• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hasil Wawancara Informan 3 a. Gambaran Pengalaman Kehilangan

HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pelaksanaan Penelitian 1.Deskripsi 1.Deskripsi

7. Analisis Hasil Wawancara Informan 3 a. Gambaran Pengalaman Kehilangan

Informan berusia 42 tahun, memiliki seorang anak laki-laki yang saat ini berusia 14 tahun, saat ini duduk di kelas 2 sekolah menengah pertama. Keseharian informan bekerja sebagai penjual makanan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia melakukan pekerjaan tersebut semenjak ia keluar dari pekerjaannya sebelumnya disalah satu instansi keuangan ditempat tinggalnya. Alasan informan memilih pekerjaan yang saat ini ia lakukan karena pekerjaannya yang bersifat fleksibel. Alasan lain adalah ia lebih bisa meluangkan waktu untuk mengasuh anaknya.

Informan berperan sebagai orang tua tunggal sejak 7 tahun yang lalu. Istri informan meninggal pada tanggal 4 bulan Juli 2008 dengan meninggalkan satu orang anak yang masih sangat kecil. Pada saat itu, anak informan masih duduk di bangku pendidikan anak usia dini. Penyebab kematian istri informan dianggap sebagai sesuatu hal yang mendadak. Istri informan mengalami kecelakaan lalu lintas, ketika ia sedang dalam perjalanan menengok anaknya yang sedang berada di rumah pamannya di Wonogiri.

“Nah poin ini kejadian jadi memori aku. Itu seminggu atau setelahnya, kejadian dan meninggal kecelakaan. Pas posisi bulan Juli kenaikan, anak saya masih TK besar ke kelas 1 kan liburan di Wonogiri dibawa pamannya terus liburan hari libur.” (Informan 3, 19-22)

Reaksi awal terhadap kematian yang dialami oleh informan adalah perasaan tidak percaya. Ketidakpercayaan informan

diungkapkannya ketika ia mengkonfirmasi kematian istrinya. Meskipun demikian, ia memiliki kemampuan kontrol diri yang cukup baik pada saat istrinya meninggal. Ia mengaku tenang dalam mengurus keperluan pemakaman istrinya. Ia menanamkan bahwa istrinya yang sudah meninggal merupakan keadaan terbaik yang diterimanya dari Tuhan.

“Saya tu gak ada pengen nangis atau gak, itu saya masih jalan normal lah. Terus saya lihat di UGD, bersih gak ada luka saya kaget, kok meninggal ? Ternyata disini mungkin, pake helm kebentur jadi dekok. Terus mau dicucian, mau dibersihan disini diperut tu dipompa, ini masih hidup gak kok kayak bernafas ?terus kata dokter gak, ini udah meninggal. Ya udah pokoknya yang terbaik mungkin ini yang terbaik terus saya cium keningnya.” (Informan 3, 48-54)

“Terus hubungin warga disini nyiapin tempat. Saya

koordinasi saudara-saudara saya, saya tu gak ada tangis, gak ada. Tuhan ini yang terbaik terus saya tegar gak ada nangis-nangisnya gak ada bleng-blengnya (Informan 3, 64-67)

Reaksi lain yang juga dialami oleh informan adalah

kesedihan yang mendalam. Kesedihan yang mendalam

menyebabkan dirinya memiliki perasaan tidak terima akan kematian istrinya. Selain itu, ingatan akan istri yang masih selalu muncul hingga sekarang terkadang membuatnya masih meyakini bahwa istrinya masih ada.

“Ya ada, kan posisi gak terimanya gini, saya punya anak, terus ini saya hutang dan hutang atas nama gaji saya, angsurannya sebesar gaji saya. Nah kalau untuk makan, gaji bundanya, saya masih gak terimanya itu. Saya posisi tidak pandai cari uang, kalau istri almarhum itu kan pedagang pinter cari uang. Terus terang, jujur aja ekonominya yang lebih gede istri karena sambilannya okeh. Posisinya gini waktu itu setelah kejadian Tuhan, kok istri saya yang diambil, kok gak saya duluan. Saya mikirnya anak, pikir saya itu yang mampu menghidupi dalam arti uang itu buat saya itu hanya orang bekerja. Orang kerja itu ya gajinya berapa sih. Protesnya sama Tuhan itu, kok jadi mikirnya kok bukan saya duluan, kenapa istri duluan.” (Informan 3, 94-104)

“Ya kadang masih suka angotan, masih suka kelingan kalo lha itu sulit, kadang kalo sekarang masih suka inget, tapi gak sampe membebani.” (Informan 3, 107-109)

Ada beberapa reaksi dukacita yang dialami oleh informan yang masih dialaminya sampai sekarang. Hal ini dibuktikan informan melakukan beberapa aktivitas yang biasa dilakukannya bersama istrinya dulu. Kondisi tersebut membuat penderitaan tersendiri bagi informan, karena ia masih menganggap istrinya masih hidup.

“Perasaaan kangen masih ada, saya menganggap dia masih ada. Contoh, saya menganggap dia masih hidup. Contohnya, saya kalau mau jualan setelah doa minta pendampingan Tuhan, saya selalu dulu kan kalau suami istri kalau tidur kan ada dua bantal. Nah, sampai saat ini masih ada dua bantal. Kalau aku mau berangkat jualan, saya pasti cium bantal, habis doa minta pendampingan Tuhan karena apa, 1 hari sebelum bunda meninggal itu kan kebetulan Centro di kantornya, ada acara ulang tahun kantornya atau apa ya, bunda seneng masak. Dia masak bikin nasi kuning rombongan sama temennya lembur di rumah sampe malam untuk besok paginya. Terus dia tidur, kan saya watu masih ngantor, dia masih tidur. Tidur kok kayak mayit saya bilang gitu, gene anteng, terus tenang. Itu awal-awal saya kalau mau berangkat kerja jualan, saya cium keningnya. Ya itu, tidur kok kayak mayit, saya gak bangunkan terus berangkat kantor. Nah sampe sekarang masih suka begitu, suka cium bantal kalo mau berangkat kantor, walaupun kantornya udah pindah tetep saya lakukan itu.” (Informan 3, 206-221)

Dalam mendukung perannya sebagai orang tua tunggal, informan tidak menggunakan jasa pembantu rumah tangga. Ia hanya dibantu oleh ibunya yang juga turut tinggal bersama.

b. Pengalaman Berperan sebagai Orang Tua Tunggal

Kepergian istrinya yang mendadak, memaksanya untuk menerima segala perubahan yang mendadak pula. Salah satu perubahan yang diterimanya setelah kematian istrinya adalah

tuntutan perubahan peran ganda. Kondisi tersebut memaksanya untuk bisa menjadi ayah, ibu dan teman untuk anaknya dalam waktu yang bersamaan.

“Ya perubahan peran, kalo peran, jujur aja iya. Karena saya ada anak satu. Saya harus bisa menjadi ayah, bisa jadi ibu bisa jadi temennya anak saya ya kadang-kadang berantem juga.” (Informan 3, 223-225)

Pada awal istrinya meninggal, informan mengalami kesukaran dalam menjalani perannya yaitu ayah sebagai orang tua tunggal. Perubahan peran menjadi peran ganda tidak bisa diterima dengan baik hingga beberapa sumber dukungan datang untuk membantunya dalam menjalani perubahan tersebut. Kehadiran sumber dukungan dari keluarga besar datang untuk membantu mengasuh anak informan. Selama kurang lebih enam tahun, anak informan berada di Wonogiri untuk diasuh oleh kakak dari istri informan. Hal tersebut tampaknya merupakan keputusan yang ia

ambil dengan mempertimbangkan kurangnya kemampuan

informan bekerja untuk melunasi hutang dan mengasuh anak secara bersamaan.

“Kan sejak istri saya meninggal, anak diasuh karena saya merasa gak mampu masih kerja kantor kan. Anak saya masih kecil, kan wira-wiri dalam arti kan antar jemput. Terus saya kan masih hutang, saya gak sanggup. Jadi selama 6 tahun di Wonogiri tapi setiap 1 minggu sekali saya pasti pulang, saya

ajak nyekar ke makam ibunya.” (Informan 3, 112-116)

Perubahan lain yang dirasakan sebagai masalah selama berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal oleh informan adalah masalah ekonomi. Informan merasa kesulitan dalam

melakukan penyesuaian ekonomi keluarga. Kebiasaan yang selama ini diterapkan adalah keduanya secara bersama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, hal ini sudah tidak bisa dilakukannya lagi semenjak istrinya meninggal. Oleh karena itu, ia mengalami masa penyesuaian ekonomi yang cukup berat hingga terkadang memunculkan ingatannya akan almarhum istrinya.

“Kalau uang pasti, tapi uang itu pasti tapi masih bisa dicari. Dulu ekonomi dipegang dua orang sekarang satu orang jadi ya sekarang harus dimepetin. Anak itu masih ada ibunya, kalo pendidikan memang dipegang saya. TK sebelum TK bisa baca udah saya ajarin baca kalau ekonomi, jajakne itu ibunya. Kalo main ke timezone itu. Ya itu, saya masih suka mikir ibunya kalo seandainya masih ada ibunya bisa main kesana kesini kalo sekarang saya jualan saya dulu waktu kerja kan dunia hiburannya itu terbatas.” (Informan 3, 235-242)

Seiring menjalani perannya yaitu menjadi ayah sebagai orang tua tunggal selama 7 tahun, informan seringkali memunculkan reaksi yang khas dalam menerima perubahan dan masalah tersebut. Reaksi marah muncul ketika ia tidak mendapatkan hal yang sesuai dengan yang ia inginkan. Hal ini ia terapkan terutama kepada anaknya, yang terkadang tidak melakukan sesuai dengan yang ia harapkan. Meskipun demikian, informan mengungkapkan reaksi marahnya guna memberikan rasa disiplin pada diri anak.

“Saya itu tipe orang tua yang suka segera, ya itu kelemahan saya kalau saya minta apa gak sesuai dengan keinginan saya terus anak lelet biasanya saya marah.” (Informan 3, 246-256) “Iya, disipilin harus diajarkan ke anak, segala sesuatu harus di planning. Saya gak suka nunda-nunda istilahnya mepet gak suka, kalau grusa-grusu saya gak, tapi saya panik.” (Informan 3, 281-283)

“Saya bukan gak marah-marah, marahnya kalau semuanya

Misalkan anak waktu tidur kok gak tidur harus ada peraturan dan hiburan. (Informan 3, 303-306)

c. Cara Informan Menangani Masalah

Seiring dengan rasa dukacita dan masa sulitnya menjalani perubahan baru menjadi ayah sebagai orang tua tunggal, informan mulai bisa menyesuaikan diri dengan baik terhadap perannya. Komitmennya dalam memberi kesejahteraan kepada anak ia buktikan dengan bekerja guna memenuhi keperluan anak dan memberikan pengasuhan yang baik kepada anak. Meskipun demikian, informan tidak lepas dari pihak lain yang berlaku sebagai sumber dukungan. Dalam hal ini, ibu dari informan turut serta tinggal bersamanya dengan anaknya untuk membantu mengurus keperluan yang informan tidak bisa lakukan.

“Tunggal itu, ya semua harus dikerjakan sendiri kayak cari uang bagaimana menciptakan anak itu betah di rumah kecuali masak, kalau masak ada ibu. Jadi, apa ya kalau saya marah sama anak cuma verbal, gak pernah bentak atau apa jadi gak pernah dalam arti kasar. Jadi orang tua tunggal harus pinter-pinter jadi pendamping anak.” (Informan 3, 227-231)

Berbeda dengan masalah kepengurusan anak, informan memiliki kepercayaan diri yang baik untuk melakukan pekerjaan rumah, namun dalam menjalankan perannya tidak lepas dari sumber yang mendukungnya. Dalam hal ini, ibu dari informan dan anaknya turut serta bekerja sama dalam mengurus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.

“Kalau masalah rumah tangga, biasanya saya bagi tugas sama anak. Anak saya nyapu, tugasnya sebelum berangkat sekolah itu nyapu. Kalau ibu saya nyuci, kalau saya saya nyapu cuma sore kalau beres-beres rumah saya masih

sanggup, cuma kalau saya nyuci saya gak pernah, soalnya ada mesin cuci.” (Informan 3, 242-246)

Dalam menangani beberapa perubahan yang menjadi masalah, informan tidak hanya mengandalkan diri sendiri, melainkan membuka diri untuk meminta bantuan kepada orang lain. Sehingga membuatnya ia percaya diri bahwa segala masalah yang dihadapi akan mendapatkan jalan keluar. Selain itu, tingkat religiusitas kepada Tuhan yang cukup tinggi menambah kekuatannya untuk mampu menyelesaikan masalah.

“Kalo keuangan yang membantu pasti ada, Tuhan memberi rejeki lewat siapa saja. Contoh, anak dari kelas 1sd sampai kelas 2 smp beasiswa terus itu rejeki Tuhan, saya gak menyombongkan. Jadi uang buat sekolah bisa saya alokasikan buat yang lain misalnya saya belikan sesuatu harus nomor satu.” (Informan 3, 286-290)

“Terus terang saja, ujian saya beruntun tahun 2008 istri meninggal, 2009 saya kecelakaan itu keuangan juga gak masalah. Saya dipen 3, skrups 17, kelemahan saya juga disini saya gak bisa nekuk kakinya. Itu keuangan juga gak masalah, 2008-2009 kan saya wira wiri terus mungkin saya kecapekan, kecelakaan itu habis 58 juta untuk ukuran saya kerja, gak mungkin tapi karena ada jamsostek kasih 12 juga, jasa raharja 6 juta, kuasa Tuhan. Saya dari kantor dapat 6 juta, saya di rumah sakit 3 bulan kira-kira, sepersenpun saya istilahnya gak kebeban karena apa Tuhan beri rejeki beri dari orang-orang.” (Informan 3, 294-303)

“Kekuatan saya Tuhan, kalau Tuhan kasih ujian pasti Tuhann kasih jawaban kalau lewat doa. Makanya, saya gak kebeban,

ibu juga nemenin bantu memasak.” (Informan 3, 309-311)

Dalam menyeimbangkan kebutuhan dengan status ekonomi yang tidak tetap, informan memiliki cara tersendiri untuk mengatasinya. Ia menggunakan prioritas sebagai salah satu cara untuk menghemat pengeluaran keluarga. Sistem prioritas juga ia terapkan pada anaknya untuk mendahulukan kebutuhan dari pada keinginan. Hal tersebut dilakukan oleh informan bukan tanpa

tujuan, melainkan untuk mendidik anak agar memiliki rasa prihatin.

“Kadang saya gini, ini keinginan atau kebutuhan, kalo dia menjawabnya kebutuhan saya segerakan tapi kalau keinginan, saya tunda.. Jadi, saya poin keinginan atau kebutuhan, kalau memang kebutuhan memang berat berapapun saya carikan. Butuh e hape opo ? komunikasi uangnya sekian tak carikan, tapi kalau kancane ini, ini, ini oh itu keinginan. Oh ingin mu ini, yo sok nek ayah punya rejeki tak tukokne. Kalo sekolah kan dipanti rini smp Kanisius, itu kan tak suruh nyepeda intel meskipun ada motor tak belike motor sama tak belike sepede tapi tak suruh sepeda ontel. Meskipun ada motor tak belike motor sama tak belike sepeda tapi tak suruh sepeda ontel. Motor gak boleh dipake kalo sekolah, kalau kegiatan gereja boleh dipake jadi biar anak itu ada prihatine, ada olahragane. Kalau olahraga kan ada kecerdasane, ya itu keinginan atau kebutuhan gitu aja. Saya tu bukan orang kaya, tapi tidak kekurangan jadi pengen ini bisa, pengen itu bisa.” (Informan 3, 262-274)

d. Rencana Informan untuk Kehidupan Selanjutnya

Menjalani peran ayah sebagai orang tua tunggal tidak lantas membuat informan tergesa-gesa dalam mencari pasangan. Hal tersebut terbukti dengan 7 tahun informan meyandang status duda dan ayah sebagai orang tua tunggal. Meskipun demikian, informan tidak menutup diri dan membuka kesempatan untuk menikah kembali.

“Saya hamba Tuhan, saya gak menutup diri saya tetap membuka semua kesempatan yang Tuhan berikan ada kata tidak. Jadi dalam arti monggo kerso gusti. Tapi saya tidak mencari.”(Informan 3, 338-340)

Dalam menyandang status dudanya, informan memiliki alasan yang memotivasinya untuk bisa bertahan selama 7 tahun. Alasan tersebut adalah kepemilikan anak, yang membuatnya untuk berusaha memberikan yang terbaik. Menyediakan kebutuhan jasmani maupun rohani kepada anak, seperti bersedia untuk

berperan ganda yaitu sebagai seorang ayah dan ibu. Alasan tersebut

juga yang melatarbelakangi informan untuk menunda

pernikahannya karena masih memposisikan sebagai ayah, dimana ia memikirkan perasaan anak ketika harus memiliki pendamping baru. Alasan lain yang membuatnya untuk menunda pernikahannya adalah kecintaanya pada almarhum istrinya yang masih melekat hingga sekarang.

“Pertama anak, saya tipe orang tua yang gak mau buat anak kecewa. Kalau anak kecewa sama orang tua, imbasnya panjang. Kecewa itu maksudnya gak konsisten, jadi kalau sudah berumah tangga itu gak berdiri sendiri harus memposisikan menjadi tiga, ayah, laki-laki dan suami buat istrinya. Ketiga-tiganya harus jadi satu. Kalau laki-laki itu kan masih apa. Saya memposisikan jadi ayah karena saya masih memikirkan anak. Saya masih sesuai walaupun sudah di

KTP cerai mati saya mati saya masih cinta.”(Informan 3,

318-325)

Keputusan informan untuk membuka diri untuk menikah tampaknya tidak mendapatkan dukungan yang positif dari anaknya. Sehingga membuat informan untuk tidak tergesa-gesa dalam mencari pendamping hidup. Meskipun demikian, dukungan sosial didapatkan informan dari keluarga Wonogiri untuknya yang akan mencari pasangan baru.

“Ya anak kan berkembang, anak tu waktu tinggal di Wonogiri

tau harus dapet masukan keluarga Wonogiri kalau apa ya anak tu berkembang dan saya mengikuti perkembangannya gak tau nanti seperti apa. Tapi nek itu, kalau Tuhan menghendaki. Kalau semuanya mudah berarti Tuhan menghendaki, tapi kalau itu sulit berarti Tuhan tidak menghendaki gitu aja.” (Informan 3, 342-347)

Keinginannya dalam memberikan yang terbaik bagi anak informan adalah dengan cara tidak ingin membuat anak kecewa

dengan dirinya. Ia selalu menyeimbangkan ego diri dan anak pada saat ia akan memilih calon untuk pendamping hidupnya.

“Harus menanamkan bahwa ayah itu seperti, kalau soal saya senang sama wanita, itu liat pribadi anak. Orang itu kan harus liat anak, harus memikirkan ego anak harus seimbang.” (Informan 3, 334-336)

e. Makna Pengalaman Informan Terkait Menjalani Peran sebagai Orang Tua Tunggal

Bagi Informan selama ini pengalamannya terkait berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal merupakan pengalaman yang positif. Hal ini karena selama berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal, ia banyak berperilaku yang berguna bagi orang lain terutama anaknya. Keinginannya untuk selalu memberikan contoh yang baik dan memperhatikan masa depan anak dinilai sebagai sesuatu tugas utama sebagai seorang ayah sebagai orang tua tunggal. Oleh karena itu, informan memaknai perannya yaitu ayah sebagai orang tua tunggal sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi kehidupan orang lain.

“Saya menjadi contoh yang baik bagi anak, saya gak boleh meski saya orang tua terus saya bebas, saya memperhatikan masa depan dia, menanamkan nilai-nilai yang saya harapkan. Saya harus istilahnya sesuai keinginan saya, dan saya sesuai keinginan saya.”