• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kehidupan Informan 2 sebagai Orang Tua Tunggal Ada 5 komponen resiliensi yang mempengaruhi resiliensi menurut

HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pelaksanaan Penelitian 1.Deskripsi 1.Deskripsi

6. Analisis Kehidupan Informan 2 sebagai Orang Tua Tunggal Ada 5 komponen resiliensi yang mempengaruhi resiliensi menurut

Wagnild dan Young (1993). Beberapa komponen tersebut dialami oleh informan dalam menjalani pengalamannya menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Komponen pertama adalah meaningfulness, dalam komponen tersebut menyampaikan bahwa kebermaknaan adalah sebuah kesadaran bahwa dalam kehidupan memiliki tujuan, sehingga diperlukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Individu yang memiliki meaningfulness tinggi akan terus menerus berusaha melakukan sesuatu untuk mencapai tujuannya selama ia hidup. Selain itu, individu yang memiliki kemampuan meaningfulness atau kebermaknaan, juga mampu menghargai dan memaknai apa yang sudah dilakukan oleh dirinya maupun orang lain. Komponen tersebut ditunjukkan dalam kehidupan informan ketika ia memiliki tujuan hidup yaitu memikirkan masa depan anak. Tidak berhenti pada memiliki tujuan hidup saja, akan tetapi informan melakukan beberapa usaha untuk mewujudkannya yaitu dengan cara menunda rencana untuk mencari pendamping hidup sehingga ia tetap fokus pada tujuannya tersebut dan bekerja keras mencari nafkah. Selain memiliki

tujuan dan usaha, komponen ini berfokus pada kemampuan menghargai dan memaknai pekerjaan yang dilakukannya maupun orang lain. Informan menunjukkan perilaku dengan selalu berusaha dapat bermakna bagi orang lain walaupun terkadang ia merasa disakiti. Komponen yang kedua adalah equanimity yang meliputi perspektif yang seimbang antara kehidupan dengan pengalaman. Kematian istri informan tidak membuatnya merasakan dukacita lebih dalam. Hal ini dikarenakan informan sudah memiliki dugaan bahwa sakit yang diderita oleh istrinya harus ditangani oleh dokter yang ahli. Hal ini diduga oleh informan bahwa penyakit tersebut sulit untuk diobati. Kemampuan tersebut juga ditunjukkan oleh informan dengan memikirkan masalah psikologis anak. Ia tidak memiliki kepercayaan yang cukup kepada orang lain untuk memikirkan masalah psikologis anak sama seperti yang ia pikirkan. Selain itu, informan menggunakan kemampuan tersebut dengan cara mewaspadai wanita yang selama ini menjadi godaan utama ketika menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Hal ini ia terapkan pada hidupnya karena informan belum memutuskan untuk mencari pasangan hidup dan masih berfokus pada masa depan anak.

Selain itu, komponen equanimity juga meliputi kemampuan untuk santai dalam menerima kesulitan dan mampu menangani tanpa menunjukkan sikap yang ekstrem. Kemampuan informan dalam menerima kondisi terbarunya menjadi ayah sebagai orang tua tunggal

dan duda ditunjukkan dengan menerima kematian istrinya sebagai sesuatu yang baik. Meskipun informan mengalami beberapa tahapan dukacita, ia tetap memiliki penerimaan yang baik atas kematian istrinya. Hal ini ditunjukkan ketika ia tidak menunjukkan ungkapan marah dan menangis yang berlebihan ketika istrinya meninggal. Informan mengakui bahwa ia merasa tenang dan pasrah dalam menghadapi hidup meskipun tidak menggapai hasil yang maksimal. Meskipun ia sudah berusaha untuk memberi pengobatan yang terbaik bagi istrinya dan tidak mendapatkan kesembuhan seperti yang ia inginkan, akan tetapi informan tetap menerimanya dengan baik.

Selain itu, informan dengan santai menerima peran barunya menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Meskipun tanpa adanya latihan dan persiapan, informan mampu menjalani perannya untuk mengurus keperluan rumah tangga dan mendidik anak seorang diri. Walaupun dalam kesendiriannya, ia tidak menggunakan jasa pembantu rumah tangga informan tidak terburu-buru dalam mencari pasangan. Informan tidak melawan takdir dengan cara menerima jodoh jika diberi atau tetap membesarkan anak dalam kesendirian.

Komponen yang ketiga adalah Perseverance. Komponen tersebut melihat kemampuan informan dalam menghadapi kesulitan ketika berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Perasaan dukacita atas meninggalnya istrinya dianggap sebagai sebuah tekanan. Dalamnya relasi antara informan dengan istrinya diungkapkan melalui

proses wawancara ketika ia menjelaskan dalamnya rasa sayang kepada istri dengan menunjukkan kesetiaannya untuk mengantarkan istrinya kemanapun pergi selama istrinya masih hidup. Selain itu selama kurang lebih 4,5 tahun informan masih bertahan dalam menghadapi beberapa perannya yaitu ayah sebagai orang tua tunggal seorang diri tanpa adanya dukungan sosial dari pihak keluarga ataupun menggunakan jasa pembantu rumah tangga.

Kesulitan lain yang dirasakan Informan dengan berperan sebagai orang tua tunggal adalah tergoda pada wanita akan tetapi tidak mudah baginya untuk menentukan untuk menikah kembali meskipun ia mengakui tidak sulit baginya untuk menemukan pasangan hidup. Hal ini cukup menjelaskan bahwa kebutuhan informan untuk memiliki pasangan hidup kembali, akan tetapi terbentur adanya alasan yaitu kepemilikan anak. Menurutnya anak adalah prioritas utama dalam hidupnya sehingga ia harus memikirkan kondisi anaknya yang masih perlu sukses dalam studi. Selain itu, ketakutan akan perbedaan yang terjadi antara anak dan istri barunya nanti. Kondisi yang menyulitkan tersebut tetap dijalankan dengan baik oleh informan dengan tetap bertahan berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal selama 4,5 tahun. Oleh karena itu, informan mengungkapkan kewaspadaannya kepada wanita dan harus mengetahui tujuan wanita yang akan mendekatinya. Kesulitan dalam menentukan untuk menikah kembali, tidak membuatnya membenci keberadaan anaknya. Hal tersebut cukup

menjelaskan bahwa informan menunjukkan ia memiliki komponen

perseverance atau ketekunan yang dijelaskan oleh Wagnild dan Young

(1993) sebagai suatu tindakan untuk tetap bertahan meskipun terdapat perubahan atau kesulitan. Dalam hal ini, ketahanan menunjukkan adanya keinginan meneruskan perjuangan untuk membangun kembali kehidupan serta untuk tetap terlibat dan mempraktikkan disiplin diri.

Komponen keempat adalah self reliance. Self reliance merupakan sebuah kepercayaan dan kemampuan diri sendiri. Individu yang percaya diri mampu mengenali kekuatan dan keterbatasan diri sehingga mereka mampu untuk bergantung dan mengatasi masalahnya sendiri (Wagnild dan Young, 1993). Selama kurang lebih 4,5 tahun informan menjalani peran ayah sebagai orang tua tunggal dan menjalankan peran dengan baik. Dalam mengurus keperluan dirinya sendiri dan ketiga anaknya tidak menjadi penghalang baginya untuk berperan aktif menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Informan mengakui sempat menggunakan jasa pembantu rumah tangga, akan tetapi tidak berlanjut hingga sekarang karena mendapatkan ketidaksesuaian jadwal dengan pembantu rumah tangga tersebut. Ia mengakui dapat mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga dengan baik. Hal ini dilakukannya karena semasa kecilnya ia sudah terlatih untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan baik. Begitu juga dengan kemampuannya untuk menyelesaikan semua masalah terkait anak. Ia tidak pernah mempercayakan kepada orang lain untuk turut

serta dalam menyelesaikan masalahnya. Hal tersebut membuat dirinya semakin tertutup dengan orang lain karena ketidakpercayaan pada orang lain yang akan membocorkan masalah yang sedang ia alami. Ketakutannya juga berlaku untuk orang tua dan saudaranya, ia tidak ingin mendapatkan teguran ketika ia bercerita tentang dirinya. Kondisi tersebut mendukung pernyataan Benner, 2007; Lud & Caserta, 2004b (dalam Berk, 2012) bahwa laki-laki merasa kurang bebas dalam mengungkapkan emosi mereka atau meminta pertolongan tentang makanan, rumah tangga dan hubungan sosial.

Komponen kelima adalah Existential Alonenes. Existential

Alonenes merupakan sebuah kesadaran yang dimiliki individu bahwa

setiap orang memiliki jalan kehidupan yang bersifat unik meskipun beberapa pengalaman dpaat dibagikaan dengan orang lain, dan ada pengalaman-pengalaman yang harus dihadapi sendiri. Existential Alonenes menunjukkan kesendirian eksistential yaitu adanya perasaan akan kebebasan dan rasa keunikan (Wagnild dan Young, 1993). Informan memiliki kesadaran bahwa dalam hidup tanpa adanya pasangan berarti menghadapi hidup tanpa adanya pendamping. Informan tidak merasa terbebani, ia merasakan sisi positif dan negatif selama hidup sendiri setelah sepeninggal istri. Hal ini menunjukkan bahwa informan memiliki perasaan akan kebebasan dan keunikan. Kondisi dimana ditinggalkan oleh orang terdekat akan menimbulkan keterpurukan, akan tetapi informan dapat melihat pengalamannya sebagai sesuatu yang positif. Selain itu,

informan juga merasakan bahwa selama ia berperan sebagai ayah tunggal selama kurang lebih 4,5 tahun tidak membuatnya merasa harus mencari pasangan hidup. Meskipun ia tidak menutup kemungkinan akan menikah kembali, tetapi informan tidak terburu-buru dalam mencari pasangan. Hal ini dibuktikan bahwa informan meyakini bahwa segala sesuatu akan mudah pada waktunya.

Skema Pengalaman Informan dalam Melalui Proses Resiliensi Laki-laki Dewasa Madya

Kehilangan istri karena sakit

Masalah yang menekan : 1. Dukacita :

I : Shock dan Menolak II : Marah dan Depresi III : Dukacita dan kesedihan IV : Menerima dan memahami 2. Perubahan peran: Pengasuhan anak 3. Tekanan sosial

a. Tuntutan menikah lagi b. Tergoda pada wanita

c. Ketidakpercayaan pada orang lain untuk membantu mengatasi masalah

Pengalaman Proses Resiliensi : a. Penerimaan diri yang

positif istri yang meninggal

b. Kemampuan bertahan

menghadapi masalah

c. Kemampuan mengatasi

masalah

d. Memiliki rencana untuk kehidupan selanjutnya

Faktor-faktor yang

mempengaruhi proses resiliensi ayah tunggal :

a. Kehadiran anak b. Tingkat religiusitas

7. Analisis Hasil Wawancara Informan 3