• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan sumberdaya perikanan banyak didasarkan pada faktor biologi, dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainble Yield (tangkapan maksimum yang lestari) atau MSY. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan mampu bertahan secara berkesinambungan (Sustaineble) (Fauzi 2006).

Pendekatan biologi dengan menggunakan model surplus production ini sendiri merupakan salah satu pendekatan dari tiga pendekatan umum yang biasa digunakan khususnya untuk perikanan multispecies. Dua pendekatan lainnya, yaitu Total Biomass Schaefer Model (TBSM) yang dikembangkan oleh Brown et al. pada tahun 1976, Pope tahun 1979, Pauly tahun 1979 dan Panayatou tahun 1985 dan pendekatan independent single species yang dikembangkan oleh Anderson dan Ursin pada tahun 1976 dan May et al. tahun 1979 memerlukan data dan perhitungan yang ekstensif, sehingga sulit diterapkan pada wilayah yang memiliki multispecies (Fauzi 2006).

Sparre dan Venema (1999) mengemukakan bahwa model-model yang digunakan untuk pendugaan stok ikan bagi keperluan pengelolaannya secara garis besar terbagi menjadi dua golongan, yaitu (l) model analitik, (2) model holistik. Model-model holistik sederhana lebih sedikit dibandingkan dengan model analitik. Model holistik berdasarkan informasi dari Aziz (1989) dan Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan (1998), estimasi stok ikan di Indonesia dilakukan dengan 6 metode pendekatan, yaitu sensus/transek, swept area, akustik, surplus production, tagging dan ekstra/intra-polasi.

Metoda sensus atau transek digunakan untuk mengkaji stok ikan yang sifatnya tidak bergerak dengan cepat, seperti ikan hias dan ikan karang. Metode

swept area digunakan untuk menduga stok ikan dasar (demersal) dimana metoda ini dilakukan dengan prinsip menyapu area perikanan dengan menggunakan alat tangkap trawl. Metode akustik ini digunakan untuk menduga ikan pelagis maupun demersal dengan prinsip kerja menghitung potensi ikan dengan menggunakan alat yang dinamakan echosounder dan metode surplus production digunakan untuk menduga ikan dengan memanfaatkan data time series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan di tempat pendaratan ikan (Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan 1998).

Pengkajian stok ikan dengan menggunakan trawl dan echosounder tergolong sangat mahal karena pelaksanaan kegiatan tersebut harus menggunakan kapal riset khusus, sehingga jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk mengcover seluruh perairan Indonesia sangatlah besar. Sementara itu, dana yang tersedia untuk melakukan survey jumlahnya relatif sedikit. Diantara, keenam metode pendekatan tersebut, pendekatan dengan metode surplus production adalah yang relatif paling murah, cepat dan sederhana dalam pengerjaan (Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan 1998).

Berdasarkan Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan (1998) bahwa kunci keberhasilan penggunaan metode ini adalah keakuratan sumber data yang digunakannya. Penggunaannya metode surplus production

memerlukan data time series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan di tempat pendaratan ikan. Dalam analisis estimasi stok dari sumberdaya ikan unggulan ini, digunakan pendekatan metode surplus production, walaupun di akui bahwa metode ini masih banyak menggunakan asumsi untuk menghitungnya.

Menurut Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006), menyatakan bahwa perubahan cadangan sumberdaya ikan secara alami dipengaruhi oleh pertumbuhan logistik ikan, yang secara matematik dapat dinyatakan dalam sebuah fungsi sebagai berikut:

= x.r (1-x/k) ... (1) Dimana:

x = ukuran kelimpahan biomas ikan

k = daya dukung alam (carrying capacity)

r = laju pertumbuhan biomas ikan

f(x) = fungsi pertumbuhan biomas ikan

dx/dt = laju pertumbuhan biomas

Persamaan (1) dalam literatur perikanan dikenal dengan pertumbuhan logistik (logistic growth model) yang pertama kali dikemukakan oleh Verhulst tahun 1889. Persamaan tersebut dapat digambarkan pada Gambar 5.

Berdasarkan persamaan (1) dan Gambar 5 tersebut, terlihat bahwa dalam kondisi keseimbangan (ekuilibrium), laju pertumbuhan sama dengan nol (dx/dt=0), tingkat populasi akan sama dengan carring capacity, sedangkan maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari carring capacity

14

tersebut (½k). Tingkat ini disebut juga sebagai Maximum Sustainable Yield atau

MSY (Fauzi 2006).

Sumber: Schaefer 1954 diacu dalam Fauzi (2006)

Gambar 5 Kurva pertumbuhan logistik

Menurut Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006), kurva pertumbuhan ikan tersebut di atas dibangun dengan asumsi perikanan tidak mengalami eksploitasi. Untuk mengeksploitasi (menangkap) ikan di suatu perairan dibutuhkan berbagai sarana. Sarana tersebut merupakan faktor input, yang dalam literatur perikanan biasa disebut sebagai upaya atau effort. Effort adalah indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, kapal, jaring, alat tangkap dan trip, yang dibutuhkan untuk suatu aktivitas penangkapan.

Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan bergantung pada tingkat upaya penangkapan (effort). Upaya penangkapan (effort) dibedakan menjadi dua berdasarkan satuan pengukurnya, yaitu upaya penangkapan nominal dan upaya penangkapan efektif. Upaya penangkapan nominal diukur berdasarkan jumlah nominalnya meliputi, satuan jumlah kapal, alat tangkap atau jumlah trip yang telah distandarisasikan, sedangkan upaya penangkapan efektif ditentukan berdasarkan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan penangkapan terhadap kelimpahan stok ikan. Secara matematis, hubungan antara kedua upaya tersebut dapat ditulis melalui persamaan berikut:

h = q.E ... (2) f(x) MSY K ½ k x 0

dimana q merupakan koefisien kemampuan tangkap (catchability coefficient) yang sering diartikan sebagai proporsi stok ikan yang dapat ditangkap oleh suatu unit upaya.

Produksi (h) ditentukan oleh ukuran kelimpahan stok (x), tingkat upaya penangkapan (E) dan koefisien penangkapan (q). Persamaan dari ketiga variabel tersebut sebagai berikut:

h = q.E.x ... (3)

Pada kondisi keseimbangan, perubahan kelimpahan sama dengan nol (dx/dt = 0), maka diperoleh hubungan antara laju pertumbuhan biomassa dengan hasil tangkapan. Hubungan tersebut secara matematis dinyatakan dengan menggabungkan persamaan (1) dengan persamaan (3), sehingga diperoleh persamaan baru sebagai berikut:

h = f(x)

. . . 1 ... (4)

sehingga hubungan antara ukuran kelimpahan (stok) dengan tingkat upaya dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

1 . ... (5)

Kemudian dengan mensubsitusikan persamaan (5) ke dalam persamaan (3), maka diperoleh tangkapan atau produksi lestari yang ditulis dalam persamaan berikut:

. . . . ... (6)

Persamaan (6) merupakan persamaan kuadratik dan secara grafik dapat diilustrasikan pada Gambar 6.

Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (E = 0), produksi juga akan nol. Apabila effort terus dinaikkan, pada titik EMSY akan diperoleh produksi yang maksimum. Produksi pada titik ini disebut sebagai titik Maximum Sustainable Yield. Sifat dari kurva Yield-Effort yang berbentuk kuadratik, peningkatan upaya terus menerus setelah melewati titik tidak akan dibarengi dengan peningkatan produksi lestari. Produksi akan turun kembali, bahkan mencapai nol, pada titik effort maximum (Emax) (Schaefer 1954

16

Sumber: Schaefer 1954 diacu dalam Fauzi (2006)

Gambar 6 Kurva produksi lestari upaya (yield effort curve)

Apabila persamaan (6), kedua sisinya dibagi dengan upaya tangkap (E) akan menggambar hubungan hasil tangkapan per upaya (CPUE) dengan upaya tangkap (E), yaitu

. . . ... (7)

. , dimana . dan .

Upaya tangkap lestari maksimum tercapai pada saat , maka akan diperoleh: , atau . . .

... (8) Dengan dinamika hasil tangkapan lestari akan diperoleh:

. .

.

... (9)

Menurut Fauzi dan Anna (2005), model produksi lestari Schaefer memiliki kelemahan dalam perhitungan, beberapa parameter biologi penting yang diperlukan ada yang hilang dan digantikan oleh koefisien a dan b. Dua koefisien ini mengandung tiga parameter penting yaitu r, q dan k. Oleh karena itu, untuk memodifikasi model Gordon Schaefer diperlukan teknik lain. Salah satu teknik yang dikembangkan untuk mengestimasi parameter biologi dari model surplus adalah melalui pendugaan koefisien yang dikembangkan oleh Clarke,

h(E) hMSY Produksi les tari Effort Emax EMSY 0

Yoshimoto, dan Pooley, atau yang dikenal dengan model CYP. Persamaan CYP

secara matematis ditulis sebagai berikut:

ln . ln

Dengan meregresikan tangkap per unit upaya (CPUE), yang disimbolkan dengan

U pada periode t + 1, dan dengan U pada periode t, serta penjumlahan input pada periode t dan t + 1, akan diperoleh koefisien r, q dan k secara terpisah. 2.4 Model Bio-ekonomi Sumberdaya Perikanan

Titik tolak pendekatan ekonomi pengelolaan perikanan bermula dengan publikasi tulisan Gordon (1954), seorang ekonom dari Kanada. Dalam artikelnya, Gordon menyatakan bahwa sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open access. Tidak seperti sumberdaya alam lainnya, seperti pertanian dan peternakan yang bersifat kepemilikan jelas, sumberdaya ikan relatif bersifat terbuka. Siapa saja bisa berpartisipasi tanpa harus memiliki sumberdaya tersebut. Gordon menyatakan bahwa tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) akan terjadi pada perikanan yang tidak terkontrol ini (Fauzi 2006).

Gordon memulai analisisnya berdasarkan asumsi konsep produksi biologi kuadratik yang dikembangkan oleh Verhulst pada tahun 1883 yang kemudian diterapkan untuk perikanan oleh seorang ahli biologi perikanan, Schaefer, pada tahun 1957. Dari sinilah istilah teori Gordon-Schaefer kemudian dikenal. Untuk mengembangkan model Gordon-Schaefer ini beberapa asumsi digunakan untuk memudahkan pemahaman. Asumsi-asumsi tersebut antara lain (Fauzi 2006): (1) Harga per satuan output (Rp per kg) diasumsikan konstan atau kurva

permintaan diasumsikan elastis sempurna (2) Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan

(3) Spesies sumberdaya bersifat tunggal (single species) (4) Struktur pasar bersifat kompetitif

(5) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pascapanen dan lain sebagainya).

Dengan menggunakan asumsi di atas, maka penerimaan total yang diterima oleh nelayan adalah:

TR = p.h

. . . . .

18

dimana:

TR = penerimaan total

p = harga rata-rata ikan ekor kuning

h = hasil tangkapan

Biaya total upaya penangkapan dinyatakan dengan persamaan:

TC = c.E ... (11) dimana:

TC = total biaya penangkapan ikan persatuan upaya

c = biaya penangkapan ikan persatuan upaya

E = upaya penangkapan

Keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut adalah:

. . . 1 . . ... (12) dimana:

= keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya

Gambar 7 dapat digunakan untuk menguraikan inti dari model Gordon-Schaefer mengenai pengelolaan perikanan dalam dua rezim pengelolaan yang berbeda. Dalam kondisi pengelolaan yang bersifat terbuka (open access), keseimbangan pengelolaan akan dicapai pada tingkat upaya E, pada saat penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC). Dalam hal ini pelaku perikanan hanya menerima biaya oportunitas dan rente ekonomi sumberdaya atau manfaat ekonomi tidak diperoleh. Rente ekonomi sumberdaya (economic rent) dalam hal ini diartikan sebagai selisih antara total penerimaan dari ekstraksi sumberdaya dengan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk mengekstraksinya. Tingkat upaya pada posisi ini adalah tingkat upaya dalam kondisi keseimbangan oleh Gordon disebut sebagai “bioeconomic equilibrium of open access fishery” atau keseimbangan bio-ekonomi dalam kondisi akses terbuka (Fauzi 2006)

Keseimbangan bio-ekonomi pada Gambar 7 dapat dijelaskan sebagai berikut, pada setiap tingkat upaya lebih rendah dari E (sebelah kiri dari, E), penerimaan total, akan melebihi biaya total, sehingga pelaku perikanan (nelayan) akan lebih banyak tertarik untuk menangkap ikan. Dalam kondisi akses yang tidak dibatasi, hal ini akan menyebabkan bertambahnya pelaku masuk (entry) ke industri perikanan. Sebaliknya pada tingkat upaya yang lebih tinggi dari (di sebelah kanan E∞), biaya total melebihi penerimaan total, sehingga banyak pelaku perikanan akan keluar (exit) dari perikanan. Dengan demikian, hanya

TC B max C TR TC TC’ MC=MR

pada tingkat upaya keseimbangan tercapai, sehingga proses entry dan exit tidak terjadi. Dengan kata lain, keseimbangan open access akan terjadi jika seluruh rente ekonomi telah terkuras habis (driven to zero), sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry maupun exit, serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada. Kondisi ini identik dengan ketidakadaannya hak pemilikan (property right) pada sumberdaya atau lebih tepatnya adalah ketiadaan hak pemilikan yang bisa dikuatkan secara hukum (enforceable) (Fauzi 2006)

Sumber: Gordon 1954 diacu dalam Fauzi (2006)

Gambar 7 Model Gordon-Schaefer

Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa keuntungan lestari yang maksimum (maximum sustainable Yield) akan diperolah pada tingkat upaya dimana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar (garis BC). Dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan, tingkat upaya ini sering disebut sebagai Maximum Economic Yield (MEY) atau produksi yang maksimum secara ekonomi, dan merupakan tingkat upaya yang optimal secara sosial (socially optimum). Apabila dibandingkan dengan tingkat upaya pada keseimbangan open access dengan tingkat upaya optimal secara sosial (E0), akan terlihat bahwa pada kondsi open access tingkat upaya (effort) yang dibutuhkan jauh lebih banyak dari yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, keseimbangan open access menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya alam yang tidak tepat (misallocation) karena kelebihan faktor produksi (tenaga keria, modal) tersebut bisa dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif. Inilah sebetulnya inti prediksi

Bi aya, penerimaan Rp. Effort Emax E0 0