• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola pengelolaan optimasi statik pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning kuning

5 HASIL 5.1 Aspek Teknik

5.3 Rezim Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan ekor Kuning .1 Estimasi parameter biologi .1 Estimasi parameter biologi

5.3.3 Pola pengelolaan optimasi statik pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning kuning

Analisis bio-ekonomi dilakukan untuk menentukan tingkat penguasaan maksimum bagi pelaku pemanfaatan sumberdaya perikanan. Perkembangan usaha perikanan tidak hanya ditentukan dari kemampuan untuk mengekploitasi sumberdaya ikan secara biologis saja, akan tetapi faktor ekonomi sangat berperan penting diantaranya adalah faktor biaya dan harga ikan. Pendekatan analisis secara biologi dan ekonomi merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam upaya optimalisasi penguasaan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan, dengan memasukan faktor ekonomi, maka akan dapat diketahui tingkat optimal dari nilai manfaat atau rente dari pemanfaatan sumberdaya perikanan yang diterima oleh masyarakat nelayan. Oleh karena pemanfaatan sumberdaya perikanan tujuan akhirnya adalah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan.

Berdasarkan data pada Tabel 18 dan 19, maka estimasi beberapa kondisi

sustainable yield, yaitu kondisi maximum sustainable yield (MSY), kondisi akses terbuka (open access), dan kondisi kepemilikan tunggal (sole owner) dapat ditentukan. Hasil perhitungan dari masing-masing kondisi tersebut secara ringkas disajikan pada Tabel 18 untuk hasil standarisasi ke alat tangkap muroami dan hasil standarisasi ke alat tangkap bubu pada Tabel 19.

Tabel 18 Hasil analisis bio-ekonomi dalam berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami

Parameter Sole Owner / MEY Open Access/OAY MSY

x (ton) h* (ton) E* (trip) π(juta Rp) 668.28 532.32 459 2,901.70 24.23 38.60 919 0 656.17 532.50 468 2,900.67 Sumber: Hasil Analisis Lampiran 10

Tabel 19 Hasil analisis bio-ekonomi dalam berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu

Parameter Sole Owner / MEY Open Access/OAY MSY

x (ton) 27,626,875.23 20.93 27,626,864.77

h* (ton) 8,539,241.98 12.94 8,539,241.98

E* (trip) 4,308 8,617 4,308

π (juta Rp) 48,298,967.49 0 48,298,967.49

Sumber: Hasil Analisis Lampiran 10

Parameter x merupakan kondisi biomassa sumberdaya ikan ekor kuning di wilayah tangkap dalam kondisi tanpa penangkapan, nilai parameter h

menunjukkan kondisi terjadinya penangkapan upaya pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning, nilai parameter E menunjukkan tingkat upaya yang tercurah dalam pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning dan nilai parameter π

merupakan tingkat keuntungan secara ekonomi dalam upaya pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning.

Hasil pemecahan analitik dengan menggunakan program MAPLE 11 diperoleh kurva dari berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning dengan hasil standarisasi ke alat tangkap muroami dan hasil standarisasi ke alat tangkap bubu. Gambar 35 dan 36 menunjukkan kondisi rezim pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning, terdiri atas Masimum Sustainable Yield (MSY),

Maximum Economic Yield (MEY atau Sole Owner) dan Open Access.

Pada Gambar 35 menunjukkan tingkat upaya (Effort), penerimaan (Revenue) dan biaya (Cost) dari berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning untuk hasil yang distandarisasi ke alat tangkap muroami. Tingkat

effort pada kondisi open access jauh lebih banyak dibandingkan dengan kondisi

Effort MSY dan MEY yaitu sebanyak 919 trip, sedangkan untuk MSY sebanyak 468 trip dan MEY sebanyak 459 trip. Pada tingkat effort yang tinggi akan menyebabkan biaya besar yang pada akhirnya akan berimplikasi terhadap rente yang diterima nelayan.

Pada Gambar 36 adalah kondisi pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning yang distandarisasikan ke alat tangkap bubu dimana tingkat effort kondisi

MSY dan MEY lebih kecil dari tingkat effort open access yang menunjukkan hasil tingkat upaya mencapai dua kali lebih besar dibandingkan MSY dan MEY, yaitu sebesar 8,617 trip. Kondisi MSY dan MEY memiliki tingkat effort yang sama, yaitu sebesar 4,308 trip.

78

Gambar 35 Kurva kondisi berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami

Gambar 36 Kurva kondisi berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu

5.3.3.1 Maximum Sustainable Yield (MSY)

Hasil analisis bioekonomi menunjukkan bahwa effort dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami pada rezim pengelolaan MSY lebih besar dari effort rezim pengelolaan MEY dan lebih kecil dari effort rezim pengelolaan

Effort TR TC MC=MR TR=TC EMEY πMAX EMSY EOP Effort R e v e nu e/Co st TR=TC TR MC=MR EMSY=EMEY EOP TC πMAX R e v e nu e/Co st

open access yaitu MSY sebanyak 468 trip, MEY sebanyak 459 trip dan open access sebanyak 919 trip. Apabila dibandingkan dengan effort aktual lebih besar dari effort rezim pengelolaan MSY, yaitu masing-masing sebanyak 690 trip dan 468 trip, sedangkan hasil tangkapan aktual juga lebih besar dari rezim pengelolaan MSY, yaitu masing-masing sebesar 799 ton dan 532.50 ton. Menurut Widodo dan Suadi (2006) MSY merupakan hasil tangkapan terbesar yang dihasilkan dari tahun ke tahun oleh suatu perikanan, sehingga kondisi ini menunjukkan sudah terjadinya kelebihan upaya dan hasil tangkapan (biological overfishing).

Effort aktual hasil standarisasi ke alat tangkap bubu lebih banyak dibandingkan dengan effort pada rezim pengelolaan MSY, yaitu sebanyak 22,411 trip dan 4,308 trip, sedangkan hasil tangkapan aktual sebanyak 799 ton dan hasil tangkapan pada rezim pengelolaan MSY sebesar 8,539,241.98 ton. Bila dilihat dari kondisi effort aktual dan effort rezim pengelolaan MSY sangat jelas terlihat bila sudah terjadi lebih upaya penangkapan (biological overfishing), sedangkan perbandingkan hasil tangkapan aktual dan hasil tangkapan pada rezim pengelolaan MSY belum terjadi kelebihan tangkap.

5.3.3.2 Maximum Economic Yield (MEY)

Maximum Economic Yield merupakan produksi yang maksimum secara ekonomi. Hasil perhitungan yang diperoleh menunjukkan bahwa effort pada rezim pengelolaan sole owner (MEY) lebih rendah dari rezim open access dan kondisi lestari (MSY), yaitu masing-masing untuk hasil standarisasi ke alat tangkap muroami sebanyak 459 trip per tahun dan hasil standarisasi ke alat tangkap bubu sebanyak 4,308 trip. Rente yang diperoleh dari rezim pengelolaan

MEY merupakan rente yang tertinggi dibandingkan dengan pengelolaan open access dan MSY, yaitu untuk hasil standarisasi ke alat tangkap muroami sebesar Rp2,901.70 juta dan hasil standarisasi ke alat tangkap bubu sebesar Rp48,298,967.49 juta. Rente ekonomi pada kondisi Maximum Economic Yield

(MEY) disebut juga sebagai rente sole owner berada kondisi maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat produksi ini tingkat upaya penangkapan sudah dilakukan secara efisien, sehingga diperoleh hasil tangkapan yang lebih baik dan diikuti oleh perolehan rente yang maksimum. Nilai manfaat (rente) dari rezim pengelolaan sumberdaya perikanan ikan ekor kuning dapat dilihat pada Tabel 18 dan 19.

80

Pada Gambar 37 dan 38 menunjukkan perbandingan dari berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning dengan hasil yang distandarisasikan ke alat tangkap muroami dan hasil standarisasi ke alat tangkap bubu di Kepulauan Seribu.

Gambar 37 menunjukkan tingkat rente tertinggi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning dengan hasil standarisasi ke alat tangkap muroami pada pengelolaan rezim MEY sebesar Rp2,901.70juta lebih besar dibandingkan dengan rezim pengelolaan MSY sebesar Rp2,900.67 juta. Pada kondisi MEY

tersebut, rente yang diperoleh adalah yang tertinggi atau disebut rente Maximum Economic Yield (MEY) atau sole owner berada kondisi maksimum, karena total penerimaan yang diperoleh lebih besar dari total pengeluaran. Implikasi dari pemanfaatan sumberdaya yang terkendali itu, terlihat dari effort yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY mau pun kondisi open access. Artinya rezim pengelolaan sole owner terlihat lebih bersahabat dengan sumberdaya dan lingkungan dibandingkan dengan kondisi EMSY.

Gambar 37 Perbandingan rezim pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami

Gambar 38 menunjukkan tingkat rente maksimal pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning dengan hasil standarisai ke alat tangkap bubu diperoleh pada pengelolaan rezim MSY dan MEY memiliki tingkat rente yang sama, yaitu sebesar Rp48,298,967.49 juta. Kondisi MEY atau kondisi optimal secara statik berperan penting dalam penentuan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari baik aspek biologi dan ekonominya.

-500.00 1,000.00 1,500.00 2,000.00 2,500.00 3,000.00 3,500.00 -100.00 200.00 300.00 400.00 500.00 600.00 700.00 800.00 900.00 1,000.00

MEY OAY MSY

R e nt e E k onomi Ca tc h, Ef for t

Rejim Pengelolaan SDI

Gambar 38 Perbandingan rezim pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi alat ke tangkap bubu

Berdasarkan data pada Tabel 17 dan 18 bahwa, bila dibandingkan dengan kondisi aktual dengan jumlah effort untuk hasil standarisasi ke alat tangkap muroami sebanyak 690 trip per tahun dan hasil standarisasi ke alat tangkap bubu sebanyak 22,411 trip per tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan

effort pada kondisi MSY dan MEY, akan tetapi masih dibawah kondisi open access. Begitu pula kondisi jumlah tangkapan (h) aktual, untuk jumlah tangkapan aktual muroami dan bubu hasil sebesar 799 ton. Bila dibandingkan dari ketiga kondisi rezim pengelolaan, hasil dari standarisasi ke alat tangkap muroami sudah melebihi jumlah upaya (effort), demikian juga dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu sudah melebihi jumlah upaya tangkap (effort). Hal ini menunjukkan bahwa upaya tangkap (effort) secara aktual dengan hasil standarisasi ke alat tangkap muroami sudah terjadi biological overfishing dan economic overfishing, begitu juga upaya tangkap secara aktual di Kepulauan Seribu hasil standarisasi ke alat tangkap bubu sudah terjadi biological overfishing dan economic overfishing, karena jumlah effort sudah melebihi MSY dan MEY, walaupun belum melebihi kondisi open access. Sementara untuk jumlah upaya tangkap (E) aktual sudah melebihi dari kondisi MSY dan MEY.

5.3.3.3 Open Access (OA)

Hasil analisis rezim pengelolaan sumberdaya perikanan akses terbuka (open access) berdasarkan Tabel 18 dan 19, bahwa upaya penangkapan pada rezim pengelolaan open acces di Kepulauan Seribu dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami sebanyak 919 trip per tahun, hasil standarisasi ke alat tangkap bubu sebanyak 8,617 trip pertahun. Bila dibandingkan dengan upaya

-10,000,000.00 20,000,000.00 30,000,000.00 40,000,000.00 50,000,000.00 60,000,000.00 -1,000,000.00 2,000,000.00 3,000,000.00 4,000,000.00 5,000,000.00 6,000,000.00 7,000,000.00 8,000,000.00 9,000,000.00

MEY OAY MSY

Re nt e E k o nomi Ca tc h, Ef fo rt

Rejim Pengelolaan SDI

82

penangkapan pada kondisi MSY dan MEY, masing-masing untuk hasil standarisasi ke alat tangkap muroami sebanyak 468 trip per tahun dan 459 trip per tahun, hasil standarisasi ke alat tangkap bubu sebanyak 4,308 trip per tahun dan 4,308 trip per tahun. Pada pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning rezim

open access jumlah upaya tangkapan jauh lebih banyak dibandingkan dengan

MSY dan MEY. Hal ini disebabkan pada kondisi open access bersifat terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkan sumberdaya tersebut. Menurut Clark (1976) menyatakan open access merupakan kondisi ketika pelaku perikanan atau seseorang yang mengeksploitasi sumberdaya secara tidak terkontrol atau setiap orang memanen sumberdaya tersebut (Clark 1976).

Hasil tangkapan yang diperoleh dari rezim pengelolaan open access di kepulauan Seribu, masing-masing untuk hasil standarisasi ke alat tangkapan muroami sebesar 38.60ton dan hasil standarisasi ke alat tangkap bubu sebesar 12.94 ton, dimana keuntungan yang didapat sama dengan nol (TR=TC). Kondisi ini akan menyebabkan nelayan cenderung untuk mengembangkan jumlah alat serta meningkatkan upaya tangkapan agar mendapatkan hasil yang lebih banyak. Tentu saja secara ekonomi hal ini tidak efisien, karena keuntungan yang diperoleh untuk jangka panjang akan berkurang atau sama sekali tidak memperoleh keuntungan atau nol. Diniah et al. (2006) menyatakan pada kondisi

open access rente ekonomi yang diperoleh digunakan untuk meningkatkan effort, sehingga biaya yang dikeluarkan akan terus meningkat yang akhirnya rente ekonomi sama dengan nol (л=0).

Keadaan yang akan terjadi pada rezim pengelolaan open access, bahwa ada dua pendapat sebagai berikut: 1) jika upaya penangkapan yang digunakan menghasilkan suatu keadaan total cost (TC) lebih tinggi dari total revenue (TR) maka nelayan kehilangan penerimaannya dan akan memilih keluar (exit) dari usaha penangkapan, 2) jika upaya penangkapan menghasilkan total revenue

(TR) lebih tinggi dari total cost (TC), maka nelayan lebih tertarik dan masuk (entry) untuk mengeksploitasi sumberdaya perikanan. Pada tingkat keseimbangan tercapai, maka proses exit and entry tidak terjadi lagi. Menurut Clark (1976); Fauzi (2004) bahwa keseimbangan open access terjadi jika seluruh rente ekonomi telah terkuras, sehingga tidak ada lagi insentif untuk masuk dan keluar serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada.

5.3.3.4 Optimal dinamik

Menurut Clark (1976); Fauzi (2006), pendekatan statik pada penilaian sumberdaya ikan memiliki kelemahan yang sangat mendasar, yaitu faktor waktu tidak dimasukkan dalam analisis sumberdaya terbarukan, seperti ikan, memerlukan waktu untuk bereaksi terhadap perubahan-perubahan eksternal yang terjadi. Oleh karena itu diperlukan pendekatan dinamik untuk memahami pengelolaan sumberdaya ikan.

Model dinamik menyangkut aspek pengelolaan yang bersifat inter temporal, yaitu aspek tersebut dijembatani dengan penggunaan discount rate. Pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal dalam konteks model dinamik diartikan sebagai perhitungan tingkat upaya (effort) dan panen (hasil tangkapan) yang menghasilkan surplus sosial yang maksimum. Surplus sosial pada kondisi ini diwakili oleh rente ekonomi overtime dari sumberdaya (Fauzi 2006). Solusi pengelolaan dinamik pada sumberdaya dihitung melalui:

1 / ) = δ

Perhitungan hasil estimasi parameter biologi dengan model CYP dipakai untuk mengkaji status sumberdaya ikan ekor kuning untuk hasil standarisasi ke alat tangkap muroami dan hasil standarisasi ke alat tangkap bubu. Hasil estimasi parameter biologi dan ekonomi tersebut digunakan untuk menganalisis dinamika sumberdaya ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu. Nilai optimal dari suatu sumberdaya perikanan menggunakan empat nilai discount rate yaitu nilai

discount rate yang dipakai untuk menilai sumberdaya pada negara-negara berkembang berdasarkan acuan dari bank dunia yang besarnya berkisar antara 10-18% (Gittenger 1986), maka dalam analisis ini menggunakan discount rate

10, 12, 15 dan 18%. Hasil analisis bioekonomi untuk nilai optimal dinamik sumberdaya ikan ekor kuning disajikan pada Tabel 20 dan 21, analisis secara lengkap disajikan pada Lampiran 10.

Tabel 20 Hasil analisis bio-ekonomi untuk nilai optimal dinamik sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami

Parameter Optimal Dinamik

i=10% i=12% i=15% i=18%

x (ton) 631.23 624.24 614.01 604.05

h* (ton) 531.73 531.24 530.30 529.14

E* (trip) 486 491 498 505

π (juta Rp) 30,344.01 25,484.55 20,614.28 17,357.02

84

Tabel 21 Hasil analisis bio-ekonomi untuk nilai optimal dinamik sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu

Parameter Optimal Dinamik

i=10% i=12% i=15% i=18%

x (ton) 23,367,432.46 22,562,179.78 21,380,869.33 20,229,982.45

h* (ton) 8,336,259.03 8,252,255.79 8,102,766.91 7,927,098.07

E* (trip) 4,973 5,098 5,283 5,462

π (juta Rp) 494,709,645.90 411,861,581.57 327,916,181.61 270,892,356.96

Sumber: Hasil Analisis Lampiran 10

Jumlah input produksi yang digunakan relatif lebih sedikit untuk menghasilkan optimal yield pada discount rate lebih rendah, dibandingkan dengan input produksi pada discount rate yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah discount rate akan mengurangi jumlah input produksi dan ini secara alami akan meningkatkan tingkat optimal yield dari sumberdaya ikan ekor kuning. Secara umum discount rate yang lebih rendah dapat menghasilkan optimal yield, optimal biomass dan rente ekonomi yang lebih tinggi, bila dibandingkan dengan menggunakan discount rate yang lebih tinggi. Artinya

discount rate yang lebih tinggi akan memacu perburuan sumberdaya lebih ekstraktif dan dampaknya tentu akan menambah tekanan terhadap sumberdaya tersebut. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya degredasi, yang akhirnya menimbulkan kepunahan sumberdaya ikan ekor kuning. Berdasarkan pernyataan Clark (1976) dan Anna (2003) bahwa nilai discount rate yang lebih tinggi akan meningkatkan laju eksploitasi sumberdaya terbarukan dan memungkinkan akan terjadi kepunahan.

Berdasarkan Fauzi (2006) dan Clark (1976) bahwa semakin tinggi nilai

discount rate yang digunakan, maka akan menyebabkan semakin tinggi pula tingkat eksploitasi dan semakin banyak upaya penangkapan (Effort) dikerahkan, maka akan menyebabkan rente ekonomi yang didiperoleh semakin rendah. Pada nilai discount rate yang tak terhingga (~) menyebabkan pemanfaatan sumberdaya perikanan di suatu negara mengarah ke kondisi Open Access, sedangkan semakin rendah nilai discount rate yang digunakan, maka akan menyebabkan semakin rendah tingkat eksploitasi. Semakin rendah effort maka rente ekonomi yang didiperolah semakin tinggi dan pada nilai discount rate sama dengan nol (0), maka menyebabkan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan di suatu negara identik dengan pengelolaan dalam kondisi Maximum Economic Yield (MEY).

Nilai manfaat dari ekstraksi sumberdaya ikan ekor kuning ditunjukkan besarnya nilai rente yang dihitung dengan persamaan 14. Pada Tabel 18 dan 19

memperlihatkan nilai rente masing-masing hasil standarisasi alat tangkap dari pemanfaatan sumberdaya perikanan ikan ekor kuning, dengan tingkat discount rate berbeda.

Berdasarkan Tabel 20 dan 21 nilai rente menunjukkan bahwa rente sumberdaya ikan ekor kuning diperoleh untuk overtime pada tingkat diskon yang lebih rendah (konservatif) ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan rente sumberdaya yang diperoleh pada tingkat diskon yang lebih tinggi. Hal ini memperkuat pernyataan sebelumnya bahwa tingkat input yang lebih kecil dapat meningkatkan tingkat produksi optimal, yang keduanya didapat dari hasil analitik model dinamik dengan memasukan variabel tingkat diskon ke dalam model optimasi. Tingkat discount rate yang tinggi akan menyebabkan terjadinya peningkatan upaya untuk mengekstraksi sumberdaya alam secara berlebihan. Upaya atau input yang berlebihan dalam mengakstraksi sumberdaya tersebut akan menyebabkan biaya untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya, juga menjadi lebih tinggi.

Gambar 39 Perbandingan rente ekonomi dengan discount rate 10%, 12%, 15% dan 18% dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami

Gambar 40 Perbandingan rente ekonomi dengan discount rate 10%, 12%, 15% dan 18% dari hasil standarisasi ke alat tangkap bubu

y = 59588e-6.94x R² = 0.992 -5,000.00 10,000.00 15,000.00 20,000.00 25,000.00 30,000.00 35,000.00 0 0.03 0.06 0.09 0.12 0.15 0.18 Re nte Ek ono mi Discount rate y = 1E+09e-7.49x R² = 0.994 -100,000,000.00 200,000,000.00 300,000,000.00 400,000,000.00 500,000,000.00 600,000,000.00 0 0.03 0.06 0.09 0.12 0.15 0.18 0.21 Re nt e e k on omi Discount rate

86

Pada Gambar 39 dan 40 merupakan kondisi rente ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning dari hasil standarisasi ke alat tangkap muroami dan standarisasi ke alat tangkap bubu pada tingkat discount rate 10%, 12%, 15% dan 18%. Menunjukkan bahwa pada discount rate, yang lebih kecil akan memperoleh rente yang lebih besar dibandingkan dengan

discount rate yang lebih besar atau semakin besar discount rate, maka semakin kecil rente yang diperoleh. Artinya bahwa ekstraksi sumberdaya yang berlebihan saat ini dengan nilai rente yang diterima, untuk waktu jangka panjang ternyata tidak memberikan nilai rente yang optimal. Peningkatan upaya yang berlebihan akan mengakibatkan peningkatan terhadap biaya yang dikeluarkan. Hal ini juga berimplikasi terhadap koefisien laju degradasi sumberdaya yang semakin cepat. Secara ekonomi bahwa peningkatan produksi yang berlebihan belum tentu akan meningkatkan pendapatan dan nilai rente dari pemanfaatan suatu sumberdaya. Produksi yang berlebihan akan menyebabkan permintaan terhadap barang itu akan menjadi turun, sehingga nilainya juga akan menurun.