• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL 5.1 Aspek Teknik

5.3 Rezim Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan ekor Kuning .1 Estimasi parameter biologi .1 Estimasi parameter biologi

5.4.2 Analisis kriteria investasi

Analisis kriteria investasi digunakan untuk membuat keputusan suatu kegiatan bisa atau tidak untuk dijalankan serta menilai dan mengevaluasi kegiatan tersebut. Perhitungan analisis kriteria investasi tersebut menggunakan beberapa asumsi dasar untuk membatasi permasalahan yang ada. Asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut:

(1) Analisis yang dilakukan merupakan usaha baru yang akan dikembangkan terhadap unit usaha yang ada dengan umur kegiatan ditentukan 8 tahun, karena umur teknis untuk investasi kapal baru adalah 8 tahun. Investasi yang telah dihitung dengan penyesuaian IHK yang berlaku di Kabupaten Kepulauan Seribu untuk komoditas ikan segar, sehingga menunjukkan nilai saat penelitian;

94

(2) Tahun pertama proyek dimulai tahun 2007 dengan penilaian investasi dinilai pada tahun tersebut, penggantian investasi berikutnya menggunakan barang baru dan harga baru;

(3) Sumber modal yang digunakan adalah modal sendiri;

(4) Populasi ikan menyebar merata di seluruh daerah penangkapan;

(5) Hasil tangkapan yang masuk ke dalam perhitungan hanya ikan ekor kuning; (6) Jumlah trip unit penangkapan muroami jumlah dalam setahun 258 trip dan

jumlah trip unit penangkapan bubu dalam setahun 135 trip.

(7) Kapal atau perahu dan mesin yang digunakan untuk operasi penangkapan muroami dan bubu memiliki ukuran relatif sama dengan teknologi penangkapan yang berbeda.

(8) Harga ikan hasil tangkapan merupakan harga yang diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan setempat dan harga ikan per satuan hasil tangkapan adalah konstan;

(9) Discount factor pada tahun 2007 didasarkan pada tingkat suku bunga 16% per tahun yang berlaku pada Bank DKI Jakarta Cabang Kepulauan Seribu; (10) Biaya perawatan kapal, mesin dan alat tangkap meningkat 5% per tahun

proyek, hal ini dikarenakan kapal, mesin dan alat tangkap merupakan barang yang sudah terpakai.

(11) Kebutuhan solar dan minyak tanah meningkat 5% per tahun proyek. Hal ini disebabkan oleh umur teknis semakin, tua sehingga kebutuhan bahan bakar semakin bertambah; dan

(12) Kebutuhan oli meningkat 5% per tahun proyek, hal ini disebabkan oleh umur teknis mesin semakin tua, sehingga kebutuhan bahan bakar semakin bertambah.

Analisis kriteria investasi usaha unit penangkapan muroami dan bubu di Kepulauan Seribu terdiri dari Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio

(Net B/C) dan Internal Rate of Return (IRR) dapat dilihat pada Tabel 26 dan 27. Perhitungan cash flow unit penangkapan muroami dan bubu dapat dilihat pada Lampiran 17 dan 18.

Berdasarkan Tabel 26 perhitungan dengan analisis finansial usaha unit penangkapan muroami nilai NPV yang diperoleh sebesar Rp8,980,639.29 dengan discount factor pada tingkat suku bunga 16% per tahun, nilai ini menunjukkan bahwa selama tahun kegiatan usaha unit penangkapan muroami akan memperoleh keuntungan sebesar Rp8,980,639.29 apabila dilihat dari

sekarang, sehingga usaha tersebut layak untuk dilanjutkan. Net B/C yang diperoleh sebesar 1.06 merupakan perbandingan net benefit positif dengan net benefit negative selama tahun proyek. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap satu rupiah (cost) yang dikeluarkan selama umur proyek akan memberikan nilai manfaat (benefit) sebesar Rp1.06 pada tingkat suku bunga 16% per tahun. Tabel 26 Nilai Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan

Internal Rate of Return (IRR) usaha unit penangkapan muroami selama tahun proyek, tahun 2007

No Keterangan Nilai

1 Net Present Value (NPV) dalam Rupiah 8,980,639.29

2 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) 1.06

3 Internal Rate of Return (IRR) (%) 18

Sumber: Diolah dari data primer 2007

Internal rate of return yang diperoleh dari hasil analisis kelayakan usaha penangkapan muroami sebesar 18% per tahun. Hal ini berarti bahwa keuntungan internal atau benefit internal yang diperoleh dari usaha ini sebagai akibat investasi yang ditanamkan selama umur proyek adalah 18% per tahun. Nilai IRR

tersebut lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku, yaitu 16%, artinya usaha unit penangkapan muroami dapat diteruskan. Dari perolehan nilai hasil analisis kriteria investasi tersebut diperoleh nilai NPV > 0, Net B/C > 1 dan IRR > tingkat suku bunga bank yang berlaku, sehingga usaha penangkapan muroami ini layak untuk dikembangkan.

Tabel 27 perhitungan analisis finansial untuk usaha unit penangkapan bubu diperoleh nilai NPV sebesar Rp2,544,075.31 dengan discount factor pada tingkat suku bunga 16% per tahun, nilai ini menunjukkan bahwa nilai keuntungan yang diperoleh pada akhir tahun proyek usaha unit penangkapan bubu adalah sebesar Rp2,544,075.31 dilihat pada saat sekarang, sehingga usaha ini juga layak untuk dilanjutkan. Keuntungan yang diperoleh cukup sebanding dengan yang diperoleh dari usaha unit penangkapan muroami, dimana bubu beroperasi dua hari sekali dan muroami dengan sistem one day fishing. Net B/C yang diperoleh sebesar 1.05 merupakan perbandingan net benefit positif dengan net benefit negative selama tahun proyek. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya (cost) yang dikeluarkan selama umur proyek akan memberikan nilai manfaat (benefit) sebesar Rp1.05 pada tingkat suku bunga 16% per tahun.

Internal rate of return yang diperoleh dari analisis kelayakan usaha penangkapan bubu sebesar 19% per tahun, ini menunjukkan bahwa adanya penambahan internal nilai investasi yang ditanamkan untuk usaha unit bubu

96

akan bertambah sebesar 19% setiap tahunnya selama umur proyek. Nilai IRR

tersebut lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku, yaitu 16% artinya usaha penangkapan bubu juga dapat diteruskan.

Tabel 27 Nilai Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan

Internal Rate of Return (IRR) usaha unit penangkapan bubu selama tahun proyek, tahun 2007

No Keterangan Nilai

1 Net Present Value (NPV) dalam Rupiah 2,544,075.31

2 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) 1.05

3 Internal Rate of Return (IRR) (%) 19

Sumber: Diolah dari data primer 2007

Berdasarkan analisis kriteria usaha dan analisis kriteria investasi usaha unit penangkapan bubu dan muroami layak untuk dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat beberapa kriteria usaha dan kriteria investasi, dimana Payback Period dari bubu 2.53 tahun dan muroami 4.90 tahun dan pada nilai IRR pada setiap alat tangkapan bubu 19%, sedangkan muroami 18%.

5.4.3 Analisis sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat pengaruh apa yang akan terjadi akibat perubahan harga input atau bahan baku yang akan berdampak pada nilai output diakhir perhitungan. Dalam penelitian ini faktor yang dianalisis adalah perubahan harga solar dan minyak tanah sebagai komponen variabel terbesar yaitu untuk solar sekitar 25.8% - 42.0% dan untuk minyak tanah 1.3%-1.6% dari total biaya variabel. Metode yang digunakan adalah switching value. Komponen tersebut merupakan komponen variabel utama yang dianggap peka dalam proses penangkapan muroami dan bubu.

Berdasarkan metode tersebut diperoleh nilai untuk kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 2.5% pada muroami dan pada bubu sebesar 4.3% yang menyebabkan usaha penangkapan menjadi tidak layak untuk dijalankan. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga solar dan minyak tanah, maka nilai kriteria investasi juga akan mengalami perubahan. Nilai kriteria investasi setelah dilakukan analisis sensitivitas pada usaha penangkapan muroami dan bubu dapat dilihat pada Tabel 28 dan 29 dan untuk perhitungan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 19 dan 20.

Berdasarkan Tabel 28 dapat dilihat perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 2.5% dari harga solar Rp5,125.00 menjadi Rp5,253.13 pada unit penangkapan muroami menunjukkan

bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan muroami di Kepulauan Seribu tidak layak untuk dijalankan dan dikembangkan. Net B/C yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0.998. Berarti usaha ini tidak memberi manfaat bersih, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan sama atau dibawah tingkat suku bunga yang berlaku, yaitu 16% berarti usaha ini mengalami kerugian. Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan muroami tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 2.5%.

Tabel 28 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 2.5% pada muroami, tahun 2007

No Kriteria Investasi

Sebelum kenaikan harga solar dan

minyak tanah

Sesudah kenaikan harga solar dan minyak tanah (2.5%)

Perubahan

1 NPV (Rp) 8,980,639.29 -317,224.23 9,297,863.52

2 Net B/C 1.06 0.998 0.057

3 IRR (%) 18% 16% 2%

Sumber: Diolah dari data primer 2007

Hasil perbandingan sebelum dan sesudah perubahan harga minyak tanah menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan IRR ikut berubah. Perubahan nilai

NPV sebesar Rp9,297,863.52 dari Rp8,980,639.29 setelah mengalami kenaikan solar dan minyak tanah menjadi Rp(317,224.23), menunjukkan bahwa net benefit

yang akan diperoleh pada akhir tahun proyek yang dihitung berdasarkan nilai saat ini mengalami penurunan sebesar Rp9,297,863.52. Net B/C sebesar 0.057 menunjukkan bahwa manfaat bersih dalam usaha ini berkurang sebesar Rp0.057 dari biaya yang dikeluarkan oleh nelayan muroami. Nilai IRR menjadi 16% menyebabkan keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan muroami tersebut berkurang sebesar 2% dari investasi yang ditanamkan nelayan setelah terjadinya kenaikan harga solar dan minyak tanah.

Tabel 29 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 4.3% pada bubu, tahun 2007

No Kriteria Investasi

Sebelum kenaikan harga solar dan

minyak tanah

Sesudah kenaikan harga solar dan minyak tanah (4.3%)

Perubahan

1 NPV (Rp) 2,544,075.31 -53,022.84 2,597,098.15

2 Net B/C 1.047 0.999 0.05

3 IRR (%) 19% 16% 4%

98

Berdasarkan Tabel 29 perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 4,3% pada unit penangkapan bubu. Harga solar sebelum terjadi kenaikan sebesar Rp5,000.00 menjadi Rp5,215.00 dan harga minyak tanah semula Rp3,000.00 menjadi Rp3,129.00, hal ini menyebabkan nilai NPV negatif. Berarti usaha penangkapan bubu di Kepulauan Seribu juga tidak layak untuk dijalankan dan dikembangkan. Net B/C

yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0,999. Berarti usaha ini tidak memberi manfaat bersih, sehingga akan mengalami kerugian. Nilai IRR yang dihasilkan, yaitu 16% sama atau dibawah tingkat suku bunga yang berlaku. berarti usaha ini mengalami kerugian. Dari keseluruhan hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan bubu tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat kenaikan harga solar dan minyak tanah 4.3%.

Hasil perbandingan sebelum dan sesudah kenaikan harga solar dan minyak tanah 4.3% menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan IRR mengalami perubahan. Nilai NPV berkurang sebesar Rp2,597,098.15 dari Rp2,544,075.31 menjadi Rp(53,022.84) setelah kenaikan harga solar dan minyak tanah, menunjukkan bahwa net benefit yang akan diperoleh pada akhir tahun proyek yang dihitung berdasarkan nilai saat ini mengalami penurunan sebesar Rp2,597,098.15. Net B/C berkurang sebesar 0.05 yang menunjukkan bahwa manfaat bersih dalam usaha ini berkurang sebesar Rp0.05 dari biaya yang dikeluarkan oleh nelayan muroami. Nilai IRR yang berkurang sebesar 4% menyebabkan keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan bubu tersebut menurun sebesar 4% dari investasi yang ditanamkan nelayan setelah terjadi kenaikan harga solar dan minyak tanah.

diperlukan suatu kebijakan dalam pengelolaannya, oleh karena itu dalam pemanfaatan sumberdaya dilakukan secara optimal pada masa sekarang supaya generasi mendatang memperoleh nilai manfaat yang paling tidak sama dengan kondisi sekarang dari sumberdaya tersebut. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa tingkat alokasi optimal sumberdaya perikananan ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu disajikan pada Tabel 30 dan Tabel 31.

Tabel 30 Alokasi optimal sumberdaya perikanan ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami

Alokasi Optimal Satuan Hasil Standarisasi ke Alat Tangkap Muroami

Aktual Optimal (i=10) Optimal (i=18)

Yield Ton per tahun 798.9 531.73 529.14

Effort Trip per tahun 690 486 505

Alat Tangkap Unit 184 130 135

Tangkapan Ton per trip 1.16 1.09 1.05

Rente Total Juta Rp per

tahun

4,354.77 30,344.01 17,357.02 Rente per Unit

Tangkap

Juta Rp per Unit per Tahun

23.67 234.18 128.81

Tabel 30 menunjukkan bahwa berdasarkan tingkat discount rate sebesar 10% sampai dengan 18% produksi optimal untuk sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami sebanyak 531.73 sampai dengan 529.14 ton per tahun, dengan tingkat upaya 486 sampai dengan 505 trip per tahun. Apabila jumlah effort optimal dikonversi kembali ke dalam jumlah unit alat tangkap muroami yang optimal pada tingkat discount rate 10% sampai dengan 18% adalah 130 unit sampai dengan 135 unit. Sementara pada kondisi aktual jumlah muroami sekarang sudah mencapai 184 unit, jadi di Perairan Kepulauan Seribu telah kelebihan alat tangkap yang dioperasikan, sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning telah terjadi overfishing baik secara biologi dan ekonomi. Dengan demikian, untuk pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning secara lestari jumlah alat yang dianjurkan beroperasi di Perairan Kepulauan Seribu sebanyak 130-135 unit alat tangkap setingkat muroami.

Berdasarkan Tabel 31 pada tingkat discount rate 10% sampai dengan 18% produksi optimal dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu adalah sebanyak 8,336,259.03 sampai dengan 7,927,098.07 ton per tahun, dengan tingkat upaya 4,973 sampai dengan 5,462 trip per tahun. Apabila jumlah effort

100

tersebut dikonversikan ke dalam jumlah unit alat tangkap bubu, maka jumlah unit alat tangkap bubu yang optimal adalah sebanyak 440 unit sampai dengan 484 unit. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dari jumlah alat tangkap bubu pada kondisi aktual sekarang sebanyak 1,985 unit. Artinya bahwa untuk pemanfaatan sumberdaya tersebut secara optimal yang akan memberikan nilai manfaat optimal jangka panjang, maka jumlah alat tangkap bubu perlu pengurangan jumlah alat. Dengan demikian, untuk pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning secara lestari jumlah alat tangkap yang dianjurkan beroperasi di Perairan Kepulauan Seribu sebanyak 440-484 unit alat tangkap setingkat bubu.

Tabel 31 Alokasi optimal sumberdaya perikanan ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu

Alokasi Optimal Satuan Hasil Standarisasi ke Alat Tangkap Bubu

Aktual Optimal (i=10) Optimal (i=18)

Yield Ton per tahun 798.90 8,336,259.03 7,927,098.07

Effort Trip per tahun 22,411 4,973 5,462

Alat Tangkap Unit 1,985 440 484 

Tangkapan Ton per trip 0.04 1676.39 1451.31

Rente Total Juta Rp per

tahun

4,328.39 494,709,645.90 270,892,356.96 Rente per Unit

Tangkap

Juta Rp per Unit per Tahun

2.18 1,123,190.97 559,939.96

Rata-rata produksi aktual dari pemanfaatan sumberdaya perikanan ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami sebanyak 798.9 ton per tahun, dengan jumlah effort sebanyak 690 trip per tahun. Jumlah effort ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan alokasi secara optimal, sehingga menyebabkan total biaya akan lebih besar dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut. Rata-rata produksi aktual dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu sebanyak 798.90 ton per tahun, dengan jumlah effort sebayak 22,411 trip per tahun. Jumlah effort tersebut hampir empat kali lipat dari jumlah effort optimal pada tingkat discount rate 10% yang diharapkan yaitu sebanyak 4,973 trip per tahun, sedangkan pada tingkat discount rate 18% jumlah effort tersebut hampir tiga kali lipat dari jumlah effort optimal yang diharapkan sebanyak 5,462 trip per tahun. Kondisi ini juga akan menyebabkan total biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih besar yang pada akhirnya berimplikasi terhadap nilai rente yang diperoleh oleh masyarakat akan jadi berkurang.

Berdasarkan uraian di atas, maka pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu di masa yang akan datang, sebaiknya tidak lagi menambah unit alat tangkap muroami dan bubu. Bahkan ke depan untuk alat

tangkap muroami dan bubu dapat dilakukan upaya secara bertahap untuk mengurangi jumlah alat tangkap tersebut, guna memperoleh nilai tangkapan yang optimal dengan rente yang diperoleh juga optimal. Apabila tidak hal ini akan menimbulkan dampak terhadap kelestarian sumberdaya ikan ekor kuning dalam bentuk terjadinya overfishing, penurunan produktivitas (terjadi degradasi yang cukup parah) serta tingkat pendapatan nelayan sendiri.

Diharapkan kepada pemerintah daerah melalui dinas terkait, dapat membuat suatu kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu secara optimal. Kebijakan yang diambil adalah tidak lagi memberi izin terhadap penambahan dan pengoperasian alat tangkap yang sudah melebihi kondisi optimal. Tindakan ini dilakukan sebagai antisipasi mencegah terjadinya tekanan yang berlebihan terhadap daya dukung di Perairan Kepulauan Seribu bagi penangkapan dengan alat tangkap muroami dan bubu.

Sejalan dengan adanya suatu kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu, maka hal yang sangat penting adalah perlunya menerapkan sistem monitoring dan pendataan secara sistematis terhadap produksi ikan baik yang bernilai jual, konsumsi dan yang terbuang. Berdasarkan kondisi di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak hasil tangkapan nelayan yang belum tercatat, terutama nelayan yang mendaratkan hasil tangkapannya di luar TPI. Hal ini sangat penting untuk dilakukan guna untuk memperoleh data yang akurat sebagai bahan dasar dalam membuat perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan ikan ekor kuning ke depan.

Salah satu tujuan dari pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dari para pelaku ekonomi yang memanfaatkan sumberdaya perikanan, terutama bagi para nelayan. Tingkat kesejahteraan akan terlihat dari tingkat produktivitas dan pendapatan yang diperoleh oleh para pelakunya. Diharapkan agar peningkatan kesejahteraan nelayan di Kepulauan Seribu tidak hanya dijadikan sebagai fungsi tujuan pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning, akan tetapi lebih ditekankan sebagai target pengelolaan perikanan yang ingin dicapai. Konsekuensinya adalah Pemerintah Derah melalui dinas teknis terkait dapat menentukan dan memilih pola pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu. Pola pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning tidak hanya untuk mendapatkan produksi yang tinggi, sehingga melakukan upaya ekstraksi yang berlebihan, akan

102

tetapi adalah bagaimana pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning mampu memberikan nilai rente yang optimal bagi masyarakat. Ekstraksi sumberdaya ikan yang berlebihan hanya akan memberikan manfaat sesaat, dan untuk waktu jangka panjang masyarakat tidak akan memperoleh apa-apa dari sumberdaya tersebut. Hasil penelitian ini salah satu bentuk pilihan yang ditawarkan dalam pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning dengan pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan (sustainable).

Berdasarkan analisis finansial, usaha unit penangkapan muroami menghasilkan keuntungan lebih besar apabila dibandingkan dengan unit penangkapan bubu. Hal ini didasarkan pada biaya investasi masing-masing unit penangkapan bahwa investasi yang dikeluarkan unit penangkapan muroami jauh lebih besar dari unit penangkapan bubu. Besarnya keuntungan yang diperoleh unit penangkapan muroami disebabkan oleh besarnya kapasitas muroami dalam menghasilkan produksi berupa hasil tangkapan.

Dilihat dari tingkat investasi yang ditanamkan serta biaya operasional yang dikeluarkan lebih besar, juga menghasilkan hasil tangkapan yang lebih besar. Hal ini menjadikan alat tangkap muroami lebih menguntungkan daripada alat tangkap bubu dan menghasilkan nilai NPV dan IRR yang lebih besar, sehingga layak untuk dikembangkan di kemudian hari. Dilihat dari analisis sensitivitas, usaha penangkapan ikan ekor kuning baik dengan muroami mau pun bubu sangat sensitive terhadap kenaikan harga BBM (minyak tanah dan solar). Dengan demikian, perlu adanya kebijakan terhadap mekanisme harga BBM, apalagi pada saat sekarang tidak berlaku lagi minyak tanah bersubsidi, maka diperlukan alternatif bahan bakar lain seperti bio-diesel.

Uraian hasil penelitian ini merupakan hasil analisis dinamis optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami dan dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu di Perairan Kepulauan Seribu. Serta analisis finansial dari alat tangkap muroami dan bubu. Nilai-nilai yang didapat dari hasil analisis dinamis optimasi ini merupakan nilai optimal yang didapat diperoleh oleh nelayan atau pelaku ekonomi yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Apabila hal ini diimplementasikan, maka nelayan akan memperoleh hasil yang optimal, yang pada akhirnya akan punya peluang untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Berdasarkan Tabel 29 dan 30, maka rekomendasi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap

muroami dan hasil standarisasi ke alat tangkap bubu di Perairan Kepulauan Seribu, yang menjadi kajian adalah sebagai berikut:

(1) Membuat kebijakan tentang pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu yang meliputi tingkat effort dan volume produksi optimal, dengan mengacu pada tingkat discount rate rendah 10%, sehingga tercapai tingkat rente ekonomi yang maksimal dan lestari sebagaimana yang dihasilkan dalam penelitian ini.

(2) Membuat dan menetapkan regulasi tentang pengurangan dan pembatasan alat tangkap (restricition gear) setara dengan jumlah alat tangkap muroami 130 sampai dengan 135 unit atau setara dengan jumlah alat tangkap bubu sebanyak 440 sampai dengan 484 unit.

(3) Tetap melakukan kontrol dan pengawasan terhadap tingkat upaya penangkapan aktual dari hitungan upaya penangkapan di Perairan Kepulauan Seribu tidak melebihi tingkat produksi optimal dari sumberdaya ikan ekor kuning tersebut, yaitu masing-masing dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami sebanyak 505 trip per tahun dan dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu sebanyak 5,462 trip per tahun.

(4) Penetapan kuota atas produksi, sehingga dapat mengurangi tingkat upaya supaya tidak terjadi biological dan economical overfishing.

(5) Dalam jangka pendek dapat melakukan schedule of fishing, sehingga jumlah

effort dalam produksi sesuai dengan kondisi optimal, effort sebanyak 505 trip per tahun setara alat tangkap muroami dan sebanyak 5,462 trip per tahun setara alat tangkap bubu.

(6) Pemerintah atau intansi terkait dapat mendorong dalam penggantian BBM (minyak tanah dan solar) dengan bahan bakar sejenis bio-diesel dengan harga yang lebih murah.

Selain rekomendasi tersebut di atas, Pemerintah Kepulauan Seribu diharapkan juga mengacu pada kode etik pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF) yang telah dicanangkan oleh badan dunia yang menangani pangan dan pertanian (Food and agriculture Organization, FAO) pada tahun 1995. Banyak hal penting yang perlu menjadi perhatian dan menjadi acuan dalam mengaplikasikan pengelolaan sumberdaya ikan yang bertanggung jawab di Perairan Kepulauan Seribu sebagaimana terkandung dalam butir-butir isi CCRF, antara lain: