HASIL DAN PEMBAHASAN
B. Pelaksanaan Penelitian 1.Deskripsi 1.Deskripsi
8. Analisis Kehidupan Informan 3 sebagai Orang Tua Tunggal
Terdapat 5 komponen resiliensi menurut Wagnild and Young (1993) yang dialami oleh informan yang mendukungnya dalam berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Komponen yang
pertama adalah meaningfulness. Dalam komponen tersebut
menjelaskan bahwa meaningfulness atau kebermaknaan adalah kesadaran bahwa dalam kehidupan memiliki tujuan, sehingga diperlukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Individu yang memiliki meaningfulness tinggi akan terus menerus berusaha melakukan sesuatu untuk mencapai tujuannya selama ia hidup. Selain itu, individu yang memiliki kemampuan meaningfulness atau kebermaknaan, juga mampu menghargai dan memaknai apa yang sudah dilakukan oleh dirinya maupun orang lain. Pada pengalaman informan yang berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal, ia menunjukkan tujuan hidupnya yaitu tidak membuat anak kecewa. Ia mengakui bahwa keberadaan anak menjadi suatu hal yang memotivasi dirinya untuk bisa bertahan berperan menjadi seorang ayah sebagai orang tua tunggal. Motivasi utama para ayah mampu menjalani peran sebagai orang tua tunggal adalah karena mereka mencintai anak-anaknya dan merasa mampu berperan sebagai orang tua yang baik (Hanson dalam Partasari, 2004). Oleh karena itu informan berusaha untuk konsisten yaitu dengan cara berperan sebagai tiga pelaku utama dalam keluarga. Informan berusaha untuk memposisikan dirinya menjadi ayah, laki-laki dan sebagai suami bagi istrinya. Ketika informan berusaha untuk menjadi suami bagi istrinya, berarti ia masih menganggap dirinya masih sebagai seorang suami meskipun dalam kehidupan nyata istri informan sudah meninggal dan tertera sudah
cerai mati di KTP. Selain itu, ketika informan tidak memutuskan untuk mencari pendamping baru karena masih memikirkan keberadaan anaknya.
Kemampuan meaningfulness lainnya juga ditunjukkan informan dengan menghargai dan memaknai pekerjaan yang dilakukannya maupun orang lain. Informan mengakui bahwa ketika ia berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal berarti ia merasa tidak boleh berperilaku dengan bebas. Ia mengakui bahwa selama ini ia menjadi contoh yang baik bagi anaknya. Hal ini dilakukan informan karena ia memperhatikan masa depan anak, ia ingin menanamkan nilai-nilai yang baik sesuai dengan harapannya. Tidak hanya mampu memaknai hal yang ia lakukan, tetapi informan juga menghargai kemampuan anaknya yang tegar untuk menerima kondisi ibunya yang sudah meninggal.
Komponen yang kedua adalah equanimity yang meliputi kemampuan untuk santai dalam menerima segala sesuatu yang terjadi dalam hidup. Kemampuan untuk santai ditunjukkan oleh informan ketika ia mampu merespon dengan santai pada saat istrinya meninggal karena kecelakaan. Ia menunjukkan sikap yang tenang sebagai wujud dari kepasrahannya. Meskipun terkadang dalam menghadapi proses dukacitanya, beberapa kali informan teringat akan sosok istrinya yang sering muncul, tetapi ia merasa tidak terbebani akan kemunculan ingatan akan istrinya tersebut. Kemampuan untuk santai juga mampu
ditunjukkan ketika informan sakit dan ia harus mengurus dirinya tanpa kehadiran istri sebagai partner hidup. Ia mengatakan bahwa Tuhan sebagai kekuatan yang diandalkan untuk bisa membantu atas pertanyaan dari masalah-masalah yang ia terima.
Meskipun dalam menerima kenyataan bahwa istrinya sudah
meninggal, informan mampu merespon dengan baik dan
menyelesaikan semua urusan pemakaman istrinya dengan baik dan tidak mengeluarkan emosi yang menggebu-gebu. Sejak istrinya meninggal, segala tanggung jawab yang selama ini dilakukan berdua menjadi tanggung jawabnya seorang diri. Tanggung jawab tersebut antara lain bekerja memenuhi ekonomi keluarga, dan mengurus keperluan rumah tangga, serta mengurus keperluan keseharian anak. Dalam hal kepengurusan anak, ia dituntut bisa menjadi pendamping anak yang baik. Meskipun dalam praktek pengasuhannya, informan juga terkadang mengungkapkan emosi karena mendapatkan tindakan yang tidak sesuai dari anak dengan keinginannya. Namun, informan tidak pernah mengungkapkan emosinya sebagai rasa kekesalannya dengan membentak anaknya, ataupun melakukan tindakan yang kasar. Hal ini membuktikan kemampuan informan dalam menangani masalah hidup dengan sikap yang tidak ekstrem.
Komponen yang ketiga adalah Perseverance. Komponen tersebut melihat kemampuan informan dalam menghadapi kesulitan. Kematian istri informan dirasakan sebagai sesuatu yang mendadak. Hal ini
ditunjukkan dari sikap tidak percaya pada keadaan ketika ia mengetahui bahwa istrinya meninggal karena kecelakaan. Kondisi tersebut tidak lantas membuatnya tidak menerima kematian istrinya. Meskipun dalam masa adaptasinya berperan menjadi seorang ayah sebagai orang tua tunggal, ia mampu menghadapi kondisinya yang sulit. Kondisi tersebut antara lain adalah ketika istrinya meninggal mendadak, ia harus melunasi hutang dan pencari nafkah tunggal dalam keluarga, mengurus keperluan keseharian anak, serta mengurus keperluannya sendiri ketika ia sakit. Beberapa masalah yang dialaminya dapat dilalui dengan baik, meskipun dalam menghadapi kesulitannya tersebut ia membutuhkan orang lain untuk membantunya. Hal tersebut membuktikan bahwa dirinya mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan hidupnya menjadi seorang ayah sebagai orang tua tunggal. Tidak hanya mampu mengatasi masalah dengan baik, informan juga mampu menunjukkan perjuangannya dalam meneruskan kehidupan. Tuntutan perubahan peran ganda dilakukannya untuk meneruskan perjuangan dan membangun kehidupan. Dalam hal kepengurusan anak, ia mengakui bahwa keberadaannya untuk bisa menjadi seorang ayah, ibu dan temannya dalam satu waktu yang bersamaan menunjukkan kemampuan informan dalam meneruskan perjuangan. Hal tersebut cukup menjelaskan bahwa informan menunjukkan ia memiliki komponen perseverance atau ketekunan yang dijelaskan oleh Wagnild dan Young (1993) sebagai suatu
tindakan untuk tetap bertahan meskipun terdapat perubahan atau kesulitan. Dalam hal ini, ketahanan menunjukkan adanya keinginan meneruskan perjuangan untuk membangun kembali kehidupan serta untuk tetap terlibat dan mempraktikkan disiplin diri.
Komponen keempat adalah self reliance. Self reliance merupakan sebuah kepercayaan dan kemampuan diri sendiri. Individu yang percaya diri mampu mengenali kekuatan dan keterbatasan diri sehingga mereka mampu untuk bergantung dan mengatasi masalahnya sendiri (Wagnild dan Young, 1993). Selama berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal, ia harus mengurus keperluan anaknya seorang diri. Meskipun dalam 6 tahun informan menitipkan anaknya pada kakaknya, namun setelah itu ia mampu untuk mengurus segala keperluan anaknya seorang diri. Selain itu, informan bekerja seorang diri untuk melunasi hutang dan menjadi pekerja utama dalam keluarga. Keputusan informan untuk menitipkan anaknya kepada kakaknya karena informan merasa tidak sanggup untuk mengurus anak yang berbarengan dengan bekerja keras untuk melunasi hutang dimana kondisi anaknya masih membutuhkan pengasuhan yang ketat. Kondisi tersebut cukup menjelaskan bahwa informan mengenali keterbatasan dirinya dalam berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Ia menyadari ia membutuhkan orang lain untuk mendukung perannya. Keterbatasan lain yang diakunya adalah ketika ia membutuhkan bantuan untuk mendukung perannya di rumah. Dalam kesehariannya,
informan dibantu oleh ibunya untuk mengurus keperluan rumah tangga seperti memasak dan membersihkan rumah. Meskipun ibu membantunya dalam pekerjaan rumah, kondisi tersebut tidak lantas membuatnya merasa malas. Ia dan anaknya melakukan pembagian kerja seperti mencuci pakaian yang dilakukan informan, dan menyapu yang dilakukan oleh anaknya. Kerjasama dan pembagian peran yang dilakukan oleh anak dan ibu informan mendukung lancarnya ketika menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Selain itu, kemampuannya untuk mengandalkan diri dalam mengatasi masalah dibuktikannya dengan cara ia bekerja keras untuk melunasi hutang yang ditinggalkan oleh istrinya.
Komponen yang kelima adalah Existential Alonenes.
Pengalamannya menjadi ayah sebagai orang tua tunggal selama kurang lebih 7 tahun membuktikan bahwa informan mampu menjalani kehidupannya dengan baik. Hal ini dilakukannya dengan cara ia mampu mendidik anaknya dengan baik hingga mendapatkan beasiswa sebagai bukti mendapatkan prestasi yang cukup baik. Selain itu, ia mampu melunasi hutang yang ditinggalkan oleh istrinya dan mampu memenuhi ekonomi keluarga. Meskipun dalam kesendiriannya ia mampu berhasil mengatasi masalahnya, tetapi keinginan informan untuk meneruskan kehidupannya dengan menikah kembali juga sempat direncanakan olehnya. Ia tidak menutup diri dan membuka kesempatan untuk menikah kembali. Meskipun demikian, rencananya
untuk melanjutkan hidup tidak membuatnya tergesa-gesa dalam mencari teman wanita. Ia menjelaskan bahwa ia tidak mencari calon pendamping, ia hanya menerima dan membuka semua kesempatan yang Tuhan berikan. Informan tidak merasa takut ataupun ragu dengan tidak adanya pasangan hidup. Hal ini dikarenakan kemampuannya untuk mengatasi masalah dengan anaknya yang bisa dihadapinya seorang diri, begitu juga dengan masalah keuangan. Ia mempercayai bahwa ia akan bisa melalui masalah keuangan dengan baik. Kepercayaannya kepada Tuhan memberi rezeki melalui banyak cara seperti menunjukkan bahwa dirinya memiliki jalan hidup yang unik.
Skema Pengalaman Informan dalam Melalui Proses Resiliensi
Laki-laki dewasa madya
Pengalaman kehilangan istri akibat kecelakaan
Menghadapi masalah yang menekan : 1. Dukacita :
Tahap I : Shock dan Menolak Tahap II : Marah dan Depresi
Tahap III : Tahap Dukacita dan Kesedihan Tahap IV : Tahap menerima dan
memahami 2. Perubahan peran :
a. Pengasuhan anak
b. Mengurus keperluan rumah tangga 3. Ekonomi :
Sumber pendapatan seorang diri
Pengalaman Proses Resiliensi : a. Penerimaan diri yang
positif istri yang meninggal
b. Kemampuan bertahan
menghadapi masalah
c. Kemampuan mengatasi
masalah sendiri dan melalui bantuan orang lain
d. Memiliki rencana untuk kehidupan selanjutnya
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses resiliensi ayah tunggal :
a. Dukungan sosial b. Kehadiran anak c. Tingkat religiusias
C. Hasil Analisis Pengalaman Ketiga Informan Ayah sebagai Orang Tua