa bahwa dirinya mampu dan terhadap segala perubahan dan masalah yang ia dapatkan setelah berperan sebagai seorang duda dan orang tua tunggal.
“Oh ndak, malah saya disuruh ndang menikah. Betul, kasihan dengan saya katanya wong saya gak perlu dikasihani loh. Tapi kakak saya, ibu saya mbak ip saya, termasuk ibu mertua saya itu sudah menyuruh. Betul itu, tapi kan ndak tau apa yang harus saya hadapi itu lo, betul gak tau apa yang saya harus hadapi. Ibu saya, itu masih ingat sembilan bulan setelah istri saya meninggal, kan saya dekat dengan ibu mertua kan belakang itu dia kan tau apa-apa yang saya lakukan tiap hari, adik-adik istri saya kan tau. Pengawasan langsung, oleh KPK langsung kan mereka tau apa yang saya lakukan. Sudah dua kali, tiga kali pokoknya nek mertua saya itu pokoknya kalai panggilnya kan nak, nak ndak kromo, aku selak ngesakne tapi saya ya nggih ngono tok ae. Ya gitu mbak artinya tidak semudah apa yang dibayangkan orang. Tidak mudah, tapi pada saatnya akan menjadi mudah kalau memang sudah
waktunya.” (Informan 2, 329-337)
e. Makna Pengalaman Informan Terkait Menjalani Peran sebagai Orang Tua Tunggal
Informan cenderung melihat dan memaknai pengalamannya terkait menjalankan peran sebagai orang tua tunggal pengalaman untuk bisa bermanfaat bagi orang lain. Dalam usahanya menjalankan peran ayah sebagai orang tua tunggal, ia ingin di masa akhir hidupnya bisa membantu orang lain meskipun kadang juga merasa disakiti.
“Jadi gini mbak, saya berusaha dalam akhir masa hidup saya itu saya harus bermakna bagi siapapun. Bagi siapapun, jangankan bagi diri saya sendiri, bagi orang lain harus bermakna tidak lagi bagai anak-anak saya, bagi siapapun saya harus bermakna. Jadi ya itu, saya dengan tetangga bagaimana saya bermakna bagi tetangga saya, apa yang bisa saya berikan kepada dia. Saya di sekolahan, apa yang bisa
saya berikan pada anak didik saya. Jadi hidup harus