• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kekuatan Hukum Perjanjian Nominee Saham Dalam Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing (PT.PMA)

Pasal 17 (1) Notaris dilarang:

3.3 Analisis Kekuatan Hukum Perjanjian Nominee Saham Dalam Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing (PT.PMA)

a. Ditinjau dari Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya suatu perjanjian yaitu suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:

a. Adanya kata sepakat;

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian; c. Adanya suatu hal tertentu;

d. Adanya causa yang halal.

Pasal 1320 KUHPerdata merupakan pasal yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian karena merupakan syarat sahnya perjanjian baik dari subyek pejanjian maupun obyek perjanjian.

Kesepakatan yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah penyesuaian kehendak antara para pihak yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara baik dengan cara tertulis maupun secara tidak tertulis. Demikian juga dalam perjanjian nomineeantara warga negara Indonesia sebagai nominee dan warga negara asing sebagai beneficiary baik dalam pendirian PT. lokal maupun PT.PMA dimana perjanjian

nominee tersebut dengan menggunakan akta notarial maupun dengan dibuat akta bawah tangan.

Sementara itu kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk membuat perjanjian, syarat kecakapan untuk membuat suatu perjanjian harus dituangkan secara jelas jati diri para pihak. Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, menyebutkan bahwa orang – orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :

1. Orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan dan

3. Orang perempuan dalam hal - hal yang ditetapkan oleh undang – undang, dan semua orang kepada siapa undang - undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Demikian dalam perjanjian nominee para pihak harus memenuhi syarat cakap untuk dalam bertindak secara hukum dalam perjanjian tersebut.

Mengenai suatu syarat hal tertentu sebagai syarat ketiga untuk sahnya perjanjian ini menerangkan tentang harus adanya obyek perjanjian yang jelas yaitu berkenaan dengan isi pokok perjanjian.Menurut Pasal 1333 KUHPerdata” suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang yang tidak tentu, asal jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”. Suatu perjanjian memang seharusnya berisi pokok atau obyek obyek yang tertentu agar dapat dilaksanakan.

Hakim kiranya akan berusaha sebisanya untuk mencari tahu apa pokok obyek dari suatu perjanjian agar perjanjian itu dapat dilaksanakan, tetapi bila sampai tidak dapat sama sekali ditentukan pokok (obyek) perjanjian itu, maka perjanjian itu menjadi batal.92 Dalam perjanjian nominee saham yang menjadi obyek perjanjian adalah saham perusahaan.

Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga merupakan syarat isi perjanjian. Menurut Pasal 1335 KUH Perdata:” Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab, yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Pasal ini sebenarnya hanya mempertegas kembali tentang salah satu obyek dari keabsahan, yaitu mengenai sebab yang halal, di mana kalau suatu perjanjian bertentangan dengan undang – undang, kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan atau yang lazim disebut batal demi hukum.

Pasal 1336 KUHPerdata menyatakan” jika tidak dinyatakan sesuatu sebab tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, perjanjiannya, namun demikian adalah sah. Jelaslah Pasal 1336 KUH Perdata ini merupakan dasar bagi perjanjian yang tanpa sebab menjadi perjanjian yang sah asalkan ada sesuatu yang halal (diperbolehkan).93

b. Ditinjau dari Itikad Baik Dalam Perjanjian

Sebagaimana dtentukan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa:” bahwa perjanjian itu harus dilaksanaan dengan itikad baik.” Maksudnya perjanjian

92

Hardijan Rusli, 1996, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 86.

93

Hasanuddin Rahman, 1995, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 11.

itu harus dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Mengingat bahwa perjanjian itu dibuat dengan sengaja dan sadar serta bertumpu pada jalinan sepakat dari para pihak yang kemudian dituangkan dalam klausula-klausula, hakekatnya sejak awal para pihak berkeinginan agar semuanya bisa berjalan dan terlaksana dengan baik.

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata selalu dihubungkan dengan Pasal 1339 KUHPerdata bahwa :”suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaaan dan undang – undang”. Dengan demikian terdapat tiga sumber norma yang ikut mengisi suatu perjanjian yaitu kebiasaan, kepatutan, dan undang – undang.

Terdapat dua model pengujian tentang ada atau tidaknya itikad baik dalam perjanjian yaitu pengujian obyektif dan pengujian subyektif. Pengujian obyektif umumnya dikaitkan dengan kepatutan artinya salah satu pihak tidak dapat membela diri dengan mengatakan bahwa ia telah bertindak jujur manakala ternyata dia tidak bertindak secara patut. Sementara itu pengujian subyektif terhadap kewajiban itikad baik dikaitkan dengan keadaan karena ketidaktahuan.

Kontrak pada umumnya berisi klausula yang mencerminkan janji atau syarat yang berlaku bagi para pihak. Pembuatan rancangan kontrak lazimnya diserahkan pada salah satu pihak atas kesepakatan kedua belah pihak. Sesudahnya akan dilakukan perundingan untuk mencapai rancangan akhir (final draft) yang akan ditandatangani. Pada tahap ini juga terdapat kewajiban hukum itikad baik

yaitu kewajiban untuk mencermati seluruh aspek yang terkandung dalam kontrak yang ditandantangani. Ini yang disebut the obligation to exercise due diligence.94 c. Ditinjau Dari Asas – asas Perjanjian

Asas - asas yang dipergunakan dalam perjanjian nominee saham seperti perikatan pada umumnya yang melandasi perjanjian. Asas – asas yang digunakan dalam perjanjian nominee saham adalah:

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu yang digunakan sebagai dasar dalam perjanjian nominee saham. Asas hukum penting yang berkaitan dengan berlakunya perjanjian atau kontrak adalah asas kebebasan berkontrak. Dalam kebebasan berkontrak pihak – pihak bebas membuat perjanjian kontrak apa saja, baik yang sudah ada pengaturanya maupun yang belum ada pengaturanya dan bebas menentukan sendiri isi dari pada perjanjian atau kontrak tersebut, namun kebebasan tersebut tidak bersifat mutlak karena terdapat pembatasan – pembatasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang – undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa:”setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan suatu kebebasan kepada para pihak untuk :

a. Membuat dan tidak membuat suatu perjanjian; b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;

94

Putusan MA No. 1816 K/Pdt 1992, tanggal 22 Oktober 1992, dalam perkara antara Lucky Iwanto vs Tohir bin Rahman, dkk.

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratanya, d. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Mengenai asas kebebasan berkontrak dan batas – batasnya dalam hukum perjanjian Rosa Agustina T. Pangaribuan menyatakan bahwa sumber kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu, yang merupakan titik tolak kontrak adalah kepentingan individu. Sehingga kebebasan individu memberikan kepada pihak – pihak kebebasan berkontrak.95 Asas kebebasan berkontrak apabila dilihat dari KUHPerdata, tidak diartikan sebagai asas bebas mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal – pasal KUHPerdata, terhadap asas tersebut sehingga menjadi ada batasnya. Salah satunya adalah bahwa Pasal 1320 KUHPerdata menentukan perjanjian tidak sah apabila ternyata dibuat tanpa consensus atau sepakat para pihak yang membuatnya. Kebebasan satu pihak menenukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya, sehingga asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.96 Dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu penyebab yang melatarbelakangi dibuatya perjanjian nominee saham oleh para pihak, karena pengaturan tentang perjanjian nominee saham tidak ada pengaturanya yang jelas dalam UUPT.

2. Asas Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sunt Servanda)

Bunyi Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata :” setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya”.

95

Rosa Agustina T. Pangaribuan, 2000, Asas Kebebasan Berkontrak dan Batas-Batasnya Dalam Hukum Perjanjian, Centre for Law Information, Jakarta, hal. 1.

96

Asas pacta sunt servanda berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" artinya bahwa perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatnya sebagai undang-undang dan menunjukan bahwa undang – undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam kontrak sejajar dengan pembuat undang – undang. Para pihak yang membuat perjanjian dapat secara mandiri mengatur pola hubungan – hubungan hukum diantara mereka. Kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk didalamnya "hakim" untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum. Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:

1. Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang; 2. Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

Asas ini apabila dikaitkan dengan syarat sahnya perjanjian yaitu Pasal 1320 KUHPerdata bahwa salah satu syarat obyektif dalam suatu perjanjian adalah causa yang halal. Dalam perjanjian nominee saham jelas bahwa ada causa yang tidak halal atau bohong – bohongan atau perjanjian simulasi karena didalam UUPT menentukan bahwa dalam kepemilikan saham ditentukan 2 (dua) orang atau lebih tetapi pada kenyataanya dimiliki oleh satu orang pemegang saham dan saham yang lainnya hanya sebagai saham nominee.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada Pasal dalam KUHPerdata yang secara jelas mengatur tentang perjanjian nominee. Apabila dipandang perjanjian nominee saham hanya sebagai perikatan alamiah maka daya

mengikat kontrak dalam perjanjian nominee saham tidak dapat dipaksakan oleh para pihak, sehingga tidak bisa dijamin mengenai kekuatan hukum dari perjanjian nominee. Dengan demikian secara otomatis hak – hak para pihak yang terlibat di dalamnya tidak terlindungi oleh hukum Indonesia.

Apabila dianalis ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan (2) UUPM tersebut merupakan penegasan bahwa nominee agreement / documentation tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia, dimana pembedaan antara legal/registered owner dan beneficial owner tidak dipisahkan dalam hukum Indonesia.97 Namun demikian dalam praktek nominee di Indonesia, para pihak tidak hanya menandatangani perjanjian atau pernyataan yang menegaskan kepemilikan sahamnya dalam suatu PT adalah mutlak untuk dan atas nama orang lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UUPM. Praktek nominee di Indonesia biasanya dilakukan berdasarkan seperangkat dokumen dan perjanjian yang dikenal secara umum dalam pranata hukum Indonesia, seperti perjanjian kredit, perjanjian gadai saham dan surat kuasa atau yang disebut dengan nominee arrangement.

Berikut beberapa perjanjian yang dibuat antara beneficiary dengan nominee dalam nominee arrangement antara warga negara asing dan warga negara Indonesia dalam PT. PMA, dimana akta tersebut dibuat baik secara notariil maupun dibawah tangan :

97

1. Perjanjian Kredit antara beneficiary selaku kreditur dan nominee selaku debitur dimana pinjaman tersebut akan digunakan oleh debitur untuk membayar setoran modal saham pada perusahaan yang dimaksud.

2. Perjanjian Gadai Saham antara beneficiary selaku penerima gadai dan nominee selaku pemberi gadai, dimana saham yang diterbitkan atas setoran yang dilakukan dengan menggunakan uang pinjaman tersebut digadaikan oleh nominee kepada beneficiary. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa ketentuan Pasal 60 ayat (4) UUPT yang menyatakan bahwa:” hak suara atas saham yang digunakan dengan gadai atau jaminan fidusia tetap berada pada pemegang saham.” Pasal ini menegaskan asas hukum yang tidak memungkinkan pengalihan hak suara terlepas dari kepemilikan atas saham.

3. Perjanjian Cessi atau Dividen antara beneficiary dan nominee, dimana hak atas dividen yang dibagikan oleh perusahaan kepada nominee selaku pemegang saham dialihkan kepada beneficiary.

4. Surat Kuasa Mutlak untuk RUPS dimana nominee selaku pemegang saham pada perusahaan tersebut memberikan kuasa mutlak kepada beneficiary untuk dapat meminta diadakannya RUPS, menghadiri dan megeluarkan suara dalam RUPS perusahaan yang bersangkutan.

5. Surat kuasa mutlak untuk menjual saham yang diberikan oleh nominee kepada beneficiary, dimana dalam hal terjadi kejadian tertentu beneficiary dapat menjual saham-saham yang dimiliki oleh nominee.

6. Akta Pernyataan yaitu pernyataan dari nominee yang menyatakan bahwa saham yang dimilikinya adalah sepenuhnya milik beneficiary jadi segala keuntungan yang didapat dari perusahaan adalah milik beneficiary dan nominee dibebaskan dari segala masalah yang akan timbul dikemudian hari atas kepemilikan saham tersebut.

Perjanjian dan kuasa-kuasa tersebut diperlukan dalam rangka untuk memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum dan kuasa untuk mengendalikan perusahaan kepada beneficiary sebagai pemilik sebenarnya atas saham yang dimiliki oleh nominee secara hukum. Keabsahan nominee arrangement tentu dapat dipertanyakan apabila ditinjau dari Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian.

Syarat pertama dan kedua apabila tidak dipenuhi mengakibatkan suatu perjanjian dapat dibatalkan (voidable), sedangkan syarat ketiga dan keempat apabila tidak dipenuhi mengakibatkan suatu perjanjian menjadi batal demi hukum (null and void). Nominee arrangement yang dilakukan untuk memenuhi syarat pendirian PT dan dalam rangka menghindari pembatasan modal asing dapat dikategorikan sebagai kesepakatan yang bertentangan dengan hukum dan tidak memiliki sebab yang halal. Oleh karena itu perjanjian nominee arrangement dengan demikian batal demi hukum.

Contoh penggunaan nominee dalam PT. PMA yang menggunakan nominee karena suatu pembatasan kepemilikan modal asing untuk PT. PMA, dimana hal ini banyak terjadi di Bali. Mr. A seorang investor berkebangsaan Amerika akan menanamkan modalnya di Indonesia dengan mendirikan PT. PMA

dengan bidang usaha restoran tetapi bidang usaha tersebut dimana sahamnya harus bermitra dengan investor lokal. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 menentukan bahwa bidang usaha restoran maksimal saham asing 51% dan 49% oleh saham lokal, tetapi Mr.A tersebut tidak mau bermitra dengan investor lokal karena merasa mempuyai investasi yang cukup dan tidak mau berbagi keuntungan dengan investor lokal baik investor perorangan maupun badan hukum. Kemudian Mr.A tersebut melakukan praktek nominee (pinjam nama) yaitu meminjam nama orang Indonesia yaitu Bapak W untuk dijadikan pemegang saham nominee yaitu untuk memenuhi syarat berdirinya PT oleh 2 (dua) orang dan untuk memenuhi syarat bahwa untuk bidang usaha restoran harus bermitra dengan investor lokal. Kemudian antara Mr. A dan Bapak W membuat beberapa perjanjian nominee sebagai back up dari Mr.A atas sahamnya yang diatasnamakan ke Bapak W.

Pertanyaan yang timbul dari contoh diatas adalah sebenarnya Mr. A mengetahui atau tidak bahwa dalam UUPM ada pelarangan yang jelas tentang penggunaan perjanjian nominee dan menyebabkan perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Dalam hal ini peran dari para pelaku hukum seperti notaris atau konsultan hukum sangat dibutuhkan, dimana harus memberikan penyuluhan hukum ketika para pihak bermaksud membuat perjanjian nominee, karena pada umumnya para investor asing dalam membuat perjanjian nominee dibantu oleh notaris atau konsultan hukum.

BAB IV

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERSEROAN TERBATAS PENANAMAN