HASIL DAN PEMBAHASAN
B. Pelaksanaan Penelitian 1.Deskripsi 1.Deskripsi
3. Analisis Hasil Wawancara Informan 1 a. Gambaran Pengalaman Kehilangan
Informan merupakan seorang pria berusia 53 tahun. Ia adalah seorang ayah dari kedua anak. Anak pertamanya seorang laki-laki yang saat ini berusia 18 tahun. Sedangkan anak keduanya saat ini berusia 16 tahun, dan sedang menempuh pendidikan di kelas 2 sekolah menengah atas. Informan berperan sebagai orang tua tunggal selama 4 tahun, sejak istrinya meninggal akibat penyakit kanker otak. Pada saat istri informan meninggal pada
KETERANGAN TEMPAT TANGGAL WAKTU Wawancara I Rumah Informan 21 Oktober 2015 17.00-17.50 WIB Wawancara II Rumah Informan 24 Oktober 2015 15.30-16.30 WIB
Wawancara III Rumah Informan 13 Januari 2015 09.00–09.30 WIB
KETERANGAN TEMPAT TANGGAL WAKTU
Wawancara I Rumah Informan 18 Oktober 2015 16.25-17.25 WIB Wawancara II Rumah Informan 26 Oktober 2015 16.00-17.30 WIB Wawancara III Rumah Informan 27 Oktober 2015 16.00-18.30 WIB
Tabel 2.2 Pelaksanaan Wawancara Informan
tanggal 19 bulan 11 tahun 2012, anak pertamanya masih berusia 14 tahun dan anak keduanya berusia 12 tahun.
Selama menjadi ayah sebagai orang tua tunggal, informan tinggal bersama kedua anaknya dan seorang keluarga dekatnya, yaitu kakak wanita dari informan. Dalam mendukung perannya sebagai ayah sebagai orang tua tunggal, informan dibantu oleh kakak wanita dan seorang pembantu rumah tangga. Menggunakan jasa pembantu rumah tangga diputuskan oleh informan karena ia merasa tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengurus keperluan rumah dan tidak memiliki keterampilan yang baik untuk mengurus keperluan rumah tangga. Keseharian informan dihabiskan dengan bekerja sebagai seorang guru Sekolah Menengah Pertama di Madiun.
Hubungan informan dengan istrinya bermula dari pertemuan keduanya di kota Madiun. Setelah beberapa kali menjalin komunikasi dan hubungan yang dekat, informan beserta istri memutuskan untuk menikah. Saat itu, informan masih bertugas di Kota Madiun, sedangkan istrinya bekerja di Blitar. Kondisi tersebut mengharuskan informan untuk bolak-balik kota Madiun ke Blitar. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk tinggal menetap di kota Madiun bersama-sama. Informan mengaku hidup bahagia bersama istrinya hingga memiliki dua anak. Dalam
menjalani kehidupan berumah tangga, informan tidak mengetahui bahwa istrinya akan mengalami sakit keras.
Setelah memiliki dua anak, istri informan mulai memperlihatkan gejala-gejala sakit. Kejang-kejang selama beberapa kali dialami oleh istri informan. Kondisi tersebut memaksa informan untuk memeriksakan kondisi istrinya. Setelah hasil pemeriksaan keluar, istri informan didiagnosa menderita kanker otak. Dari hasil pemeriksaan tersebut, dokter menyarankan untuk dilakukan penanganan.
“Jadi dia itu sakitnya kami baru tahu setelah dia kambuh pertama. Ini kenapa ya, seperti kejang gitu. Setelah diperiksa ternyata, dia gak ada gangguan kanker otak. Disini dia gak kerja, terus dia mulai mencoba untuk kerja di luar negeri, Terus disana kambuh, terus diperiksa dan disarankan operasi disana.” (Informan 1, 15-19)
Setelah hasil pemeriksaan keluar, istri informan diharuskan untuk melakukan operasi. Proses operasi yang berjalan dengan lancar di rumah sakit di luar negeri tempat istrinya bekerja, istri informan masih melanjutkan operasi untuk kedua kalinya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena istri informan mengalami kesakitan yang berulang di bagian kepala pada saat kembali ke Indonesia. Setelah berkonsultasi dengan dokter spesialis, informan beserta istri memutuskan untuk dilakukan operasi kembali di Surabaya. Proses operasi yang dijalani membuka kesempatan bagi istri untuk dapat hidup lebih lama dan dapat menjalani kehidupan rumah tangga dengan bahagia selama 5 tahun.
“Setelah proses berjalan dengan baik, dia saya suruh pulang kesini. Ternyata setelah dia kambuh lagi lalu dioperasi di rumah sakit Internasional Surabaya. Terus, ya itu dari proses operasi itu kita masih 5 tahunan bisa bersama-sama membesarkan anak-anak, tetapi ya memang itu sudah Tuhan
yang menghendaki njih.”(Informan 1, 19-23)
Kematian istri informan dirasakan sebagai sesuatu yang bersifat mendadak dan mengejutkan bagi informan, keluarga dan kerabat dekat. Hal tersebut ditunjukkan dari kambuhnya sakit di bagian kepala almarhumah yang tidak bisa tertahankan hingga akhirnya istri informan meninggal sebelum dilakukan tindakan pertolongan medis. Kondisi tersebut membuat informan tidak percaya, karena pada saat istrinya mengalami kambuh dan menjalani operasi sebelumnya masih tetap bertahan dan menjalani kehidupannya seperti biasa. Hal ini sempat membuat informan mengalami pertentangan batin yang disebabkan tidak menerima kenyataan bahwa istrinya meninggal.
“Kami sendiri tidak, tidak apa ya tidak berpikir kalau itu memang, memang kambuhnya semacam itu sampai tidak tertolong dulu pada waktu itu di Surabaya aja kambunya semacam itu aja dia masih bisa tertolong.”(Informan 1, 72-75)
“Saat dia gak sakit atau gak kambuh ya gak ada masalah. Jadi foto itu, saat minggu sebelum meninggal (sambil menunjuk kearah foto istrinya), jadi gemuk, seger, lha wong dia masih menjadi saksi mantenan di gereja. Jadi minggunya jadi saksi, tanggal berepa ya, tanggal 19 itu meninggal jadi selangnya tiga hari tok.”(Informan 1, 28-32)
Kematian almarhumah istri informan yang mendadak tampaknya membuat informan mengalami pertentangan batin, yaitu kondisi dirinya tidak menerima kematian istri. Pertentangan batin informan ditunjukkan dengan berkurangnya tingkat
religiusitas terhadap Tuhan yang ia percayai, yang berlangsung selama kurang lebih 1 bulan. Proses pertentangan yang dihadapi membuat hidupnya jauh dari ritual religiusitas keagamaan yang selama ini dijalaninya. Keengganan informan untuk ke gereja, dan berkurangnya frekuensi berdoa diungkapkan sebagai wujud protesnya kepada Tuhan.
“Saya menentang, apa itu Tuhan katanya maha segalanya, maha ini maha ini. Kenapa istri saya gak, saya tentang setiap malam. Akhirnya denganromo saya gak boleh doa, istilahnya doanya tu gak boleh lama-lama. Kalau lama, mesti saya seperti orang ini (menunjuk peneliti yang sedang berhadapan dengan informan). Saya pasti debat sampai pagi, itu berlangsung hampir 1 bulan jadi gejolak hati saya.” (Informan 1, 98-104)
Setelah kurang lebih 1 bulan informan mengalami proses pertentangan batin akibat kematian istrinya, secara perlahan ia mulai menerima kondisi tersebut. Rutinitas kembali dilakukannya, hubungan dengan kedua anaknya juga kembali dengan baik hingga kepercayaan akan kuasa Tuhan mulai kembali dirasakannya. Kesulitan untuk menerima kematian istrinya secara perlahan dapat diterima sebagai sesuatu yang positif.
“Tapi lama-kelamaan saya sadar, kamu saya beri yang
terbaik untuk istrimu nah baru sekarang saya nangis. Dulu saya menentang, sekarang gak berani. Jadi, dulu saya menentang betul, saya gak mau ke gereja, gak mau kemana-mana karena ya itu, tentang batin.” (Informan 1, 104-107)
“Kami menyadari iya ya akhirnya kami merenung, bahwa
sudah dapat yang terbaik. Kenapa, misalkan kita tarik ulur lagi, misalkan istrimu tetep hidup apa kamu gak kasian, dia tersiksa pada saat ini. Sedangkan dia sudah dinyatakan seperti itu sakitnya. Mengapa saya memberikan yang terbaik ? Apakah kehidupan sudah yang terbaik ?. Lha ini akhirnya ya nanti kami lama kelamaan menyadari.”(Informan 1, 200-206)
Informan mulai mampu menilai bahwa rasa kecewa, dan marah yang diungkapkan kepada Tuhan dirasakan sebagai wujud penolakan akan kehilangan istrinya. Pertentangan terhadap kematian istrinya pada Tuhan dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena kematian istrinya dianggap sebagai sesuatu yang mendadak dan mengejutkan.
“Karena apa, menurut kami kata orang-orang itu wajar
karena kamu shock ditinggal istrimu jadi mau ndak mau itu wajar. Ya itu saya tentang saya ndak mau. Untung lama
kelamaan sudah.” (Informan 1, 212-214)
b. Pengalaman Berperan Sebagai Orang Tua Tunggal
Kehilangan istri, membuat informan sadar akan perannya yang berubah seiring proses dalam menerima kematian istrinya. Hal ini mulai ditunjukkan informan dengan memberikan pendekatan dan pengertian bagi kedua anaknya yang juga menunjukkan sikap tidak menerima akan kehilangan ibu mereka. Selain itu informan juga mulai menunjukkan perannya sebagai ayah sebagai orang tua tunggal dengan memberikan arahan untuk keberlangsungan hidup kedua anaknya tanpa kehadiran ibu.
“Anak-anak ya, dikatakan anak ya masih perlu ada bimbingan
njih. Ya pendekatan, ya itu setelah kami mulai reda, baru anak-anak kami mengertikan. Selama satu bulan, kami masih masa pergulatan itu ya anak-anak masih belum saya ajak ngomong. Mungkin dia memang, ndak menunjukkan njih tapi dia tetap menunjukkan sikap, anak saya jadi pendiam terus akhirnya menyendiri. Dua-duanya itu menyendiri, kemudian ndak ceria tapi setelah kami juga sudah mulai reda, kami mulai beri pengertian. Ya sudah mari kita menjalaninya bersama-sama.”(Informan 1, 216-223)
Perubahan lain yang dirasakan cukup signifikan mempengaruhi hidup informan adalah ketika ia diharuskan untuk
melakukan pertimbangan dan membuat keputusan seorang diri. Hilangnya rutinitas berkomunikasi untuk berbagi pikiran dirasakan sangat menonjol dalam kehidupan informan. Perubahan peran tersebut dirasa cukup membingungkan bagi informan karena seringkali keputusan yang telah dibuatnya belum tentu baik dan dapat diterima oleh orang lain dan kedua anaknya.
“Ya otomatis njih, yang dulunya itu kita masih berpikir berdua dan sebagainya sesuatu ada pertimbangan, terus sekarang nggak ada itu kadang-kadang itu ya mesti ada perubahan yang sangat signifikan njih. Sangat-sangat menonjol njih, mungkin buat kedua anak saya baik, tetapi buat kedua anak saya gak baik mungkin". (Informan 1, 270-275)
“Dulu saya bisa pertimbangan dengan istri saya, jangan gini to yah, gini, gini, gini. Akhirnya saya sekarang kan ndak, apa yang saya putuskan, pikir ini buat saya buat anak baik, ki tujuane ki apik tapi buat anak sendiri gak.”(Informan 1, 275-279)
Meskipun beberapa perubahan yang dirasakan ketika berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal mulai dirasakan dan dijalani, informan merasakan beberapa tanggung jawab yang
tidak mampu untuk dilakukannya. Informan menyadari
keterbatasan dirinya dalam menangani keperluan rumah tangga yang tidak biasa dilakukan olehnya. Oleh karena itu, beberapa tanggung jawab sebagai ayah sebagai orang tua tunggal harus dijalankan dengan dukungan dari pihak lain. Beberapa dukungan didapatkan dari kakak wanita informan yang turut serta membantu mengurus keperluan keseharian anak, hingga mengurus keperluan rumah tangga. Selain itu, informan juga menggunakan jasa pembantu rumah tangga untuk membersihkan rumah.
“Jujur menangani apa yang ditangani orang putri gak bisa. Udah istilahnya kita gak usah mengatakan bahwa kita, “saya segala-galanya bisa, jelas gak bisa. Oleh sebab itu, saya njih
minta bantuan orang.” (Informan 1, 311-314)
Dalam menjalani perannya yaitu ayah sebagai orang tua
tunggal, informan merasa kebingungan. Perasaan akan
kebingungan peran tersebut dirasakan informan hingga tidak sanggup untuk melakukan segala sesuatunya yang berkaitan dengan perannya. Meskipun demikian, informan kembali menyadari hingga akhirnya berusaha menjalani kehidupannya yang sudah ditetapkan Tuhan.
“Kurang lebih seperti itu ya mbak, tapi ya tidak apa-apa tetap saya jalani saja karena sudah rencana Tuhan.”(Informan 1, 317-318)
Masalah lain yang informan ungkapkan adalah masalah dalam mendidik anak. Perselisihan pendapat antara kemauan anak dengan orang tua seringkali dirasakan oleh informan. Informan dituntut mengambil keputusan yang tepat bagi anaknya. Kemauan anak yang tidak didukung dengan kemampuan ekonomi yang cukup baik membuat keduanya seringkali mengalami perbedaan pendapat. Berperan sebagai orang tua tunggal menuntut informan menjadi pekerja tunggal dalam keluarganya yang harus membiayai kehidupan rumah tangga, hingga keperluan kedua anaknya. Oleh karena itu, informan mendidik kedua anaknya untuk mampu belajar mengambil keputusan berdasarkan tingkat kepentingan.
“Sekarang paling muncul ya itu, perselisihan antara anak mempunyai kemauan dengan kami. Biasa kan anak sekarang mengatakan anak gaul, itu biasa. Itu sering ada
perselisihan pendapat yang antara orang tua dengan anak sekarang.” (Informan 1, 361-364)
“Jadi itu tujuannya, jadi nanti kita mengertikan. Jadi anak memang dilatih bagaimana cara menghargai uang dan jerih payah orang tua. Jadi kalau dia selalu dan selalu di iyakan, dia gak mau tahu. Pokoknya kalau ada apa-apa “yah, yah”. Dituntut akhirnya tetapi kalau diberi pengertian akhirnya dia tau oh mana yang boleh mana yang gak akhirnya dia tahu, ternyata mencari uang itu ya sulit.” (Informan 1, 382-388)
Tidak sedikit masalah tekanan sosial yang turut dirasakan oleh informan. Tanggapan negatif terkait statusnya sebagai seorang ayah sebagai orang tua tunggal dan duda seringkali didapatkan dari teman-teman informan 1. Pilihan informan untuk hidup tanpa adanya pasangan setelah sepeninggal alamarhumah istrinya selama 4 tahun, seringkali diragukan oleh teman-temannya dan seringkali menjadi bahan tawa mereka. Meskipun dalam menghadapi keadaan yang sulit menjadi ayah sebagai orang tua tunggal, informan tidak menghiraukan tanggapan negatif yang didapatkannya. Kondisi tersebut membuat informan memiliki kemampuan untuk tetap berpegang pada prinsipnya. Meskipun demikian, kondisi tersebut tidak lantas membuatnya memiliki hubungan yang tidak baik dengan pemberi tanggapan negatif. Ia tetap menghargai pendapat orang lain dengan menimpali percakapan dengan suasana canda yang menyenangkan.
“Kalau itu sih banyak juga, kamu gak mungkin wong kamu duwe mobil duwe segalanya. Itu kan pandanganmu, sedangkan saya punya pandangan dan keyakinan sendiri. Kamu mau ngomong apapun silahkan selama kamu itu mau gurau dengan saya, ya genti diguroni, tapi kalau dia serius kita serius. Gapapa, ya pernah serius dalam arti kalau dia mau serius istilahnya kita ya marah, gak ada masalah. Tapi selama itu buat kamu itu canda ya gak masalah. Ini ini ini ya itu urusanmu, kamu gak percaya ya urusanmu saya punya
keyakinan saya punya prinsip sendiri. Jadi prinsipmu harus sama dengan saya jelas gak mungkin, karena kamu beda dengan saya, mungkin kalau buat kamu sah-sah aja, tapi buat saya yang gak sah, karena pandangannya ini yang beda, sudut pandangnya. Saya nanti harus pengakuan ning romo malah yo isin dewe kalau saya berbuat hal-hal yang aneh-aneh. Lah ini lho, karena sudut pandangnya yang sudah berbeda, dan dia gak menyakini. Makanya kenapa harus dipermasalahkan, njih ora enek gunane.” (Informan 1, 486-500)
Keterbatasan informan dalam menjalankan peran ayah sebagai orang tua tunggal, membuat keluarga besarnya tergerak untuk memberikan dukungan sosial. Dukungan sosial cukup dirasakan sebagai sesuatu yang menopang informan seperti kehadiran kakak wanitanya yang turut membantu tugas-tugas rumah tangga yang biasa dilakukan oleh istri informan. Selain itu, dukungan sosial tidak kurang dirasakan oleh informan dengan mendapatkan dukungan dari pihak keluarga dimana ia berkomitmen untuk mengurus dan membesarkan anak seorang diri tanpa adanya pendamping dan menunda untuk menikah kembali.
“Terlebih disini masih ada budhe, kakak saya. Jadi itu yang sepertinya kita masih apa ya dalam keluarga itu masih bisa saling bantu, bisa saling menopang, jadi gitu.” (Informan 1, 321-324)
“Kalau dari keluarga gak ada. Saya pilih anak semua setuju, semuanya mendukung, tapi ya nanti yang memilihkan anak saya siap. Keluarga juga setuju, ya memang itu keluarga saya
kira setuju semua mendukung.” (Informan 1, 521-523)
c. Cara Informan Menangani Masalah
Perasaan dukacita yang mendalam, hilangnya peran istri, perubahan peran mengasuh anak, hingga stigma negatif menjadi masalah yang menekan bagi informan 1. Beberapa masalah yang dirasakannya selama menjalankan peran ayah sebagai orang tua
tunggal tersebut tidak lantas membuat informan menyerah dengan semua tanggung jawabnya. Secara berlawanan, informan justru memilih untuk mencari cara agar mampu melewati masalah yang ia rasakan. Informan menerapkan sistem komunikasi dalam menyelesaikan masalah yang ia rasakan baik terhadap anak maupun dari pihak lain. Meskipun demikian, informan tetap merasakan terbeban dalam menjalani segala tanggung jawab dan beberapa perubahan yang menjadi masalah dalam kehidupannya.
“Ya, otomatis yang namanya beban ya pasti kebeban njih. Tetapi selama kita, ya itu kunci kata kunci kita bisa saling berkomunikasi di keluarga itu kuncinya banyak berkomunikasi. Kita saling apa ya, walaupun itu anak tapi kalau itu diajak ngomong bersama, diajak berkomunikasi yang baik saya kira beban itu juga mau gak mau juga bisa teratasi.”(Informan 1, 436-446)
Beban yang ia rasakan tersebut tidak lantas membuat informan 1 memunculkan perilaku ekstrem setiap kali menghadapi masalah. Meskipun jarang dilakukannya, perilaku ekstrem pernah muncul ketika informan menangani masalah dalam perannya yaitu ayah sebagai orang tua tunggal. Perilaku ekstrem yang pernah ia tunjukkan ialah marah dan menangis.
“Ya jarang njih, tapi ya pernah ya karena ekstrem ya pernah
saya dengan anak sampe nangis pernah tapi saya lupa karena juarang. Terus akhirnya kita saling komunikasi.” (Informan 1, 459-461)
“Marah ya pernah nangis iya pernah, tapi yawes duer duer yawes tetapi harus selesei. Makanya orang mengatakan, apa gak pernah padu ya padu rumangsane rumah tangga kok gak padu kie pie, ya padu.” (Informan 1, 475-477)
Selain berkomunikasi, informan juga seringkali melakukan refleksi ketika mendapatkan masalah. Bagi informan, refleksi
dianggap sebagai sarana untuk mengungkapkan emosi. Ketika proses refleksi, ia bisa secara bebas menangis dan menunjukkan amarahnya. Dalam pengalamannya menjadi ayah sebagai orang tua tunggal, refleksi seringkali dilakukannya pada masa pertentangan setelah istrinya meninggal. Refleksi digunakan sebagai salah satu proses penerimaan akan kehilangan almarhumah istrinya tersebut. Proses refleksi informan dilakukannya di kapel, yaitu sebuah ruangan doa.
“Ketika mendapatkan masalah, biasanya saya sih refleksi mbak. Saya punya ruangan doa sendiri, kapel. Makanya pada saat saya pertentangan itu saya nangis hanya di kapel. Karena apa, nyuwun sewu saudara kita yang lain aja di rumah mesti punya ruangan sendiri untuk shalat. Saya harus punya, makanya saya nangisnya pada waktu, perangnya pada waktu di kapel itu, bukan kapel ya istilahnya di ruang doa untuk saya sendiri. Memang dulu saya khususkan njih dengan istri saya. Saya punya ruang khusus untuk doa.” (Informan 1, 419-425)
Dalam menghadapi masalah pengasuhan anak, informan berusaha menyelesaikan masalah sendiri tanpa adanya keterlibatan dengan pihak lain. Terutama apabila masalahnya terkait dengan perbedaan pendapat antara anak dengan orang tua. Berperan ayah sebagai orang tua tunggal selama 4 tahun membuat informan belajar memiliki kemampuan untuk menangani masalah sendiri.
Bersama dengan kedua anaknya, informan berusaha
menyelesaikan masalahnya tanpa meminta bantuan orang.
“Saya kira gak, saya biasanya seleseikan sendiri sama anak
-anak. Biasanya sistem kami pada saat makan, saya berikan penjelasannya kalo ini seperti ini hasilnya, kalo milih ini ya
Kemampuan menyelesaikan masalah dengan baik juga diterapkan informan ketika ia menghadapi beberapa masalah selama menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Hal ini dilakukannya terutama dalam mendapatkan stigma negatif dari orang lain terkait perannya sebagai orang tua tunggal yang berkomitmen untuk belum menikah. Kemampuan untuk tetap tenang dalam menyikapi tanggapan negatif dapat dilakukannya dengan baik.
“Ya saya gak usah mengambil pusing aja lah mbak. Kalau itu apakah ada tanggapan negatif, ya ada. Bahkan ada yang ini, ini ya ada otomatis.” (Informan 1, 519-520)
d. Rencana Informan untuk Kehidupan Selanjutnya
Status duda dan ayah sebagai orang tua tunggal yang disandang informan tidak lantas membuatnya merasa terbebani. Selama 4 tahun menjalani perannya, informan tidak merasa keberatan untuk menghadapi masalah seorang diri tanpa adanya istri. Kondisi tersebut tidak memaksa informan untuk tergesa-gesa memiliki istri kembali. Meskipun diakuinya, tidak menutup kemungkinan ia akan menikah kembali, namun dalam menjalankan rencana tersebut, informan terganjal beberapa alasan yang membuatnya menunda rencana pernikahannya.
“Kalau saya disuruh pilih ya pilih dengan anak saya kalau dari pada saya punya istri. Tetapi nanti kalau yang memilihkan anak saya, ya monggo. Beda lagi, “yah, ini lho”, tapi kalau anak saya yang pilih.Anak saya menjauh saya yang gak mau lebih baik gak. Tetapi nanti kalau kebalikan, anak
saya senang.” (Informan 1, 335-339)
“Saya pilih anak semua setuju, semuanya mendukung, tapi ya nanti yang memilihkan anak saya siap. Keluarga juga setuju,
ya memang itu keluarga saya kira setuju semua mendukung. Kalau yang memilihkan anak, saya siap. Itu aja hidup saya, anak saya. Tujuan hidupnya anak, ya sekarang itu saja, kasih saya itu entuk e loro kui.” (Informan 1, 521-526)
e. Makna Pengalaman Informan terkait Menjalani Peran sebagai Orang Tua Tunggal
Informan menyatakan bahwa selama ini pengalamannya terkait berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal merupakan pengalaman yang positif. Hal ini karena selama menjalankan perannya, ia berkeinginan untuk memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya. Oleh karena itu, informan memaknai peran ayah sebagai orang tua tunggal sebagai sesuatu yang menantang untuk bisa berperan sebagai ayah yang baik bagi anak-anaknya.
emm begini njih mbak, ini kan peran, tugas yang harus dilalui saat ini njih mbak sebagai ayah. Jadi saya tu merasa ada tantangan kudu bisa hantar anak-anak saya ke jenjang dewasa dan sukses sendiri nantinya tanpa bantuan orang lain. Jadi saya kepingin jadi ayah yang baik buat mereka. Sebisa mungkin sing dibutuhkan saya sediakan, tapi ya itu tadi tetep