• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III DERIVASI KATA RĀ‘INĀ DAN UNZHURNĀ

A. Analisis Makna Dasar dan Makna Relasional

36 BAB IV

ANALISIS KATA RĀ ‘INĀ DAN UNZHURNĀ MENURUT TEORI SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU

A. Analisis Makna Dasar dan Makna Relasional

37

waktu”.89 Seperti disebutkan dalam kamus Al-Munawwir bahwa kata

اَنْرُظْنُا

berasal dari kata

)ٌةَر ظْن َم َو َ - ًر ظْن َم َو َ - اًرْظَن - ُرُظْنَي - َر ظَن ( َ

yang berarti melihat.

Setelah kaum Mukminin dilarang mengucapkan kata tersebut.

Mereka di suruh mengucapkan kata lain sebagai gantinya, yaitu

اَنْرُظْنُا

yang artinya “Pandanglah kami,” atau Tunggulah kami dan

berilah kami waktu”.90 Seperti disebutkan dalam kamus Al-Munawwir bahwa kata

اَنْرُظْنُا

berasal dari kata

- اًرْظَن - ُرُظْنَي - َر ظَن ( َ )ٌةَر َ

ظْن َم َو- ًر َ

ظْن َم َو

yang berarti melihat.91

Kata

اَن ِعاَر

dalam Al-Mu’jam al Wasīth ialah berasal dari kata

هنع اعر

yang berarti merawat atau menggembalakan.92 Adapun

kata

اَنْرُظْنُا

dalam kamus Al-Mu’jam al Wasīth

ارظن - ءييش ىلا

berarti melihat untuk segala sesuatu.93 Sedangkan dalam kamus Al-Munjid kata

اَن ِعاَر

berasal dari kata

ى َعَر

yang memilki makna menjaga rerumputan atau menggembala dan kata

اَنْرُظْنُا

berasal dari

kata

َر َ

(

ظَن - ُرُظْنَي - اًرْظَن - ًر َ

ظْن َم َو ٌةَر َ

ظْن َم َو

) yang berarti memandang

atau melihat.94

89Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Tafsir Al-Munir, Jilid. 15, terj. Abdul Hayyie Al Kattani, Dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 205.

90Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Tafsir Al-Munir, Jilid. 15, terj. Abdul Hayyie Al Kattani, Dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 205.

91 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1433.

92 Ibrahim Musthafa, Al-Mu’jam Al-Wasiith (Mesir: Maktabah al- ‘ilmiyyah, 1934) hlm. 355.

93 Ibid., hlm. 931.

94Louis Ma’luf, Al-Munjīd fi Al-Lughāh wa Al-’Alam, (Beirut: Mutaba’ah Kathalikiyah, 2010), hlm. 368 dan 817.

38

Sedangkan menurut terminologi atau pendapat para ulama tentang kata Rā‘inā di antaranya: Pertama, menurut Ahmad bin Faris, kata Rā‘inā berasal dari akar kata

ىَعَر

yang terdiri dari huruf Ra’, ‘ain, dan huruf mu’tal ya’ yang menunjukkan asal kata yang berarti yang pertama adalah mengamati dan menghafal, dan yang kedua adalah kembali. “Hal pertama yang saya rawat adalah lehernya, saya merawat disaat saya mengamatinya, dan pengembalanya adalah penguasanya”. Abu Qais berkata “tidak ada kucing yang seperti kucing saya, dan tidak ada padang rumput di antara orang-orang seperti pengembala. Dan setiap orang adalah gembala, dan itu adalah bentuk jamak dari kata kerja langka, dan gembala juga. Saya menjaga bintang-bintang dan apa yang saya minta untuk menjaga mereka. Terkadang saya menyembunyikan kebaikan saya sebagai penjaga untuk mempertahankan kelestarian apa yang dijaga.95 Dikatakan bahwa kata tersebut bermakna menjaga, mengamati, dan menggembalakan.

Sedangkan kata

اَنْرُظْنُا

berasal dari akar kata

َر ظَن َ

yang terdiri dari huruf Nun, zha, dan ra’, yang berarti merenungkan, dan menelaah sesuatu, lalu meminjamnya. Dan itu mengembang di dalamnya, jadi dikatakan “saya melihat untuk hal itu, lihat jika kamu melihatnya, memiliki makna yang berdekatan. Di katakan bahwa kata tersebut memiliki arti memperhatikan atau melihat.96

Kedua, menurut Al-Fairuz kata Rā‘inā berasal dari kata

ىَعَر

yang berarti mengurus, merawat, dan memperhatikan. “Hal yang dipelihara, jadi dia tidak merawatnya sebagaimana layaknya untuk diurus. Dia mengawasinya, dia menghabiskan malamnya mengamati bintang-bintang. Dia memiliki perjanjian atau kesuciannya; perhatikan dan simpan, dan mereka yang setia pada

95 Ahmad bin Faris, Mu’jam Muqayyis al-Lughah, jilid 6, (Beirut: Dār al-Fikr, 2009), hlm. 408.

96 Ibid., hlm 444.

39

kepercayaan dan perjanjian mereka.97Jadi kata tersebut bermakna mengurus, memperhatikan.

Sedangkan kata Unzhurnā dapat di artikan dengan melihat atau memandang. Di katakan “Pada akhirnya, dia berkata, tunggu aku sampai hari mereka dibangkitkan.” Dia berkata kamu adalah salah satu dari orang-orang yang menantikan.” “Dia menjual barang itu sekilas, yaitu dengan anggun dan penundaan”. Jadi, makna kata tersebut dapat diartikan sebagai memungkinkan dia untuk melihat, memperhatikan dan memandang.98

Ketiga, menurut Muhammad Quraish Shihab, Rā‘inā memiliki arti “perhatikanlah keadaan atau kemampuan kami”.sedangkan kata Unzhurnā memiliki makna yang sama yaitu “perhatikanlah keadaan atau kemampuan kami”.99

Sehingga, jika kita lihat dari uraian diatas, dapat didefinisikan

bahwa makna dasar kata Rā‘inā adalah

merawat,menjaga,memperhatikan dan juga diartikan dengan menggembalakan. Karena menggembalakan termasuk juga dari menjaga, merawat dan sebagainya. Sedangkan kata Unzhurnā dapat didefinisikan sebagai memperhatikan atau memandang.

2. Makna Relasional Kata Rā ‘inā dan Unzhurnā

Makna relasional merupakan sesuatu yang bersifat konotatif yang diberikan atau ditambahkan kedalam makna yang sudah ada dengan cara meletakhlmkan kata tersebut pada posisi khusus dan dalam bidang yang khusus, berada pada hubungan yan gberbeda dengan semua kata yang penting lainnya dalam sistem tersebut.100 Dan untuk mendapatkan makna relasional dari kata Rā‘inā maka

97 Majduddin Muhammad bin Yaqub al-Fairuz, Al-Qamus Al-Muhith (Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiyah, 1971), hlm. 651.

98Ibid., hlm. 1623.

99 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran), Vol.

1, (Jakarta: Lentera Hati, 2022), hlm. 285.

100Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Alquran, terj. Agus Fahri Husein, dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), hlm.

12.

40

peneliti menggunakan analisis hubungan sintagmatik dan anlisis hubungan pragmatik.

a. Analisis Sintagmatik

Yang dimaksud dengan analisis sintagmatik menurut Chaer dalam bukunya yang dikutip dari teori yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure bahwa; hubungan sintagmatik ialah hubungan yang dimana terdapat unsur-unsur dalam suatu tataran yang tersusun secara berurutan, dan bersifat linear.101 Dapat disimpulkan bahwa analisis sintagmatik mempehatikan kata-kata yang berada di depan dan dibelakang kata yang sedang dibahas sehingga akan menghasilkan hubungan yang saling berkaitan satu sama lain.

Untuk mengetahui makna relasional yang dari kata Rā‘inā secara komprehensif, maka peneliti melakukan perbandingan analisis makna relasional kata Rā‘inā dalam surah al-Baqarah ayat 104 yang menjadi kata kunci atau objek kajian dengan beberapa ayat al-Qur’ān yang mengandung kata Rā‘inā . 1) Analisis Sintagmatik Kata Rā‘inā dalam Surah

Al-Baqarah Ayat 104.

Pertama analisis sintagmatik kata Rā‘inā dalam Q.S al-Baqarah [2]: (104);102

ا ْوُع َم ْسا َو اَنْرُظْنا اوُل ْوُق َو اَن ِعاَر اْو ُلْوُقَت َلَ اْوُنَمٰا َنْي ِذَّلا اَهُّيَآْٰي ﴿ َنْيِرِف ٰكْلِلَو

﴾ ٌمْي ِل َا ٌبا َذَع

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan, “Rā‘inā. ”Akan tetapi, katakanlah, “Unẓurnā”dan dengarkanlah. Orang-orang kafir akan mendapat azab yang pedih”.

101Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2012), hlm. 349.

102Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’ān dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’ān, 2019), hlm. 16.

41

Kata

اَن ِعاَر

merupakan wazan dari )

لعاف

( Fā’ilun bentuk Fi’il Amr (karta kerja bentuk ke III) orang kedua jamak

عاَر

, dan

diikuti oleh objek orang pertama “kami”

( ( ان

. Akar katanya ialah

ىعر

, dalam tataran bahasa Arab struktur kata kerja bentuk ke III imperatif, huruf

ى

merupakan huruf Illat (lemah) sehingga dihilangkan, dan menghasilkan kata

عار

bentuk dasar dari )

لعاف

(. Selanjutnya kata

عار

ini disambungkan dengan

ان

menjadi

اَن ِعاَر

. Sedangkan kata

اَنْرُظْنا

merupakan Fi’il Mādhi dari huruf

رظن

dalam bentuk kata kerja pertama orang kedua tunggal )

ْرُظْنُا

( ditambahkan dengan objek orang pertama jamak )

ان

(. Sehingga menjadi kata

اَنْرُظْنا

(.103

Kata

ىعر

artinya yaitu mengembalakan, “seorang pengembala yan gmengawasi dan mengarahkan ternaknya”.Arti tersebut berkembang kemudian diterapkan kepada manusia. Arti kata tersebut di sini ialah memimpin. Kata memimpin bisa dipandang sebagai penghalusan dari makna kata menggembalakan, “Seorang pemimpin yang mengawasi dan mengarahkan orang karena tangung jawabnya”. Oleh karena itu, kata Rā‘inā diartikan dengan “pimpinlah kami”.104 Persamaan antara Rā‘inā dan Unzhurnā di sini adalah keduanya sama-sama mengandung unsur kegiatan melihat. Namun letak

103Wong Biasa,”Kajian tentang Al-Qur’ān”, dalam http:// kajiantentangquran.

blogspot.com /2018/02/raaina-dan-Unzhurnā,.html, diakses tanggal 8 Desember 2022, pukul 14.30.

104 Ibid.

42

perbedaaanya ialah, bahwa dalam kata Rā‘inā terdapat unsur mengarahkan, sedangkan kata Unzhurnā tidak ada unsur mengarahkan.

Kata

اَن ِعاَر

merupakan Jumlah fi‘liyyah yang di Nashab-kan oleh kata )

ا ْوُلو ُقَت

(. Jika kata ini )

اَن ِعاَر

( dibaca dengan tanwin, ia diNashabkan oleh kata

ْوُلو ُقَت

( sebagai mashdar, yaitu kalimatnya bermakna )

ةَن ْوُعُر اْو ُلْوُقَت لَ(

yang memiliki arti janganlah kamu mengatakan bodoh atau tolol.105

Kata Rā‘inā dikalangan kaum Yahudi ialah termasuk kata cacian yang keji, berasal dari kata ru‘ūnah )

ةن ْوُعُر(

atau

ketololan. Berasal dari akar kata )

اًن ْعَر - ُن ُعرَي - َن َعَر

( yang berarti lemah atau gila. Kaum Yahudi disaat berbicara dengan Nabi SAW, mereka bermaksud memaki beliau. Maka Allah melarang kaum Mukminin untuk mengucapkan kata tersebut, Allah SWT memerintahkan agar mereka mengunakan kata yang semakna namun berbeda lafalnya yaitu kata Unzhurnā. Arti kata Unzhurnā ini ialah megandung makna pemberian waktu dan penangguhan, di samping mengandung makna pengawasan.

Artinya secara global adalah: “Menghadaplah kepada kami dan lihatlah kami”.106

Kata

اَن ِعاَر

adalah berarti “Gembalakanlah kami, atau bimbinglah kami”. Dari kata

ةياَعِر

dan yang digembalakan itu ialah

ةَّي ِعَر

(dalam bahasa Indonesia berarti rakyat). Tetapi bisa juga memilki arti yang lain, yaitu ru‘iyna, yang berarti tukang

105 Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Tafsir Al-Munir, Jilid. 1, Terj. Abdul Hayyie Al Kattani, Dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 204.

106 Ibid., hlm. 206.

43

gembala kami. Kata

اَن ِعاَر

bisa menjadi Fi‘il amr bisa juga menjadi Ism-fā‘il. Mohon kami bisa digembalakan, artinya bisa diganti dengan engkau adalah tukang gembala kami. Dan bisa juga dari kata Ru‘ūnah , yaitu orang yang tidak baik perangainya. Maka orang-orang lain yang berniat jahat bisa saja dengan sengaja menggunakan kata tersebut kepada orang yang bukan ditujukan. Dan ada juga yang mengartikannya dengan;

“Hai orang bodoh, tunggu sebentar.” Oleh karena itu, pilihlah kata yang artinya tidak dapat diputar-putar atau diselewengkan kepada maksud yang buruk atau arti yang buruk. Salah satunya ialahu Unzhurnā,, yang artinya pandanglah kami, tiliklah kami.

Pandangan matapun boleh, pandangan hatipun boleh, namun juga tidak lepas dari bimbinglah kami. Dengan menggunakan kata Unzhurnā, maka tidak ada sudut pandang yang buruk atau perilaku menyeleweng bagi orang yang jahat.107

Allah melarang hamba-hambaNya menyerupai orang-orang kafir, baik dalam ucapan ataupun perbuatan. Karena orang-orang Yahudi senang bermain kata-kata yang mempunyai arti samar dengan maksud untuk mengurangi makna yang dikandungnya.jika mereka hendak mengatakan “Dengarkanlah kami,” maka mereka mengatakan: Rā‘inā, padahal yang mereka maksudkan adalah ru‘ūnah (sangat bodoh).108

Kata Rā‘inā pada surah al-Baqarah ayat 104 yang sudah peneliti paparkan di atas, bahwa kata

اَن ِعاَر

dalam ayat tersebut menurut peneliti tidak memunculkan makna relasional atau tetap dimaknai sesuai dengan makna dasarnya yakni ‘merawat, menjaga, memperhatikan, menggembalakan’. Dikarenakan kata Rā‘inā dalam surah al-Baqarah ayat 104 diatas ialah salah satu kata yang sering digunakan oleh kaum Yahudi sebagai bentuk

107Hamka “Tafsir Al-Azhar jilid 1” (Singapura: Singapore Pustaka Nasional PTE LTD, 1990), hlm. 257.

108Abdullah bin Muhammad, “Tafsir Ibnu Katsir”, terj. Abdul Ghoffar, Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2005), hlm. 213.

44

penyelewengan, yaitu kata Rā‘inā tersebut digunakan ketika berbicara dengan Nabi SAW, padahal yang mereka katakan ialah ru‘ūnah (bodoh atau tolol). Oleh karena itu Allah memerintahkan agar kaum Muslimin mengganti kata Rā‘inā dengan kata yang memiliki makna yang sama dengannya, yaitu kata Unzhurnā.

2) Analisis Sintagmatik kata Rā‘inā dalam Q.S Al-Baqarah [2]: (104).

Selanjutnya jika kita sandingkan kata Rā ‘inā tersebut pada ayat-ayar yanglain, maka kata tersebut akan memiliki makna spesifik ketika disandingkan dengan kata-kata kunci tertentu pada suatu kalimat dalam beberapa ayat al-Qur’ān dan memunculkan konsep makna baru;

a) Memelihara dengan Sebaik-baiknya

Kata Rā‘inā jika disandingkan dengan kata

َۨ ةَّيِنا ب مه ر

maka akan akan memiliki makna relasional baru yaitu “sebaik-baiknya”. Misalnya sebagaimana dalam surah Q.S al-Hadid [57]: 27, kata

ا ه مو ع ر

dan

ََ َا ه ِت يا عِر

memilki

makna “memelihara dengan sebaik-baiknya”.

ا َمَف ِ ّٰاللّٰ ِناَوْضِر َء ۤاَغِتْبا َّلَِا ْمِهْيَلَع اَهٰنْبَتَك اَم اَهْوُعَدَتْباِ َةَّيِناَبْهَرَو ا ه مو ع ر َّق َح

ا ه ِت يا عِر ْمُهْن ِ م ٌرْيِث َكَو ِۚ ْمُهَرْجَا ْمُهْنِم اْوُنَمٰا َنْيِذَّلااَنْيَتٰاَف ِۚ

َن ْو ُق ِس ٰف

“Mereka mengada-adakan rahbaniah (berlebih-lebihan dalam beribadah). Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka. Akan tetapi, (mereka mengada-adakannya dengan tujuan) mencari keridaan Allah, lalu

45

mereka tidak memeliharanya dengan sebaik-baiknya”

109

Kata kunci dari ayat diatas ialah

َ ةَّيِنا ب مه ر

yaitu mereka mengada-ngada dan membuat-buat sendiri (cara hidup beragam seperti pendeta), padahal Allah SWT, tidak pernah mensyari’atkan tetapi mereka tetap melakukannya. Mereka membuat-buat sendiri cara hidup beragama dengan maksud menggapai ridha Allah SWT, namun mereka tiak memeliharanya dengan semestinya.

ْم ِهْي َلَع ََا هٰنمب ت ك ََ ا م ََ

padahal

kami sama sekali tidak mewajibkan atau tidak memerintahkan kerahiban itu kepada mereka (

َءۤاَغِتْبا َّلَِا ِ ّٰاللّٰ ِناَوْضِر)

yakni akan tetapi sebenarnya mereka sendiri yang membuat-buat dan mengada-ngada kerahiban itu dengan maksud mencari keridhaan Allah SWT.

ا َه ْوَعَر ا َمَف

ِه

اَه ِتَياَعِر َّق َح

kerahiban itu tidak dipelihara, tidak dijalankan dengan semestinya oleh semuanya, banyak mereka yang meninggalkan kekrahiban tersebut.110

Yang dimaksdukan dengan Rahbaniyyah sebagaimana yang disebutkan diatas ialah mereka hidup menyendiri dan terpencil di bukit-bukit untuk menyelamatkan diri dari fitnah agama, memfokuskan diri sepenuhnya untuk beribadah, serta memaksa diri melakukan hal yang melebihi ibadah-ibadah lain yang wajib bagi mereka. Seperti menyendiri dan berkhalwat, mengenakan pakaian yang kasar, menjauhi perempuan, beribadah di lubang-lubang, dan gua-gua.111

109Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’ān dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’ān, 2019), hlm. 541.

110Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Tafsir Al-Munir, Jilid. 14., terj. Abdul Hayyie Al Kattani, Dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 268.

111Ibid., hlm. 374.

46

Orang-orang yang beriman dari para pengikut nabi Isa as. Dan orang-orang generasi pertama yan mempelopori kerahbaniyyahan dan menjalankannya sebagaimana mestinya, Allah SWT memberi mereka pahala yan berhak mereka dapatkan. Namun banyak dari generasi mereka setelah itu ialah orang-orang fasik yang keluar dam menyimpang dari batasan-batasan yang telah digariskan Allah SWT, keluar dari bingkai ketaatan kepada Allah SWT, kafir terhadap apa yang dibawa oleh nabi Isa as. Ketika Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW dan yang tersisa ialah mereka yang datang dari gua-gua, biara-biara, dan tempat terpencil atau tempat berkhalwat mereka, lalu mereka beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.112

b) Menggembalakan

Apabila berbicara tentang kata Rā‘inā maka akan kembali kepada akar katanya yaitu

ىعر

yang memilki arti (gembala, menggembalakan, menjaga, merawat). Ayat-ayat yang terdapat kata tersebut di dalamnya, memiliki makna perintah untuk memelihara, memperhatikan. Di sisi lain juga terdapat ayat al-Qur’ān yang memberikan makna asli dari kata tersebut. Contohnya dalam Q.S. Taha [20]: 54.

و ا ْو ُ ل ُ

ك ا ْو ع ْرا

ࣖ ى ٰهُّنلا ى ِلو ُ اِ ل ٍتٰي ٰ

ا ل كِل ٰذ ْيِف َّ

ن ِاۗ ْم ُ ك ما عْن ا

“Makanlah dan gembalakanlah hewan-hewanmu!

Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal”.113

112Ibid., hlm. 375.

113Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’ān dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’ān, 2019), hlm. 315.

47

Dalam ayat diatas, kata

ا ْو ع ْرا

disandingkan dengan kata

ْم ُ

ك ما عْن ا

dimana kata

ا ْو ع ْرا

merupakan suatu bentuk perintah untuk menggembalakan hewan (ternak). Sehingga dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa kata tersebut kembali kepada makna aslinya yaitu, “gembala”, walaupun di ayat lain akan memiliki makna berbeda ketika disandingkan dengan kata yangberbeda pula.

Kata

ا ْو ع ْرا

disandingkan dengan kata

ا ْو ُ ل ُ

ك

yang berarti perinah untuk memakan apa yang terdapat darinya (yaitu apa yang digembalakan), sedangkan jika kata

ا ْو ع ْرا

disandingkan dengan kata

ْم ُ

ك ما عْن ا

maka akan memilki makna “gembalakanlah binatang-binatangmu”. Kata

ماعنال

adalah bentuk plural dari

معن

yaitu Unta, Sapi, dan Kambing. Perintah dalam ayat ini ialah termasuk Ibahah (kebolehan), yang bertujuan agar selalu mengingat nikmat Allah SWT.114

c) Memelihara

Kata Rā‘inā memilki makna relasional “ memelihara”.

Karena berasal dari akar kata

ىعر

maka Dalam Q.S Al-Mukminun [23]: 8 yakni memilki arti orang-orang yang memelihara, yaitu:

114 Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Tafsir Al-Munir, Jilid. 8, terj. Abdul Hayyie Al Kattani, Dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 486.

48

ْم ِه ِدْهَعَو ْم ِهِتٰن ٰم َ

ِلَ ْم ُه َنْي ِذ َّلاَو

َ ن مو عا ر

“(Sungguh beruntung pula) orang-orang yang memelihara amanat dan janji mereka”.115

Jika kata

ىعرلا

disandingkan dengan kata

تاناما

maka

ia akan bermakna memelihara. Kata

تاناما

di sini adalah bentuk jamak dari kata )

ةناما

( dalam ayat tersebut, kata amanat disebutkan dalam bentuk jamak. Padahal kata tersebut adalah mashdar sementara mashdar tidak dijamakkan, hal itu karena kata tersebut menunjukkan jenis.

Amanah bermacam-macam bentuknya sehingga bisa ditashniahkan dan juga bisa dijamakkan. Amanah disini bermacam-macam karena amanah mencakup segala bentuk ibadah dan hal-hal yang diperintahkan lainnya.116

مهتاناملأ

merupakan bentuk jamak dari

ةناما

yang

bermakna sesuatu yang diamanahkan dan dipercayakan kepada seseorang dari Allah SWT berupa pentakhlifan-pentakhlifan syara’, atau dari sesama manusia, seperti harta titipan. Dan ketika

ىعرلا

disandingkan dengan kata

مهدهعو

(

) kata )

دهعلا

( memilki arti sesuatu yang menjadi kewajiban seseorang terhadap Tuhannya dan diperintahkan olehNya kepada dirinya seperti shalat, nadzhar, dan lainnya atau terhadap manusia berupa perkataan atau tindakan, seperti berbagai bentuk akad, janji, pemberian, dan lainnya.

Kata

مهدهعو

adalah bentuk mufrad dan di-idhafah-kan

115Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’ān dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’ān, 2019), hlm. 342.

116Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Tafsir Al-Munir, Jilid. 9, terj. Abdul Hayyie Al Kattani, Dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 298.

49

(yaitu kepada dhamir

مه

) sehingga cakupannya bersifat umum. Sedangkan kata

ْنوُعاَر

berarti memelihara, menjaga dan merawatnya. 117

d) Padang rumput atau padang gembala Jika kata

ۖىٰعْرَ ْ

لْا

disandingkan dengan

َجَر ْخَا

maka akan

menimbulkan makna baru yaitu “padang rumput” atau

“padang gembala” seperti dalam Q.S Al-A‘la [87]: 4.

ۖى ٰعْرَ ْ

لْا َجَر ْخَا ْْٓي ِذ َّلاَو

“dan yang menumbuhkan (rerumputan) padang gembala”118

Kata

ۖى ٰعْرَ ْ

لْا

bermakna “segala sesuatu yang dikeluarkan oleh bumi berupa rerumputan, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, dan tanaman. Sehingga jika kata tersbeut di sandingkan dengan kata akhraja maka akan menimbulkan makna baru yaitu tempat tumbuhnya tanaman di bumi, sehingga bisa disebut dengan “padang rumput” atau “padang gembala” karena biasanya pengembala menjaga ternaknya di padang yang penuh dengan rerumputan dan tanaman.

Oleh karena itu disebut dengan padang gembala (tempat mengembala).

Zat yang menumbuhkan rerumputan yang digunakan untuk memberi makan hewan-hewan dan menumbuhkan seluruh macam tumbuhan dan tanaman yang dimakan oleh manusia.119

117 Ibid., hlm. 299.

118Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’ān dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’ān, 2019), hlm. 591.

119 Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Tafsir Al-Munir, Jilid. 15..., hlm. 488

50 e) Memperhatikan

Makna kata

ا ن ِعا ر

itu sendiri ialah “kiranya kamu memperhatikan kami” jika kata tersebut di sandingkan dengan kata

ولوقتلَ

maka ia akan menjadi

اَن ِعاَر اْو ُلْوُقَت َلَ

sehingga ia akan memilki arti “ janganlah kamu berkata, perhatikanlah kami” kemudian dilanjutkan dengan

اوُل ْوُق

و

ا ْوُع َم ْسا َو اَنْرُظْنا

yang memilki arti “akan tetapi katakanlah lihatlah kami, dan dengarkanlah’. Seperti yang kita ketahui makna dri kata tersebut ialah sama yaitu sama-sama memperhatikan atau memandang. Allah SWT menyeru kepada kamu Muslimin dalam ayat ini sehubungan dengan perkara yang sama-sama dilakukan oleh mereka dan kaum Yahudi. Allah SWT menyutuh mereka agar memilih sebaik-baiknya kata yang digunakan untuk mengawali pembicaraan dengan Nabi SAW. Apabila Nabi SAW menyampaikan suatu ilmu kepada mereka, maka mereka berkata, “Rā‘inā sam’aka” yang artinya, “Dengarlah apa yang ingin kami tanyakan supaya kami memahami apa yang anda sampaikan kepada kami”. Sehinga kata tersebut diselewengkan oleh kaum Yahudi seolah-olah mereka mengatakan Rā‘inā namun sebenarnya yang mereka katakan ialah ru‘ūnah sebagaimana yang dijelaskan bahwa kata tersebut ialah bermaksud untuk mengejek Nabi SAW.120 Hal ini termaktub dalam Q.S Al-Baqarah [2]: (104).

ا ْوُن َمٰا َنْي ِذ َّلا اَهُّيَآْٰي َنْيِرِف ٰكْلِلَو اْوُعَم ْساَو اَنْرُظْنا اوُلْوُقَو اَنِعاَر اْوُلْوُقَت َلَ

مْي ِل َا ٌبا َذَع

120Ibid., 205.

51

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan, “Rā‘inā.” Akan tetapi, katakanlah,

“Unẓurnā, dan dengarkanlah. Orang-orang kafir akan mendapat azab yang pedih”.

Dan Q.S An-Nisa [4]: (46)

هِع ِضاَو َّم ْنَع َمِل َكْلا َنْوُفِ رَحُي اْوُداَه َنْيِذَّلا َنِم

َا نمع ِم سَ نمو لمو ق ي وَ ٖ

ا ن ِعا رَّوَ ٍع م مس مَ ر مي غَ مع م مسا وَا نمي ص ع و َ ِۗنْي ِ دلا ىِف اًنْعَطَو ْمِهِتَن ِسْلَاِب ۢاًّيَل

ْوُلاَق ْمُه َّنَا ْو ل َو َ ْمُهَّل اًرْي َخ َناَك ل اَنْرُظْنا َو ْع َم ْسا َو اَنْع َ َ

طَا َو اَنْع ِم َس ا

ًلَْي ِل َق َّلَِا َنْوُنِمْؤُي َلََف ْمِهِرْفُكِب ُ ّٰاللّٰ ُمُهَنَعَّل ْنِكٰلَو َمَوْقَاَو

َ

“Di antara orang-orang Yahudi ada yang mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata,

“Kami mendengar, tetapi kami membangkang.”

(Mereka mengatakan pula,) “Dengarkanlah,”

sedangkan (engkau Nabi Muhammad sebenarnya) tidak mendengar apa pun. (Mereka mengatakan,) rā‘ina dengan memutarbalikkan lidahnya dan mencela agama. Seandainya mereka mengatakan,

“Kami mendengar dan patuh. Dengarkanlah dan perhatikanlah kami,” tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat. Akan tetapi, Allah melaknat mereka karena kekufurannya. Mereka tidak beriman, kecuali sedikit sekali”.121

Dalam ayat tersebut, Allah SWT menyebutkan beberapa bentuk kebodohan yang dilakukan oleh kaum Yahudi, di mana tujuannya adalah melarnag orang-orang Mukmin agar tidak meniru kebodohan yang dilakukan

121Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’ān dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’ān, 2019), hlm. 86.

52

tersebut. Hakikat lafadz Rā‘inā dalam bahasa Arab ialah ar‘ina dan linar‘aka (pimpinlah kami, maka kamu akan memimpinmu). Namun boleh juga kata tersebut berasal dari lafadz ā‘rinā sam‘aka, yakni kosongkanlah pendengaranmu untuk ucapan kami. Kata in digunakan saat dialog dengan Nabi SAW. Dalam ayat ini Allah SWT memrintahkan orang-orang Mukmin agar memilih kata yang paling baik dan pengertian yang paling lembut.122

Jika disimpulkan dari analisis makna sintagmatik diatas, bahwa kata Rā‘inā pada Q.S Al-Baqarah [2]: (104) memunculkan makna baru (makna relasional) karena kata Rā‘inā dimaknai dengan makna memperhatikan. Juga pada ayat lain seperti, Q.S Al-Mukminun [23]: 8, dan Q.S An-Nisa’ [4]: 46, Q.S al-Hadid [57]: 27. Kata tersebut mengandung makna yang sama yaitu, memelihara, memperhatikan, dan merawat. Sedangkan pada ayat lain seperti Q.S. Taha [20]: 54, Q.S Qasas [28]: 23, Q.S Al-A‘la [87]: 4, Q.S An-Nazi‘āt [79]: 31 tidak memunculkan makna baru, dan kata tersebut tetap dimaknai dengan makna dasarnya yaitu, menggembalakan, pengembala.

b. Analisis Paradigmatik

Analisis hubungan paradigmatik merupakan hubungan antara unsur-unsur dalam suatu tataran dengan unsur-unsur yang sejenis namun tidak terdapat dalam tuturan. Analisis paradigmatik berusaha untuk membedakan kata yang memiliki kesamaan makna atau yang memilki makn ayang berlawanan.123

Dalam kajian ini, peneliti berusaha memaprkan bebrapa kata yan memiliki sinonim dan antonim, walaupun secara leksikal tidak memiliki hubungan dengan key term namun dalam al-Qur’ān digunakan sebagai salah satu kata yang memilki hubungan dengan kata kunci tersebut.

122Al-Qurthubi, Terjemah Tafsir at-Qurthubi, Jilid. 2, dita’liq oleh Muhammad Ibrahim al-Hifnawi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 135.

123Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2012), hlm. 350.

53

Adapun kata-kata yang peneliti temukan dan melakukan komperasi secara paradigmatis dengan kata kunci tersebut di antaranya:

1) Sinonim

Sinonim (al-Taraduf) adalah dua kata atau lebih yang memiliki makna yang kurang lebih sama. Dikatakan “kurang lebih” karena memang tidak ada dua buah kata atau lebih yang memiliki makna yang persis sama. Namun yang sebenarnya hanya informasi yang dimiliki oleh kata tersebut, sedangkan maknanya tidak persis sama.124

a) Hafaza

َظفح

Kata

ظفح

memiliki makna yang sama dengan kata

انعار

walaupun berasal dari akar kata yang berbeda, namun

kata tersebut memilki persamaan makna yaitu memelihara, menjaga, merawat, mengurus. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa kata

انعار

makna rasionalnya ialah memperhatikan, sedangkan makna dasarnya ialah mengembalakan. Kata

ظفح

berasal dari akar kata

ا ظفح - ظفحي - ظفح

yang berarti memelihara atau menjaga. Sehingga jika kita kaitkan dengan kata “menggembalakan” maka akan kita dapatkan sinonim diantara keduanya, yaitu sama sama mengandung unsur menjaga, merawat dan memelihara. Sehingga disini menunjukkan kata

ظفح

adalah sinonim dari kata

انعار

.

ٍمْي ِج َّر ٍنٰطْي ش ِ لُك ْنِم ا هٰنْظِف ح و

“Kami menjaganya dari setiap setan yang terkutuk,”125

124 Ibid.

125Q.S Al-Hijr [15]: 17, Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’ān dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’ān, 2019), hlm. 263.

Dokumen terkait