• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS INDEKS INTEGRITAS UJIAN NASIONAL

RESUME

1. Analisis terhadap 81 ribu SMP/MTs, SMK, maupun SMA/MA menunjukkan bahwa tingkat integritas (skor IIUN) dan prestasi sebuah sekolah/madrasah (nilai UN) memiliki hubungan timbal balik. Skor IIUN suatu sekolah pada tahun 2015 menjadi prediktor kuat bagi nilai UN sekolah/madrasah tersebut pada tahun 2016. Sebaliknya, nilai UN suatu sekolah/madrasah pada tahun 2015 juga menjadi prediktor kuat bagi skor IIUN-nya pada tahun berikutnya.

2. Sifat hubungan antara tingkat integritas (skor IIUN) dan prestasi (nilai UN) bergantung pada kategori tingkat integritas sebuah sekolah/madrasah. Pada sekolah/madrasah yang tergolong berintegritas tinggi (skor IIUN > 80), tingkat integritas berkorelasi positif dengan prestasi.

Dengan kata lain, semakin tinggi skor IIUN sebuah sekolah/madrasah, nilai UN-nya juga cenderung semakin tinggi. Sebaliknya, pada sekolah/madrasah yang tergolong berintegritas rendah (skor IIUN ≤80), tingkat integritas justru berkorelasi negatif dengan prestasi. Dengan kata lain, semakin tinggi skor IIUN sebuah sekolah/madrasah, nilai UN-nya justru cenderung semakin rendah.

3. Temuan-temuan ini menunjukkan adanya dua macam feedback loop terkait dinamika IIUN-UN yang bisa disebut sebagai “lingkaran positif” dan “lingkaran negatif.” Pada sekolah/madrasah yang berada dalam lingkaran positif, peningkatan integritas berjalan seiring dengan peningkatan prestasi. Ini dapat terjadi karena peningkatan integritas mencerminkan tingkat usaha dan kesiapan menghadapi UN (yang juga berbuah pada peningkatan nilai UN). Bagi sekolah/madrasah yang berada dalam lingkaran negatif, prestasi yang diperoleh melalui kecurangan menjadi insentif untuk melanjutkan praktik kecurangan pada tahun berikutnya.

4. Untuk memutus siklus lingkaran negatif, diperlukan kebijakan yang menghapus atau setidaknya mengurangi insentif terkait nilai UN pada sekolah/madrasah yang berintegritas rendah.

Misalnya, pemerintah dapat memosisikan UN sebagai layanan yang diberikan kepada sekolah/madrasah yang berintegritas tinggi saja. Kebijakan semacam ini kemungkinan besar akan efektif terutama untuk sekolah/madrasah yang memiliki integritas rendah/sedang serta tetap memeroleh nilai UN rendah (di bawah 55).

121 Bagian ini menyajikan hasil analisis dinamika integritas dan prestasi pada UN SMP/MTs, SMK, dan SMA/MA dari seluruh Indonesia pada tahun 2015 dan 2016. Sejak tahun 2015 Puspendik, Balitbang, Kemdikbud merilis IIUN sebagai upaya untuk membuat wacana dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kejujuran dalam pendidikan. IIUN dihitung berdasarkan pola jawaban peserta ujian yang berada di kelas dan sekolah/madrasah yang sama. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa semakin banyak kemiripan antara pilihan jawaban yang salah pada siswa yang berada di satu kelas dan sekolah/madrasah, semakin rendah IIUN sekolah/madrasah tersebut.

Secara konseptual, integritas dan prestasi akademik memiliki kaitan erat. Di satu sisi, integritas yang baik mencerminkan kualitas proses (kesiapan) serta kemampuan, yang pada gilirannya akan membuahkan prestasi yang baik. Di sisi lain, kecurangan dalam ujian (integritas yang buruk) dapat membuahkan prestasi namun bersifat semu, karena tidak mencerminkan kemampuan yang sesungguhnya. Tujuan dari analisis ini adalah untuk memahami derajat dan pola hubungan antara integritas dan prestasi dalam UN, untuk menghasilkan rekomendasi mengenai kebijakan yang berpotensi meningkatkan integritas sekolah/madrasah.

Analisis ini memanfaatkan data IIUN dan rerata nilai UN SMP/MTs, SMK, dan SMA/MA dari seluruh Indonesia. Dengan demikian, analisis ini tidak mencakup sekolah/madrasah yang tidak memiliki IIUN karena menyelenggarakan UNBK, atau karena jumlah peserta ujiannya terlalu sedikit. Selain itu, karena hendak melihat tren antar tahun, analisis ini hanya dilakukan pada sekolah/madrasah yang memiliki IIUN berturut-turut pada tahun 2015 dan 2016. Dengan kriteria ini, analisis ini mencakup 81.497 sekolah dari 34 provinsi di Indonesia, dengan perincian yang ditampilkan dalam tabel 37.

Tabel 37 Sekolah/ Madrasah yang menjadi sampel penelitian Jenjang dan jenis sekolah/madrasah Jumlah

sekolah/madrasah

Persen

Jenjang SMP/MTs 47739 58.6%

SMA/MA 25268 31.0%

SMK 8490 10.4%

Pengelola Negeri 35067 43.0%

Swasta 46430 57.0%

Jenis sekolah Umum 57572 70.6%

Madrasah/agama 23160 28.4%

Terbuka 765 0.9%

122 Sub Bab ini terdiri dari empat sub-bagian. Sub-bagian pertama mengaji dugaan tentang dua pola hubungan antara integritas dan prestasi. Sub-bagian kedua dan ketiga secara bergantian menelaah kaitan timbal balik antara integritas dan prestasi pada UN. Sub-bagian kedua fokus pada skor IIUN sebagai prediktor nilai UN. Sebaliknya, sub-bagian ketiga mencermati apakah nilai UN memrediksi skor IIUN pada tahun berikutnya. Sub-bagian keempat merangkumkan temuan-temuan dari analisis ini dan menyajikan beberapa rekomendasi kebijakan.

Dua macam hubungan antara integritas dan prestasi

Hubungan integritas dan prestasi belajar bisa mengambil dua bentuk yang berbeda. Yang pertama adalah hubungan negatif: semakin rendah integritas seseorang, semakin tinggi prestasi yang diperoleh. Dalam hal ini, prestasi merupakan buah dari kecurangan, sehingga prestasi tersebut tidak mencerminkan kemampuan yang sesungguhnya. Diterapkan pada konteks UN, akan terdapat korelasi negatif antara IIUN dengan nilai UN. Dengan kata lain, semakin luas kecurangan sistematis yang dilakukan, semakin tinggi nilai UN yang diperoleh sebuah sekolah/madrasah.

Pola yang kedua adalah hubungan positif: semakin tinggi integritas, semakin tinggi pula prestasi yang diperoleh. Hal ini dapat terjadi karena integritas dan prestasi dalam sebuah ujian seringkali mencerminkan satu variabel yang sama, yakni kesiapan menghadapi ujian tersebut. Semakin tinggi kesiapan, semakin tidak mudah tergoda untuk berbuat curang, sekaligus semakin besar kemungkinan memeroleh hasil yang baik. Diterapkan pada konteks UN, hal ini berarti akan ada korelasi positif antara IIUN dengan nilai UN. Dengan kata lain, semakin siap sebuah sekolah/madrasah dalam menghadapi UN, semakin tinggi pula integritas dan nilainya.

Dugaan ini diuji dengan cara memeriksa pola keterkaitan antara skor IIUN dan rerata UN untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika (yang diikuti oleh semua jenis dan jenjang sekolah). Hasilnya ditampilkan dalam dua grafik berikut, masing-masing untuk tahun 2015 dan 2016. Tampak bahwa terdapat pola keterkaitan serupa untuk tahun 2015 dan 2016. Seperti dugaan, pada sebagian sekolah/madrasah skor IIUN dan nilai UN berkorelasi negatif: semakin tinggi integritas sebuah sekolah/madrasah, semakin rendah nilai UN yang diperoleh. Korelasi negatif ini berlaku hanya untuk sekolah/madrasah dengan IIUN di bawah kisaran skor 80. Sebaliknya, untuk sekolah/madrasah yang memiliki IIUN tinggi (di atas 80), kenaikan skor IIUN berjalan seiring dengan kenaikan nilai UN.

123 Dengan kata lain, terdapat korelasi positif antara IIUN dan nilai UN pada sekolah/madrasah berintegritas tinggi1.

Gambar 78 Keterkaitan antara Skor IIUN dan Rerata Hasil Ujian Nasional Tahun 2015

Gambar 79 Keterkaitan antara Skor IIUN dan Rerata Hasil Ujian Nasional Tahun 2016

Pola visual ini terkonfirmasi oleh hasil uji regresi yang mengaitkan skor IIUN dengan nilai UN secara terpisah antara sekolah/madrasah dengan integritas rendah dan tinggi. Secara keseluruhan (pada semua jenjang), untuk sekolah/madrasah yang ber-IIUN rendah, setiap kenaikan 10 poin IIUN justru diikuti dengan penurunan nilai UN sebesar 4,5 poin (untuk tahun 2015) dan 4,1 poin (untuk tahun 2016).

1Dua pola yang sama terjadi pada semua jenjang (SMP/MTs, SMK, dan SMA/MA), sekolah/madrasah swasta dan negeri, serta pada siswa SMA/MA jurusan IPA maupun IPS.

124 Sebaliknya, untuk sekolah/madrasah dengan IIUN tinggi, setiap kenaikan 10 poin IIUN diikuti dengan kenaikan nilai UN sebesar 23,5 poin (tahun 2015) dan 21,5 poin (tahun 2016). Pola serupa terjadi pada jenjang SMP/MTs, SMK, maupun SMA/MA.

Tabel 38 Hasil Uji Regresi Kaitan IIUN dengan nilai UN 2015

2015 semua jenjang R2 B Std. error t P

IIUN rendah 37.60% -0.449 0.002 -197.283 <0.001

IIUN tinggi 25.90% 2.356 0.031 77.133 <0.001

SMP/MTs R2 B Std. error t P

IIUN rendah 42.4% -0.493 0.003 -163.425 <0.001

IIUN tinggi 27.0% 2.081 0.032 64.91 <0.001

SMA/MA R2 B Std. error t P

IIUN rendah 39.6% -0.437 0.004 -118.911 <0.001

IIUN tinggi 28.8% 3.143 0.081 38.893 <0.001

SMK R2 B Std. error t P

IIUN rendah 40.0% -0.507 0.008 -66.327 <0.001

IIUN tinggi 25.6% 2.766 0.108 25.519 <0.001

Tabel 39 Hasil Uji Regresi Kaitan IIUN dengan nilai UN 2016

2016 semua jenjang R2 B Std. error t P

IIUN rendah 29.9% -0.41 0.003 -152.329 <0.001

IIUN tinggi 16.6% 2.152 0.029 73.48 <0.001

SMP/MTs R2 B Std. error t P

IIUN rendah 38.2% -0.441 0.003 -127.126 <0.001

IIUN tinggi 15.3% 1.952 0.031 62.565 <0.001

SMA/MA R2 B Std. error t P

IIUN rendah 38.4% -0.425 0.004 -116.124 <0.001

IIUN tinggi 18.0% 2.863 0.101 28.353 <0.001

SMK R2 B Std. error t P

IIUN rendah 39.4% -0.474 0.007 -65.431 <0.001

IIUN tinggi 12.0% 1.994 0.124 16.11 <0.001

125 Tingkat integritas sebagai prediktor nilai UN

Hubungan antara tingkat integritas dan prestasi pada UN perlu diuji lebih lanjut dengan cara memeriksa apakah data tahun 2015 dapat menjadi prediktor bagi data tahun 2016. Hal ini perlu dilakukan baik dengan menggunakan IIUN 2015 maupun UN 2015 sebagai prediktor. Pada sub-bagian ini ditampilkan hasil analisis yang menggunakan skor IIUN 2015 sebagai prediktor terhadap nilai UN 2016.

Secara umum, hubungan antara tingkat integritas tahun 2015 dengan nilai UN pada tahun berikutnya juga mengikuti pola yang telah dibahas sebelumnya: negatif untuk sekolah/madrasah dengan IIUN rendah, dan positif untuk sekolah/madrasah dengan IIUN tinggi. Karena itu, regresi untuk memprediksi nilai UN tahun 2016 dilakukan secara terpisah berdasarkan skor IIUN 2015.

Gambar 80 Keterkaitan antara IIUN 2015 dan Rerata Hasil Ujian Nasional Tahun 2016

Hasil regresi mengonfirmasi pola hubungan tersebut. Di antara sekolah/madrasah yang pada tahun 2015 memiliki skor IIUN lebih dari 80, semakin tinggi IIUN pada 2015, semakin tinggi pula nilai UN pada 2016. Koefisien regresi menunjukkan bahwa setiap kenaikan 10 poin IIUN terasosiasi dengan kenaikan 19,4 poin pada nilai UN. Sebaliknya, di antara sekolah/madrasah yang pada tahun 2015 memiliki skor IIUN kurang dari atau sama dengan 80, semakin tinggi skor IIUN pada 2015, justru semakin rendah nilai UN pada 2016. Setiap kenaikan 10 poin pada skor IIUN terasosiasi dengan penurunan 2,6 poin pada nilai UN tahun berikutnya.

126

Tabel 40 Hasil regresi skor IIUN 2015 sebagai prediktor terhadap nilai UN 2016

Kategori IIUN 2015 R

Analisis juga dilakukan untuk melihat kaitan antara perubahan IIUN dengan perubahan nilai UN dari tahun 2015 ke 2016. Analisis ini dilakukan secara terpisah untuk empat kategori sekolah/madrasah berdasarkan jenis perubahan IIUN-nya, yakni sekolah/madrasah yang:

(1) bertahan pada kategori tingkat integritas tinggi (lebih dari 80);

(2) naik dari kategori tingkat integritas rendah/sedang ke tinggi;

(3) bertahan pada kategori tingkat integritas rendah/sedang; dan (4) turun dari kategori tingkat integritas tinggi menjadi rendah/sedang.

Tabel berikut menampilkan hasil regresi yang menggunakan perubahan IIUN untuk memprediksi perubahan nilai UN.

Tabel 41 Hasil regresi kaitan antara perubahan skor IIUN dan perubahan nilai UN

Perubahan kategori IIUN

Hasil regresi mengarah pada simpulan yang konsisten dengan analisis sebelumnya. Peningkatan IIUN berjalan beriringan dengan peningkatan nilai UN pada sekolah/madrasah yang bertahan pada tingkat integritas tinggi di tahun 2015 dan 2016 (baris pertama). Pada sekolah/madrasah yang lain, peningkatan IIUN dari 2015 ke 2016 justru memprediksi penurunan nilai UN pada kedua tahun tersebut.

Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa tingkat integritas merupakan prediktor yang cukup kuat terhadap nilai UN pada tahun berikutnya.

127 Nilai UN sebagai prediktor tingkat integritas

Analisis pada bagian ini ditujukan untuk melihat apakah nilai UN sebuah sekolah/madrasah memprediksi tingkat integritasnya pada tahun selanjutnya. Bila terbukti, hal ini menunjukkan bahwa kaitan antara prestasi dan integritas bersifat timbal balik. Dasar dari dugaan ini adalah prestasi pada UN bisa berdampak pada “efikasi” atau keyakinan tentang kemampuan dan/atau kesiapan menghadapi UN pada tahun berikutnya. Semakin rendah nilai UN yang diperoleh, semakin rendah pula keyakinan diri untuk menghadapi UN pada tahun berikutnya. Hal ini dapat mendorong sebuah sekolah/madrasah untuk tergoda menurunkan integritasnya (melakukan kecurangan untuk mendapatkan nilai UN yang lebih tinggi).

Dugaan ini diuji melalui analisis regresi dengan nilai UN 2015 sebagai prediktor skor IIUN 2016.

Karena analisis ini bergantung pada validitas skor UN 2015, maka pengujiannya dilakukan secara terpisah berdasarkan kategori IIUN tahun 2015. Pada sekolah/madrasah yang pada tahun 2015 memiliki IIUN tinggi (>80), nilai UN diasumsikan relatif valid sebagai indikator kemampuan/hasil belajar yang sesungguhnya. Pada sekolah/madrasah tersebut, hasil regresi menunjukkan bahwa terdapat asosiasi positif antara nilai UN 2015 dengan skor IIUN 2016 (R= .266). Secara rata-rata, kenaikan 10 poin nilai UN pada tahun sebelumnya memprediksi kenaikan skor IIUN sebesar 1,3 poin pada tahun selanjutnya.

Dilihat dari sisi sebaliknya, semakin buruk nilai UN sebuah sekolah/madrasah, semakin mungkin sekolah/madrasah tersebut menurunkan integritas pada UN tahun berikutnya.

Gambar 81 Analisis Prediktor Nilai UN 2015 terhadap IIUN 2016

Pola ini berbalik ketika yang dilihat adalah sekolah/madrasah dengan indeks integritas rendah dan sedang. Pada sekolah/madrasah tersebut, semakin tinggi nilai UN pada tahun 2015, skor IIUN-nya

128 justru semakin rendah pada tahun 2016. Setiap kenaikan 10 poin nilai UN 2015 terasosiasi dengan penurunan IIUN 2016 sebesar 3.9 poin (untuk sekolah/madrasah ber-IIUN rendah pada tahun 2015) dan 2 poin (untuk sekolah ber-IIUN sedang pada tahun 2015).

Mengapa terjadi korelasi negatif antara nilai UN dengan tingkat integritas tahun berikutnya pada kelompok sekolah/madrasah yang ber-IIUN rendah? Salah satu kemungkinan penjelasan adalah bahwa jika sebuah sekolah/madrasah memeroleh nilai UN yang relatif tinggi melalui kecurangan (pada tahun 2015), sekolah/madrasah tersebut akan terdorong untuk mengulangi kecurangan tersebut pada tahun selanjutnya. Dengan kata lain, semakin tinggi nilai UN 2015 yang diperoleh melalui kecurangan, semakin rendah skor IIUN pada tahun berikutnya. Asosiasi ini seharusnya berlaku terutama pada sekolah/madrasah yang memeroleh nilai UN tinggi melalui kecurangan. Pada sekolah/madrasah yang meski sudah curang tetap memeroleh nilai UN rendah, asosiasi antara nilai UN dengan skor IIUN pada tahun berikutnya seharusnya lebih lemah (karena pengalaman bahwa kecurangan tidak memberi insentif yang diharapkan).

Gambar 82 Kaitan antara Nilai UN 2015 dan Skor IIUN 2016 pada Sekolah Kategori IIUN Rendah

Grafik di atas memerlihatkan kaitan antara nilai UN 2015 (sumbu horizontal) dan skor IIUN 2016 (sumbu vertical), khusus pada sekolah/madrasah dengan indeks integritas di bawah 80 pada tahun 2015. Seperti dugaan, tampak bahwa untuk sekolah/madrasah yang mendapat nilai UN relatif rendah (di bawah 55, sebelah kiri garis putus-putus), tidak ada kaitan sistematis antara nilai UN dengan skor IIUN pada tahun berikutnya. Sebaliknya, pada sekolah/madrasah yang memeroleh nilai UN relatif tinggi (55 atau lebih), nilai UN tersebut menjadi prediktor kuat bagi tingkat integritas pada tahun selanjutnya.

129 Untuk menguji secara kuantitatif pola yang tampak pada grafik di atas, dilakukan regresi secara terpisah berdasarkan kategori skor UN tahun 2015 pada sekolah/madrasah ber-IIUN rendah tahun 2015.

Hasil regresi sejalan dengan dugaan teoretis. Pada sekolah/madrasah yang pada tahun 2015 memeroleh nilai UN yang rendah (di bawah 55), praktis tidak ada hubungan antara nilai UN 2015 dengan skor IIUN 2016. Hubungan ini muncul hanya pada sekolah/madrasah yang memeroleh nilai sedang (antara 55 s.d.

<70) pada UN 2015, dan semakin menguat pada sekolah/madrasah yang memeroleh nilai tinggi (70 atau lebih) pada UN 2015. Artinya, nilai UN yang diperoleh melalui kecurangan menjadi prediktor bagi integritas pada tahun berikutnya hanya jika kecurangan (pada tahun sebelumnya) mendapatkan insentif berupa nilai UN yang baik (pada tahun sebelumnya).

Tabel 42 Regresi dengan nilai UN 2015 sebagai prediktor skor IIUN 2016

Kategori

Nilai UN 2015 R square Koefisien

regresi (b) Std. Error Korelasi (beta)

Rendah (< 55) 0.2% -.086 .014 -.042

Sedang (55 s.d.

<70) 3.5% -.663 .022 -.186

Tinggi (=>70) 7.3% -1.097 .029 -.270

Temuan-temuan ini merupakan indikasi bahwa semakin “berhasil” praktik kecurangan yang dilakukan (berbuah pada nilai UN yang relatif tinggi), semakin mungkin sebuah sekolah untuk menjadi curang pada tahun berikutnya.

Integritas, prestasi, dan perbaikan mutu

Temuan-temuan yang telah dipaparkan dalam laporan ini menunjukkan adanya dua macam siklus umpan balik (feedback loop) terkait dinamika IIUN-UN. Siklus pertama bisa disebut sebagai

“lingkaran positif”, sedangkan yang kedua bisa disebut sebagai “lingkaran negatif.” Pada sekolah/madrasah yang berada dalam lingkaran positif, peningkatan integritas berjalan seiring dengan peningkatan prestasi. Ini dapat terjadi karena peningkatan integritas mencerminkan tingkat usaha dan kesiapan menghadapi UN (yang juga berbuah pada peningkatan nilai UN). Bagi sekolah/madrasah yang berada dalam lingkaran negatif, prestasi yang diperoleh melalui kecurangan menjadi insentif untuk melanjutkan praktik kecurangan pada tahun berikutnya.

Bagi sekolah/madrasah, tantangannya adalah bagaimana keluar dari lingkaran negatif menuju lingkaran positif. Tantangan ini perlu dilihat dalam konteks reformasi UN itu sendiri. Salah satu

130 perubahan yang relevan adalah keputusan pemerintah untuk secara bertahap meningkatkan jumlah soal yang mengukur kemampuan bernalar atau berpikir tingkat tingkat tinggi (higher order thinking).

Mengingat rendahnya skor Indonesia dalam survei-survei internasional yang mengukur penalaran (seperti TIMSS, PIRLS, dan PISA), kebijakan pemerintah untuk menambah soal penalaran pada UN dapat berdampak pada penurunan prestasi sekolah/madrasah secara rata-rata. Hal ini tercermin dalam penurunan nilai UN dari 2015 ke 2016, dengan penurunan paling besar terjadi pada sekolah/madrasah SMA. (Bila pada tahun 2015 sekolah-sekolah SMA lebih unggul daripada SMK, pada tahun 2016 keduanya tampak relatif setara.)

Tabel 43 Nilai UN 2015-2016 pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris

Jenjang sekolah Nilai UN 2015 Nilai UN 2016

Perubahan nilai UN

SMP/MTs 61.20 57.87 -3.33

SMA/MA 60.20 52.02 -8.18

SMK 53.98 51.95 -2.03

Total 60.14 55.44 -4.70

Dari perspektif guru dan siswa, penambahan soal-soal penalaran dan penurunan nilai UN ini berpotensi memunculkan dan/atau memerkuat persepsi bahwa UN menjadi semakin sulit. Karena nilai yang rendah pada UN dapat berdampak negatif pada siswa dan sekolah/madrasah (misalnya, menurunkan peluang memasuki SMA/MA/SMK atau perguruan tinggi yang diinginkan), persepsi tentang tingkat kesulitan UN dapat menambah tekanan untuk berbuat curang pada tahun-tahun berikutnya.

Berdasarkan analisis yang disampaikan dalam laporan ini, yang mengalami tekanan lebih kuat untuk melakukan praktik kecurangan di masa depan adalah sekolah/madrasah yang di masa lalu memiliki integritas rendah namun “berhasil” memeroleh nilai UN tinggi. Selain itu, secara teoretis, tekanan ini juga lebih kuat dirasakan oleh sekolah/madrasah yang memiliki sumber daya yang relatif buruk, atau yang melayani siswa yang prestasi dan kemampuan akademiknya rendah.

Dengan demikian, tampaknya sulit berharap bahwa sekolah/madrasah akan secara sukarela keluar dari lingkaran negatif. Untuk memutus siklus lingkaran negatif, diperlukan kebijakan yang menghapus atau setidaknya mengurangi insentif terkait nilai UN pada sekolah/madrasah yang berintegritas rendah. Sebagai contoh, pemerintah dapat memosisikan UN sebagai layanan yang diberikan kepada sekolah/madrasah yang berintegritas tinggi saja. Dengan demikian, UN menjadi penghargaan atau hadiah yang menguatkan keinginan sekolah/madrasah untuk mengurangi praktik

131 kecurangan. Contoh kebijakan lain yang dapat dikaji adalah menjadikan skor IIUN dapat dijadikan salah satu faktor yang diperhitungkan dalam seleksi memasuki perguruan tinggi negeri (PTN).

Sekolah/madrasah yang memiliki IIUN tinggi mendapat prioritas, sedangkan sekolah/madrasah dengan IIUN rendah dapat diberi sanksi atau prioritas rendah. Dengan demikian, sekolah/madrasah yang berintegritas rendah langsung mendapat sanksi, sedangkan sekolah/madrasah berintegritas tinggi mendapat insentif berupa kesempatan mengikutkan siswanya dalam seleksi PTN. Kebijakan-kebijakan semacam ini kemungkinan besar akan efektif terutama untuk sekolah/madrasah yang memiliki integritas rendah/sedang serta tetap memeroleh nilai UN rendah (di bawah 55).

Selain itu, pemerintah dapat mengidentifikasi sekolah/madrasah yang menjadi pencilan (outlier) positif. Ini adalah sekolah/madrasah yang mampu berpindah dari kategori IIUN rendah/sedang ke tinggi, sekaligus berhasil meningkatkan nilai UN-nya. Praktik-praktik baik yang menjadi “resep”

sekolah/madrasah ini dapat dipelajari, disebarkan untuk menjadi inspirasi, serta dimanfaatkan untuk merancang kebijakan yang memudahkan sekolah/madrasah lain menerapkan praktik-praktik tersebut.

132

ANALISIS ANGKET