• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

DI DISTRIK SENTANI KABUPATEN JAYAPURA

HALOMOAN HUTAJULU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kerugian Ekonomi Negara Akibat Penebangan Liar dan Dampak Kerusakan Hutan Cagar Alam Pegunungan Cycloops (CAPC) Terhadap Masyarakat di Distrik Sentani Kabupaten Jayapura adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

Halomoan Hutajulu NRP H351070021   

                             

(3)

ABSTRACT

HALOMOAN HUTAJULU. State’s Economic Loss Caused by Illegal Logging and Impact of the Forest Damage in the Natural Reserve of Cycloops Mountains (NRCM) on the People in the District of Sentani, Regency of Jayapura.

Supervised by EKA INTAN K. PUTRI and DODIK R. NURROCHMAT.

The increased damage to the Natural Reserve (Forest) of Cycloops Mountains is annually caused by the people’s activities such as illegal logging, housing development, and land conversion. Further, there are also various interests in exploiting the Cycloops forest. The data of degraded land size in Cycloops in 2007 covered an area of 9,374 hectare of the total area of 22.500 hectare. Based on such condition, some strategies and policies were formulated to control the damage to the Cycloops forest, which could be applied by the regional government with local communities. The formulated strategies and policies were elaborated into the objectives of this research: (1) to describe the forest damage in NRCM felt by the community, (2) to estimate the economic effect of the forest damage in NRCM felt by the government and its people, (3) to formulate actions to solve the damage in NRCM and recommend an appropriate development of NRCM in order to reduce such damage. For such purposes, this research made analyses of productivity changes, cost of illness, a qualitative description, transfer benefit, total economic value (TEV) and AHP. The research results show that illegal logging has caused a state’s economic loss of Rp 1.942.866.894.272,- whereas the impact of flood/landslides in Cycloops has reduced farming productivity with the loss value of Rp 1.178.264.000,- the change in public health with the loss value of Rp 152.325.000,- the damage to public facilities and infrastructure with the loss value of Rp 51.778.194.000,- and public housing with the loss value of Rp 730.870.000,-. The total value of economic loss as a result of floods/landslides in Cycloops was Rp 53.854.755.600,-. In addition, the value of WTP for the improvement in the quality of environment in Cycloops was Rp 522.707.160,-. The results of AHP show that in the control of forest damage in Cycloops the degree of importance of the stakeholder LMA and the Community was respectively 0,30, meaning that both LMA and Community hold an important role in controlling the forest damage in Cycloops. A right approach of policies in the form of Preserved and Environmentally-Friendly Forest had the value of 0,66.

The ratio value of consistency was 0,04, indicating that there was consistency in the stakeholder’s answers. An alternative policy for the development of Cycloops region is an Empowerment of Forest Community with the value of 0,34, which means that the local community must be empowered.

Keywords: Forest Damage, Community, Economic Impact.

 

(4)

RINGKASAN

HALOMOAN HUTAJULU. Kerugian Ekonomi Negara Akibat Penebangan Liar dan Dampak Kerusakan Hutan Cagar Alam Pegunungan Cycloops (CAPC) Terhadap Masyarakat di Distrik Sentani Kabupaten Jayapura. Dibimbing oleh EKA INTAN K. PUTRI dan DODIK R. NURROCHMAT.

Terjadinya peningkatan kerusakan hutan Cagar Alam Pegunungan Cycloops setiap tahun disebabkan oleh aktivitas masyarakat. Aktivitas tersebut berupa penebangan liar, pembangunan rumah di dalam kawasan Cycloops, konversi lahan dan lain sebagainya. Selain itu, terdapatnya berbagai kepentingan terhadap pemanfaatan hutan Cycloops itu sendiri.

Luas total hutan Cycloops sebesar 22.500 hektar. Dari luas lahan tersebut terdapat sebesar 9.374 hektar sudah menjadi lahan kritis, yang terdiri dari 2.703 hektar berada di dalam zona inti, serta 6.671 hektar berada di daerah zona penyangga.

Dari kondisi tersebut di atas dibuat suatu rumusan strategi kebijakan untuk mengatasi kerusakan hutan Cycloops yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah bersama masyarakat setempat. Rumusan strategi kebijakan tersebut dielaborasi kedalam beberapa rumusan tujuan penelitian (1) mendeskripsikan kerusakan hutan CAPC yang dirasakan oleh masyarakat, (2) memperkirakan dampak ekonomi penebangan liar dan kerusakan hutan CAPC yang dirasakan oleh pemerintah dan masyarakat, (3) merumuskan tindakan untuk mengatasi masalah kerusakan CAPC dan merekomendasikan pengembangan CAPC yang baik agar dapat mengurangi kerusakan CAPC. Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut, peneliti menggunakan metode analisis pendekatan perubahan produktivitas, pendekatan cost of illness, pendekatan deskriptif kualitatif, pendekatan transfer benefit, pendekatan nilai ekonomi total (TEV) dan pendekatan analisis hirarki proses (AHP).

Hubungan antara kesediaan membayar dengan umur responden berdasarkan hasil analisis korelasi spearman menunjukkan bahwa variabel umur, jumlah anak mempunyai korelasi (hubungan keeratan) dengan nilai sebesar 0,245 dan 0,181.

Nilai korelasi ini nyata secara statistik pada taraf nyata 5% dan 10% dengan nilai p < 0,001 dan 0,073 artinya semakin tinggi umur masyarakat, maka akan semakin besar kepedulian terhadap terciptanya kelestarian Cycloops. Sedangkan variabel tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pendapatan, asal suku tidak berkorelasi dengan WTP dengan nilai koefisien -1,66, -0,86, -0,32, dan 0,48 dengan taraf nyata masing-masing 10% dengan nilai p > 0,099, p > 0,396, p > 0,755, dan p <

0,632 artinya bahwa variabel-variabel tersebut tidak berhubungan dengan WTP.

Hasil penelitian menunjukkan akibat penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat menimbulkan total kerugian negara sebesar Rp 1.942.866.894.272,- yang terdiri dari Rp 1.941.855.537.720, potensi kehilangan kayu Rp 465.211.270,- iuran Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan Rp 546.145.282,- iuran Dana Reboisasi (DR). Sedangkan dampak banjir/longsor gunung Cycloops menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas pertanian, peternakan dan perikanan dengan nilai kerugian sebesar Rp 1.178.264.000. Dampak lain terhadap kesehatan masyarakat yakni meningkatnya volume penyakit gatal-gatal, kudis, malaria, flu, sakit kepala dan lain sebagainya dengan nilai kerugian sebesar

(5)

Rp 152.325.000. Biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat akibat

tidak bekerja, sehingga kehilangan pendapatan dalam waktu tertentu yakni sebesar Rp 15.102.600. Kerusakan sarana dan prasarana umum dengan nilai kerugian

Rp 51.778.194.000, sedangkan kerusakan perumahan masyarakat dengan nilai kerugian Rp 730.870.000. Nilai ekonomi total kerugian masyarakat akibat banjir/longsor Cycloops yakni sebesar Rp 53.854.755.600. Nilai WTP masyarakat tahun 2007 untuk perbaikan kualitas lingkungan Cycloops yakni sebesar Rp 522.707.160.

Hasil AHP menunjukkan bahwa untuk mengatasi kerusakan hutan Cycloops pada tataran kepentingan stakeholder Lembaga Masyarakat adat (LMA) dan Masyarakat dengan nilai bobot masing-masing 0,30 artinya bahwa stakeholder LMA dan Masyarakat berperan penting dalam mengatasi kerusakan hutan Cycloops. Pendekatan kebijakan yang tepat berupa Hutan Lestari dan Ramah Lingkungan dengan nilai 0,66. Nilai rasio konsistensi sebesar 0.04 artinya terdapat konsistensi jawaban stakeholder. Alternatif kebijakan pengembangan kawasan Cycloops adalah kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Hutan dengan nilai 0,34 artinya bahwa masyarakat setempat harus diberdayakan.

Kata kunci : Kerusakan Hutan, Masyarakat, Dampak Ekonomi   

     

   

(6)

                                   

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

(7)

KERUGIAN EKONOMI NEGARA AKIBAT PENEBANGAN LIAR DAN DAMPAK KERUSAKAN HUTAN CAGAR ALAM PEGUNUNGAN CYCLOOPS (CAPC) TERHADAP MASYARAKAT

DI DISTRIK SENTANI KABUPATEN JAYAPURA

HALOMOAN HUTAJULU

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

(8)

Judul Tesis : Kerugian Ekonomi Negara Akibat Penebangan Liar dan Dampak Kerusakan Hutan Cagar Alam Pegunungan Cycloops (CAPC) Terhadap Masyarakat di Distrik Sentani Kabupaten Jayapura.

Nama : Halomoan Hutajulu

NIM : H351070021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S. Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc. F.Trop.

Ketua Anggota

Diketahui

Tanggal Ujian: November 2009 Tanggal Lulus:

Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi. M. Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala Berkat dan Karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih adalah Kerugian Ekonomi Negara Akibat Penebangan Liar dan Dampak Kerusakan Hutan Cagar Alam Pegunungan Cycloops (CAPC) Terhadap Masyarakat di Distrik Sentani Kabupaten Jayapura.

Penelitian mengenai Kerugian Ekonomi Akibat Penebangan Liar dan Dampak Kerusakan Hutan hingga kini masih terus berlangsung, baik di Provinsi Papua dan Provinsi lainnya. Maraknya penelitian tersebut terutama dipicu oleh pertanyaan yang belum terjawab secara tuntas: Mengapa penebangan liar hutan berlangsung sampai sekarang? di samping itu tugas akhir ini juga bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Seperti tersirat dari judulnya, Tugas Akhir ini pada dasarnya ingin mendeskripsikan kerusakan hutan Cycloops, memperkirakan dampak penebangan liar terhadap kerugian negara dan dampak kerusakan hutan Cycloops terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat serta merumuskan tindakan dan kebijakan untuk mengatasi kerusakan hutan

(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyusunan tesis ini tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak ada arahan dan bimbingan dari komisi pembimbing, dan bantuan dari pihak-pihak lainnya.

Karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S. Selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan untuk perbaikan penyusunan tesis ini.

2. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc. F.trop. Selaku Anggota Komisi Pembimbing yang sudah banyak memberikan bimbingan dan arahan untuk perbaikan penyusunan tesis ini

3. Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T. selaku Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB yang telah mengijinkan penulis untuk menyelesaikan tesis, serta memberikan ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan selama penulis mengikuti kegiatan perkuliahan.

4. Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah mengijinkan penulis untuk menyelesaikan tesis, serta memberikan ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan yang lebih mendalam selama penulis mengikuti kegiatan perkuliahan.

5. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menyelesaikan studinya pada program S2 Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

6. Ir. Sahat Simanjuntak, M.Sc selaku dosen senior dan juga sebagai orang tua bagi mahasiswa pascasarjana ESL IPB, yang menyemangati penulis untuk secepatnya menyelesaikan tesis ini.

7. Para dosen Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan yang telah memberikan ilmu-ilmu tentang ekonomi sumberdaya dan lingkungan selama penulis mengikuti kegiatan perkuliahan.

(11)

8. Para pejabat dan staf Tata Usaha Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya juga ingin disampaikan kepada:

1. Prof. Dr. B. Kambuaya, M.B.A, selaku Rektor Universitas Cenderawasih dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih Jayapura yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi pada program S2 Sekolah Pascasarjana IPB Bogor, serta memberikan dukungan dana bagi penulis selama mengikuti perkuliahan.

2. Drs. A.C. Sungkana Hadi, MLIS dan Drs. S.J. Renyaan, M.Sc selaku Direktur Eksekutif LPIU I-MHERE Batch II dan Direktur LPIU I-MHERE Universitas Cenderawasih Jayapura dan Dr. Hans Kaiway, M.Sc. Agr. Selaku Penanggung Jawab Project I-MHERE di Program Studi Ilmu Ekonomi yang telah memberikan bantuan dana (sponsor) bagi penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Pascasarjana IPB Bogor.

3. Prof. Dr. Karel Sesa, M.Si sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih periode 2004-2009 yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana IPB.

4. Drs. P.N. Patinggi sebagai Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Drs. Kuwat Subyantoro, M.S sebagai Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih periode 2005-2009 yang telah banyak memberikan bantuan dorongan moril maupun materiil.

5. Staf Dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih yaitu, Prof. Dr.

Hasan Basri Umar, M.S., Dr. Yundy Hafizrianda, M.Si, Charley Bisay, SE, M.SE, Klara Bonay, SE, M.Sc, Agustina Sanggrangbano, SE, M.Sc, Elsyan R. Marlissa, SE, M.Si, Ivana Wamafma, SE, M.Sc, Yeni Rumbiak, SE, Risky N. Ngutra, SE, Bill Pangayouw, SE, M.Si dan rekan-rekan senior lainnya.

6. Tokoh Masyarakat Adat Waena dan Sentani, LSM YPLHC Waena, T.A.

Wakum dari Conservation International Indonesia Wilayah Jayapura, Kepala KSDA Wilayah X Papua dan Kepala Dinas Kehutanan di Provinsi Papua, Dr. Henry Yanuar Mahulette, M.Si (+) selaku Akademisi Universitas

(12)

Cenderawasih, dan PT. Buma Kumawa yang telah membantu memberikan data yang terkait dalam penyelesaian tesis ini.

7. Seluruh rekan seperjuangan dari Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor: Almarhumah Ir. Sri Hastuti, Ir. Bambang, Maurits K. Rumfaker, SE, M.Si, Mateus Mayor, S.Sos.

Fazri Putrantomo, SP, Kastana Sapanli, SE, M.Si, Ir. Bambang, Fazri Hatim, SE, Zaky Marasabessi, SE, Frans Melkior Yekusamon, SE, Balthazar Kreuta, SE, Indri Assa, M.Si, Dermawati Tambunan, Amd, Cristina Siregar, S.Psi, Paul Sudumeru, SE, Apolos Yumame, SE, Andi Suae, SE, Linda Kayai, SE, Ir. Maman Surahman, rekan-rekan seperjuangan di Wisma Galih, Ikatan Mahasiswa Papua Wilayah Bogor, rekan-rekan PS Charisma, rekan-rekan PS Nafiri, PS Gita Melodia, rekan-rekan Forum Wacana IPB Bogor Periode 2008/2009.

8. Pihak-pihak lain yang tidak mungkin disebutkan satu demi satu di sini.

Atas doa, kesabaran, ketulusan, serta dukungan semangat dari mereka, penulis juga menyampaikan ungkapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada yang tercinta :

1. Kedua orangtua, Bapak H. Hutajulu (+) dan Ibu L. Pangaribuan yang senantiasa memberikan semangat, dukungan doa, dan mengajarkan tentang hidup takut akan Tuhan untuk keberhasilan anak-anak dan cucu-cucunya.

2. Keluarga R. Hutajulu, Keluarga S. Sirait, keluarga P. Tobing, keluarga M.

Aritonang, Kristian, dan bereku Diana, Robet, Nora, Fernando, Ribka, Punguan Pangulu Ponggok Naiborngin di Jayapura dan Istriku Setia Murni Parhusip, S.Pd yang selalu memberikan semangat, doa dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan tulisan ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga bantuan dan kerjasama yang baik dari semua pihak yang turut memberikan andil dan dukungan dalam penyelesaian Tesis ini mendapatkan balasan dari Bapa disorga. Amin.

Bogor, Februari 2010 Penulis

Halomoan Hutajulu

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pematang Toba Kabupaten Serdang Bedage Provinsi Sumatera Utara, pada tanggal 29 November 1979 dari ayah Hamonangan Hutajulu dan ibu Luminta Pangaribuan. Penulis merupakan putra kelima dari lima bersaudara.

Tahun 1993 penulis lulus dari SD Negeri 173552 Laguboti, kemudian melanjutkan pada SMP Negeri 4 Laguboti dan lulus pada tahun 1996. Selanjutnya pada tahun 1999 lulus dari SMK Yayasan Perguruan Tri Sakti Laguboti. Melalui UMPTN pada tahun 1999 penulis diterima untuk meneruskan studi ke jenjang S1 di Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Cenderawasih Jayapura, dan dinyatakan lulus Sarjana Ekonomi pada tahun 2004. Setelah itu pada tahun 2007 penulis mengikuti studi lanjut ke jenjang S2 di Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari I-MHERE PROJECT (Bank Dunia).

Penulis mulai tahun 2005 bekerja sebagai staf dosen pada Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih Jayapura. Tahun 2006 diangkat sebagai Asisten Ahli pada jurusan yang sama.

Selama mengikuti program S2 di Sekolah Pascasarjana IPB, penulis menjadi anggota bidang Kerjasama dan Hubungan Internasional pada Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB tahun 2008.

(14)

i   

           Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ...………... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ….………... 6

1.4 Manfaat Penelitian ….………... 6

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ..………... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Penilaian Ekonomi Dampak Kerusakan Hutan ... 8

2.2 Hutan di Indonesia ...………... 10

2.3 Kawasan Konservasi Cagar Alam ... 11

2.4 Akses Masyarakat Adat Terhadap Hutan Konservasi ... 12

2.5 Kerusakan Hutan Konservasi ... 14

2.6 Dampak Kerusakan Hutan ... 14

2.7 Penelitian Terdahulu ... 16

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 18

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 18

3.1.1 3.1.2 Pendekatan Analisis Kerugian Ekonomi Negara ... Pendekatan Analisis Perubahan Produktivitas ... 18 18 3.1.3 Pendekatan Analisis Cost of Illness …………... 19

3.1.4 Pendekatan Deskriptif Kualitatif ... 19

3.1.5 Pendekatan Nilai Ekonomi Total (TEV) ... 19

3.1.6 Analisis Kebijakan ... 21

3.1.7 Pendekatan Analisis Hirarki Proses (AHP) ... 23

3.2 Kerangka Operasional ... 27

IV. METODE PENELITIAN ... 30

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ……….………... 30

4.2 Jenis dan Sumber Data .………... 30

4.3 Metode Pengambilan Sampel .………... 30

4.4 Metode Analisa Data .………... 31

4.4.1 Analisa Kerugian Ekonomi Negara Akibat Penebangan Liar ... 31

4.4.2 Pendekatan Perubahan Produktivitas ... 32

4.4.3 Pendekatan Biaya Pengobatan (Cost of Illness) ... 32

4.4.4 Pendekatan Deskriptif Kualitatif ... 33

4.4.5 Pendekatan Transfer Benefit ... 33

4.4.6

4.4.7

Analisa Total Economic Value (TEV) ...

Analisa Analisis Hirarki Proses (AHP) ...

34 34

(15)

ii   

5.3 Kondisi Sosial – Ekonomi Masyarakat …………... 46

5.4 Sistem Zonasi Dalam Konservasi Masyarakat Adat ………… 47

5.5 Permasalahan Cagar Alam Pegunungan Cycloops …………... 48

5.6 Upaya Pencegahan yang Telah Dilakukan ……….. 50

5.7 Sistem Pemerintahan ………. 50

5.8 Pertambahan Penduduk ……… 51

5.9 Sarana Kesehatan ... 51

5.10 Keadaan Geografi Kabupaten Jayapura ... 52

5.11 Keadaan Iklim ... 52

VI. DESKRIPSI RESPONDEN ... 53

6.1 Deskripsi Karakteristik Sosial Ekonomi Responden ... 53

6.1.1 Distribusi Responden Berdasarkan Wilayah dan Jarak Dengan CAPC ... 53

6.1.2 Deskripsi Responden di Kelurahan Hinekombe ……... 53

6.1.3 Deskripsi Responden di Kelurahan Sentani Kota ……. 54

6.1.4 Deskripsi Responden di Kelurahan Dobonsolo ... 55

6.1.5 Distribusi Responden Berdasarkan Asal Suku Daerah.. 56

6.1.6 Hubungan Antara Kesediaan Membayar Dengan Karakteristik Responden ... 57

VII. NILAI KERUGIAN NEGARA AKIBAT PENEBANGAN LIAR DI CAPC ... 59

7.1 Kerugian Negara Akibat Penebangan Liar di Kawasan CAPC... 59

7.2 Deskripsi Kerusakan Hutan CAPC yang Dirasakan Oleh Masyarakat ... 61

7.3 Dampak Kerugian Ekonomi Masyarakat Akibat Perubahan Produktivitas Pertanian Sebelum dan Sesudah Banjir/Longsor Cycloops ... 63

7.4 Pendekatan Cost Of Illness ... 66

7.5 Nilai Kerusakan Infrastruktur ... 69

7.6 Dampak Sosial Banjir/Longsor Cycloops di Distrik Sentani ... 74

7.7 Nilai Ekonomi Total (NET) Kerugian Masyarakat Akibat Banjir/Longsor Hutan Cycloops ... 76

7.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kesediaan Membayar (WTP) ...  77

VIII. ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP) ... 88

8.1 Analisis Konsistensi Antara Variabel Secara Horizontal ... 89

8.2 Analisis Konsistensi Antara Variabel Secara Vertikal ... 91

IX. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 93

9.1 Kesimpulan ... 93

9.2 Rekomendasi ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95

LAMPIRAN ... 100

(16)

iii   

Halaman 1. Beberapa Teknik Untuk Valuasi Dampak Lingkungan atau Barang

dan Jasa Lingkungan ... 9

2. Tiga Pendekatan Analisis Kebijakan ... 23

3. Manfaat dan Kerugian (Biaya) dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan (SDL) Pada CAPC ………... 24

4. Skala Banding Secara Berpasangan Model Saaty ... 26

5. Matrik Penelitian ... 38

6. Luas Perkiraan Produksi Pertambangan Bahan Galian Golongan C Di Kabupaten Jayapura ……….……….... 43 7. Distribusi Responden Berdasarkan Wilayah dan Jarak dengan hutan CAPC... 53

8. Deskripsi Responden di Kelurahan Hinekombe …..……….... 54

9. Deskripsi Responden di Kelurahan Sentani Kota ….………..…... 55

10. Deskripsi Responden di Kelurahan Dobonsolo …..……….. 56

11. Distribusi Responden berdasarkan Asal Suku ……… 56

12. 13. Kerugian Ekonomi Negara Akibat Penebangan Liar Tahun 2007 ... Total Kerugian Ekonomi Negara Akibat Penebangan Liar di Kabupaten Jayapura Tahun 2007 ……….. 59 60 14. 15. Nilai Kerugian Penurunan Produktivitas Sektor Pertanian, Peternakan dan Perikanan Tahun 2007 ...………... Rekapitulasi Penyakit Akibat Banjir/Longsor Cycloops di Distrik Sentani Tahun 2007 .………... 65 66 16. 17. 18. Nilai Kerugian Ekonomi Penduduk Tidak Bekerja Akibat Banjir/Longsor Cycloops di Distrik Sentani Tahun 2007 .………… Dampak Banjir/Longsor Cycloops Terhadap Kerusakan Infrastruktur di Distrik Sentani Tahun 2007 ...………... Dampak Banjir/Longsor Gunung Cycloops Terhadap Kerusakan Perumahan Responden Tahun 2007... 68 69 73 19. Total Nilai Kerugian Ekonomi Akibat Banjir/Longsor Hutan Cycloops di Distrik Sentani Tahun 2007 ... 76

20. Anggaran Operasi Pengamanan dan Perlindungan Hutan Cycloops Tahun 2007 ... 78

21. Nilai Tengah (Median) WTP dan Standar Deviasi Responden di Distrik Sentani ... 84

22. WTP Rata-Rata Responden di Distrik Sentani Per Bulan Tahun 2007 85 23. Total WTP Masyarakat di Distrik Sentani Tahun 2007 ……… 87

24. Tataran Kepentingan Stakeholder Dalam Mengatasi Kerusakan Hutan CAPC ... 90

25. Pendekatan Kebijakan Untuk Mengatasi Kerusakan Hutan CAPC Pada Tataran Kepentingan Stakeholder ... 91

26. Alternatif Kebijakan Dalam Mengatasi Kerusakan Hutan CAPC ... 92  

(17)

iv   

Halaman 1. Dampak On Site dan Off Site dari Erosi Tanah ... 15 2. Bagan Alir Kerangka Berpikir Penilaian Ekonomi Kerusakan

Lingkungan Akibat Longsor Hutan CAPC ... 29 3. Teknik Pendekatan Perhitungan Nilai Ekonomi Total ... 34 4. Analisis Hirarki Proses (AHP) dalam Mengatasi Kerusakan Hutan

CAPC ... 35 5. Monumen Mc. Arthur Sebagai Salah Satu Obyek Wisata di Kawasan

Cycloops ………... 44

6. Kondisi Badan Sungai yang Berhulu di Gunung Cycloops dan Mengalir ke Danau Sentani ………..…. 45 7. Data Penduduk Kabupaten Jayapura Menurut Jenis Kelamin Tahun

2004-2007 ……….... 51

8. Kerusakan Hutan CAPC Beberapa Tahun Terakhir ... 61 9. Kurva Permintaan WTP Masyarakat di Distrik Sentani ……….…... 86 10. Hasil Perhitungan Analisis Hirarki Proses (AHP) dalam Mengatasi

Kerusakan Hutan CAPC ……….. 89

(18)

v   

Halaman 1. Data-Data Responden Di Kecamatan Sentani Kabupaten Jayapura .. 100 2. Jumlah Kerugian Materi (Barang Non Bangunan) Akibat

Banjir/Longsor CAPC ... 103 3. Nilai Kerugian Longsor CAPC Barang Non Bangunan ... 106 4. Dampak Longsor/Banjir Cycloops Terhadap Kesehatan Masyarakat 109 5. Dampak Erosi/Longsor Terhadap Usaha (Pertanian, Peternakan,

Toko, Perikanan) Ekologi, Sosial ……… 112 6. Pandangan Terhadap Kawasan Perlindungan Kawasan CAPC …… 115 7. Saran Dan Rekomendasi Responden Terhadap Pengelolaan CAPC 118 8. Rekapitulasi Kerugian Akibat Banjir/Longsor CAPC ……… 121 9. Data Kerusakan Bencana Alam Banjir/Longsor di Kecamatan

Sentani Kabupaten Jayapura Tahun 2007 ... 123 10.

11.

Analisis Konsistensi Antar Variabel Secara Horizontal ...

Analisis Parsial Variabel (Per Stakeholder) Secara Vertikal ...

125 127 12. Analisis Secara Parsial, Dengan Pengaruh Kriteria dan Stakeholder

di Level Atasnya ………... 129 13. Analisis Korelasi Spearman ... 132  

 

 

   

(19)

1.1. Latar Belakang

Luas hutan Indonesia sebesar 137.090.468 hektar. Hutan terluas berada di Kalimantan (36 juta hektar), Papua (32 juta hektar), Sulawesi (10 juta hektar) Sumatera (22 juta hektar) dan sisanya tersebar di berbagai pulau lainnya (Departemen Kehutanan, 2008).

Secara ekonomi hutan bermanfaat sebagai bahan baku industri kayu, penyediaan lapangan kerja, sebagai tempat wisata, dan salah satu sumber pendapatan nasional. Hutan juga bermanfaat sebagai penyangga kehidupan, pengaturan tata air dan sumber mata air, menjaga kesuburan tanah, keseimbangan iklim dan kualitas udara, biodiversity (flora dan fauna).

Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Indonesia, yang memanfaatkan sumber daya alam termasuk hutan, cenderung dilakukan secara eksploitatif yang berdampak pada kerusakan hutan dan lahan. Data kerusakan hutan nasional diperkirakan mencapai angka 2,83 juta hektar/tahun (Departemen Kehutanan, 2005). Sedangkan WALHI (2008) mencatat bahwa dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90% hutan di dunia, Indonesia adalah negara dengan laju degradasi hutan tercepat di dunia, rata-rata sekitar 1,9 juta hektar hutan mengalami kerusakan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005. Artinya, setiap harinya rata-rata sekitar 51 kilometer persegi hutan di Indonesia rusak.

Lebih dari 90% kerusakan hutan disebabkan aktivitas korporasi yang tidak diimbangi upaya reforestasi memadai padahal dengan cakupan luas hutan hujan tropis nomor tiga di dunia setelah Brasil dan Zaire (Kongo), hutan Indonesia juga merupakan paru-paru dunia yang dapat menyerap karbon dan menyediakan oksigen bagi kehidupan di muka bumi ini (WALHI, 2008 ).

WALHI (2008) mencatat angka degradasi hutan di Indonesia sebesar dua persen per tahun merupakan yang tertinggi dari 43 negara lain, disusul Zimbabwe setiap tahun sebesar 1,7% dari luas hutan tersisa, Myanmar 1,4%, dan Brasil hanya 0,6%. Kerusakan hutan Indonesia tersebut sebaliknya telah menyelamatkan hutan China sebagai negara tujuan ekspor produk kayu terbesar dari Indonesia.

(20)

Luas hutan China setiap tahun malah bertambah sebesar 2,2%. Sebaliknya, Indonesia saat ini hanya menyisakan 28% hutan primernya.

Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, sebagian besar kawasan Indonesia menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana ekologis (ecological disaster), seperti bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor.

Menurut data dari Bakornas Penanggulangan Bencana, sejak 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 bencana di Indonesia akibat kerusakan hutan dengan 2.022 korban jiwa dan kerugian miliaran rupiah, dengan 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor.

Provinsi Papua memiliki luas kawasan hutan sebesar ± 42.224.840 hektar atau 95% dari total luas daratan. Hutan Papua terdiri dari hutan lindung sebesar 10.619.090 hektar, hutan suaka alam dan pelestarian alam 8.025.820 hektar, hutan produksi tetap sebesar 2.054.110 hektar, hutan produksi terbatas 10.585.210 hektar, hutan produksi konversi sebesar 9.262.130 hektar dan kawasan perairan sebesar 1.678.480 hektar (Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, 2008).

Luas kawasan hutan di Kabupaten Jayapura 1.353.407 hektar, yang terdiri dari 644.387 hektar hutan lindung, hutan konversi sebesar 31.210 hektar.

sedangkan hutan produksi sebesar 279.478 hektar, hutan produksi terbatas sebesar 304.553 hektar, kawasan konservasi/kawasan pelestarian sebesar 84.840 hektar, dan areal penggunaan lain sebesar 8.939 hektar. Dari 1,3 juta hektar hutan di Kabupaten Jayapura 236.459 hektar diantaranya telah mengalami kerusakan (Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura, 2008).

Luas lahan kritis di kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloops mencapai 9.374 hektar yang terdiri dari 2.703 hektar (12,01%) berada di dalam kawasan inti cagar alam, sedangkan sebesar 6.671 hektar (29,65%) berada di daerah kawasan penyangga (Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura, 2008) .

Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura (2008) terdapat sekitar 5.000 warga atau sekitar 1.000 KK yang bermukim di sekitar lokasi CAPC. Pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat adat yang berada di kawasan CAPC berdasarkan kearifan lokal yang sudah diwariskan secara turun-temurun. CAPC secara turun temurun dihuni oleh

(21)

lima suku besar yang mempunyai kaitan dengan hak ulayat kawasan ini yaitu:

suku Ormu dan Tepera di bagian Utara dan Suku Moi, Sentani serta Humbolt atau Numbay di bagian Selatan, serta ditambah suku Wamena, Paniai dan suku dari luar Papua seperti suku Ambon, suku Bugis, Buton, Makassar, Jawa dan Batak.

Pertambahan penduduk yang semakin cepat, menyebabkan tekanan terhadap pembangunan ekonomi daerah, sehingga mengakibatkan kebutuhan lahan untuk kegiatan pertanian/perladangan meningkat, penebangan kayu secara ilegal oleh perusahaan dengan memanfaatkan masyarakat, pengambilan bahan galian golongan C dan pembangunan pemukiman serta infrastruktur. Fenomena ini mengakibatkan konversi lahan pada wilayah CAPC menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Akibat dari kegiatan tersebut menyebabkan kerusakan kawasan CAPC sebesar 9.374 hektar dari luas total sebesar 22.500 hektar.

Kerusakan hutan Cycloops menyebabkan erosi dan longsor. Dampak erosi dan longsor tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Kerugian tersebut berupa hilangnya sumberdaya hutan, menurunnya sistem penyangga kehidupan dengan berkurangnya keanekaragaman jenis flora dan fauna, berubahnya fungsi bio-fisik, dan menurunnya penggunaan sumberdaya alam yang berkaitan dengan air, menurunnya produksi pertanian.

Berdasarkan kondisi seperti tersebut di atas, penulis tertarik untuk meneliti dampak kerugian yang diakibatkan oleh rusaknya (longsor) kawasan CAPC pada bulan Maret tahun 2007 yang lalu.

1.2. Perumusan Masalah

Dalam rangka meningkatkan perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka kekayaan sumber daya alam adalah sebagai modal utama pembangunan nasional. Oleh karena itu berbagai kebijakan dan peraturan dibuat oleh pemerintah sebagai dasar dan landasan bagi pihak yang akan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam tersebut.

Dalam perkembangannya pembangunan itu sendiri belum menciptakan masyarakat yang sejahtera, akan tetapi menimbulkan kesenjangan yang cukup lebar diantara kelompok masyarakat tersebut. Perbedaan tersebut meliputi sarana

(22)

dan prasarana infrastruktur pendukung kehidupan yang disediakan oleh pemerintah kota dan desa, perbedaan lainnya yakni akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumber daya alam tersebut.

Ketimpangan pembangunan menciptakan masyarakat yang kalah dalam persaingan dan termarginalkan secara sosial dan ekonomi. Masyarakat suku Ormu dan Tepera di bagian Utara dan Suku Moi, Sentani serta Humbolt atau Numbay di bagian Selatan, serta ditambah suku Wamena, Paniai dan suku dari luar Papua seperti suku Ambon, suku Bugis, Buton, Makassar, Jawa dan Batak yang mendiami kawasan CAPC.

Akibat pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi maka tekanan terhadap sumber daya alam semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumber daya alam sangat tinggi. Hal ini terlihat dari pembukaan hutan, pertambangan dan eksploitasi sumber daya alam yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dengan demikian tentunya kawasan-kawasan eksploitasi tersebut kian terancam habis, sementara suksesi sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan telah dieksploitas membutuhkan waktu lama untuk dapat diperbaharui lagi.

Triono (2007) menyatakan bahwa daerah kawasan CAPC telah mengalami perubahan fungsi lingkungan, yang ditunjukkan dengan kerusakan kawasan hutan sebesar 9.380 hektar, lahan permukiman meningkat dengan luas 35 hektar, ladang/tegalan meningkat dengan luas 42 hektar, tanah terbuka/semak meningkat dengan luas 53 hektar. Perubahan fungsi lingkungan tersebut berpengaruh terhadap penurunan kualitas dan debit mata air, yang menunjukkan konsentrasi parameter coliform meningkat sebesar 190 – 429 MPN/100 ml, sehingga melebihi baku mutu yang ditetapkan, sedangkan debit juga mengalami penurunan, untuk mata air Kujabu sebesar 216 liter/detik, Korem sebesar 8 liter/detik dan Kampwolker mengalami penurunan sebesar 50 liter/detik. Rata-rata penurunan tiap tahun sebesar 9,8% kebutuhan air bersih bagi penduduk di daerah penelitian rata-rata 100 liter/hari/orang.

Kerusakan kawasan CAPC dapat dilihat dari semakin berkurangnya kayu di tempat tersebut. Pada waktu-waktu tertentu akibat penggundulan menyebabkan jatuhnya batu-batu besar dari atas gunung yang mengganggu dan mengancam

(23)

kehidupan masyarakat yang mendiami kawasan CAPC, berkurangnya suplai air untuk Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura sebagaimana disebutkan oleh Kepala PDAM Kabupaten Jayapura menurun hingga 60%, dan pada saat musim kemarau sebagian besar daerah itu kekeringan. Dari 38 sungai yang mengalir sekarang tinggal 14 sungai saja, hal ini menandakan penurunan debit air di kawasan Cycloop.

Kerusakan kawasan CAPC sebagai akibat dari pembangunan, sehingga memaksa masyarakat setempat memanfaatkan sumber daya alam (CAPC) sebagai input dalam mendapatkan pendapatan serta aktivitas masyarakat lainnya yakni penebangan pohon secara liar baik untuk membuat rumah, sampan dan dijadikan sebagai arang untuk dijual pada pemilik warung makan.

Oleh karena itu berbagai pihak telah mengambil peran dalam menjaga kelestarian CAPC tersebut. Pihak tersebut seperti Pemerintah Kabupaten Jayapura telah berupaya memberikan pemahaman bagi masyarakat sekitar CAPC untuk turut menjaga kelestarian CAPC, memberikan lahan di dalam areal CAPC bagi masyarakat setempat untuk dipakai dan diusahakan sehingga tidak mengganggu kelestarian CAPC, serta rencana terbaru yakni akan merelokasi masyarakat setempat ke daerah dekat kantor Bupati Kabupaten Jayapura. Sedangkan peran yang dimainkan oleh LSM lokal, nasional bahkan internasional yakni dengan melakukan kampanye pada masyarakat setempat untuk menjaga kelestarian, mengadakan publikasi baik media cetak maupun elektronik.

Dari uraian di atas maka penulis mencoba merumuskan permasalahan yang terdapat pada pengelolaan CAPC serta dampak dari longsornya CAPC yang akan menjadi obyek penelitian ini yakni :

a. Bagaimanakah kondisi kerusakan hutan CAPC selama ini?

b. Berapa besar dampak penebangan liar dan kerusakan hutan CAPC terhadap kerugian negara serta tingkat kesejahteraan (pendapatan, kesehatan, sosial dan budaya) masyarakat?

c. Bagaimana upaya mengatasi masalah kerusakan kawasan CAPC oleh stakeholder (Masyarakat Adat, Pemerintah, LSM dan Swasta)?

(24)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan kerusakan hutan CAPC yang dirasakan oleh masyarakat.

2. Memperkirakan dampak penebangan liar dan kerusakan hutan kawasan CAPC terhadap kerugian negara serta tingkat kesejahteraan (pendapatan, kesehatan, sosial dan budaya) masyarakat.

3. Merumuskan tindakan untuk mengatasi masalah kerusakan kawasan CAPC dan merekomendasikan pengembangan kawasan CAPC yang baik agar dapat mengurangi kerusakan kawasan CAPC.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran jumlah kerugian material dan non material akibat longsornya kawasan CAPC, serta dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai kebijakan yang tepat dengan didukung kelembagaan masyarakat yang kuat dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan tersebut.

Suatu harapan yang optimis adalah hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada para pengambil kebijakan, secara khusus Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura, Kantor Badan Perencanaan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) dalam menyusun kebijakan pengembangan dan pemanfaatan kawasan konservasi CAPC yang lestari, dan kelangsungan hidup generasi yang akan datang.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Studi ini melakukan estimasi tentang kerugian negara akibat penebangan liar dan dampak kerusakan hutan kawasan CAPC terhadap tingkat kesejahteraan (pendapatan, kesehatan, sosial dan budaya) masyarakat. Obyek penelitian dalam studi ini adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan CAPC yang mengalami bencana dan kerusakan harta benda, selain itu fasilitas sarana dan prasana yang disediakan pemerintah yakni bangunan, infrastruktur jalan dan lain sebagainya. Asumsi yang dipakai pada penelitian ini adalah masyarakat yang

(25)

mengalami bencana adalah masyarakat yang juga melakukan penebangan liar di kawasan Cycloops.

Studi ini juga merumuskan upaya-upaya yang dapat dilaksanakan oleh seluruh stakeholder yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan hutan CAPC termasuk masyarakat yang mendiami kawasan CAPC dan masyarakat yang terkena dampak kerusakan, dalam mengatasi masalah kerusakan kawasan CAPC dan mengembangkan model pengembangan yang baik dan berkelanjutan.

Ada beberapa batasan dalam studi ini yakni: pertama, studi ini hanya memperkirakan kerugian negara akibat penebangan liar yang terjadi di kawasan CAPC sampai pada tahun 2007, kedua, studi hanya memperkirakan dampak kerugian akibat banjir dan tanah longsor yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar kawasan CAPC pada tahun 2007. Ketiga, dari jumlah penduduk 5.000 orang atau sekitar 1.000 KK, jumlah sampel yang diambil untuk mengetahui dampak erosi/longsor terhadap kerugian masyarakat dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 KK yang yang berasal dari Distrik Sentani. Keempat, studi ini tidak menganalisis dampak ekonomi kerusakan kawasan CAPC yang dirasakan masyarakat di luar lokasi penelitian dan juga tidak menghitung unit ekonomi yang terkena dampak, tetapi tidak berada dalam kawasan lokasi penelitian. Kelima, masyarakat yang mengalami bencana adalah masyarakat yang melakukan kerusakan (penebangan liar, pembangunan rumah, konversi lahan dan sebagainya).

(26)

2.1. Penilaian Ekonomi Dampak Kerusakan Hutan

Hutan sebagai suatu ekosistem memberikan manfaat langsung dan tidak langsung. Menurut Gregory (1972), hutan selain berfungsi sebagai kawasan produksi yang berperan dalam produksi kayu dan produk hasil hutan non kayu yang memiliki fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat, juga berfungsi sebagai pelindung tanah, air, iklim, sumber plasma nuftah, dan biodiversitas.

Menurut Barbier (1995), kehilangan keanekaragaman hayati memberikan konsekuensi hilangnya nilai ekonomi potensial dari hutan seperti: produk hutan non kayu, bahan genetik untuk industri farmasi, bioteknologi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta jenis-jenis kayu yang tidak dipasarkan.

Dampak tidak langsung erosi/longsor adalah hilangnya jasa-jasa lingkungan hutan yang menyebabkan hilangnya manfaat dari sumberdaya hutan sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang seharusnya dapat diperoleh. Pengelolaan lingkungan dapat dicapai dengan menerapkan ekonomi lingkungan sebagai instrumen yang mengatur alokasi sumberdaya secara rasional (Steer, 1996).

Kebijakan mengurangi suatu dampak lingkungan akan dipengaruhi oleh perhitungan biaya yang harus dikeluarkan untuk mencegah (preventif) atau memperbaiki dan manfaat yang akan diperoleh kemudian (Spash, 1997). Preventif dipahami sebagai perlakuan pencegahan sebelum terjadinya dampak (ex-ante) sedangkan perbaikan merupakan perlakuan setelah dampak terjadi (ex-post).

Penilaian manfaat lingkungan secara ekonomis dengan sangat kecil atau sangat besar harus ditinggalkan dan barang dan jasa lingkungan harus dinilai keuntungannya secara finansial (Barbier, 1995).

Pengambilan kebijakan apakah preventif atau perbaikan harus dibuat terutama untuk melihat besarnya investasi yang dikeluarkan untuk tindakan preventif maupun biaya untuk memperbaiki dampak yang sudah terjadi (Barrett dan Segerson, 1997). Permasalahan utama dalam program perlindungan lingkungan, termasuk pengelolaan hutan CAPC adalah bahwa keuntungan dari program pengelolaan hutan CAPC seperti fungsi hidrologis dan ekologis tidak mempunyai nilai ekonomi atau nilai pasar langsung.

(27)

Aplikasi ekonomi lingkungan dalam pengambilan kebijakan bagi perlindungan dan perbaikan lingkungan termasuk pengelolaan hutan CAPC mempunyai beberapa permasalahan, seperti identifikasi dan kuantifikasi dampak lingkungan, valuasi keuntungan, biaya lingkungan.

Valuasi ekonomi manfaat lingkungan dan sumberdaya alam sangat diperlukan bagi pengambilan kebijakan dan analisis ekonomi suatu aktivitas proyek. Dalam valuasi dampak, faktor yang perlu diperhatikan adalah determinasi dampak fisik dan valuasi dampak dalam aspek moneter. Penilaian dampak secara moneter didasarkan pada penilaian ahli akan dampak fisik dan keterkaitannya, karena dampak dapat menyebabkan perubahan produktivitas maupun perubahan kualitas lingkungan. Para ahli ekonomi telah mengembangkan metode valuasi untuk mengukur keuntungan dari pengelolaan lingkungan terutama yang tidak mempunyai nilai pasar. Penilaian ini bisa menggunakan nilai dari pasar pengganti.

Menurut Duerr (1960), penilaian sumberdaya hutan atas dasar manfaat terdapat dua kategori yaitu: pendekatan nilai barang atau jasa yang memiliki nilai pasar (marketed) dan yang tidak atau belum memiliki nilai pasar (non market).

Nilai dari barang dan jasa lingkungan dapat dikategorikan menjadi (i) nilai yang digunakan (use value) dan (ii) nilai yang tidak dimanfaatkan (non-use value) (Tabel 1).

Tabel 1 Beberapa Teknik Untuk Valuasi Dampak Lingkungan atau Barang dan Jasa Lingkungan.

Keterangan Pasar Konvensional Pasar Pengganti

Pasar Yang Dibuat Didasarkan pada

perilaku aktual

Didasarkan pada perilaku potensial

a. Perubahan Produktivitas b. Kehilangan

Pendapatan c. Biaya Kesempatan d. Biaya Penggantian e. Proyek Bayangan

a. Travel Cost b. Perbedaan

Upah c. Nilai Lahan

Pasar buatan (Artificial Market) a. Hedonik Price b. Contingent

Valuation

Sumber: Munasinghe, (1993).

Pendekatan valuasi dampak mengukur manfaat lingkungan yang tidak mempunyai pasar atau harga yang jelas. Teknik dan cara yang beragam memerlukan pendekatan yang jelas agar tidak terjadi penghitungan ulang (double

(28)

counting). Metode yang digunakan antara lain: CVM (contingent valuation method) yang didasarkan kepada pasar yang dibuat atau pasar hipotetik. Pada pendekatan ini, responden akan ditanya seberapa besar mereka berkeinginan untuk membayar jasa dan barang lingkungan untuk kenyamanan (misalnya untuk tidak terjadi banjir). Konsep dasar dalam valuasi manfaat dan biaya dampak lingkungan adalah didasarkan kepada kemauan membayar (willingness to pay) dari masyarakat untuk barang dan jasa lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan harga sebenarnya maupun harga bayangan sehingga distorsi yang disebabkan kebijakan pemerintah dan ketidaksempurnaan pasar dapat diminimalkan.

2.2. Hutan di Indonesia

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 1 ayat 2 memberikan definisi hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan yang berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Sedangkan tipe hutan di Indonesia oleh Indriyanto (2005) dibagi 2 (dua) kelompok besar. Kelompok pertama adalah hutan yang dipengaruhi iklim (temperatur, kelembaban udara, intensitas cahaya dan angin) disebut ”formasi klimatis” terdiri atas: 1) hutan hujan tropika (tropical rain forest), 2) hutan musim (monsoon atau deciduous forest), 3) hutan gambut (peat forest). Kelompok kedua

(29)

adalah hutan yang dipengaruhi oleh keadaan tanah (sifat fisika, kimia, sifat biologi dan kelembaban) disebut ”formasi edaphis” terdiri atas 1) hutan rawa (swamp forest); 2) hutan payau (mangrove forest); 3) hutan pantai (coastel forest).

Menurut Soerianegara dan Indrawan (2005) bahwa formasi hutan dipengaruhi oleh faktor edafis dan perbedaan vegetasi yang terdiri dari: hutan payau, hutan rawa, hutan pantai, hutan gambut, hutan kerangas, hutan hujan tropika dan hutan musim. Hutan hujan tropika dibedakan menjadi 3 (tiga) zona yaitu: hutan hujan bawah (2-1000m dpl), hujan tengah (1000-3000m dpl) dan hutan hujan atas (3000-4000m dpl). Sedangkan hutan musim dibagi menjadi 2 (dua) zona yaitu: hutan musim bawah (2-1000m dpl) dan hutan musim tengah atas (1000-4000m dpl). Secara umum di Indonesia hutan hujan tropika dibagi tiga zona menurut tinggi di permukaan laut, yaitu 1) zona hutan hujan bawah ketinggian 0-1000m dpl; 2) zona hutan hujan tengah ketinggian 1000-3000 m dpl;

3) zona hutan hujan atas ketinggian 3300-4100m dpl (Indriyanto, 2005).

2.3. Kawasan Konservasi Cagar Alam

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.

Muntasib (2003) menjelaskan bahwa kegiatan yang diperbolehkan di cagar alam hanyalah kegiatan-kegiatan untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan kegiatan lain yang menunjang budidaya.

Selain itu kegiatan lain seperti rekreasi, pengelolaan yang intensif (campur tangan manusia) tidak diperkenankan karena akan merubah perkembangan alami dari kawasan itu.

Prinsip pengelolaan cagar alam adalah alam dibiarkan berkembang secara alami, tetapi juga tidak diganggu serta tidak diperbolehkan memberikan perlakuan apapun kecuali mencatatnya (Muntasib, 2003). Sasaran pengelolaan Cagar Alam antara lain adalah: 1) melindungi flora dan fauna, 2) habitat terbina dan tidak terganggu, 3) plasma nuftah dimanfaatkan untuk riset (penelitian dan pendidikan),

(30)

4) plasma nuftah dimanfaatkan secara lestari melalui upaya budidaya oleh masyarakat di daerah, 5) penyangga untuk meningkatkan kesejahteraan.

Menurut Alikodra, (2001) pengelolaan kawasan konservasi adalah serangkaian upaya penetapan, pemanfaatan, pelestarian dan pengendalian pemanfaatan kawasan konservasi. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai (1) kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan (2) berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan (UU No. 5 Tahun 1990 Pasal 15).

2.4. Akses Masyarakat Adat Terhadap Hutan Konservasi

Salah satu kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap sumberdaya lahan termasuk kawasan konservasi adalah masyarakat adat. Istilah masyarakat hukum adat sendiri diambil dari keputusan ilmu hukum adat, khususnya setelah penemuan van Vollenhoven tentang hak ulayat (beschikkingsrecht) yang dikatakan hanya dimiliki oleh komunitas yang disebut sebagai masyarakat hukum adat.

Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, bersifat tetap, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat (Haar 1995 dalam Malik et al.

2003).

Klaim kepemilikan terhadap suatu kawasan yang terkategori communally owned resources terkait erat dengan sistem komunitas (tenure system) setempat.

Adat-istiadat yang berlaku dalam suatu komunitas masyarakat. Karena itu klaim penguasaan terhadap suatu ”tanah ulayat” biasanya dikukuhkan oleh suatu aturan hukum dan adat-istiadat yang berlaku di masyarakat (Malik et. al, 2003).

Status kawasan konservasi, seringkali bertentangan dengan masyarakat adat yang telah lama melakukan aktivitas pada kawasan-kawasan tersebut. Klaim kepemilikan lahan-lahan masyarakat sudah berlangsung secara turun temurun dalam kawasan-kawasan yang dilindungi. Status-status kawasan konservasi seringkali menjadi sebuah klaim politik yang tidak memberikan ruang kepada

(31)

masyarakat, sehingga banyak terjadi konflik sosial antara masyarakat dan pemerintah atau pihak lain.

Malik et al. (2003) menyatakan bahwa agar tidak terjadi konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat adat (pemilik ulayat) maka hal yang harus dilakukan adalah memberikan ruang kepada masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan penghidupan sebagaimana yang mereka lakukan. Namun demikian, pemberian ruang tersebut perlu diatur dengan aturan adat dan peraturan pemerintah (atau pemerintah daerah) yang disepakati bersama untuk diberlakukan pada kawasan-kawasan konservasi.

Sedangkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah proses komunikasi dua arah yang terus-menerus dibangun untuk meningkatkan pemahaman masyarakat secara penuh atas proses pengelolaan kawasan konservasi (Canter 1977 dalam Malik et. al, 2003).

Keterlibatan masyarakat diharapkan dapat mereduksi kemungkinan munculnya konflik, karena menghasilkan tingkat penerimaan keputusan yang lebih besar pada masyarakat (Koesnadi, 1990). Sejalan dengan Canter dan Koesnadi, Santoso menyebutkan bahwa intinya terdapat empat manfaat lain dari peran serta masyarakat antara lain:

1. Sebagai proses pembuatan kebijakan, karena masyarakat sebagai kelompok yang berpotensi menanggung konsekuensi dari suatu kebijakan memiliki hak untuk dikonsultasikan (rights to consult).

2. Sebagai suatu strategi, dimana melalui peran serta masyarakat suatu kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga keputusan tersebut memiliki kredibilitas (credible).

3. Peran serta masyarakat sebagai alat komunikasi bagi pemerintah untuk mendapatkan masukan dan informasi dalam pengambilan keputusan yang responsif.

4. Peran serta masyarakat dalam penyelesaian sengketa atau konflik, didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi atau meredakan konflik.

(32)

2.5. Kerusakan Hutan Konservasi

Pengalih-fungsian atau konversi hutan menjadi peruntukan lain menyebabkan hilangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air.

Penutupan hutan yang berkurang menyebabkan tingginya aliran permukaan yang membawa butiran-butiran tanah (erosi). Erosi mengalir ke sungai dan menjadi sedimen. Keberadaan sedimen pada badan air tidak hanya mengakibatkan pendangkalan sungai tetapi juga peningkatan kekeruhan perairan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya dan transfer oksigen dari atmostfer ke perairan, juga menghambat daya lihat organik akuatik. Sedimen juga menyebabkan hilangnya tempat memijah yang sesuai bagi ikan.

2.6. Dampak Kerusakan hutan

Salah satu dampak kerusakan hutan yakni berupa terjadinya erosi. Dampak erosi tanah di tapak (on-site) merupakan dampak yang dapat terlihat langsung kepada pengelola lahan yaitu berupa penurunan produktivitas. Hal ini berdampak pada kehilangan produksi, peningkatan penggunaan pupuk dan kehilangan lapisan olah tanah yang akhirnya mengakibatkan timbulnya tanah kritis.

Dampak erosi tanah di luar lahan pertanian (off site) merupakan dampak yang sangat besar pengaruhnya. Sedimen hasil erosi tanah dan kontaminan yang terbawa bersama sedimen dapat menimbulkan kerugian dan biaya yang sangat besar dalam kehidupan. Bentuk dampak off site antara lain adalah: (i) Pelumpuran dan pendangkalan waduk; (ii) Tertimbunnya lahan pertanian dan bangunan; (iii) memburuknya kualitas air dan (iv) kerugian ekosistem perairan (Arsyad, 1989).

Pembangunan pertanian dengan intensifikasi pertanian menyebabkan terjadinya peningkatan pencemaran lingkungan akibat pemakaian pupuk dan pestisida yang cukup besar. Bahan pupuk dan pestisida ini tidak terserap di dalam tanah atau seluruhnya diangkut tanaman melainkan ada yang larut di dalam aliran permukaan. Bahan ini menjadi sumber polusi setelah memasuki badan air dan dikenal dengan non-point source pollution (NPSP). Dampak non-point source pollution ini dapat dikategorikan dalam dua bagian yaitu (i) dampak yang terjadi pada badan air (in stream impact) dan (ii) dampak di luar badan air (off stream impact). Gambar 1 menyajikan dampak on site dan off site dari erosi tanah.

(33)

Banyak dampak yang terjadi dapat diamati pada badan-badan air yang ada seperti sungai, danau, atau waduk, sehingga dampak yang ditimbulkan disebut dampak instream. Sedangkan dampak yang lain dapat terjadi sebelum partikel- partikel tanah tersebut mencapai badan-badan air atau sesudahnya seperti dijumpai pada kejadian banjir, penggunaan air untuk kebutuhan domestik, irigasi, atau yang lain. Dampak yang ditimbulkan disebut sebagai dampak off-stream.

Gambar 1 Dampak On Site dan Off Site dari Erosi Tanah

Barbier (1995) mengatakan bahwa kehilangan keanekaragaman hayati memberikan konsekuensi hilangnya nilai ekonomi potensial dari hutan seperti:

produk hutan non kayu, bahan genetik untuk industri farmasi, bioteknologi, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Erosi/longsor juga menyebabkan dampak tidak langsung terhadap jasa keberadaan hutan untuk turisme dan rekreasi serta pendidikan, juga mempunyai dampak nyata terhadap kesejahteraan masyarakat melalui perlindungan DAS, pengaturan iklim dan penyedia karbon. Dengan demikian longsor/erosi tanah hutan menyebabkan hilangnya manfaat dari sumberdaya hutan sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang seharusnya dapat diperoleh.

Erosi Tanah

On Site Effect Off Site Effect (sedimen dan kontaminan)

Penurunan kapasitas produksi

In Stream Impact 1. Cadangan air 2. Rekreasi 3. Kualitas air 4. Biologi 5. Kesehatan

Off Stream Impact 1. Banjir

2. Penjernihan air 3. Penyediaan air

minum, industri

(34)

2.7. Penelitian Terdahulu yang Terkait dengan Penelitian ini

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sumberdaya hutan yang sifatnya non-use value dapat dinilai nilai ekonomi totalnya dengan menggunakan pendekatan penilaian ekonomi. Menurut Pearce dan Moran (1994), penilaian manfaat langsung menurut harga pasar atau produktivitas terhadap sumberdaya hutan seperti nilai kayu, buah dan lateks yaitu sekitar US$ 6.280/hektar atau Rp 13,627/hektar (IDR = Rp 2.170).

Penelitian lain sebagaimana dikemukakan dalam Pearce dan Moran (1994), antara lain Watson (1988) menduga produksi hutan di Malaysia sebesar US$

2.455/hektar atau Rp 413.367.940/hektar (IDR = Rp 1.629) dibanding US$

217/hektar (Rp 367.164/hektar) untuk pertanian intensif. Kramer et. al (1993) menduga nilai kayu bakar kebutuhan rumah tangga sekitar Taman Nasional Mantadia di Madagaskar sebesar US$ 39/tahun atau Rp 81.744/tahun (IDR = Rp 2.096).

Hasil penelitian lain yang dikemukakan dalam Pearce dan Moran (1994) yaitu penilaian total ekonomi hutan di Meksiko dengan luas 51,5 juta hektar (Pearce dan Watfor, 1993) terdiri atas nilai manfaat untuk wisata US$ 31,2 juta atau Rp 67 milyar (IDR = Rp 2.960), nilai karbon (C) sebesar US$ 3.788,3 juta (Rp 7,9 trilyun). Sementara Ruitenbeek (1989) dalam Pearce dan Moran (1994) dengan pendekatan net present value (NPV) menduga nilai manfaat hutan Korup di Kamerun yaitu perlindungan banjir US$ 23/hektar atau Rp 39.606/hektar (IDR

= Rp 1.722), pengendali erosi US$ 8/hektar (Rp 13.776/hektar), tanaman obat US$ 7/hektar (Rp 12.054). Menurut Swanson (1996) dalam Pearce dan Moran (1994), proyeksi pendugaan kehilangan biodiversitas dari beberapa hasil penelitian terdahulu adalah sangat besar, yang ditunjukkan bahwa pada tingkat tertentu kehilangan hutan sebesar 5% sampai 9% akan menyebabkan kehilangan biodiversitas sebesar 15% sampai 50%.

Hasil studi yang dilakukan oleh Kramer dan Mercer (1997) dalam Pearce dan Moran (1994) dalam dengan menggunakan contingent valuation method di Amerika Serikat terhadap perlindungan hutan hujan tropik, hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata responden bersedia membayar US$ 21-US$ 31 per rumah tangga

(35)

atau sekitar Rp 62.055-Rp 91.605 (IDR = Rp 2.955) untuk melindungi 5% hutan hujan tropik.

Penelitian secara makro nilai kerugian ekonomi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 1997/1998 dengan memperkirakan luas kebakaran 5 juta hektar yang dilakukan oleh EEPSEA bekerjasama dengan WWF Indonesia diperkirakan sebesar US$ 4.469,5 juta atau sekitar Rp 11 trilyun (IDR= Rp 2.500), meliputi kerugian yang dialami oleh Indonesia, Malaysia, Singapore, dan Thailand. Metode perhitungan yang digunakan antara lain: pendekatan produksi, nilai pasar, biaya kerusakan tanaman, pendapatan yang hilang, dose respons, biaya pengobatan akibat pendududk sakit dan transfer benefit. Dari hasil penelitian ini diketahui pula besarnya kerugian ekonomi Indonesia sehubungan dengan kebakaran dan asap yang dialami pada periode Agustus – Desember 1997 sebesar US$ 3.799,9 juta (85%) atau sekitar Rp 9.4 trilyun. Sedang negara lain sebesar US$ 669,6 juta (15%) atau setara dengan Rp 1.6 trilyun.

Hasil penelitian Sihite (2001) dengan menggunakan nilai pasar atau produktivitas menunjukkan Manfaat total di on site diperoleh dari produktivitas lahan dan untuk DAS Besai diperoleh Rp 233.268.880.000. Nilai ini sangat ditentukan oleh harga kopi yang cukup baik. Biaya yang ditimbulkan dari pola penggunaan lahan ini di on-site Rp 97.624.326.885 dan merupakan biaya input produksi dan kehilangan pendapatan akibat erosi.

Penelitian ini hanya menganalisis dampak erosi/longsor hutan CAPC Tahun 2007 terhadap kerugian masyarakat. Fokus pada masalah ekonomi atau kesejahteraan masyarakat yang meliputi: penurunan produksi pertanian atau perkebunan, penurunan kesehatan dan penurunan kawasan perlindungan.

(36)

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Pendekatan Analisis Kerugian Ekonomi Negara

Pendekatan ini mengacu pada perubahan ekologi hutan Cycloops akibat penebangan liar sehingga menyebabkan kayu-kayu mengalami kerusakan, pertumbuhan populasi kayu tidak berjalan dengan baik serta berkurangnya jumlah populasi kayu.

Pendekatan ini menghitung nilai ekonomi kayu yang rusak dan hilang (jenis, ukuran, harga) yakni kayu yang terdapat pada hutan produksi. Kerusakan dan kehilangan kayu tersebut selanjutnya dikalkulasikan ke dalam nilai mata uang.

Hasil dari kalkulasi tersebut maka menghasilkan suatu angka sebagai representasi kerugian ekonomi kerusakan dan hilangnya kayu di hutan Cycloops.

Langkah selanjutnya yakni menghitung jumlah penerimaan negara yang hilang dari hasil hutan produksi berupa Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) setiap tahunnya, yang diadopsi terhadap hutan Cycloops.

3.1.2. Pendekatan Analisis Perubahan Produktivitas

Pendekatan ini mengacu pada perubahan produktivitas dalam sistem produksi pertanian, perkebunan, dan perikanan. Pada umumnya teknik ini diterapkan untuk menduga perbedaan produksi output sebelum dan sesudah dampak dari suatu aktivitas maupun intervensi pengelolaan.

Metode ini menghitung dari sisi kerugian (apa yang hilang) akibat suatu tindakan. Pendekatan ini menjadi dasar bagi pembayaran kompensasi bagi property yang semestinya dibeli oleh pemerintah untuk tujuan seperti membangun jalan tol, bandara, instalasi militer dan lain-lain. Misalnya suatu wilayah ditetapkan sebagai kawasan konservasi, diperlukan biaya kompensasi bagi petani atau pemilik lahan yang merelakan tanahnya dipergunakan untuk tujuan pembangunan yang ramah lingkungan misalnya: cagar alam, hutan lindung dan lain- lain.

(37)

3.1.3. Pendekatan Analisis Cost of Illness

Metode Biaya Pengobatan (cost of Illness), digunakan untuk memperkirakan biaya morbiditas akibat perubahan yang menyebabkan orang menderita sakit.

Total biaya dihitung baik secara langsung maupun tidak langsung. Biaya langsung, yaitu mengukur biaya yang harus disediakan untuk perlakukan penderita lain meliputi: a) perawatan pada rumah sakit, b) perawatan selama penyembuhan, c) pelayanan kesehatan yang lain, dan d) obat-obatan.

Biaya tidak langsung mengukur nilai kehilangan produktivitas akibat seseorang menderita sakit. Biaya tidak langsung diukur melalui penggandaan upah oleh kehilangan waktu karena tidak bekerja. Taksiran biaya tidak termasuk rasa sakit yang diderita dan biaya penderitaannya sendiri. Umumnya digunakan untuk menilai dampak polusi udara terhadap morbiditas.

3.1.4. Pendekatan Deskriptif Kualitatif

Pendekatan deskriptif kualitatif digunakan dalam penelitian tentang dampak erosi/longsor hutan CAPC terhadap kerugian yang dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di Distrik Sentani pada bidang sosial dan lingkungan. Tujuannya adalah untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi aktual dari obyek yang diteliti.

3.1.5. Pendekatan Nilai Ekonomi Total (TEV)

Konsep pengukuran nilai ekonomi sumberdaya, secara tradisional nilai terjadi didasarkan pada interaksi antara manusia sebagai subjek dan obyek (Pearce dan Moran, 1994; Turner, Pearce dan Bateman, 1994). Setiap individu memiliki sejumlah nilai yang dikatakan sebagai nilai penguasaan yang merupakan basis preferensi individu. Pada akhirnya nilai obyek ditentukan oleh bermacam-macam nilai yang dinyatakan (assigned value) oleh individu (Pearce dan Turner, 1990).

TEV = UV + NUV UV = DUV + IUV + OV NUV = XV + BV

Sehingga :

TEV = (DUV + IUV + BV) + (XV + BV)

(38)

Keterangan :

TEV = Total Economic Value (total nilai ekonomi) UV = Use Value (nilai penggunaan)

NUV = Non Use Value (nilai instrinsik)

DUV = Direct Use Value (nilai penggunaan langsung) IUV = Indirect Use Value (nilai penggunaan tak langsung) OV = Option Value (nilai pilihan)

XV = Existence Value (nilai keberadaan) BV = Bequest Value (nilai warisan/kebangaan)

Total nilai ekonomi suatu sumberdaya secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu: nilai penggunaan (use value) dan nilai intrinsik (non use value) (Pearce dan Turner, 1990; Pearce dan Moran, 1994;

Turner, Pearce dan Bateman, 1994). Selanjutnya, dijelaskan bahwa nilai penggunaan (use value) dibagi lagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan (option value). Nilai penggunaan diperoleh dari pemanfaatan aktual lingkungan (Turner, Pearce dan Bateman, 1994). Nilai penggunaan berhubungan dengan nilai karena responden memanfaatkannya atau berharap akan memanfaatkan di masa mendatang (Pearce dan Moran, 1994).

Nilai penggunaan langsung adalah nilai yang ditentukan oleh kontribusi lingkungan pada aliran produksi dan konsumsi (Munasinghe, 1993). Nilai penggunaan langsung berkaitan dengan output yang langsung dapat dikonsumsi misalnya makanan, biomas, kesehatan, rekreasi (Pearce dan Moran, 1994).

Sedangkan nilai penggunaan tidak langsung ditentukan oleh manfaat yang berasal dari jasa-jasa lingkungan dalam mendukung aliran produksi dan konsumsi (Munasinghe, 1993). Nilai pilihan (option value) berkaitan dengan pilihan pemanfaatan lingkungan di masa datang. Pernyataan preferensi (kesediaan membayar) untuk konservasi sistem lingkungan atau komponen sistem berhadapan dengan beberapa kemungkinan pemanfaatan oleh individu di hari kemudian. Ketidakpastian penggunaan di masa datang berhubungan dengan ketidakpastian penawaran lingkungan, teori ekonomi mengindikasikan bahwa nilai pilihan adalah kemungkinan positif (Turner et. al, 1994).

(39)

Nilai intrinsik dikelompokan menjadi dua bagian yaitu: nilai warisan (bequest value) dan nilai keberadaan (existence value). Nilai intrinsik berhubungan dengan kesediaan membayar positif, jika responden tidak bermaksud memanfaatkannya dan tidak ada keinginan untuk memanfaatkannya (Pearce dan Moran, 1994). Nilai warisan berhubungan dengan kesediaan membayar untuk melindungi manfaat lingkungan bagi generasi mendatang. Nilai warisan adalah bukan nilai penggunaan untuk individu penilai, tetapi merupakan potensi penggunaan atau bukan penggunaan di masa datang (Turner et. al, 1994). Nilai keberadaan muncul, karena adanya kepuasaan atas keberadaan sumberdaya, meskipun penilai tidak ada keinginan untuk memanfaatkannya.

3.1.6. Analisis Kebijakan

Dye (1978) mendefinisikan kebijakan publik sebagai ”what-ever government choice to do or not to do” (apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan). Sementara Loswell dan Kapalan /dalam/ Watori (2003), memberikan arti kebijakan sebagai “projected program of goal, values and practices” (program yang memiliki sasaran, nilai dan dapat dilaksanakan).

Perumusan kebijakan adalah proses sosial dimana proses intelektual melekat didalamnya tidak berarti bahwa efektivitas relatif dari proses intelektual tidak dapat ditingkatkan, atau proses sosial dapat diperbaiki (Bauer dalam Dunn, 2003).

Kebijakan adalah suatu keputusan untuk bertindak yang dibuat atas nama suatu kelompok sosial, yang memiliki implikasi yang kompleks dan yang bermaksud mempengaruhi anggota kelompok dengan penetapan sangsi-sangsi (Mayer et. al, 1982 /dalam/ Sahwan 2002).

Oleh karena analisis kebijakan merupakan bentuk etika terapan yang pada akhirnya berupaya menciptakan pengetahuan yang dapat meningkatkan efisiensi pilihan atas berbagai alternatif kebijakan. Dengan demikian untuk pengambilan keputusan akan lebih mudah bila menggunakan suatu model tertentu. Model kebijakan adalah sajian yang sederhana mengenai aspek-aspek terpilih dari suatu situasi problematis yang disusun untuk tujuan-tujuan khusus. Model-model kebijakan tersebut yaitu: 1) Model Deskriptif, 2) Model Normatif, 3) Model

(40)

Verbal, 4) Model Simbolik, 5) Model Prosedural, 6) Model Pengganti, dan 7) Model Prespektif.

Dari model-model tersebut tidak ada model yang dianggap paling baik, karena masing-masing model memiliki kelebihan dan kelemahan serta memfokuskan perhatiannya pada aspek yang berbeda. Menurut Forrester dalam Dunn (2003) persoalan kebijakan terletak pada pemilihan alternatif. Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan secara kritis penilaian, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung sepanjang waktu.

Menurut Dunn (2003) analisis kebijakan adalah awal, bukan akhir, dari upaya untuk meningkatkan proses pembuatan kebijakan berikut hasilnya. Sebagai proses analisis kebijakan serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut sering disebut sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasi sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu, yaitu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan pada suatu, beberapa, atau seluruh tahapan dari proses kebijakan, tergantung pada tipe masalah yang dihadapi dalam sebuah permasalahan.

Dalam kaitannya dengan analisis kebijakan pengelolaan kawasan CAPC, maka model kebijakan yang dianggap paling sesuai adalah model prosedural.

Model prosedural ini menggunakan serangkaian prosedur sederhana untuk menunjukkan dinamika hubungan diantara variabel-variabel yang dipercayakan memberikan ciri pada masalah kebijakan.

Bentuk sederhana dari model prosedural adalah ”pohon keputusan”. Pohon keputusan berguna untuk membandingkan estimasi subjektif mengenai akibat- akibat yang mungkin dari berbagai pilihan kebijakan dimana ada kondisi terdapat kesulitan untuk memperhitungkan resiko dan ketidakpastian data yang ada. Untuk penelitian ini digunakan tiga pendekatan dalam menganalisis kebijakan (Tabel 2) tiga pendekatan analisis kebijakan.

Gambar

Tabel 1  Beberapa Teknik Untuk Valuasi Dampak Lingkungan atau Barang  dan Jasa Lingkungan
Gambar  2  Bagan Alir Penelitian Penilaian Ekonomi Kerusakan Lingkungan Akibat Banjir/Longsor  Hutan CAPC Penebangan Liar (Illegal Logging) dan
Gambar 4  Analisis Hirarki Proses (AHP) dalam Mengatasi   Kerusakan Hutan CAPC.
Gambar  5  Monumen Mc Arthur Sebagai Salah Satu   Obyek Wisata di Kawasan Cycloops.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kriteria yang digunakan ICRAF untuk membedakan agroforestry kopi multistrata dan agroforestri sederhana adalah didasarkan pada jumlah spesies dari pohon pendamping

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah lama penyimpanan telur itik setelah perendaman dalam larutan teh hitam (Camellia sinensis) selama

Jenis Heat Exchanger (HE ) yang akan digunakan dalam desain ini adalah Double pipe Heat Exchanger atau Shell and Tube Heat Exchanger bergantung pada flow area

Masalah sosial budaya terjadi karena adanya kesenjangan antara yang diharapkan dengan realita yang terjadi. Salah satu masalah sosial budaya adalah konflik

Budaya amanat untuk hidup sederhana dan damai (selaras dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam) telah membentuk masyarakat yang mandiri (pangan)

Pada proses ini Dilakukan perataan hujan menggunakan metode rata-rata aljabar dari data hujan harian hasil pencatatan curah hujan dari daerah masing-masing

Hal-hal yang dapat dilakukan oleh pasien dalam meningkatkan. keberhasilan terapi DM

Pada sampul luar ditulis nama paket pekerjaan, nama dan alamat peserta, serta ditujukan kepada Tim Pengadaan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Direksi, Komisaris,