• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP)

Kerusakan hutan Cycloops mengalami peningkatan setiap tahun dan sangat sulit untuk diatasi. Kerusakan tersebut disebabkan oleh aktivitas masyarakat yang tinggal di dalam dan di luar kawasan yang merusak dan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem hutan Cycloops.

Dualisme pengelolaan dan pengembangan CAPC antara Dinas Kehutanan Kabupaten Jayapura dan Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Daerah (BKSDA) wilayah Papua, membawa permasalahan tersendiri. Dalam kenyataan dualisme pengelolaan tersebut hanya bersifat administratif saja, tanpa tindakan nyata. Selain itu seringkali terjadi benturan-benturan kepentingan ke dua instansi dan program-program pengembangan. Dampak dari ketidakjelasan kewenangan tersebut mengakibatkan pengelolaan yang kurang maksimal, terkesan saling menunggu, menghargai dan tumpang tindih program kegiatan.

Program-program kegiatan Dinas Kehutanan Kabupaten Jayapura yakni berupa reboisasi kembali lahan yang rusak, patroli polisi kehutanan, dan kegiatan pemberdayaan masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan tersebut hanya sebatas proyek dan tidak berkelanjutan.

Permasalahan lainnya, unsur-unsur masyarakat, tokoh adat dan tokoh masyarakat kurang dilibatkan dalam hal pengelolaan dimaksud, sehingga berdasarkan wawancara yang kami lakukan dengan masyarakat dan sekaligus tokoh adat salah satu suku di Sentani yakni Ramses Ohee dan Amon Ondi mengeluh tentang ketidakseriusan pemerintah dalam mengelola Cagar Alam Cycloops. Apabila pemerintah mau melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan Cycloops misalnya penanaman pohon, dan patroli dan kegiatan lainnya, kurang melibatkan tokoh adat dan masyarakat setempat.

Dalam kehidupan sehari-harinya, kedua belah pihak tersebut bekerja dengan sendiri-sendiri sesuai dengan kemauan dan programnya. Sebagai dampaknya Cycloops yang menjadi korban. Terjadinya kasus longsor/banjir Cycloops, hal tersebut disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Pada bidang sumberdaya manusia yakni adanya kegiatan penebangan, pembangunan rumah, pembakaran dan konversi lahan menjadi kebun masyarakat.

Kondisi Gunung Cycloops telah berubah fungsi menjadi perumahan masyarakat, seperti yang digambarkan dengan kehidupan masyarakat suku Pegunungan (Wamena, Paniai). Suku Pegunungan memilih membangun rumahnya di atas gunung dan ditempat yang tinggi. Pada kesempatan ini akan dibahas hasil analisis Analisis Hirarki Proses yang tepat dalam kebijakan pengelolaan Cycloops pada masa yang akan datang, sehingga tercipta kelestarian dan bermanfaat bagi masyarakat (Gambar 10).

Gambar 10 Hasil Perhitungan Analisis Hirarkhi Proses (AHP) dalam Mengatasi Kerusakan Hutan CAPC.

8.1. Analisis Konsistensi Antara Variabel Secara Horizontal

Rumusan tindakan untuk mengatasi masalah kerusakan hutan CAPC pada tataran kepentingan stakeholder menunjukkan bahwa pihak yang paling berperan adalah stakeholder Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dan stakeholder Masyarakat dengan bobot 0,30. Peran selanjutnya yakni stakeholder Pemerintah Daerah sebesar 0,25, diikuti stakeholder Akademisi/LSM Lingkungan sebesar 0,09 dan stakeholder Swasta/Pengusaha sebesar 0,06 (Tabel 24).

Masalah

Mengatasi Kerusakan Hutan CAPC

Lembaga

Dasar penetapan stakeholder Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dan stakeholder Masyarakat sebagai pihak yang paling berperan untuk mengatasi masalah kerusakan hutan Cycloops, hal itu disebabkan bahwa hutan CAPC berada di dalam lingkungan masyarakat, serta masyarakat sendiri yang menyebabkan kerusakan. Faktor lainnya, bahwa kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan Cycloops yang terjadi selama ini dibawah kendali Lembaga Masyarakat Adat (LMA).

Peranan stakeholder Pemerintah Daerah yakni berupa dukungan program pengembangan dan rehabilitasi Cycloops, program pemberdayaan masyarakat hutan, program lainnya yang bersifat kreatif dan mandiri. Pelaksanaan program-program tersebut dengan melibatkan masyarakat setempat dan stakeholder lainnya.

Nilai rasio konsistensi pendapat para stakeholder adalah sebesar 0,04 (kurang dari 0,10) artinya bahwa matriks perbandingan berpasangan pendapat responden antar stakeholder secara keseluruhan dapat dinyatakan konsisten dan tidak memerlukan revisi pendapat.

Tabel 24 Tataran Kepentingan Stakeholder Dalam Mengatasi Kerusakan Hutan CAPC

No. Stakeholder Bobot Prioritas

1. Lembaga Masyarakat Adat (LMA) 0,30 1

2. Masyarakat 0,30 2

3. Pemerintah Daerah 0,25 3

4. Akademisi/LSM Lingkungan 0,09 4

5. Swasta/Pengusaha 0,06 5

Inkonsistensi Rasio = 0,04 Sumber : Data Primer diolah, 2009

Pendekatan kebijakan yang digunakan untuk mengatasi kerusakan hutan CAPC yang dihubungkan dengan kepentingan stakeholder pemerintah daerah, LMA, Swasta/Pengusaha, Akademisi/LSM Lingkungan dan Masyarakat adalah pendekatan kebijakan Hutan Lestari dan Ramah Lingkungan dengan nilai sebesar

0,66, diikuti pendekatan pencegahan konflik pengelolaan sebesar 0,24 dan pendekatan pengembangan ekonomi, sosial dan budaya sebesar 0,10 (Gambar 10).

Pendekatan hutan lestari dan ramah lingkungan dapat terlaksana apabila ketergantungan masyarakat terhadap hutan Cycloops semakin dikurangi. Artinya bahwa terjadi peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat ke arah yang lebih baik dan mata pencaharian sehari-hari tidak mengganggu kelestarian hutan Cycloops.

Nilai rasio konsistensi sebesar 0,04 (kurang dari 0,10) artinya bahwa matriks perbandingan berpasangan pendapat responden antar stakeholder secara keseluruhan dapat dinyatakan konsisten dan tidak memerlukan revisi pendapat (Tabel 25).

Tabel 25 Pendekatan Kebijakan untuk Mengatasi Kerusakan Hutan CAPC pada Tataran Kepentingan Stakeholder

No. Pendekatan Kebijakan Bobot Prioritas 1. Hutan Lestari dan Ramah Lingkungan 0,66 1 2. Pencegahan Konflik Pengelolaan 0,24 2 3. Pengembangan Ekonomi, Sosial dan Budaya 0,10 3

Inkonsistensi Ratio = 0,04

Sumber: Data Primer diolah, (2009)

Pendekatan kebijakan untuk mengatasi kerusakan hutan CAPC pada tataran kepentingan stakeholder LMA, Swasta/Pengusaha, Akademisi/LSM Lingkungan dan Masyarakat terdapat pada lampiran 10 (Analisis Konsistensi Antar Variabel Secara Horizontal).

8.2. Analisis Konsistensi Antara Variabel Secara Vertikal

Rumusan tindakan untuk mengatasi masalah kerusakan hutan CAPC dan merekomendasi alternatif kebijakan pengembangan kawasan CAPC yang baik, bobot masing-masing alternatif terhubung dengan masing-masing faktor dan Stakeholder (Tabel 26).

Tabel 26 Alternatif Kebijakan dalam Mengatasi Kerusakan Hutan CAPC No. Pendekatan Kebijakan Bobot Prioritas

1. Pemberdayaan Masyarakat Hutan 0,34 1

2. Pengembangan Lembaga Ekonomi 0,29 2

3. Penguatan Lembaga Masyarakat Adat 0,17 3

4. Penegakan Hukum 0,13 4

5. Pengembangan Hutan Wisata/Pendidikan 0,07 5 Inkonsistensi Rasio = 0,04

Sumber : Data Primer diolah, 2009

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang paling tepat adalah kebijakan pemberdayaan masyarakat hutan dengan bobot 0,34, diikuti kebijakan pengembangan lembaga ekonomi bobot 0,29. Selanjutnya kebijakan penguatan lembaga masyarakat adat bobot 0,17, kebijakan penegakan hukum bobot 0,13 dan kebijakan pengembangan hutan wisata/pendidikan bobot 0,07 (Lampiran 11).

Pemilihan kebijakan pemberdayaan masyarakat hutan sebagai alternatif utama yakni didasarkan fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa masyarakat yang menyebabkan kerusakan hutan Cycloops. Aktivitas tersebut berupa penebangan liar, konversi lahan menjadi lahan pertanian dan perkebunan, pembakaran, dan pengambilan bahan tambang galian Golongan C.

Masyarakat-masyarakat tersebut pada umumnya tidak memiliki pekerjaan tetap, tidak memiliki keahlian khusus, tingkat pendidikan rendah, pengetahuan dan kemampuan sangat terbatas dan hanya bergantung pada sumberdaya alam setempat.

Kebijakan pemberdayaan masyarakat hutan dapat berupa pengembangan dan peningkatan kemampuan dan keahlian, pemberian bantuan yang dapat menumbuhkan jiwa wirausaha dan menciptakan kemandirian serta kegiatan-kegiatan lain yang produktif, sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya alam.